Teologi pembebasan
Epistemologi
Teologi Pembebasan adalah sebuah paham tentang peranan agama dalam ruang lingkup lingkungan sosial, dengan kata lain Teologi Pembebasan adalah suatu usaha kontekstualisasi ajaran-ajaran dan nilai keagamaan pada masalah kongkret di sekitarnya.[1] Teologi Pembebasan adalah upaya berteologi secara kontekstual.[2] Teologi Pembebasan terjemahan dari Liberation Theology merupakan keharusan bagi kegiatan gereja-gereja dalam komitmen kristianinya pada kehidupan sosial.[1] Dalam kasus kelahiran Teologi Pembebasan, masalah kongkret yang dihadapi adalah situasi ekonomi dan politik yang dinilai menyengsarakan rakyat.[1] Masalah-masalah itu dijabarkan dalam penindasan, rasisme, kemiskinan, penjajahan, bias ideologi dsb.[1] Pada kalangan Jesuit, baik di Asia termasuk Indonesia, Brazil , Amerika Latin, Afrika Selatan berkembang pesat teologi ini sebagai dampak hermeneutika Alkitab secara kontekstual dalam menjawab persoalan yang dihadapi umat manusia.[1][3]
Teologi Pembebasan merupakan refleksi bersama suatu komunitas terhadap suatu persoalan sosial. Karena itu masyarakat terlibat dalam perenungan-perenungan keagamaan. Mereka mempertanyakan seperti apa tanggung jawab agama dan apa yang harus dilakukan agama dalam konteks pemiskinan struktural.
Sejarah
Teologi Pembebasan muncul pada abad 20 seiring banyaknya permasalahan dunia yang sedang tidak merdeka.[3][4](Indonesia)Wahono Nitiprawiro,Moh. Sholeh Isre., Teologi pembebasan: sejarah, metode, praksis, dan isinya, Yogyakarta: Lembaga Kajian Islam dan Sosial (LKIS), 2000</ref>[4] Kemunculan pertamanya di Eropa yang berkonsetrasi pada persoalan globalisasi, berprihatin pada dosa sosial, menawarkan sistem sosial yang dirusak oleh manusia sendiri.[3][4] Sedangkan di Amerika Latin berfokus pada gerakan perlawanan yang kebanyakan dilakukan oleh para agamawan terhadap kekuasaan yang hegemoni dan otoriter.[3]
Salah Satu Pemikiran Teologi Pembebasan
Salah satu pemikiran teologi pembebasan adalah diawali dengan Hermeneutika Alkitab.[4] Setelah menafsirkan pesan-pesan yang ada dalam Kitab Suci (Kristen: Alkitab), maka nilai agama mendapat tugas dalam peranan mengentaskan penderitaan manusia dalam masalah-masalah sosial, politiknya.[4] Nilai-nilai yang muncul biasanya dilihat dari perikemanusiaan dan perikeadilan.[4] Terjadinya pelanggaran nilai-nilai di sejumlah negara telah membangkitkan nurani para aktivis Teologi Pembebasan.[4] Nilai-nilai yang didapat dari tafsir Kitab Sucinya masing-masing.[4]
Sebagai contoh, Umat Kristen dengan ajaran Kristologi yang menafsirkan bahwa Kristus (Tuhan) adalah seorang yang hadir dalam situasi karut marut dan membawa pembebasan bagi rakyat kecil dan tertindas.[4] Dari dasar inilah, maka orang Kristen mengikuti teladan Yesus dan menentang ketidakadilan. Mereka merasa mendapat tugas untuk meneruskan perjuangan Tuhan yang disembahnya.[4]
Tokoh-tokoh Teologi Pembebasan
Di Asia
- J.B. Banawiratma[3]
- Romo Mangun Wijaya[3]
- Kiai Abdurahman Wahid[3]
- Romo Sandiawan[3]
- Sadayandy Batumali[3]
- Aloysius Pieris[3]
Aloysisus Pieris mengkritik Teologi Pembebasan dari Amerika Latin dan Afrika kurang cocok untuk masyarakan Asia.[5] Kemiskinan yang dilihat dari kacamata Marxisme belumlah efektif ketika tidak melihat akar permasalahan secara lebih dalam di Asia sendiri.[5] Hal penting lain yang perlu dipertimbangkan dari konteks Asia adalah pendekatan multikulural.[5] Asia oleh Pieris disebut sebagai 'dunia ketiga' yang memiliki akar 'religio-kultural' begitu tak terpisahkan.[5] 'Reoligio-Kultural' ini setidaknya diuraikan oleh Pieris dalam tiga hal; 1. heterogenitas linguistik, 2. integrasi unsur-unsur kosmik dan metakosmik dalam agama-agama di Asia, dan 3. kehadiran luar biasa dari ajaran-ajaran keselamatan (soteriologis') bukan Kristen.[5]
- Tissa Balasuriya[3]
Salah satu yang pernah dilakukan oleh Romo Mangun Wijaya dan Abdurahman Wahid di Indoenesia di tahun 1980an yang pernah memperjuangkan hak rakyat kecil dari arogansi pemerintahan.[3]
Di Eropa
- Juan José Tamayo (Spanyol)
Di Amerika Latin
- Gustavo Gutiérrez di Peru
Gustavo Gutiérrez Merino, O.P. (lahir 8 Juni 1928) adalah seorang teolog Peru dan imam Dominikan yang dianggak sebagai pendiri Teologi Pembebasan.[6] Ia menjabat sebagai Profesor John Cardinal O'Hara dalam bidang Teologi di Universitas Notre Dame.[6] Ia pernah menjadi profesor di Universitas Katolik Kepausan di Peru dan profesor tamu di banyak universitas terkemuka di Amerika Utara dan Eropa.[6] Ia adalah anggota Akademi Bahasa Peru, dan pada 1993 ia dianugerahi Legiun Kehormatan oleh pemerintah Perancis untuk karyanya yang tak mengenal lelah.[6] Gustavo Gutiérrez menawarkan teologi kepada umat Kristen suatu tema baru secara etis melalui praksis.[6][2] Teologinya berpusat pada pengentasan rakyat miskin yang diperlakukan tidak adil oleh sistem masyarakat kelas, hal ini sebagai respon dari kritik Karl Marx terhadap 'masyarakat kelas' akibat dominasi kapitalisme.[6]
Teologi Pembebasan yang dimaksud oleh Gutiérrez adalah pengentasan di bidang politik dan sosial, walau bermula dari pemahaman politik, namum ini bukanlah penyusutan paham iman, melainkan refleksi iman yang malampaui refleksi sosial dan politik.[4] Jadi teologinya berpusat pada yudaisme Yesus Kristus secara historis.[4] Gutiérrez menyatakan bahwa Yesus Kristus adalah "Si orang miskin" yang disamakan dengan orang-orang yang tertindas saat ini di dunia.[4] Hal ini didasarkan pula dari Alkitab Injil Matius 5:10.[4] Pembebasan yang dilakukan Yesus di atas kayu salib memerankan dua aspek, yaitu membebaskan manusia dari penindasan duniawi (kehidupan fisik sosial politik) dan penindasan iman (dosa, kematian, kefanaan dsb).[4]
Gutiérrez juga berteologi dengan memakai sumber Alkitab, yaitu kisah Ayub yang bergumul dengan kisah sengsara yang dipandang oleh kaum Teodise sebagai kejahatan.[7] Gutierrez dan Ayub memandang bahwa kejahatan dan penderitaan bukan berasal dari Allah, malainkan sebuah nilai moral yang melampuai hukum manusia.[7] Melalui kisah Ayub yang berdebat dengan para sahabatnya yang mengatakan bahwa penderitaan Ayub adalah akibat dosa, maka pandangan ini secara otomatis tidak bersifat mutlak lagi.[7], sebab penderitaan dan kejahatan adalah peleburan cinta kasih Allah melalui kasih yang tak bersyarat.[7]
Terbitan penting terkait
(terjemahan dari bahasa Spanyol ke dalam bahasa Inggris)
- A Theology of Liberation: History, Politics, Salvation
- We Drink From Our Own Wells: The Spiritual Journey of A People
- On Job: God-Talk and the Suffering of the Innocent
- The Truth Shall Make You Free
- The God of Life
- Las Casas: In Search of the Poor of Jesus Christ.
referensi
- ^ a b c d e (Inggris) Paul E. Sigmund., Liberation Theology and The Crossroad, New York: Oxford University Press, 1990
- ^ a b (Indonesia)Y. W. Wartaya Winangun., Tanah sumber nilai hidup, Yogyakarta: Kanisius, 2004
- ^ a b c d e f g h i j k l Kesalahan pengutipan: Tag
<ref>
tidak sah; tidak ditemukan teks untuk ref bernamaNitiprawiro
- ^ a b c d e f g h i j k l m n o (Indonesia)Roy Eckardt., Menggali Ulang Yesus Sejarah, Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1996
- ^ a b c d e (Indonesia) Douglas J. Elwood., Teologi Kristen Asia, Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2006
- ^ a b c d e f (Indonesia) Tony Lane., Runtut Pijar, Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2007
- ^ a b c d e (Indonesia) Michael Taylor., Dilarang Melarat-Narasi Teologis Tentang Kemiskinan, Yogyakarta: Kanisius, 2007
Pranala luar
- (Indonesia) Bayang-bayang Teologi pembebasan
- (Indonesia) Teologi Pembebasan
- (Indonesia) Teologi pembebasan dan gerakan mahasiswa