Determinisme berasal dari bahasa latin determinare yang artinya menentukan atau menetapkan batas atau membatasi.[1] Secara umum, pemikiran ini berpendapat bahwa keadaan hidup dan perilaku manusia ditentukan oleh faktor-faktor fisik geografis, biologis, psikologis, sosiologis, ekonomis dan keagamaan yang ada.[2] Determinisme juga berpegangan bahwa perilaku etis manusia ditentukan oleh lingkungan, adat istiadat, tradisi, norma dan nilai etis masyarakat.[2] Istilah ini dimasukkan menjadi istilah filsafat oleh William Hamilton yang menerapkannya pada Thomas Hobbes.[1] Penganut awal pemikiran determinisme ini adalah demokritos yang percaya bahwa sebab-akibat menjadi penjelasan bagi semua kejadian.

Beberapa Pengertian

  1. Determinisme beranggapan bahwa setiap kejadian pasti sudah ditentukan.
  2. Semua kejadian disebabkan oleh sesuatu.
  3. Segala sesuatu di dunia bekerja dengan hukum sebab-akibat.
  4. Sudut pandang filsafat alam melihat determinisme sebagai teori tentang satu-satunya determinasi dari setiap peristiwa alam.
  5. Contoh bentuk pemikiran determinisme: Orang yang bertubuh lemah, geraknya lebih lamban dari orang yang bertubuh kuat; Orang yang berasal dari keluarga harmonis diharapkan dapat menjadi manusia yang lebih seimbang daripada mereka yang berasal dari keluarga yang kacau.

Dampak Pemikiran Determinisme

Pemikiran determinisme yang melihat bahwa perilaku etis ditentukan oleh lingkungan, adat istiadat, tradisi, norma dan nilai masyarakat, mengakibatkan dua hal, yaitu:

  • Pertama, adanya berbagai faktor yang mempengaruhi perilaku etis manusia menyebabkan perilaku etis manusia bersifat relatif. Perilaku baik ataupun jahat dipengaruhi oleh faktor-faktor yang ada di luarnya. Relativisme
  • Kedua, perilaku etis tidak hanya ditentukan oleh faktor-faktor yang mengelilinginya tetapi juga oleh kehendak pelakunya.


Bacaan Lanjutan

Referensi

  1. ^ a b Lorens Bagus. 2000. Kamus Filsafat. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama.
  2. ^ a b A. Mangunhardjana. 1997. Isme-isme dalam Etika dari A sampai Z. Jogjakarta: Kanisius. Hal.203-206.

Pranala Luar