Macapat adalah tembang atau puisi tradisional Jawa. Setiap bait macapat mempunyai baris kalimat yang disebut gatra, dan setiap gatra mempunyai sejumlah suku kata (guru wilangan) tertentu, dan berakhir pada bunyi sanjak akhir yang disebut guru lagu.[1] Macapat dengan nama lain juga bisa ditemukan dalam kebudayaan Bali[2], Sasak[3], Madura[4], dan Sunda. Selain itu macapat juga pernah ditemukan di Palembang[5] dan Banjarmasin.[6] Biasanya macapat diartikan sebagai maca papat-papat (membaca empat-empat), yaitu maksudnya cara membaca terjalin tiap empat suku kata.[7] Namun ini bukan satu-satunya arti, penafsiran lainnya ada pula.[7] Macapat diperkirakan muncul pada akhir Majapahit dan dimulainya pengaruh Walisanga, namun hal ini hanya bisa dikatakan untuk situasi di Jawa Tengah.[8] Sebab di Jawa Timur dan Bali macapat telah dikenal sebelum datangnya Islam.[8]

Macapat banyak digunakan di dalam beberapa Sastra Jawa Tengahan lan Sastra Jawa Baru. Kalau dibandingkan dengan kakawin, aturan-aturan dalam macapat jauh berbeda dan lebih mudah diterapkan menggunakan bahasa Jawa. Kitab-kitab klasik zaman Mataram Baru, seperti Serat Wedhatama, Serat Wulangreh, Serat Wirid Hidayat Jati, Serat Kalatidha, dan yang lainnya disusun dengan menggunakan metrum macapat ini.

Pada dasarnya, macapat ada beberapa macam, umumnya dibagi dalam tiga jenis yaitu:

Watak metrum macapat yang termasuk sekar alit

Macapat ini juga disebut tembang macapat asli, yang banyak dipakai dalam berbagai jenis keperluan. Urutan tembang Jawa tersebut sama dengan perjalanan hidup manusia dari mulai bayi sampai meninggal.Urutan tersebut seperti tersebut di bawah ini:

Menggambarkan bayi masih dalam kandungan ibunya, yang belum diketahui jenis kelaminnya, kumambang berarti mengambang dalam kandungan ibu.

Berarti sudah dilahirkan dan jelas laki-laki atau perempuan.

Berarti masa muda, yang paling penting untuk pemuda adalah mencari ilmu sebanyak-banyaknya.

Dari kata kanthi atau tuntun yang berarti dituntun supaya bisa menjalani kehidupan di dunia.

Berarti cinta, cinta laki-laki kepada perempuan atau sebaliknya yang merupakan takdir Ilahi.

Dari kata jumbuh / bersatu yang berarti apabila sudah bersatu dalam cinta, perempuan dan laki-laki tersebut bisa menjalani hidup bersama.

Menggambarkan kehidupan manusia dalam kebahagiaan ketika berhasil meraih cita-cita.Menemukan jodoh, melahirkan anak, kehidupan yang sejahtera, dsb.

Dari kata darma / sedekah. manusia jika sudah merasa hidup cukup, dalam dirinya tumbuh rasa kasih sayang kepada sesamanya yang sedang kesusahan, sehingga akan tumbuh keinginan untuk berbagi.Hal tersebut didukung juga dari moralitas agama dan watak sosial manusia.

dari kata mungkur yang berarti menyingkirkan hawa nafsu angkara murka.Yang menjadi prioritas hidup adalah keinginan unutk berbagi dan peduli dengan sesama.

Dari kata megat roh/pegat rohe atau terpisahnya nyawa, ketika takdir kematian datang.

Ketika tinggal jasad tersisa, dibungkus dengan kain mori putih atau dipocong sebelum dikuburkan.

Sekar Madya atau Sekar Tengahan

Macapat jenis ini, seperti misalnya tembang Kidung yang sering dipakai pada zaman Majapahit.

Sekar Ageng

Sekar macapat Ageng (gedhe) hanya ada satu, yaitu Girisa. Kalau ditinjau dari tingkat kesulitannya, sekar macapat ageng seperti tembang Kakawin zaman kuno.

Catatan kaki

  1. ^ Kamus Besar Bahasa Indonesia dalam jaringan
  2. ^ Hinzler (1994:v-vi)
  3. ^ Van der Meij 2002, hlm. 170
  4. ^ Sudjarwadi et al (1980)
  5. ^ Drewes (1977:198-217)
  6. ^ Koroh et al. (1977:27-29) dikutip dari Arps (1992:7)
  7. ^ a b Arps 1992, hlm. 62
  8. ^ a b Pigeaud 1967, hlm. 20

Sumber pustaka

  • (Inggris) Bernard Arps, 1992, Tembang in two traditions: performance and interpretation of Javanese literature. London: SOAS
  • (Inggris) Hedi I.R. Hinzler, 1994, Gita Yuddha Mengwi or Kidung Ndèrèt. A facsimile edition of manuscript Cod. Or. 23.059 in the Library of Leiden University. Leiden: ILDEP/Legatum Warnerianum
  • (Inggris) Th. C. van der Meij, 2002, Puspakrema. A Javanese Romance from Lombok. Leiden: CNWS. ISBN 90-5789-071-2
  • (Inggris) Th. Pigeaud, 1967, Literature of Java. Catalogue Raisonné of Javanese Manuscripts in the Library of the University of Leiden and other public collections in the Netherlands. Volume I. Synopsis of Javanese Literature 900 - 1900 A.D. The Hague: Martinus Nyhoff
  • (Jawa) Poerbatjaraka, 1952, Kapustakan Djawi. Djakarta: Djambatan
  • (Belanda) J.J. Ras, 1982, Inleiding tot het modern Javaans. Leiden: KITLV uitgeverij. ISBN 90-6718-073-4
  • (Indonesia) I.C. Sudjarwadi et al., 1980, Seni macapat Madura: laporan penelitian. Oleh Team Penelitian Fakultas Sastra, Universitas Negeri Jember. Jember: Universitas Negeri Jember.