Masjid Al Ihsaniyyah
Masjid Ikhsaniyyah atau yang lebih dikenal dengan nama Masjid Batu adalah masjid tertua di kota Jambi, provinsi Jambi. Masjid ini terletak di seberang pusat Kota Jambi yang dibelah sungai Batanghari, tepatnya di kawasan Olak Kemang, kecamatan Danau Teluk, Jambi.
Masjid Ikhsaniyyah | |
---|---|
Agama | |
Afiliasi | Islam |
Lokasi | |
Lokasi | Jambi, Jambi, Indonesia |
Arsitektur | |
Tipe | Masjid |
Sejarah
Masjid ini didirikan pada tahun 1880 oleh seorang habib bernama Sayyid Idrus bin Hasan Al-Jufri. Sayyid Idrus adalah sultan atau raja yang berkuasa di daerah itu pada dekade akhir abad ke-19 dengan gelar Pangeran Wiro Kusumo.
Masjid Batu ini didirikan Sayyid Idrus untuk memenuhi fungsi tempat ibadah bagi masyarakat seberang kota Jambi. Masyarakat kota Jambi waktu itu yang sudah fanatik keislamannya memanfaatkannya sebagai tempat ibadah dan kegiatan sosial lainnya.
Ciri khas
Bangunan dalam masjid dipenuhi dengan hiasan kaligrafi berbagai rupa. Mimbar asli berdiri anggun di sisi kanan mihrab. Sementara beduk peninggalan terdahulu berada di bagian belakang ruang salat. Ciri mencolok dari masjid ini adalah banyaknya jendela. Jendela-jendela yang dipasang berpasangan itu mengelilingi masjid. Hanya tembok mihrab yang tak berjendela.
Tradisi Sumpah
Sekitar tahun 60-an, masjid Ikhsaniyyah merupakan tempat orang menyelesaikan sengketa. Jika ada orang berselisih perihal kepemilikan tanah, tuduhan mencuri, dan lain sebagainya orang akan membawa perkara itu ke masjid dan mengambil sumpah dengan disaksikan para pendudk dan pemuka agama.
Menurut Habib Salim, seorang pengurus masjid, masjid ini diyakini memiliki keramat tersendiri karena jika ada yang berani bersumpah palsu di dalamnya, maka dia akan mengalami bala atau hal lainnya. Karenanyalah, pada masa itu Masjid Batu amat masyhur dan tak ada seorang pun yang berani mengambil risiko bersumpah palsu di dalamnya. Banyak orang-orang yang berdusta yang awalnya berani bersumpah di dalamnya. Namun, setelah sampai mereka tak berani dan mengakui perbuatannya. Jika ada yang bersalah dan tak mengakui perbuatannya sampai diambil sumpahnya, orang itu akan menggelepar tak sadarkan diri. Dan jika ia sudah sadar biasanya orang yang bersalah itu akan mengakui perbuatannya.
Namun sayang, tradisi itu sudah hilang sama sekali. Tak ada lagi orang yang menjadikan masjid itu sebagai sarana mempertemukan kebenaran dan mencari keadilan. Tradisi sumpah itu mulai terlupakan, hanya kalangan tua saja yang mengetahui kisah tersebut.
Dipugar Belanda
Pada tahun-tahun awal abad ke-20, perkembangan Islam di Jambi maju pesat. Hal ini seiring dengan majunya pendidikan keislaman di Jambi yang ditandai dengan berdirinya empat pesantren utama, yaitu Pesantren Nurul Iman, Pesantren Saadad Daarain, Pesantren Jauharain, dan Pesantren Nurul Islam. Keadaan ini membuat kesadaran keislaman penduduk semakin mengkristal dan menjadikan kawasan seberang kota Jambi banyak didatangi orang dari berbagai daerah untuk belajar.
Keadaan ini tentu saja berpengaruh bagi Masjid Batu. Makin lama jamaah masjid itu semakin penuh hingga akhirnya tak lagi mampu menampung jamaah yang terus membludak, terlebih pada Salat Jumat. Maka tokoh-tokoh masyarakat lalu menggelar musyawarah dan bermufakat untuk memperbaharui masjid. Disepakati dana pembangunan masjid dikumpulkan dari sedekah dan infaq masyarakat sampai akhirnya terkumpul dana yang cukup untuk memugar masjid. Saat itu tahun menunjukkan angka 1935.
Karena berada di bawah kekuasaan kolonial Belanda. para tokoh masyarakat meminta izin kepada Belanda. lalu masuklah permohonan pemugaran masjid ke pemerintah Belanda yang ada di Jambi dengan menceritakan latar belakang dan sejarah berdirinya masjid.
Tahulah Belanda bahwa Masjid Batu tersebut merupakan peninggalan Sayyid Idrus yang merupakan salah seorang sultan Jambi yang bergelar Pangeran Wiro Kusumo. Karena menganggap bahwa masjid tersebut bernilai sejarah sebagai masjid sultan, tahun 1937 pihak kolonial mengambil alih pembangunan masjid. Dana pun turun dari pihak kolonial dan pembangunan sepenuhnya berada dalam pengendalian Belanda. Padahal awalnya para tokoh masyarakat hanya perlu izin karena dana sudah tersedia. Jadilah dana dari masyarakat itu tidak terpakai yang akhirnya digunakan untuk membuat pagar mengelilingi masjid.[1]
Referensi
- ^ Majalah Hidayah edisi 58, Mei 2006 halaman 126-129