August Theis
artikel ini perlu dirapikan agar memenuhi standar Wikipedia. |
August Theis (lahir 16 Februari 1874 di Haiger, kira-kira 120 km dari Barmen, Jerman) adalah anak sulung dari tiga bersaudara, dari sebuah keluarga yang berpenghasilan yang pas-pasan.
Setamatnya dari Sekolah Dasar, ia melanjutkan pendidikan ke sekolah kejuruan yang memungkinkannya bekerja untuk membiayai sekolahnya sendiri. Sejak kecil August Theis sudah rajin ke sekolah minggu dan beribadah di Gereja.
Setelah lulus dari sekolah, Theis bekerja sebagai buruh pengangkat pasir di sebuah pabrik.
August Theis dan RMG
Sejak kecil Theis berminat akan pekerjaan pemberitaan Injil. Karena itu ia mendaftarkan diri untuk mengikuti pendidikan di Seminari Zending di Barmen. Pada usia 21 tahun ia dipanggil oleh direktur Rheinische Missionsgesselschaft (RMG), dan setelah belajar selama tujuh tahun, ia ditahbiskan menjadi seorang pendeta pada tanggal 6 Agustus 1902.
Pada tanggal 23 Oktober 1902 di usia 28 tahun, Theis diutus oleh RMG dari Belanda ke Indonesia dengan menumpang kapal laut yang memakan waktu berbulan-bulan. Ia tiba pertama kali di kota Padang (kini ibukota provinsi Sumatera Barat). Dari sana ia menggunakan transportasi darat ke Sigumpar untuk kemudian menunggu surat pengutusan dari atasannya, Pdt. Nommensen.
Simalungun 1903
Lihatlah sekelilingmu dan pandanglah ladang-ladang yang sudah menguning dan matang untuk dituai (Yohanes 4:35), dalam bahasa Simalungun yaitu: Mangkawah ma hanima, tonggor hanima ma juma in, domma gorsing, boi ma sabion. Ayat inilah yang diucapkan oleh Pendeta August Theis saat beliau tiba di Simalungun.
Simalungun saat itu seperti daerah pelosok lain di Indonesia masih berada dalam masa kegelapan. Pdt. August Theis pun harus membelah hutan dalam perjalanannya dari daerah Toba menuju ke Pematang Raya. Menurut wawancara beliau dengan A. Munthe seperti dituliskan dalam buku Pandita August Theis, Missionar Voller Hoffnung (oleh A. Munthe, Kolportase GKPS, 1987) Hutan tersebut masih dipenuhi oleh hewan-hewan buas seperti Harimau sehingga beliau harus mempertaruhkan nyawanya untuk memenuhi misinya ke Pematang Raya.
Masyarakat Simalungun masih bercocok tanam menggunakan ladang kering, yang memaksa mereka untuk melakukan ladang berpindah di mana mereka harus mencari lahan lain sampai 4 tahun sebelum mereka dapat kembali menggunakan ladang yang sama secara optimal.
Dalam kesusahan tersebut sebagian besar masyarakat Simalungun berjudi untuk mencari penghiburan, mereka menjual segala harta miliknya bahkan diri sendiri (sebagai budak) demi memenuhi nafsu mereka untuk berjudi.
Penyebaran Injil August Theis
Pengiriman August Theis
Pada tanggal 3-8 Februari 1903 diadakan sebuah pertemuan di Laguboti yang diikuti oleh para pendeta RMG yang memutuskan agar diadakan misi zending ke Simalungun. Nommensen yang saat itu menjabat sebagai Ephorus dan berkantor di Sigumpar, Tapanuli Utara, mengirimkan surat ke direktur RMG di Barmen, Jerman mengenai rekomendasi ini dan merekomendasikan pengabaran injil ke 3 daerah yaitu: Samosir, Simalungun dan Dairi.
Pada tanggal 3 Maret 1903, diutuslah rombongan pertama RMG ke tanah Simalungun yang beranggotakan Pdt. Guillaume, Pdt. Simon dan Pdt. Meisel dengan tujuan utama untuk menemui raja-raja Simalungun. Rombongan kedua yang diberangkatkan RMG ke Simalungun terdiri dari Pendeta August Theis, Guru Ambrocius dan Theopilus Pasaribu. Kedua rombongan tersebut bertemu di Haranggaol dimana Nommensen berkesempatan untuk berkhotbah.
Dari Haranggaol, rombongan Pendeta August Theis menuju ke Pematang Purba dan kemudian tiba di Pamatang Raya pada hari Rabu, 2 September 1903, tanggal yang sampai saat ini terus diperingati oleh GKPS (Gereja Kristen Protestan Simalungun) sebagai hari olob-olob (sukacita dalam bahasa Simalungun) sebagai tanda syukur atas masuknya Alkitab ke Simalungun.
Saat tiba itulah Pendeta August Theis langsung membacakan ayat kutipan dari Yohanes 4:35 di atas dengan keyakinan bahwa orang Simalungun harus mendapat Terang dan masuk ke dalam Kerajaan Allah.
Pelayanan August Theis
Satu tahun setelah tiba di Pematang Raya, ia mendirikan sekolah walaupun belum jelas siapa yang akan dididik saat itu. Setelah Pematang Raya, ia mendirikan sekolah di Raya Usang, Buluraya, Sipoldas dan juga Raya Tongah.
Walaupun pendidikan ini akhirnya diterima oleh masyarakat Simalungun, tapi mereka masih tetap menyembah berhala. Setelah 4 tahun, sudah berdiri 7 sekolah yang menampung 183 murid, namun hanya 19 orang saja yang memeluk agama Kristen, karena memang tidak ada paksaan bagi murid untuk memeluk agama Kristen. Kebaktian minggu yang diadakan pun hanya diikuti oleh anggota keluarga Guru Ambrosius dan 19 murid itu saja.
Simalungun 1920-an
Pada tahun 1920-an krisis ekonomi melanda dunia hingga Simalungun, namun dibanding keadaan tahun 1903, telah ada beberapa perkembangan yaitu peningkatan kualitas jalan Pematang Siantar-Pematang Raya dan peningkatan sarana ibadah dengan dukungan RMG.
August Theis keluar dari Simalungun
Pada tahun 1919, mertua dari August Theis meninggal dunia. Pada saat itu sudah banyak orang Simalungun yang dapat membantu August Theis dalam pelayanannya seperti J. Wismar Saragih yang melayani di Raya Usang dan Tuan Anggi (saudara dari raja Raya). Pada tahun ini juga August Theis mengirimkan 2 puterinya kembali ke Belanda untuk bersekolah.
Pada tahun 1921, permohonan cutinya untuk kembali ke Belanda dikabulkan dan diadakanlah perpisahan di Pematang Raya pada 4 April 1921 yang acaranya dipimpin oleh salah seorang murid August Theis, yaitu J. Wismar Saragih.
Sekembalinya August Theis dari Belanda, ia ditempatkan di Dolok Sanggul, dan posisinya di Pematang Raya dilanjutkan oleh Pendeta Guillaume (sebelumnya di Saribudolok). Setelah melayani di Dolok Sanggul, ia berkedudukan di Medan sampai habis masa pelayanannya dan kembali ke Eropa.