Sukanto Tanoto
Sukanto Tanoto (lahir dengan nama Tan Kang Hoo di Belawan pada 25 Desember 1949) adalah seorang pengusaha asal Indonesia. Ia adalah CEO Raja Garuda Mas, sebuah perusahaan yang berkantor pusat di Singapura dengan usaha di berbagai bidang, terutamanya kertas dan kelapa sawit. Tanoto dinyatakan sebagai orang terkaya di Indonesia oleh majalah Forbes pada September 2006.
Sukanto Tanoto lahir di Belawan, Sumatra Utara, 25 Desember 1949. Binsisnya dijalankan lewat bendera Raja Garuda Mas (RGM) International, yang berbasis di Singapura dan memiliki unit bisnis dari Indonesia hingga ke Cina, Eropa, dan Amerika Selatan.
Ada dua RGM yang dikuasai Sukanto. Pertama, RGM Indonesia yang berbasis di Jakarta, dan (kedua) RGM International yang di Singapura itu tadi. Perusahaan terakhir inilah yang menjadi semacam payung bagi semua usaha Sukanto yang tersebar di hampir seluruh pelosok dunia.
Sukanto--yang juga pemilik sebagian saham Beckett Ltd--berurusan dengan Deutsche Bank seputar 40% saham PT Adaro Indonesia--tambang batu bara terbesar di dunia yang terletak di Kalimantan. Beckett menilai penjualan 40% saham Adaro oleh Deutsche Bank kepada PT Dianlia Setyamukti (milik pengusaha Edwin Suryadjaja, Sandi Uno, dan Boy Tohir) tidak sah. Beckett adalah pemilik lama 40% saham Adaro tadi.
Lantas, lebih jauh ke belakang, sejak negeri ini ditimpa krisis ekonomi pada tahun 1997, kisah tentang Sukanto juga kerap terdengar. Pabrik pulp dan rayon miliknya, PT Inti Indorayon Utama, di Porsea, Sumatra Utara, sempat didera aksi massa gara-gara perusahaan itu dituding melakukan pencemaran lingkungan. Aksi tersebut bahkan pernah sampai “berdarah-darah”.
Indorayon adalah perusahaan yang pernah menjadi andalan kelompok RGM. Perusahaan ini bergerak di bidang reforestation. Selain menghasilkan pulp, kertas, dan rayon, Indorayon juga mampu memasok bibit unggul pohon penghasil pulp di dalam negeri. Perjalanan perusahaan ini sungguh berliku-liku. Selain ditengarai sangat mencemari lingkungan, Indorayon disebut-sebut juga limbung karena serbuan pesaingnya dari Negeri Matahari Terbit--yang menyerang dengan jurus politik dagang tingkat dunia.
Setelah muncul banyak korban, Indorayon pun ditutup. Tapi, itu bukan akhir segalanya. Belakangan, Indorayon berganti nama menjadi PT Toba Pulp Lestari. Pada tahun 2003, Toba Pulp beroperasi kembali. Namun, berbeda dengan Indorayon dulu, perusahaan ini tak lagi memproduksi rayon--sehingga tak harus berhadapan dengan rivalnya yang dari Jepang itu. Kini, Toba Pulp bahkan sudah mencoba untuk kembali ke lantai bursa. Perusahaan itu semakin memperkuat bisnis pulp dan kertas Sukanto di dalam negeri. Beberapa ratus kilometer dari lokasi Toba Pulp, Sukanto juga memiliki pabrik pulp terbesar di dunia, PT Riau Pulp.
Beroperasinya Toba Pulp--yang sempat ditentang banyak kalangan--memperlihatkan kelihaian Sukanto. Kelihaian itu juga terlihat ketika Unibank terkapar gara-gara sulit menagih kredit yang tersebar di kelompok RGM sendiri. Sebelum terjadi krisis, Unibank adalah pilar terpenting dalam bisnis finansial Sukanto. Tadinya, bank ini bernama United City Bank. Pada medio 1980-an, United City mengalami kesulitan keuangan. Sukanto kemudian mengambil alih mayoritas sahamnya dan membuatnya bangkit dengan nama Unibank. Selain Unibank, Sukanto juga memiliki bisnis keuangan yang lain, seperti perusahaan asuransi PT Eka Lloyd Jaya dan PT Pacific Money Changer.
Di awal tahun 2000-an, kondisi Unibank sudah sangat parah. Kredit macetnya menumpuk dan rasio kecukupan modalnya anjlok. Tak ayal, rush (penarikan dana besar-besaran) pun terjadi. Tapi, sebelumnya Sukanto sudah berbuat banyak. Sahamnya yang sempat mayoritas kemudian dibuat kempis sehingga kurang dari 5%. Bahkan, menjelang dilikuidasinya Unibank, tak ada lagi satu pun pihak yang menjadi pemilik saham mayoritas di bank itu. Pemegang saham terbesar adalah masyarakat, senilai 5,64%. Alhasil tak ada satu orang pun yang bisa diminta untuk bertanggung jawab atas parahnya kondisi Unibank. Sukanto tak perlu keluar banyak duit. Jadilah Unibank satu-satunya bank yang ditutup tanpa perjanjian penyelesaian kewajiban pemegang saham.
Tapi, masalah keuangan Sukanto di saat krisis bukan hanya terjadi di Unibank. Pernah juga ia terbebani urusan kredit macet RGM kepada sejumlah lembaga keuangan pelat merah. Nilai kredit macet itu mencapai US$ 1,3 miliar (sekitar Rp 12 triliun). Kebanyakan, kredit macet itu berada di tiga unit usaha RGM, yakni Riau Andalan Pulp and Paper, Riau Andalan Kertas, dan Riau Energi Prima.
RGM waktu itu berutang kepada BPPN (Badan Penyehatan Perbankan Nasional) senilai US$ 260 juta, kepada Bank Mandiri sebesar US$ 610 juta, dan kepada Bank Negara Indonesia (BNI) sekitar US$ 350 juta. Tapi, taipan ini langsung melakukan pendekatan. Dan hasilnya tak sia-sia, lagi-lagi ia tak perlu keluar banyak duit. Sukanto mendapat keringanan pembebasan bunga dari BPPN senilai US$ 165 juta selama 18 bulan. Lalu, ia juga mendapat keringanan untuk menunda pembayaran cicilan pokok hingga tahun 2006. Di BNI, Sukanto bisa membayar utangnya sesuai agenda restrukturisasi. Sementara, di Bank Mandiri sebagian utang RGM berhasil dihapusbukukan.
Padahal, waktu itu Sukanto tidak sedang miskin. Ia masih memiliki sejumlah perusahaan di luar negeri. Salah satunya adalah APRIL (Asia Pacific Resources International), yang membawahi pabrik-pabrik pulp and paper RGM International di seluruh dunia (termasuk yang di Indonesia). APRIL bahkan sudah tercatat di Wall Street sana.
Di bawah APRIL, perusahaan Sukanto lainnya beroperasi di banyak negara. Ada Sateri International, misalnya, yang bergerak di Finlandia, Brasil, dan Cina. Di Cina, Jiangxi Sateri Fiber Co. Ltd. melakukan investasi senilai US$ 215 juta dan telah memulai produksinya pada tahun 2004. Di Brasil, Sateri mengakuisisi perusahaan lokal, Bahia Pulp, senilai US$ 112 juta pada tahun 2003. Setahun kemudian, Sateri mengumumkan bahwa Bahia sudah bisa melonjakkan produksinya dari 120 ribu ton menjadi 360 ribu ton per tahun.
Bisnis Sukanto juga ada di sektor energi dan bernaung di bawah bendera Pacific Oil & Gas (PO&G). Perusahaan ini telah meneken perjanjian pembangunan pembangkit listrik di Fujian dengan nilai investasi US$ 350 juta. Di Indonesia, PO&G juga punya banyak usaha. Perusahaan ini telah menanamkan investasinya dengan mengambil alih 25% saham di Blok Jambi Merang (JM). Kini, Blok Jambi sedang bersiap meningkatkan produksi gas hingga 120 juta kaki kubik per hari. Investasi untuk pengembangan blok itu sekitar US$ 300 juta.
Belakangan, perusahaan ini akan meningkatkan investasinya di kegiatan usaha hulu seperti kilang gas alam cair dan pembangkit listrik. PO&G rupanya telah memperoleh izin prinsip dari pemerintah Indonesia untuk membangun kilang gas alam cair di Kalimantan dengan kapasitas awal 5 juta ton per tahun. Proyek ini bukan hanya untuk pasar ekspor, tapi juga pasar domestik di Pulau Jawa. Selain itu, PO&G juga berniat membangun pembangkit listrik berbahan bakar gas untuk mengantisipasi meningkatnya permintaan listrik di masa depan dan perubahan konsumsi BBM dengan bahan bakar gas.
Kalau proyek itu berjalan, PO&G tidak perlu jauh-jauh mencari kontraktor untuk membangun kilang dan pembangkit listrik tadi. Sebab, di lingkungan RGM ada PEC-Tech, sebuah perusahaan konstruksi dan layanan procurement yang biasa melakoni bisnis konstruksi dan pembangunan infrastruktur skala besar. PEC-Tech memang merupakan sayap penting dari usaha si Raja Garuda yang semakin menggurita belakangan ini.
Sayap bisnis lain dari sang Raja Garuda adalah hamparan kebun-kebun sawit RGM di seluruh pelosok negeri. Bahkan belakangan, Sukanto melebarkan hamparan kebunnya ke luar negeri dengan ikut memiliki perkebunan kelapa sawit National Development Corporation Guthrie di Mindanao, Filipina.
Selesai? Belum. Soalnya, masih ada sejumlah bisnis lain Sukanto yang juga tak boleh dipandang sebelah mata. Pria ini memang pebisnis sejati dengan pengalaman mumpuni. Sukanto memulai usahanya sejak usia 18 tahun. Ketika itu, ayahnya terserang stroke. Ia meneruskan usaha ayahnya berjualan minyak, bensin, dan peralatan mobil di Belawan. Naluri bisnis Sukanto kemudian membawanya ke Medan. Kota ini menjadi sangat penting bagi Sukanto. Di sanalah ia merambah bidang properti dengan membangun Uni Plaza dan Thamrin Plaza.
Awalnya, Sukanto ke Medan untuk berdagang spare part mobil. Tapi kemudian, ia banting setir menjadi general contractor & supplier Pertamina. Gara-garanya, ada seorang pejabat Pertamina dari Aceh yang menawarinya pekerjaan sebagai kontraktor. Ia pun lalu membangun rumah, memasang AC, pipa, traktor, dan membuat lapangan golf untuk kepentingan karyawan Pertamina di Pangkalan Brandan, Sumatra Utara.
Menjadi kontraktor membuatnya lebih kaya. Suatu ketika, ketika kayu lapis dari Singapura menghilang di pasaran, ia sadar akan pentingnya bahan bangunan yang satu itu. Sukanto kemudian mendirikan perusahaan kayu, CV Karya Pelita, pada 1972 di Medan. Tadinya, perusahaan itu hanya menjadi importir belaka. Belakangan, Sukanto merintis usaha produksi kayu lapis bermerek Polyplex. Pada tahun 1973, Sukanto mengubah nama perusahaannya menjadi PT Raja Garuda Mas (RGM). Polyplex lalu diimpor ke banyak negara.
Tripleks bermerek Polyplex itulah yang merupakan awal buat Sukanto untuk tampil menjadi salah satu konglomerat besar di Indonesia. Tapi, semakin besar pundi-pundinya, semakin kencang pula masalah menerpanya.
Sumber: Majalah TRUST
Pranala luar
- (Indonesia) Profil di Tokoh Indonesia