Mangkunegara II

Adipati dari Mangkunagaran (1796-1835)

Mangkunegara II adalah raja di Mangkunegaran yang melanjutkan tahta pendahulunya Pangeran Sambernyawa.Pemerintahannya berlangsung selama lebih kurang 40 tahun (1796-1835).Mangkunegara II merupakan keturunan langsung dari Mangkunegara I sebab ayahnya Pangeran Hario Prabuwijaya adalah putra Mangkunegara I.

Asal Usul Mangkunegara II

Mangkunegara II berasal dari keluarga Prabuwijaya yang lahir dari Ratu Alit.Dalam diri Mangkunegara II mengalir darah Paku Buwono III dan Mangkunegara I. Tampil sebagai raja Mangkunegaran menggantikan kakeknya yang wafat tahun 1795.Tampilnya Mangkunegara II menggantikan Mangkunegara I merupakan catatan yang menarik berhubung suksesi di Istana Pangeran Sambernyawa berbeda dengan dua Kerajaan lainnya. Perbedaan ini segera tampak dalam sistem pergantian dan masa pemerintahannya.

Mangkunegara II berasal dari Dinasti pejuang yang kental sekali dengan warna kemiliteran sehingga dalam hal suksesi pergantian pimpinan Istana, selain telah dipersiapkan seorang calon juga mewarisi tradisi cita cita dari pendahulunya untuk diwujudkan dalam masa masa pemerintahan penerusnya. Tradisi dan adat Jawa yang tidak membedakan laki laki dan wanita dalam mengurus negara terbukti dengan keberadaan pasukan tempur wanita sejak perjuangan pendahulunya Pangeran Sambernyawa.Dalam masa pemerintahannya pula calon penerus sudah tampak dipersiapkan dan jalur wanita bukan persoalan yang menghambat.

Mangkunegara II merupakan seorang penguasa di wilayah Kadipaten Mangkunegaran yang selama masa pemerintahannya disibukan oleh perang dan perluasan wilayah sehingga dibandingkan dengan Mangkunegara yang lainnya penguasa kedua Mangkunegaran ini bisa dikatakan tidak menghasilkan karya seni dibidang seni tari.

Pada masa muda dalam asuhan kakeknya Mangkunegara I persiapan untuk menjadi pengganti kakeknya telah dialihkan dari ayahnya Pangeran Hario Prabuwijaya kepada dirinya dalam suasana situasi antar kekuasaan di Jawa sedang dalam ketidak ramahan.penentuan tapal batas wilayaj kekuasaan dengan tetangga tidak jarang menimbulkan ketegangan ketegangan baru yang berujung pada perang terbuka.Mulai dari pengalaman pengalaman masa mudanya dalam asuhan langsung kakeknya ini, Mangkunegara II selanjutnya tumbuh menjadi seorang pemimpin yang dalam kepemimpinannya mengikuti jejak kakeknya yang legendaris Pangeran Sambernyawa.

Rivalitas antar kekuasaan yang sering dikipas kipas oleh Belanda demi mempertahankan neraca keseimbangan perpolitikan antar kerajaan pada masa masa sebelum pembubaran VOC sering dipertahankan karena Belanda sedang menyadari bahwa kekuatan pemaksa militernya adalah lemah.

Belanda yang dalam kondisi lemah militer tidak jarang terjebak dalam situasi rumit dengan pematangan intrik dan desas desus yang memanaskan situasi sehingga dalam keadaan semacam ini adalah merupakan suatu keadaan super ideal bagi Mangkunegara untuk bermain di air yang keruh.

Pemerintahan Mangkunegara II

Mangkunegara II adalah sebutan untuk Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Ario Mangkunegara II Raja di Praja Mangkunegaran. Dalam penulisan sejarah sering hanya disebut dengan nama Mangkunegara II tetapi secara jelas tetap menunjukan sebagai yang dimaksud Raja Mangkunegaran.Semasa mudanya bernama RM.Sulomo kemudian dewasa bergelar Pangeran Surya Mataram dan Pangeran Surya Mangkubumi. Mangkunegara II lahir dari pasangan Ratu Alit dan Pangeran Hario Prabuwijaya.Dari pihak ibu adalah cucu dari Paku buwono III sedang dari pihak ayahnya adalah cucu dari Mangkunegara I yang terkenal dengan gelar Pangeran Sambernyawa. Ratu Alit adalah putri Paku buwono III sedang Pangeran Hario Prabuwijaya adalah putra Mangkunegara I. Pemerintahan Mangkunegara II berlangsung dari tahun 1796 sampai 1835.

Nama Pangeran Surya Mataram sempat membuat panik Belanda disebabkan nama itu memuat unsur keagungan yang dapat memancing kekeruhan stabilitas tiga kerajaan; Kasultanan-Kasunanan-Mangkunegaran.Pergantian nama dan gelar Pangeran Surya Mataram menjadi Pangeran Surya Mangkubumi membuat peralihan dari kepanikan Belanda menjadi mengundang kemarahan Sultan Hamengku buwono I. Belanda perlu khawatir karena nama Pangeran Surya Mataram belum pernah ada waktu itu dan terasa betul unsur unsur keagungan nya yang bakal mengundang rasa curiga bagi pihak Keraton/Kerajaan yang lain.Rasa curiga bagi pihak lain mengundang ancaman perselisihan dan perang terbuka yang akan menyeret kembali Belanda kedalam peperangan.Belanda tidak ingin mengulang kembali keterlibatannya dalam perselisihan dan perang yang berlarut larut.Sultan Hamengku Buwono I mengajukan protes lewat patihnya karena nama Mangkubumi adalah nama untuk dirinya sebagai anggota tertua yang masih hidup dalam dinasti Mataram.

Pada masa Mangkunegara I penggunaan nama selalu mengundang faktor kecurigaan dan sensitif yang tinggi karena nama memuat sejumlah harapan dan cita cita yang dapat menjadi claim bagi hegemoni dan pelebaran kekuasaan.Pemerintahan Mangkunegara II sarat dengan percaturan kekuasaan dan Mangkunegaran cenderung aktif dan ekspansif keluar Istana.Pemerintahannya yang berakhir sampai 1835 mengindikasikan bahwa Mangkunegara II terampil dan lihay dalam memainkan peran Kerajaan berhadapan dengan kekuasaan Kolonial dan Kekuasaan dua Kerajaan yang lain di Jawa ini. Mangkunegaran telah berhasil membaca tanda tanda jaman.Tiga Serangkai Penguasa kelajutan Dinasti Mataram teruji oleh jaman dalam mempertahankan dan mengembangkan eksistensi Kerajaannya.

Perluasan wilayah kerajaan

Dalam pemerintahan Mangkunegara II daerah Mangkunegaran mengalami perluasan wilayah dari 4.000 cacah menjadi 5.500 cacah.Penambahan perluasan ini diperoleh semasa Raffless menjabat Gubernur Jenderal di Hindia Belanda.Pada jaman Daendels sebelum Raffless kedudukan Mangkunegara sebagai Pangeran Miji ditingkatkan menjadi Pangeran pinisepuh/yang dituakan .Pada tahun 1808 Legiun Mangkunegaran dibentuk dan dibangun.Legiun ini berkekuatan 1.150 personil dan dipersenjatai untuk memperkuat kedudukan dan posisi Mangkunegaran.Pertambahan luas wilayah Mangkunegaran diikuti juga dengan penambahan jumlah personil Legiun menjadi 1.500 orang.Pembentukan dan pembangunan Legiun menggunakan dana upeti Belanda ke Mangkunegaran dan sebagai Komandan pertama adalah Mangkunegara II.Praja Mangkunegaran dalam tata praja terdiri dari daerah daerah yang meliputi; Daerah Malangjiwan, Daerah Wonogiri dan Daerah Karanganyar. Masing masing daerah dipimpin oleh seorang Wedana Gunung.

Legiun Mangkunegaran mengangkat prestise Mangkunegaran ditingkat percaturan politik yang lebih mandiri.Kekuatan untuk memaksakan kehendak dalam politik bukan sekadar tanpa tindakan melainkan alat untuk memaksakan kehendak terhadap pihak lain sudah dipersiapkan.Pembangunan Korp Legiun Mangkunegaran dilengkapi dengan pendidikan kemiliteran yang disebut sebagai Sekolah Kadet Legiun Mangkunegaran.Komandan Legiun Mangkunegaran adalah Mangkunegara yang sedang bertahta dengan pangkat kemiliteran Kolonel. Dalam Korp Legiun ini terdapat Pasukan Infantri, Kavaleri dan Artileri. Dengan Legiun Mangkunegaran maka Praja Mangkunegaran menjadi satu satunya Istana dimana tradisi tradisi militer bangsawan Jawa tetap hidup meski berhadapan dengan kekuasaan kolonial. Dengan korp Militernya Mangkunegaran tampil aktif dan lebih terbuka terhadap ide ide baru.

Penggunaan kata "Legiun" dalam Korp kemiliteran Mangkunegaran merupakan serapan ide baru dalam hubungannya dengan Perancis melalui Daendels yang menjabat Gubernur Jenderal di Hindia Belanda. Seperti Korp Elite Militer Perancis sekarang Legiun Asing yang menyatukan anggotanya dengan bahasa Perancis, demikian juga Legiun Mangkunegaran anggotanya dipersyaratkan menguasai bahasa Belanda dan bahasa Melayu.Penggunaan bahasa Melayu di Korp militer Mangkunegaran menjadi catatan tersendiri untuk Mangkunegaran dalam sumbangsihnya untuk kepentingan Nasional Indonesia, karena bahasa Melayu kemudian ditetapkan menjadi bahasa Nasional Indonesia.Mangkunegaran telah memberikan kontribusi awal jauh sebelum Bangsa Indonesia Merdeka lewat tradisi berbahasa Indonesia yang kala itu disebut sebagai bahasa Melayu.Sebagai syarat bahasa Melayu adalah wajib yang harus dikuasai oleh anggota Legiun disamping bahasa Belanda.

Menengahi Konflik Di Yogyakarta

1. Situasi Kekuasaan Jawa Permulaan Tahun 1800 M

Pemerintahan Mangkunegara II mengalami kesuksesan dalam meredam konflik di Yogyakarta serta membentuk pemerintahan baru di Yogyakarta yakni Kadipaten Paku Alaman dengan wilayah yang diambil dari Kasultanan.Sebagai Adipati yang pertama di Kadipaten yang baru ini Pangeran Natakusuma diangkat sebagai Paku Alam I dengan gelar Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Arya.Tanggal 13 Maret 1813 merupakan awal dan hari jadi Kadipaten.

Pada masa Mangkunegara II, di Yogyakarta yang bertahta adalah Hamengku Buwono II.Sultan Yogyakarta ke dua ini dalam pemerintahannya mengalami intrik dan rongrongan kekuasaan dari kerabat dan saudaranya sehingga jalannya pemerintahan Kasultanan mengalami pasang surut dan penuh dengan ketegangan dan muatan konflik yang berakibat melemahnya pemerintahan.Yogyakarta kurang siap dalam membaca perubahan abad yang menyangkut kekuatan asing/Eropa di Pulau Jawa yang berbeda dengan VOC-Belanda.Terhadap penguasa penguasa Jawa penampilan Belanda mampu memainkan peran sebagai kekuatan taklukan yang berkuasa.Belanda melayani penguasa penguasa Jawa sebagai suatu strategi tujuan untuk mendapatkan yang diinginkan.

Tahun 1807 Daendels datang ke Jawa dan membenahi admnistratif Jawa dan Nusantara dengan aturan aturan baru semacam protocular kepada penguasa penguasa setempat termasuk para raja di Jawa.Pabu Buwono IV dari Surakarta yang tadinya menolak cepat membaca situasi dan menerimanya.Mangkunegaran yang terampil dan cepat membaca perubahan jaman dengan segera merespon dan menjalin kemitraan dengan pembentukan Angkatan Bersenjata Kerajaan. Yogyakarta agak terlambat dalam membaca perubahan sehingga menerima resiko kemerosotan Kerajaan.

2. Kekuatan Eropa di Jawa

Berbeda dengan Belanda, kekuatan Eropa yang datang di tahun 1800 an itu memiliki militer sebagai kekuatan pemaksa terhadap pembangkangan.Sama sama dari Eropa, kekuatan Eropa yang datang adalah kekuatan Revolusioner yang selalu siap berlaga-tempur.Di Kraton Yogyakarta situasinya terpecah pecah dalam kelompok kekuatan yang saling menjatuhkan satu dengan yang lainnya.Ada kelompok Natakusuma dengan anaknya Natadiningrat disamping juga kelompok Putra Mahkota (calon Hamengku Buwono III) dengan Kapiten Cina wilayah Yogyakarta yakni Tan Jiem Sing (kelak bergelar Tumenggung Secadiningrat).Satu lagi adalah kelompok Patih Danurejo yang karena jabatannya merupakan kompromi antara Sultan dengan Gubernur Belanda maka mengharuskan seorang patih melayani dua kepentingan penguasa; Kasultanan dan Gubernur Belanda.

Konflik antar kelompok itu mengundang pemerintah di Batavia turun ke daerah dengan bala tentara nya.

3. Intervensi Eropa di Jawa

Dalam dua periode Gubernur Jenderal (Daendels dan Raffles), Yogyakarta ditekan dengan kekuatan militer untuk memaksa Hamengku Buwono II turun tahta.Di bulan Desember tahun 1810 Daendels dengan pasukan 4.200 tentara menyerbu Yogyakarta.Daendels menurunkan Hamengku Buwono II kemudian mengangkat putera Mahkota Yogyakarta sebagai Hamengku Buwono III dan kembali ke Batavia dengan membawa Pangeran Natakusuma sebagai tawanan.Pada bulan Juli 1812 gantian Raffles dengan 2.000 tentara menyerbu Yogyakarta.Dalam waktu yang bersamaan Tentara Gurkha-Sepehi yang datang ke Jawa bersama Inggris terlibat rencana pemberontakan terhadap kekuasaan Inggris karena beredar desas desus bahwa mereka akan dijual ke Belanda dan ditinggalkan Inggris sehingga untuk memperbesar jumlah pasukan menekan Yogyakarta maka Raffles mengkontak Pangeran Prangwadana dari Mangkunegaran untuk mengerahkan Legiun Mangkunegaran]] memback up pasukan Natakusuma.

Kekuatan Eropa yang datang ke Jawa adalah kekuatan yang memiliki kemampuan untuk memaksa karena dilengkapi dengan pasukan tempur yang sangat memadai.Terhadap yang mementang maka kekuatan ini tidak segan segan untuk bertindak keras bahkan kalau perlu membubarkan kekuasaan dan penguasa tradisional di Jawa.Korban pertama dengan datangnya Daendels ke Jawa adalah Banten. Oleh Daendels Kasultanan [Banten dibubarkan.

4. Destabilisasi Kraton Yogyakarta

Pada masa Raffles memerintah Jawa menggantikan Janssens, Kasultanan Yogyakarta terancam dibubarkan.Campur tangan Mangkunegaran dengan Legiun Mangkunegaran berhasil mencegah pembubaran Kasultanan dengan penyelesaian berdirinya Kadipaten Paku Alaman. Solusi berdirinya Kadipaten di Yogyakarta ini adalah kompromi untuk mencegah munculnya satu kerajaan dengan dua penguasa.

Kompromi adalah solusi yang tepat karena tidak ada ketepatan untuk menyingkirkan Hamengku Buwono III dan menggantinya dengan Pangeran Natakusuma dan juga tidak ada ketepatan mempertahankan Hamengku Buwono III dengan menyingkirkan Pangeran Natakusuma. Contoh dari masa lalu yang berhasil untuk meredakan konflik yang berlarut adalah pembagian kekuasaan. 17 Maret 1813 Yogyakarta dibelah menjadi dua kekuasaan. Bersamaan dengan pembelahan itu (masih jaman Raffles Mangkunegaran mendapat tambahan wilayah masuk dalam kekuasaannya.

5. Kompromi Kekuasaan di Yogyakarta

Konflik kekuasaan di Yogyakarta berakhir dengan dilantiknya Pangeran Natakusuma sebagai Paku Alam yang dihadiri oleh Mangkunegara II dalam acara pelantikan tetapi ini baru awal dari peran Paku Alaman dalam peta konflik di Yogyakarta.Purna sudah pembagian Mataram kedalam dua keraton dan dua kadipaten.

Referensi

  • Peter carey : The Power of Prophecy PrinceDipanagara and The End of An Old Older in Java 1785-1855,
  • MC.Ricklefs; Jogjakarta Under Sultan Mangkubumi
  • MC. Ricklefs. 1991. Sejarah Indonesia Modern (terj.). Yogyakarta: Gadjah Mada University Press
  • Djumadi, Thojip,Majalah SENANG, Jakarta; 7 Maret 1982
  • Susilantini,Endah.,Mumfangati,Titi.,Suyami., Konsep Sentral Kepengarangan KGPAA.Mangkunegara IV,Proyek Pengkajian dan Pembinaan Nilai-Nilai Budaya Pusat, Direktorat Sejarah dan Nilai Tradisional, Direktorat Jenderal Kebudayaan.
  • Moedjanto, G., 1987. Konsep Kekuasaan Jawa: Penerapannya oleh Raja-raja Mataram. Yogyakarta: Kanisius
  • Purwadi. 2007. Sejarah Raja-Raja Jawa. Yogyakarta: Media Ilmu
  • Soekanto, Dr., Sekitar Jogjakarta 1755-1825 (Perjanjian Giyanti-Perang Dipanegara),Djakarta: Mahabarata-Amsterdam, 1952.