Sastra Apokaliptik adalah jenis tulisan mengenai penyataan Ilahi yang berasal dari masyarakat Yahudi kurang lebih antara tahun 250 SM dan 100 M yang kemudian diambil alih dan diteruskan oleh Gereja Kristen.[1] Sastra Apokaliptik sendiri muncul setelah kemerosotan peran kenabian di Israel dan tekanan dari situasi politik yang dialami bangsa Yahudi pada periode Helenistis.[2] Banyak penulis sastra apokaliptik yang menuliskan karya-karyanya penuh misteri dan menggunakan nama-nama tokoh terkenal di masa lampau yang kemudian menjadi daya tarik dari sastra apokaliptik itu sendiri.[2]

Penampakan Malaikat kepada Yohanes dalam kitab Wahyu (salah satu sastra apokaliptik dalam kanon Kristen). Ini merupakan manuskrip abad ke-13 disimpan di British Library, London.

Asal-usul Kata Apokaliptik

Kata "Apokaliptik" berasal dari bahasa Yunani yang artinya "menyingkapkan" atau " membukakan" dan merujuk pada sesuatu yang sebelumnya tersembunyi dan telah disingkapkan sekarang. [1] Kata "Apokaliptik" sebetulnya suatu ungkapan dari gereja Kristen abad ke-2 untuk jenis sastra yang dipakai dalam surat Wahyu kepada Yohanes di Perjanjian Baru. [1] Dari sinilah kata "Apokaliptik" kemudian menjadi sebutan untuk gaya penulisan seperti itu.[1]

Berbagai Teori munculnya Sastra Apokaliptik

Ada beberapa penjelasan mengenai asal-usul sastra apokaliptik yaitu dari tradisi kenabian, tradisi hikmat atau kebijaksanaan, tradisi keimaman, mite-mite agama lain dan tradisi keagamaan masyarakat bawah. [3]

Pengaruh dari Tradisi Kenabian

Para pakar biblika banyak yang berpendapat bahwa sastra apokaliptik mendapatkan pengaruh yang banyak dari kenabian Perjanjian Lama.[1] Beberapa usaha penelusuran tentang asal-usul sastra apokaliptik dilakukan pada pengharapan eskatologis para nabi karena diduga apokaliptik berakar kuat pada eskatologi kenabian.[1] Dari penelusuran tersebut ditemukan beberapa bukti perubahan eskatologi kenabian yang kemudian berkembang menjadi apokaliptik. Deutro Yesaya digambarkan sebagai proto-apokaliptis; Yesaya 24-27,34-35,60-62 dan Zakharia 9-10 sebagai apokalipsis awal; Zakharia 12-13 sebagai apokalipsis pertengahan dan bagian Trito-Yesaya dan Zakharia 11 sebagai apokalipsis penuh.[1]

Pengaruh dari Tradisi Hikmat

Menurut von Rad, sastra apokaliptik mempunyai akar pada tradisi hikmat sehingga tradisi hikmat dapat disebut juga pra-apokaliptik.[3] Gagasan ini muncul karena penjelasan bahwa sastra apokaliptik bersumber dari nubuat para nabi dianggap belum cukup memuaskan. [3] von Rad mengatakan bahwa dalam kitab-kitab apokaliptik dari abad ke-2 SM sangat sedikit nabi menjadi penulis kitab-kitab apokaliptik sementara orang-orang seperti Daniel, Henokh dan Ezra adalah orang-orang yang bijaksana.[1] Namun demikian, gagasan ini mendapat pertentangan dari pakar lainnya karena dalam literatur hikmat, eskatologi tidak dikenal.[3] Gagasan eskatologi yang sangat menonjol dalam tulisan-tulisan apokaliptik dan kitab-kitab para nabi tidak dijumpai dalam tradisi kebijaksanaan.[1]

Pengaruh dari Tradisi Keimaman

Sejumlah tulisan apokaliptik memperlihatkan adanya hubungan antara apokaliptik dan tradisi imamat.[1] Di dalam kitab Daniel, misalnya, terdapat penekanan pada aturan-aturan mengenai makanan yang halal dan haram (Daniel 1:8), pentingnya Bait Allah serta tata cara pemberian kurban persembahan (Daniel 8:11, 14; 9:27).[1] Selain itu, tulisan-tulisan apokaliptik juga memberi tempat penting bagi ilmu perbintangan dan makna bilangan dalam menentukan perhitungan penanggalan untuk waktu pelaksanaan berbagai macam upacara keagamaan.[1]

Pengaruh dari Mite-mite Agama Lain

Sastra apokaliptik juga diduga banyak dipengaruhi kepercayaan agama lain seperti kepercayaan Babilonia yang banyak menaruh perhatian pada praktik-praktik penujuman dan perdukunan, mimpi-mimpi dan penglihatan dari kalangan para bijak.[1]

Ciri Sastra Apokaliptik

Ciri sastra Apokaliptik adalah memakai nama penulis samaran.[1] Tulisan yang penulisnya menggunakan nama samaran dikenal dengan istilah pseudonymous.[4] Pemakaian nama samaran merupakan hal yang lazim dan tidak hanya terjadi di lingkungan penulis Yahudi saja, tetapi juga di dunia Yunani dan Romawi.[1] Dengan menggunakan nama samaran, biasanya nama figur-figur dari masa lampau yang dihormati, maka tulisan-tulisan Apokaliptik mendapatkan otoritas dan dihadirkan sebagai tulisan-tulisan yang memprediksikan masa depan yang sedang digenapi.[5]

Ciri lain dari Sastra Apokaliptik yang membuatnya mudah dikenali adalah banyak menggunakan bahasa simbolis.[1] Kadang bahasa simbolis yang digunakan mudah dimengerti namun kadang sulit dipahami.[1] Simbol-simbol yang sering dipakai adalah binatang-binatang, manusia dan bintang-bintang,makhluk-makhluk mitologi dan angka-angka.[1] Sastra Apokaliptik juga berbicara tentang eskatologi, yaitu akhir dunia yang semakin memburuk hingga betul-betul kiamat, lalu tiba-tiba muncul dunia baru yang serba indah.[3] Saat dunia yang baru itu datang, segala kejahatan dan kuasanya akan dimusnahkan oleh Allah, orang-orang yang telah mati akan dibangkitkan dan akan ada penghakiman bagi semua orang.[3] Berbeda dengan pemberitaan para nabi yang masih terbatas pada umat Israel, dalam pandangan apokaliptik, bumi dilihat secara menyeluruh. Tidak hanya melampaui batas sejarah sampai ke eskatologi (keadaan sesudah sejarah berakhir) tetapi juga protologi yaitu keadaan sebelum dunia diciptakan.[3] Pola pikir dualistis seperti membedakan antara zaman sekarang dan akan datang, antara bumi dan sorga, antara orang suci dan orang jahat terdapat dalam sastra apokaliptik.[3]

Perbedaannya dengan Nubuat

Meskipun ada kesinambungan antara wahyu dalam sastra apokaliptik dengan nubuat para nabi, tetapi keduanya memiliki beberapa perbedaan.[4] Yang membedakan antara sastra apokaliptik dengan nubuat adalah pernyataan Allah yang diberikan pada para nabi disampaikan secara lisan kepada umat sedangkan para penulis kitab Apokaliptik menyampaikan pernyataan Allah yang diperoleh dari penglihatan dalam bentuk tulisan.[3] Perbedaan lain adalah sastra apokaliptik sangat menekankan sifat supernatural dari wahyu yang diberikan.[4] Para penulis sastra apokaliptik banyak memberikan perhatian kepada sosok-sosok malaikat dan setan karena memang masyarakat Israel kuno sangat akrab dengan bayangan pengadilan ilahi yang menunjukkan adanya sisa-sisa politeisme kuno dalam kepercayaan mereka yang monoteis.[4]

Persamaannya dengan Nubuat

Persamaan keduanya adalah baik sastra apokaliptik maupun nubuat sama-sama memperlihatkan keprihatinan yang mendalam pada kehendak Allah dan kesetiaan pada kehendak itu dalam situasi zaman tertentu.[5] Para nabi dengan nubuat-nubuatnya memberi seruan kepada orang-orang yang sudah tidak setia untuk bertobat dan kembali hidup taat pada Allah.[5] Sementara itu, pada masa kitab Daniel, umat dilarang menjalankan praktik ibadahnya dan mendapatkan tekanan dari bangsa lain untuk ikut serta dalam penyembahan dewa-dewa asing.[5] Walaupun situasinya berbeda tetapi ini menunjukan bahwa sastra apokaliptik dan nubuat sama-sama menekankan panggilan kepada umat untuk menjaga kesetiaan hanya pada Allah.[5]

Daftar Kitab yang termasuk Sastra Apokaliptik

Sastra Apokaliptik dalam Kanon Kristen

  1. Kitab Daniel

Kitab Daniel merupakan sastra apokaliptik yang paling tua yang dikenal orang-orang Kristen bahkan kitab ini menjadi satu-satunya kitab apokaliptik yang masuk dalam kanon Perjanjian Lama.[2] Namun demikian, di beberapa kitab yang lain terdapat juga bagian-bagian kecil dari sastra apokaliptik, seperti yang ada dalam kitab Yesaya pasal 24-27.[2]

  1. Kitab Wahyu

Sastra Apokaliptik di luar Kanon Kristen

Lihat pula

Referensi

  1. ^ a b c d e f g h i j k l m n o p q r (Indonesia)D.S Russel. 2007, Penyingkapan Ilahi:Pengantar ke dalam Apokaliptik Yahudi. Jakarta: BPK Gunung Mulia. 19, 36-43
  2. ^ a b c d (Indonesia)Willi Marxsen. 2006, Pengantar Perjanjian Baru:Pendekatan Kritis terhadap masalah-masalahnya. Jakarta: BPK Gunung Mulia. 337
  3. ^ a b c d e f g h i (Indonesia)Y.M Seto Marsunu (ed). 2007,Apokaliptik : Kumpulan Karangan Simposium Ikatan Sarjana Biblika Indonesia 2006. Lembaga Alkitab Indonesia. 10-18
  4. ^ a b c d {{id} 2007, Forum Biblika: Jurnal Ilmiah Populer no 12-2000. Jakarta: Lembaga Alkitab Indonesia. 12-15
  5. ^ a b c d e (Indonesia)Harry Mowvley. 2006, Penuntun ke dalam Nubuat Perjanjian Lama. Jakarta:BPK Gunung Mulia. 113.