Kesultanan Paser

kerajaan di Asia Tenggara

Kesultanan Pasir (yang sebelumnya bernama Kerajaan Sadurangas) adalah sebuah kerajaan yang berdiri pada tahun 1516[1] dan dipimpin oleh seorang wanita (Ratu I) yang dinamakan Putri Di Dalam Petung. Wilayah kekuasaan kerajaan Sadurangas meliputi Kabupaten Paser yang ada sekarang, ditambah dengan Kabupaten Penajam Paser Utara dan wilayah timur Provinsi Kalimantan Selatan. Tetapi belakangan wilayah Kesultanan Pasir berkurang karena wilayah timur Kalimantan Selatan ini menjadi daerah terpisah yaitu Kerajaan Tanah Bumbu.

Sejarah

Kerajaan Sadurangas

Tentang terbentuknya awal kerajaan Paser, Haji Aji Abdoel Rasyid dan kawan-kawan yang ditulis oleh M.Irfan lqbal, et.al. Dalam bukunya yang berjudul “Budaya dan Sejarah Kerajaan Paser” mengatakan terbentuknya Kerajaan Paser pada tanggal 2 Safar tahun 9 Hijriyah atau tahun 630 Masehi. Pada saat Putri Petong berusia 22 tahun dilantik atau dinobatkan menjadi ratu (ratu pertama kerajaan Paser) yang semula kerajaan Padang Bertinti menjadi kerajaan Sadurengas. Namun, dalam versi Pemerintah Kabupaten Paser, Kerajaan Sadurangas didirikan pada abad ke-16 atau sekitar tahun 1516[1].

Sebelum Putri Petong menikah dengan Abu Mansyur Indra Jaya. Putri Petong diyakini menganut kepercayaan animisme atau suatu kepercayaan yang memuja roh-roh halus dan dewa-dewa. Roh-roh halus atau dewa-dewa diyakini bisa membantu sewaktu-waktu diperlukan, untuk memanggil roh-roh halus tersebut dibutuhkan sebuah bangunan berbentuk rumah yang dinamakan Panti, di dalam panti tersebut diberi sesajen kue-kue yang dibuat berbentuk patung-patung dari tepung beras menyerupai roh yang akan dipanggil. Putri Petong setelah bersuamikan Abu Mansyur Indra Jaya, setahun kemudian Putri Petong melahirkan anak yang pertama seorang lelaki yang diberi nama Aji Mas Nata Pangeran Berlindung bin Abu Mansyur Indra Jaya. Tiga tahun kemudian Putri Petong melahirkan lagi seorang anak perempuan, yang diberi nama Aji Putri Mitir binti Abu Mansyur Indra Jaya dan enam tahun kemudian Putri Petong melahirkan lagi seorang lelaki yang diberi nama Aji Mas Pati Indra bin Abu Mansyur Indra Jaya.

Islamisasi

Islamisasi di Kerajaan Paser melalui beberapa jalur, antara lain :

  • Jalur perkawinan-perkawinan dilakukan oleh Abu Mansyur Indra Jaya dengan Putri Petong, dari Kerajaan Paser raja komunitas Paser. Begitu juga perkawinan Sayyid Ahmad Khairuddin yang kawin dengan Aji Mitir anak Putri Petong dengan Abu Mansyur Indra Jaya.
  • Jalur perdagangan sungai Kendilo merupakan sungai besar pada jaman mereka, yang selalu dilalui para pedagang dari berbagai daerah Nusantara, termasuk pedagang dari Arab. Interaksi antara masyarakat Kerajaan Paser dengan para pedagang muslim menyebabkan sebagian masyarakat penduduk tertarik untuk memeluk agarna Islam.
  • Dalam sebuah cerita rakyat, Putri Petong sebelum kawin dengan Abu Mansyur Indra Jaya, sudah beberapa kali kawin, akan tetapi jika akan berhubungan badan dengan lelaki, jika tidak lari dari peraduan atau mati. Hal ini disebabkan sari bambu yang melekat pada Putri Petong. Kawinlah dengan Abu Mansyur Indra Jaya yang dapat menyembuhkan penyakit tersebut[2]

Dengan proses pengislaman di wilayah Kerajaan Sadurangas, maka otomatis Kerajaan Sadurangas berubah menjadi kesultanan dengan nama Kesultanan Pasir.

Daerah Paser saat kedatangan Islam, banyak diketahui dari berbagai tulisan, diantaranya berdasarkan kitab yang ditulis Aji Aqub tahun 1350 Hijriyah atau tahun 1920 Masehi yang berjudul "Palayaran mencari raja tanah Paser" Sumber lain dari tulisan A.S Assegaf dengan judul "Sejarah kerajaan Kutai dan Kesultanan Paser" tanpa tahun. Sumber yang lain dapat ditelusuri dari sumber-sumber Belanda, diantaranya oleh S.C Knappert dengan judul "Tijdschrift voor ned Indie 1883" Sedangkan yang memuat legenda Putri Petong ditulis oleh III Nieuwkuyk dalam Versi Reide opstillen ove Boneo, Velome 9 kerajaan Paser juga disinggung dalam tulisan J.Zwager dengan judul "Tijdschrift voor Nederlan Indie. Seri 4, 1866.

Versi Hikayat Banjar

  • Menurut Kakawin Nagarakretagama yang ditulis tahun 1365, Pasir salah satu daerah taklukan Gajah Mada dari Majapahit.
  • Menurut Salasilah Kutai, seorang putera dari Maharaja Sakti bin Aji Batara Agung Paduka Nira menjadi raja muda di Pasir. Putera dari raja muda tersebut yang bernama Aji Pangeran Tumenggung Bayabaya kemudian dilantik menjadi Raja Kutai Kartanegara V menggantikan Raja Kutai Kertanegara IV Aji Raja Mandarsyah.
  • Menurut Hikayat Banjar yang bab terakhirnya ditulis tahun 1663, sejak masa kekuasaan Rahadyan Putra/Raden Suryacipta yang bergelar Maharaja Suryanata (= Raden Aria Gegombak Janggala Rajasa), pangeran dari Majapahit yang menjadi raja ke-2 Negara Dipa (= Banjar kuno) pada zaman Hindu, orang besar (penguasa) Pasir sudah menjadi taklukannya. Pasir dalam Hikayat Banjar disebutkan sebagai salah satu tanah yang di atas angin (= negeri di sebelah timur atau utara) yang takluk/menyerahkan upeti kepada Maharaja Suryanata hingga masa Maharaja Sukarama, selanjutnya sampai masa Sultan Suriansyah.[3]
  • 1636, Pasir kembali ditaklukan atas bantuan VOC sesuai Perjanjian 4 September 1635, antara Sultan Banjar dengan VOC.
  • Penguasa/orang besar/adipati Pasir, Aji Tunggul menjadi bawahan Sultan Banjar, Mustainbillah yang berkuasa tahun 1595-1642. Ketika itu keraton Kesultanan Banjar telah dipindahkan dari Banjarmasin ke daerah Batang Banyu karena sebelumnya pada tahun 1612 diserang VOC, tatkala itu Marhum Panembahan (= Mustainbillah) menyuruh Kiai Lurah Cucuk membawa sebuah perahu beserta awak perahu empat puluh orang untuk menjemput Aji Tunggul dengan anak-isteri serta keluarganya. Ketika tiba di keraton Banjar waktu itu berada di daerah Batang Banyu, Aji Ratna puteri Aji Tunggul dinikahkan dengan Dipati Ngganding (adipati Kotawaringin) kemudian memperoleh dua anak, Andin Juluk dan Andin Hayu. Kemudian Andin Juluk menikahi Pangeran Dipati Anta-Kasuma putera Sultan Mustainbillah dengan permaisuri Ratu Agung yaitu yang kelak menjabat adipati/raja Kotawaringin menggantikan Dipati Ngganding. Pasangan Anta-Kasuma dan Andin Juluk ini memperoleh empat anak : Putri Gelang, Raden Tuan, Raden Pamadi dan Raden Nating. Sedangkan Andin Hayu menikahi Pangeran Dipati Tapasena putera Sultan Mustainbillah dari selir orang Jawa, kemudian memperoleh anak Pangeran Aria Wiraraja dan Putri Samut.[3]
  • Perkawinan puteri Aji Tunggul yang lainnya, Sri Sukma Dewi yang bergelar Putri di Dalam Petung dengan Abu Mansyur Indra Jaya (pimpinan ekspedisi agama Islam dari Giri) yang dikaruniai empat orang anak, yaitu
    1. Aji Mas Pati Indra
    2. Aji Putri Mitir,
    3. Aji Mas Anom Indra, dan
    4. Aji Putri Ratna Beranak

Putri di Dalam Petung merupakan gelar anumerta yang berkaitan dengan mitos putra/putri yang keluar dari buluh betung sebagai cikal bakal dinasti raja-raja yang terdapat dalam mitos Melayu.

  • Beberapa tahun kemudian setelah pernikahan Aji Ratna dan Dipati Ngganding, seorang cucu Aji Tunggul yaitu Raden Aria Mandalika (= Aji Mas Pati Indra?) putera dari priyayi dari Giri yang menikah dengan puteri dari Aji Tunggul datang berkunjung ke Kesultanan Banjar ketika keraton berada di Martapura, kemudian Raden Aria Mandalika oleh Sultan Mustainbillah dinikahkan dengan cucunya Putri Limbuk/Dayang Limbuk puteri dari swargi Pangeran Dipati Antasari. Dengan adanya perkawinan ini maka Aji Tunggul tidak lagi diharuskan mengantarkan upeti tiap-tiap tahun seperti zaman dahulu kala, karena upeti tersebut sudah diberikan kepada Putri Limbuk/Dayang Limbuk, kecuali hanya jika ada suruhan dari Marhum Panembahan untuk memintanya atau mengambilnya. Dengan demikian Raden Aria Mandalika menjadi raja muda di Pasir sebagai perwakilan Kesultanan Banjar. Pasangan Aria Mandalika dan Putri Limbuk ini memperoleh anak bernama Raden Kakatang. Setahun setelah kelahiran Raden Kakatang, Sultan Mustainbillah kemudian mangkat.[3] Dengan demikian maka penguasa Pasir kemungkinan masih termasuk trah Sultan Banjar IV Marhum Panembahan, Raja Kutai Kartanegara II Aji Batara Agung Paduka Nira dan bangsawan dari Giri.
  • Kemudian Sultan Mustain Billah menyuruh Kiai Martasura ke Makassar (= Gowa) untuk menjalin hubungan bilateral kedua negara pada masa Karaing Patigaloang (= Raja Tallo' yaitu I Mangadacinna Daeng Sitaba Karaeng Pattingalloang yang menjabat mangkubumi Sultan Malikussaid Raja Gowa 1638-1654), ia meminjam Pasir kepada Marhum Panembahan sebagai tempat berdagang dan bersumpah apabila anak cucunya hendak aniaya dengan negeri Banjar maka akan dibinasakan Allah. Maka diberikan desa namanya Satui, Asam-Asam, Kintap, Swarangan, Banacala, Balang Pasir dan Kutai dan Berau serta Karasikan[3]. Peristiwa pada abad ke-17 ini menunjukkan pengakuan Makassar (Gowa-Tallo) mengenai kekuasaan Kesultanan Banjar terhadap daerah di sepanjang tenggara dan timur pulau Kalimantan. Pada masa itu Sultan Makassar terfokus untuk menaklukkan kerajaan-kerajaan di kawasan timur Nusantara. Tetapi pada abad ke-18 Raja Bugis-Wajo, La Madukelleng menawan daerah Kutai dan Pasir serta berupaya menyerang Banjarmasin.
  • 1765, VOC membantu Sultan Banjar Tamjidullah I untuk menaklukan Pasir kembali untuk memungut upeti.
  • 1787, Pasir sebagai salah satu vazal Banjarmasin yang diserahkan Sultan Banjar Tahmidullah II kepada VOC dalam Traktat 13 Agustus 1787 ketika Banjar [beserta Kalimantan] menjadi tanah yang dipinjam dari VOC atau sebagai daerah protektorat VOC.
  • 1797, Kedaulatan atas Pasir [dan Pulau Laut] diserahkan kembali oleh VOC kepada Sultan Banjar Tahmidullah II. Belanda kemudian digantikan oleh kolonial Inggris.
  • 1817, Pasir diserahkan sebagai daerah pendudukan Hindia Belanda dalam Kontrak Persetujuan Karang Intan I pada 1 Januari 1817 antara Sultan Sulaiman dari Banjar dengan Hindia Belanda diwakili Residen Aernout van Boekholzt. Hal ini terjadi setelah Belanda masuk kembali ke Kalimantan menggantikan Inggris.
  • 1823, Pasir menjadi daerah pendudukan Hindia Belanda dalam Kontrak Persetujuan Karang Intan II pada 13 September 1823 antara Sultan Sulaiman dari Banjar dengan Hindia Belanda diwakili Residen Mr. Tobias.
  • 1826, Pasir ditegaskan kembali menjadi daerah pendudukan Hindia Belanda menurut Perjanjian Sultan Adam al-Watsiq Billah dari Banjar dengan Hindia Belanda yang ditandatangani dalam loji Belanda di Banjarmasin pada tanggal 4 Mei 1826 atau 26 Ramadhan 1241 H.
  • 1906-1918, masa perjuangan rakyat Pasir melawan pemerintahan kolonial Hindia Belanda.
  • Hingga 1959, Wilayah Pasir berstatus kawedanan di dalam wilayah Provinsi Kalimantan Selatan.

Penguasa Pasir

Nama Penguasa Gelar Tahun Berkuasa
Putri Di Dalam Petung 1516-xxxx
Aji Tunggul xxxx–1607
Aji Mas Anom Indra bin Aji Mas Pati Indra 16071644
Aji Anom Singa Amulana bin Aji Mas Anom Indra 16441667
Aji Perdana bin Aji Anom Singa Maulana Penambahan Sulaiman 16671680
Aji Duwo bin Aji Mas Anom Singa Maulana Penambahan Adam 16801705
Aji Geger bin Aji Anom Singa Maulana Sultan Aji Muhammad Alamsyah (Sultan Pasir I) 17031738
Aji Negara bin Sultan Aji Muhammad Alamsyah Sultan Sepuh Alamsyah (Sultan Pasir II) 17381768
Aji Dipati bin Panembahan Adam Sultan Dipati Anom Alamsyah (Sultan Pasir III) 17681799
Aji Panji bin Ratu Agung Sultan Sulaiman Alamsyah (Sultan Pasir IV) 17991811
Aji Sembilan bin Aji Muhammad Alamsyah Sultan Ibrahim Alamsyah 18111815
Aji Karang bin Sultan Sulaiman Alamsyah Mahmud Han Alamsyah 18151843
Aji Adil bin Sultan Sulaiman Alamsyah Sultan Adam Alamsyah 18431853
Aji Tenggara bin Aji Kimas Sultan Sepuh II Alamsyah 18531875
Aji Timur Balam Sultan Abdurahman Alamsyah 18751890
Sultan Muhammad Ali Alamsyah 18801897
Pangeran Nata bin Pangeran Dipati Sulaiman Sultan Sulaiman Alamsyah 18971898
Pangeran Ratu bin Sultan Adam Alamsyah Sultan Ratu Raja Besar Alamsyah 18981900
Pengeran Mangku Jaya Kesuma Sultan Ibrahim Khaliluddin 19001906

Afdeeling Pasir en de Tanah Boemboe

Kesultanan Pasir merupakan salah satu daerah leenplichtige landschappen dalam Afdeeling Pasir en de Tanah Boemboe menurut Staatblaad tahun 1898 no. 178.

Referensi

  1. ^ a b Pemkab Paser - Sejarah Paser
  2. ^ Vr, Cilik Riwut. Kalimantan Membangun alam dan kebudayaan, PT. Tiara Wacana Yogya, cetakan pertama 17 Agustus 1993 halaman 119-120
  3. ^ a b c d (Melayu)Johannes Jacobus Ras, Hikayat Banjar diterjemahkan oleh Siti Hawa Salleh, Percetakan Dewan Bahasa dan Pustaka, Lot 1037, Mukim Perindustrian PKNS - Ampang/Hulu Kelang - Selangor Darul Ehsan, Malaysia 1990.

Pranala luar