Kerajaan Larantuka
Pendiri Kerajaan Larantuka
Menurut berbagai cerita rakyat, pendiri Kerajaan Larantuka adalah seorang tokoh ‘pendatang’ dari Sina Jawa bernama Pati Golo Arakiang (seringkali tokoh ini dihubung-hubungkan dengan mitos tentang Majapahit. Misalnya: Nama ‘Pati’ dan ‘Arakiang’ disejajarkan dengan gelar ‘Patih’ dan Rakryan’ dari kerajaan Majapahit). Pati Golo Arakiang memperoleh kekuasaan sebagai raja Larantuka berkat perkawinannya dengan tokoh legendaris dan mitobogis setempat yakni Wato Wele Oa Dona. Seperti dinyatakan di atas, Wato Wele yang bersaudara dengan Lia Nurat merupakan tokoh mitologis yang menjadi cikal bakal penduduk suku Ile Jadi. Dengan demikian, terbangun suatu hubungan kekerabatan antara Ile Jadi dengan keturunan Pati Golo Arakiang (Larantuka). Sekalipun terdapat pola kekerabatan, ternyata hubungan itu banyak menimbulkan konflik dan pertentangan. Permusuhan dan pertentangan antara kedua kelompok itu bahkan menimbulkan peperangan yang berlangsung beratus-ratus tahun lamanya dan sukarI didamaikan sampai dengan abad ke-19 (Vatter, 1984:23-24). Dalam perkembangan selanjutnya, perang yang terkenal dengan nama Perang Paji Demon itu bergeser menjadi perang antara orang-orang Demon (yakni pengikut raja-raja Kristen dari Larantuka) melawan orang-orang Paji (yakni pengikut raja-raja Islam dari Adonara dan Solor, tanpa melihat apakah mereka Islam, Kristen atau kafir). Selaras dengan itu dibedakan antara ‘tanah Paji’ dan ‘tanah Demon’; Paji Nara dan Demon Nara (Vatter, 1984:24-25; Graham, 1985:59-60). Dari perkawinan Pati Gob dan Wato Wele, lahir tiga putra yakni : Kudi Lelen Bala (yang kelak menurunkan orang Waibalun), Padu Ile (yang kelak menurunkan raja-raja Larantuka), dan Lahalapan (yang kelak menurunkan orang-orang Balela). Yang dikenal sebagai raja pertama Kerajaan Larantuka adalah Sira Demon Pagong Molang, karena raja inilah yang meletakkan dasar pemerintahan dan penataan kerajaannya.
Pembagian Wilayah Teritorial Raja Sira Demong Pagong Molang membagi dan menetapkan wilayah Kerajaan Larantuka atas 10 distrik kakang (kakangschap) yang disebut “Demon Lewo Pulo”, yang dikuasai oleh raja Larantuka sebagal “Raja Koten Demon Lewo Pulo” Penetapan kesepuluh wilayah kakang itu dilaksanakan dengan upacara ritual pemotongan kerbau. Kesepuluh wilayah kakang itu adalah: Kakang Hadung dan Kakang Lamalera (di Lembata), Kakang Boleng dan Kakang Horowura (di Adonara), Kakang Pamakayo dan Kakang Lewolein (di Solor), Kakang Wobo, Mudakaputu, Lewingo, dan Lewotobi (di ujung timur Flores Timur). Dari kesepuluh wilayah itu, kakang Hadung dan Boleng menduduki posisi yang lebih penting, sebagai semacam pusat dari 4 wilayah lainnya, sehingga Graham (1984:125) mengidentifikasi model organisasi politik di Flores Timur adalah ‘2x4’. Model pembagian organisasi wilayah seperti itu terlihat pula dalam pembagian wilayah di pusat Kerajaan Larantuka. Pusat wilayah kerajaan adalah Lokea, yang bersama-sama dengan 8 kampung lainnya (Posto, Pohonsirih, Pohonrau, Gegeb, Renion, Kotta, Kottasau, dan Kottaruido) membentuk ‘rumah raja’. ‘Rumah Raja’ dikelilingi oleh 4 kompleks kampung (yang dikenal dengan istilah po atau pau) yakni Lewonama, Waibalun, Balela, dan Lewerang. Ketika pemerintahan di Lewerang tidak berjalan, raja mengambil alih kampung itu dan memindahkan pusat wilayah dari Lokea ke Larantuka. Kelompok-kelompok imigran (Sina Jawa dan Kroko Puken) ditempatkan dalam wilayah tertentu. Kelompok Sina Jawa menempati tanah di Tengah dan Lebao. Kelompok Kroko Pukeng (yang terdiri dari dua gelombang kedatangan) ditempatkan di Lewolere (yang dikepalai oleh seorang kepala kampung) dan di Lehayong (yang dikepalai oleh raja dari Kroko Pukeng). Dalam hal struktur administrasinya, masing-masing kelompok imigran itu dipimpin oleh ketuanya sendiri, sedangkan raja dari Kroko Pukeng diangkat mengepalai para ketua itu, sehubungan dengan posisi awal otoritasnya. Wilayah yang terletak antara Lewotala dan Kawaliwu di teluk kepala yang berdekatan dengan distrik kakang Mudakaputu disebut ‘kakang di dalam rumah’ yang mengacu pada rumah inti raja. Subdistrik ini secara langsung berada di bawah raja Larantuka dan bertugas sebagai tuan rumah jika kesepuluh kakang lainnya —yang lebih bebas— dipanggil ke Larantuka untuk melakukan pertemuan ataupun upacara korban. Kesepuluh distrik kakang digambarkan oleh Graham (1985:127) sebagai ‘vassal state’ (negara jajahan). Masing-masing kakang memiliki sistem administrasinya sendiri tetapi tetap mengakui kekuasaan Raja Larantuka. Dalam situasi perang, negara-negara jajahan itu wajib menyerahkan upeti dan menyumbangkan serdadu. Selain wilayah kakang yang dihuni oleh kaum Demon, wilayah Flores Timur zaman itu mengenal pula wilayah ‘watan’ (pantai) yang dihuni oleh kaum Paji. Ada lima wilayah Paji, yang disebut Paji Watan Lema, yakni: Lewotolok, Labala, dan Kedang (di Lembata), Lamahala dan Trong (di Adonara), Lamakera dan Lewayong (di Solor), dan Tanjung Bunga (di ujung timur Flores Timur). Wilayah Paji Watan Lema itu dikuasai oleh Raja Adonara sebagai Raja Paji Watan Lema. Dalam pertempuran-pertempuran yang berulang-ulang terjadi antara Belanda dan Portugis dalam abad ke-17, orang-orang Belanda selalu bersekutu dengan raja-raja Islam dari wilayah Paji; sedangkan Portugis bertumpu pada Kerajaan Larantuka yang rajanya dibaptis pada tahun 1645 (Vatter, 1984: 21). Di Lewayong (Solor) terdapat tradisi kerajaan Islam yang mempunyai supremasi yang mantap terhadap kerajaan-kerajaan Islam lainnya, terutama sekitar tahun 1680 dalam masa pemerintahan Ratu Nyai Chili Muda.
Bentuk-bentuk Hierarki Jabatan Sekalipun dalam kerajaan Larantuka sudah dikenal adanya penguasa ‘ tunggal ’ yakni raja, pola kekuasaannya tidak dapat disamakan dengan pola kekuasaan raja-raja tradisional di berbagai wilayah lainnya di Indonesia. Raja Larantuka tidak memiliki pola kekuasaan ‘permanen dan rutin.’ Kekuasaannya bersifat ‘temporal dan berasal dari berbagai sumber’ serta ‘dilegimitasi melalui indentifikasi mitos dan ritus’ ( Graham, 1985: 130-131 ). Bandingkan dengan pola kekuasaan Jawa yang terletak pada “karisma” yang permanen dan rutin sebagai prinsip dalam organisasi negana (Anderson, 1972:67). Menurut Anderson, di Jawa memang terdapat birokrasi, tetapi mereka hanya mendapatkan legitimasi dan otoritasnya dari ‘pancaran pusat’ yang melingkupi keseluruhan struktur dengan energinya. Dalam sistem pemerintahannya, Raja Larantuka memiliki satu wakil (deputy) yang disebut ‘Raja Kedua’. Selain itu raja dapat menunjuk 2 kapiten dari keluarga dekatnya dan 2 kapitan yang biasanya diambil dari keluarga Fernandez. Raja, Raja Kedua, Kapiten, dan Kapitan membentuk dewan pemerintahan yang disebut Kumpulan Anggota Besar. Dalam mengambil keputusan, Kumpulan Anggota Besar masih harus mempertimbangkan saran dari Paoe Suku Lema (baca: Po Suku Lema) sebelum keputusan itu disampaikan kepada pimpinan 10 distrik kakang (Graham, 1985:127). Paoe Suku Lerna (dari istilah bahasa Portugis: payao artinya payung) adalah para kepala perang, tentara raja, yang disebut sebagai Koten Larantuka. Yang termasuk dalam kelompok ini adalah: Waibalun, Lewerang, Lewolere, dan Lebao. Istilah Koten mengacu pada kedudukan dalam upacara pengorbanan hewan dalam rumah adat (korke).