Jamiat Kheir
artikel ini perlu dirapikan agar memenuhi standar Wikipedia. |
Jamiat Kheir adalah lembaga swasta yang bergerak dalam bidang pendidikan dan berperan penting dalam sejarah perjuangan Indonesia. Berpusat di jalan KH Mas Mansyur 17, Tanah Abang, Jakarta Pusat.
Jamiatul Kheir, Kebangsaan dan Keagamaan Oleh Alwi Shihab (Wartawan Senior Republika)
Mendatangi Pekojan berdekatan dengan China Town di Glodok, Jakarta Barat, saya mendapati makin menciutnya jumlah keturunan Arab di kampung ini. Padahal, sejak abad ke-19, pemerintah colonial menjadikan Pekojan sebagai kampung Arab. Bila pada awal 1950-an, sekitar 90 persen penghuninya adalah warga Arab, keadaannya kini berbalik. Mereka tinggal 10 persen bahkan kemungkinan terus berkurang. Selebihnya, sebagian besar warga Cina. Meski begitu, peninggalan-peninggalannya masih bisa kita jumpai seperti masjid dan gedung-gedung tua bergaya Moor. Kita juga masih menapati rumah bekas tempat tinggal Kapiten Arab. Sejarawan Sagimun MD dalam buku Jakarta dari Tepian Air ke Kota Proklamasi menyebutkan, di Pekojan pada 1901 berdiri organisasi dan perkumpulan Jamiatul Kheir. Perkumpulan ini kemudian melahirkan tokoh-tokoh dan pemimpin-pemimpin pergerakan Islam yang terkenal seperti KH Ahmad Dahlan (Muhamadiyah), HOS Tjokroaminoto (Sarikat Islam), dan H Agus Salim. Melalui Jamiatul Kheir , para pemimpin gerakan Islam ini punya hubungan yang luas dengan Negara-negara Islam terkenal maju seperti Mesir dan Turki. Mereka membaca majalah-majalah dan surat-surat kabar yang membangkitkan semangat kebangsaan dan kemerdekaan pada rakyat Indonesia. Dalam buku yang diterbitkan Dinas Museum dan Sejarah Pemda DKI terbitan 1988, Sagimun M.D. menyebutkan, Jamiatul Kheir dianggap berbahaya oleh permerintah colonial Belanda karena pengaruhnya dapat membangkitkan semangat kebangsaan dan semangat jihad fisabilillah di kalangan kaum Muslimin Indonesia. Tak heran kalau pemerintah colonial mengawasi dengan ketat perkumpulan ini. Sengaja menunda-nunda permohonan pengesahannya dan baru diberikan 1905 dengan catatan: ‘Tidak boleh membuka cabang di luar kota Batavia’. Meski kenyataannya perkumpulan ini membuka pendidikan di berbagai daerah dengan nama lain. Keberadaan Jamiatul Kheir merupakan wujud perlawanan terhadap pendidikan di sekolah-sekolah Belanda yang tidak dapat dipisahkan dengan Kristenisasi.
Pendiri Jamiatul Kheir
Keberadaan Jamiatul Kheir tidak dapat dipisahkan dari pendirinya seorang wartawan Sayid Ali Bin Ahmad Shahab kelahiran Pekojan pada 1282 Hijriah. Dalam usia 29 tahun, dia mengadakan lawatan ke Turki dan Mesir, diteruskan ibadah haji. Di kedua Negara Islam ini, terutama ketika berada di Turki, hatinya tergerak melihat sistem pendidikan di Kerajaan Ottoman. Pada murid sudah duduk di bangku dan mereka memakai celana. Padahal kala itu, siswa-siswa di sekolah Islam duduk di lantai dan masih memakai kain. Ketika 1905 (1323 H) Belanda memberikan izin berdirinya Jamiatul Kheir, maka pada 17 Juli 1905, sayid Ali bin Ahmad Shahab menjadi ketua umumnya. Sebagai perlawanan terhadap penjajah, salah satu kurikulum di Jamiatul Kheir tidak diajarkan bahasa Belanda, tapi Inggris. Pada 1912, Jamiatul Kheir turut ambil bagian dalam membantu para pejuang Libya melawan penjajah Itali di bawah pimpinan Omar Mochtar. Jamiat Kheir turut aktif dalam aksi boikot produk Italia di Indonesia. Solichin Salam, penulis Ali Ahmad Shahab Pejuang yang Terlupakan, menuturkan Sayid Ali Ahmad Shahab pernah mengusahakan melalui Sultan Abdul Hamid dari Turkin dan Imam Yahya dari Yaman untuk memasukkan senjata ke Indonesia, guna membantu perjuangan rakyat melawan Belanda. Di samping itu, dia juga ikut memberi dukungan bagi diadakannya suatu pemberontakan di Hadramaut (kini bagian dari Yaman) melawan Inggris. Di samping menjadi koresponden Al Muayyad di Kairo, Mesir dan koresponden Samarat al Funun di kota yang sama, tulisannya juga sering dimuat dalam surat kabar Utusan Hindia.
Pan Islamisme Keberadaan Jamiatul Kheir tentu saja membuat Belanda geram. Dengan terang-terangan orientalis Belanda, Snouck Horgronye, menurut Mr Hamid Algadri, meminta agar pemerintah waspada terhadap Ali bin Ahmad Shahab, yang dituduh sebagai salah satu tokoh penggeraknya. Sedangkan, menurut Solichin Salam, karena tulisan-tulisannya di berbagai surat kabar dan hubungannya dengan Konsul Turki dan Jepang di Jakarta, dia pun dicurigai dan dituduh terlibat dalam pemberontakan melawan Belanda. Alhasil, ia sering diinterogasi dan ditahan. Itulah sebabnya pemerintah kolonial bertindak dan mengadakan konspirasi, sehingga seluruh harta bendanya berupa tanah maupun gedung di daerah Jakarta (seperti di kawasan Imam Bonjol, Menteng sampai Setiabudi dan Kebon Melati seluas dua ribu hektare) diambil dengan dijual paksa melalui kasirnya seorang Armenia, yang menjadi kaki tangan Belanda. Robert van Niel dalam The Emergence of the Modern Indonesian Elite berpendapat bahwa Jamiatul Kheir adalah organisasi politik yang berjubah pendidikan dan sosial keagamaan. Dan banyak anggota Syarikat Islam pada saat itu menjadi anggotanya. Dalam hubungannya untuk mengadakan pembaruan dan reformasi terutama dalam bidang pendidikan. Ali Ahmad Shahab telah memasukkan guru-guru modernis pengikut Sayid Jamaluddin Al-Afghani ke Indonesia. Di antaranya Al Hasyimi yang didatangkan dari Tunisia, Sheikh Ahmad Syurkati dari Sudan. Pendiri Jamiatul Kheir yang meninggal di Jakarta Juli 1945 itu boleh dikata berhasil dalam mendidik putra-putrinya. Seperti Muhammad Anis menjadi redaktur suratkabar berbahasa Arab Hadramaut di Surabaya; M Dyza Shahab, Kepala Jamiat Kheir (1936-1945), wartawan Ar-Rafik di Timur Tengah (1947), Kepala Bagian Kebudayaan Rabitah Alam Islami (Kongres Islam Sedunia) di Makkah dan Bersama KH Abdullah bin Nuh, pengarang Masuknya Islam di Indonesia. adiknya, M. Asad Shahab, pada masa revolusi mendirikan Arabian Pers Board dan menyiarkan berita-berita terevolusi Indonesia di Timur Tengah. Putranya AH Shahab menjadi kolumnis di berbagai media di Tanah Air dan Timur Tengah.
Sumber: Nostalgia Republika, Ahad 5 September 2010
Disunting oleh Lina Adlina Sahabudin. Disunting sesuai aslinya.