Postinus
Ini adalah halaman pengguna yang memenuhi kriteria penghapusan cepat, tetapi tidak ada alasan yang diberikan untuk memenuhinya. Pastikan bahwa alasan Anda telah memenuhi salah satu syarat KPC. Ganti tag dengan {{db|1=alasan Anda}}
. NA
Jika halaman pengguna ini tidak memenuhi syarat KPC, atau Anda ingin memperbaikinya, silakan hapus pemberitahuan ini, tetapi tidak dibenarkan menghapus pemberitahuan ini dari halaman yang Anda buat sendiri. Jika Anda membuat halaman ini tetapi Anda tidak setuju, Anda boleh mengeklik tombol di bawah ini dan menjelaskan mengapa Anda tidak setuju halaman itu dihapus. Silakan kunjungi halaman pembicaraan untuk memeriksa jika sudah menerima tanggapan pesan Anda.
Ingat bahwa halaman pengguna ini dapat dihapus kapan saja jika sudah tidak diragukan lagi memenuhi kriteria penghapusan cepat, atau penjelasan dikirim ke halaman pembicaraan Anda tidak cukup meyakinkan kami.
- Kepada nominator: Tempatkan templat:
{{subst:db-reason-notice|Pengguna:Postinus|header=1|tidak ada alasan yang diberikan}} ~~~~
- pada halaman pembicaraan pembuat/pengunggah.
Kepada pengurus: halaman ini memiliki isi pada halaman pembicaraannya yang harus diperiksa sebelum dihapus.
Pengurus: periksa pranala balik, riwayat (beda), dan catatan sebelum dihapus. Periksa di Google.
Halaman ini terakhir disunting oleh Imanuel NS Uen (kontribusi | log) pada 11:13, 6 November 2011 (UTC) (13 tahun lalu)
Hidup Penuh Liku Berkat Melimpah Atasku
Aku terlahir, 20 Februari 1983 di sebuah kampung kecil dan terpencil. Kampung itu bernama Dangagari. Hingga kini, kampung itu belum ada aliran listrik; gelap gulita pada malam hari. Saya bersyukur dilahirkan oleh orangtua yang penuh cinta. Ayahku bernama Tageli Gulö; dan Ibu bernama Somasi Gulö. Keduanya hanyalah petani, tetapi punya iman dan ketekunan agar anak-anaknya menjadi orang. Walau hujan mengguyur, orangtuaku bekerja keras di sawah agar kami bisa makan. Walau penyakit mendera, orangtuaku berusaha agar kami tidak kelaparan. Dengan sedih, saya mesti menuliskan bahwa Ibu telah pergi menghadap Bapa di surga 19 Juli 2011 silam. Semasa hidupnya, Ibu tiada henti mendoakan kami agar dapat mengenyam pendidikan dan menjadi orang!
Namaku Muncul dari Mimpi Ayah
Postinus Gulö, itulah namaku yang diberi oleh orangtuaku. Nama itu, entah apa artinya. Penuh misteri. Ayahku hanya pernah berkisah, nama itu merupakan nama yang muncul dari mimpinya. Setelah saya lahir, pada malam harinya, Ayah bermimpi. Dalam mimpi ayah itu, kakek yang telah meninggal puluhan tahun silam berpesan kepada ayahku agar saya diberi nama: Postinus. Kala itu, kami belum menjadi Katolik, masih penganut agama Orahua Niha Keriso Protestan (ONKP). Kami sekeluarga baru menjadi Katolik, sekitar tahun 1994, saya masih kelas 4 SD. Jadi nama itu, tak ada kaitannya dengan nama orang Katolik macam Faustinus, seorang Roma penganut Kristen Katolik. Seperti kita tahu, Faustinus itu memiliki saudara, Santo Simplisius dan Santa Beatriks, ketiganya wafat sebagai martir. Ketiga bersaudara ini dibunuh karena imannya pada Kristus sekitar tahun 303-304. Faustinus dan Simplisitus dipancung kepalanya. Mayat keduanya dibuang di sungai Tiber. Banyak orang juga menduga bahwa nama saya itu ada kaitannya dengan Santa Faustina, salah seorang santa pujaan mendiang Paus Yohanes Paulus II itu. Padahal tidak sama sekali. Tidak heran jika orang cenderung menuliskan nama saya, Faustinus.
Hidup Sulit Tetap Berprestasi
Saya merupakan anak kedua dari delapan bersaudara; lima laki-laki dan tiga perempuan. Aku bersyukur dilahirkan dalam keluarga miskin. Dengan begitu saya terlatih berjuang keras. Pengalaman itu lebih dari suatu pendidikan formal. Masa kecil, saya hidup penuh perjuangan. Hidupku penuh liku berbatu dan berduri nan sulit dilalui. Hari-hari masa kecilku banyak tersita oleh penderitaan dan kemiskinan. Saat bermain tak kunikmati. Orangtuaku bukanlah orang berpunya. Hal itu masuk akal karena, ayahku adalah anak yang ditinggal orangtua pada masa kecil. Kakek-nenek meninggal di saat usia ayah masih sekitar 4 tahun. Ayah dan dua saudaranya lain, hengkang dari kampung; hidup di rumah paman mereka. Harta berupa tanah, tanaman pohon kelapa, durian, sagu, pohon karet habis diambil oleh saudara sepupu mereka. Ketika mereka kembali ke kampung, mereka bertiga seperti orang asing di kampung halaman sendiri. Mereka pun banting tulang bekerja demi sesuap nasi. Kalau ada rezeki yang lebih, mereka membeli sepetak tanah. Di atas tanah itu mereka membangun sebuah pondok kecil seadanya. Di atas pondok mereka tidur pada malam hari, tetapi kolong pondok dijadikan kandang babi. Saya sempat mengalami hidup orangtua semacam ini. Menyedihkan memang tetapi itulah realitas.
Saya masih ingat. Pada saat saya mengenyam pendidikan tingkat Sekolah Dasar (1990-1996) di SD Negeri 07084 Dangagari, setiap pagi saya mesti bangun pukul 5. 00. Saya bangun bukan untuk mandi, bukan pula untuk berolahraga demi kebugaran tubuh. Saya bangun untuk segera menyalakan obor dan pergi menyadap karet agar dapat menyambung hidup. Diriku masih mengantuk, tetapi harus bangkit dan bekerja menyadap karet. Anda bisa bayangkan, di kebun karet, saya disambut ribuan nyamuk, binatang penghisap darah itu. Apa daya, keadaan memaksa banting tulang. Saya mesti melakukan aktivitas itu. Sebab orangtua tak sanggup membiayai uang sekolah kami. Saya juga tak tega membiarkan kedua orangtuaku bekerja keras. Saya berusaha membantu mereka, kadang di luar kemampuanku. Kala itu, bila menanam padi sering gagal panen. Banyak hama dan tikus yang membuat padi tak berhasil baik. Pendidikan orangtua belum tamat SD. Wajarlah apabila mereka tidak kreatif mencari kebutuhan kami sehari-hari. Mereka hanyalah petani biasa, apa yang dicari cukup untuk sehari.
Biasanya, tepat pukul 7. 00, abang Sohahau Gulö dan saya berhenti menyadap karet. Lalu kami pergi mandi, dengan sangat cepat. Tiada lagi waktu untuk sarapan pagi dengan tenang. Syukurlah Ibu, kala itu, selalu menyediakan makanan, godo-godo (singkong gorengan, bentuknya bulat). Kalau ada nasi, Ibu telah membungkusnya. Sambil pergi menuju sekolah, saya dan abang ”sarapan” godo-godo di tengah jalan.
Janganlah bayangkan bahwa kami sekolah seperti di kota besar. Pada saat masih SD, saya pergi sekolah tanpa sepatu. Tidak ada gunanya pakai sepatu, lumpur ada sepanjang jalan. Kala itu jalan dari rumah menuju sekolah belum semuanya pakai batu onderlach. Pulang sekolah, pekerjaan sudah menanti. Tidak ada lagi waktu istirahat siang, layaknya kaum biarawan atau biarawati di biara. Kami mesti cepat makan siang dan pergi membantu orangtua ke sawah atau ke ladang. Lauk makan siang kadang hanyalah garam, daun singkong. Makan daging hanyalah mimpi. Palingan sekali setahun, pas tahun baru! Baru pulang dari kerja setelah hampir gelap sore harinya. Yah...permainanku saat kecil adalah lumpur di sawah. Karena sudah terbiasa, keadaan itu kunikmati saja. Saya pikir dunia memang seperti itu adanya. Saya berpikir bahwa kebahagiaan adalah bekerja di sawah atau di ladang. Saya berpikir, kebahagiaan adalah berjemur di bawah panas terik matahari bersama lumpur sawah. Deo Gratias, syukur kepada Allah. Walaupun setiap pagi menyadap karet, bekerja di sawah-ladang dan makan godo-godo, saya hampir selalu mendapat berkat melimpah. Selama Sekolah Dasar, saya tetap juara satu. Tidak hanya itu, saya juga pernah beberapa kali mengharumkan nama sekolah pada ajang Lomba Cerdas Tangkas (LCT) tingkat Rayon bahkan sampai tingkat kecamatan, bidang IPA dan Matematika. LCT itu mirip olimpiade pada zaman sekarang. Atas prestasi itu, baik di sekolah maupun di LCT, maka Kepala Sekolah Ama Eferoni Waruwu almarhum pernah menawarkan agar saya langsung dinaikkan saja ke kelas enam SD. Saat itu, saya masih kelas 4 SD. Namun, saya setia pada proses, bukan pada hasil instan. Saya tetap melalui kelas 5 SD.
Hidup keluarga terseot-seot. Adik-adik saya semakin banyak. Tanggungan orangtua semakin besar pula. Setamat SD, saya tetap berharap agar orangtua merestui jika saya melanjutkan SMP. Awalnya, saya hampir putus harapan. Ayah bersikukuh agar saya tinggal di rumah saja membantu mereka. Tetapi, saya berusaha membujuk Ibu supaya saya tetap sekolah. Alhasil, Ibu berhasil membujuk ayah sehingga saya didaftarkan di SLTP Negeri 1 Mandrehe. Saya mengenyam pendidikan di SLTP dari tahun 1996 hingga tahun 1999. Sekolah tersebut jauh dari rumah. Terpaksalah saya berpisah dari orangtua. Namun, jika saya tinggal di rumah kost, orangtua tak sanggup membayar sewa rumah kost. Tak ada pilihan lain, saya mesti tinggal di rumah saudara Ibu, di rumah pamanku sendiri. Di rumah paman, saya tidak bayar apa-apa. Malah mereka membayar uang sekolah dan pungutan lainnya. Namun demikian, rumah paman jauh juga dari sekolah, sekitar 4 km berjalan kaki. Kalau hujan tiba, Sungai Moro’ö sering banjir, saya pun berjuang keras menyemberang sungai yang arusnya cukup deras itu. Seragam sekolah sering basah kuyup diguyur hujan dan banjir. Seragam itu kering sendiri selama mengikuti pelajaran di kelas. Semuanya itu tak menjadi masalah, yang penting saya tetap sekolah. Titik.
Sepulang sekolah, saya istirahat sejenak. Paling banter 10 menit! Habis itu saya pergi menyadap karet, punya paman. Sore harinya, saya pergi menimba air dari sumur untuk keperluan masak-memasak. Usai mandi, saya pun memasak makan malam. Anda pasti tahu bahwa waktu belajar saya sudah habis tersita oleh kesibukan pekerjaan rumah. Tetapi, saya belum habis akal. Saya tidak cengeng. Tidak meratapi nasib sambil frustrasi. Sambil memasak, saya bawa buku dan saya baca. Begitu juga pada pagi harinya, saya bangun pukul 4. 00 untuk menyiapkan sarapan pagi, sambil baca buku pelajaran. Hasilnya, wah luar biasa. Kerja keras tak sia-sia. Selama mengeyam pendidikan di SLTP, saya tetap juara! Tidak percuma saya belajar hingga larut malam, siang hari sibuk menyadap karet. Itulah desahku kala itu.
Ada Masalah, Ada Solusi Saya termasuk orang yang memiliki cita-cita besar. Ingin sukses, berpendidikan tinggi! Namun, manakala saya melihat realitas hidup saya, cita-cita itu seolah hanyalah mimpi hampa. Akan tetapi, walaupun hidupku penuh derita, dibelenggu kemiskinan, saya tetap optimis ada jalan terbaik. Ada masalah, ada solusi. Tidak pernah ada masalah tanpa ada solusi!
Optimisitas itulah yang membuatku nekat melanjutkan sekolah di jenjang SMA. Seorang guru saya namanya Yemima Waruwu menyarankan supaya saya melanjutkan sekolah di Seminari Menengah St. Petrus Aek Tolang. Biasanya, siswa Seminari St. Petrus mengenyam pendidikan di SMA St. Fransiskus Aek Tolang. Saya pun mengikuti saran Ibu guru itu. Sekitar bulan Mei 1996, saya dan 13 teman-teman lainnya dari Nias Barat pergi ke Gunungsitoli mengikuti test masuk seminari. Alhasil, saya termasuk beruntung: dinyatakan lulus! Persisnya, kami bertujuh saja yang dinyatakan lulus.
Akan tetapi, lulus test bukan berarti jalanku mulus mengenyam pendidikan di negeri orang, Sibolga! Orangtua bertambah beban menanggung uang sekolah dan juga uang asrama seminari. Hmmmm....orangtua angkat tangan. Merekapun tidak mau jika saya melanjutkan sekolah di Sibolga, karena alasan finansial itu.
Saya teringat kata-kata bijak, niat tidak cukup, kita mesti mewujudkannya. Saya punya niat besar untuk melanjutkan SMA di Sibolga, tetapi apa dikata biaya tidak ada. Orangtua merasa tak cukup uang untuk membiayai sekolah saya. Bagaimana mewujudkan niat itu? Yah...banyak jalan menuju Roma. Kala itu pas ada pembagunan infrastruktur jalan yang membutuhkan bahan material batu. Saya pun memanfaatkan waktu senggang saya, karena sudah lulus SLTP, untuk mengumpulkan batu. Setelah berhasil mengumpulkan batu berkubik-kubik, saya jual. Saya dapat uang sekitar Rp 500. 000 (lima ratus ribu rupiah), kala itu. Betapa senangnya hatiku. Uang itu lalu saya serahkan ke Ibu. Tetapi saya bilang, Bu ini untuk biaya sekolah saya ya....sekaligus ongkos saya ke Sibolga. Ibu setuju. Tetapi, ayah tetap tidak mau jika saya melanjutkan sekolah ke Sibolga.
Saya sudah berusaha berkomunikasi secara personal kepada ayah mengenai niatku melanjutkan sekolah. Apa daya, ayah tidak sanggup menyekolahkan saya. Ayah berpikir realistis: darimana uang biaya sekolahmu, nak? Benar juga sih kata ayah. Cuma itu bukan solusi. Dikala hanya memikirkan kesulitan tanpa menyelesaikannya, itu membuat langkah macet; urung niat bertindak. Akibatnya, dihantui oleh kesulitan; kesulitan tetap kesulitan.
Biar hanya satu hari menduduki bangku SMA, saya sudah senang. Prinsip itu membuatku mencari siasat agar ayah mengizinkanku melanjutkan studi di Sibolga. Saya hanya berpikir, yang penting ayah memberi izin dulu, uang sekolah nanti saja. Dalam perjalanan pasti ada-ada saja ide untuk mendapatkan duit halal. Di kampung saya ada orang yang patut dipercaya dan berwibawa. Namanya Yoakim Gulö alias Ama Sasu. Kata-katanya didengarkan oleh warga. Saya memberanikan diri pergi kepada Ama Sasu membicarakan segala niat dan cita-citaku. Intinya, saya minta pertolongannya agar beliau meyakinkan orangtuaku bahwa pilihan saya untuk sekolah sudah tepat adanya. Ama Sasu adalah Lektor atau Ketua Stasi Gereja Katolik di Dangagari kala itu. Bapak Yoakim bersedia. Ia pun berusaha meyakinkan kedua orangtuaku sehingga mereka mengizinkanku melanjutkan sekolah di Sibolga.
Benar kata orang bijak, janganlah jadi kodok dalam tempurung yang hanya mengenal dunia sejengkal jari. Inspirasi hidup muncul dari pengalaman hidup pula. Sesampainya di Sibolga, saya mengalami shock culture. Itu masuk akal, karena saya orang kampung bahkan mental kampungan, sekarang pergi ke Sibolga, yang bagi saya waktu itu, sudah termasuk kota terbaik yang pernah saya lihat. Dibandingkan kampung saya, yang jalannya masih tanah, Sibolga sudah berjalan aspal. Tidak hanya itu, Sibolga sudah banyak angkutan kota, mobil, truk dan becak. Semua jenis benda ini tak kutemukan di kampung halamanku.
Saya mulai membanding-bandingkan masyarakat Sibolga dengan masyarakat kampungku. Yeah..sangat jauh, seperti langit dan bumi. Warga Sibolga jauh sejahtera dibanding warga kampungku. Di Sibolga sudah banyak warga yang punya televisi. Rumah-rumah mereka ada yang permanen dan ada yang semi permanen. Sementara kampungku, hidup tanpa listrik, bagaimana ada channel televisi. Pengalaman ini membangkitkan semangat juangku. Saya tidak mau santai-santai saja. Saya belajar dengan sungguh-sungguh, tidak menyia-nyiakan waktu. Hasilnya, saya mampu meraih juara: beberapa kali juara dua. Itu sudah hebat, orang kampungan menjadi juara di negeri orang!
Berkat Allah memang nyata adanya. Selama mengenyam pendidikan di Sibolga ternyata ada-ada saja cara orangtua mendapatkan uang. Lalu mereka mengirimkan sebagian uang itu sebagai biaya sekolah saya di Sibolga. Coba jika saya tidak ”keras kepala” untuk keluar dari kesulitan yang menjadi hambatan orangtua sempat tak mau menyekolahkan saya. Jika saya hanya mengikuti saran orangtua untuk tidak sekolah, yah...hidup saya bisa tamat!
Ketika Menuntut Ilmu di Perguruan Tinggi
SD hingga SLTP saya selesaikan di Pulau Nias. Jenjang SMA saya tuntut di Sibolga, Pulau Sumatera. Sementara jenjang S-1 dan S-2 saya lalui di Bandung, Jawa Barat. Semakin tinggi jenjang pendidikanku, saya semakin jauh dari orangtuaku; melewati tiga Pulau. Menuntut ilmu di Bandung, bukanlah perkara mudah. Saya mesti menyesuaikan diri dengan kultur baru. Awalnya, saya merasa pengetahuan umumku kurang meyakinkan. Sepertinya, saya kurang nyambung jika mendengarkan obrolan teman-temanku. Banyak informasi yang belum kuketahui. Banyak ilmu yang belum kugapai. Realitas itu membuatku ingin menggenggam semuanya itu.
Saya masih ingat, kali pertama saya masuk kuliah fisafat, saya hanya bengong saja. Sepertinya saya ibarat kertas kosong. Maka, saya berjuang agar kertas kosong hidup itu terisi dengan goresan ilmu. Buku-buku filsafat dan teologi saya lahap. Informasi dan ilmu dari dosen saya serap penuh semangat. Sepulang kuliah, saya berusaha belajar lagi. Saya mengingat pelajaran yang baru saja saya terima dari sang dosen. Selama menempuh pendidikan S-1, semangat saya seperti para pejuang kemerdekaan. Buah ketekunan akhirnya saya panen. Saya adalah lulusan terbaik, Program Studi Filsafat Unpar tahun 2008, dengan Indeks Prestasi Kumulatif tertinggi: 3, 78. Rektor Unpar, waktu itu dijabat Ibu Dr. Cecilia Lauw, menganugerahkan kepada saya sertifikat sebagai lulusan terbaik. Saya menulis skripsi berjudul: “RELEVANSI PEMIKIRAN KARL RAIMUND POPPER TENTANG MASYARAKAT TERBUKA UNTUK KONTEKS MASYARAKAT INDONESIA.” Pada tanggal 7 Juli 2008, saya berhasil mempertahankan skripsi itu dan dinyatakan lulus. Dengan demikian, saya berhak menyandang gelar Sarjana Sastra (S. S) di bidang ilmu filsafat.
Usai lulus S-1, saya ditugaskan di almamater saya, Seminari Menengah St. Petrus Sibolga. Selama setahun saya menjalani Tahun Orientasi Pastoral di sana. Selain mengajar di Seminari, saya juga sempat beberapa bulan mengajar Pendidikan Agama Katolik di SMA St. Fransiskus Aek Tolang, tempat saya menimba ilmu dulunya. Pengalaman itu seolah saat nostalgia. Saya bertemu kembali para guru SMA saya. Bangga juga pernah mengajar di almamater, suatu pengalaman langka.
Tahun 2009, saya kembali ke Bandung. Sambil mengajar di SMA St. Aloysius Bandung, saya juga melanjutkan studi jenjang S-2 di Program Magister Ilmu Teologi Universitas Katolik Parahyangan. Menjadi mahasiswa pascasarjana ada perasaan bangga sekaligus kesadaran akan tanggung jawab. Sekolah tinggi mesti pengetahuan tinggi. Syukur, setelah lulus S-1, semangat belajar saya tak pernah berhenti. Saya tetap berusaha membaca buku. Waktu S-1, saya lebih banyak bergelut dengan ilmu filsafat yang kadang ”liar” demi mencari kebijaksanaan. Ilmu fisafat telah mengajari saya untuk berpikir kritis sekaligus konstruktif. Dunia filsafat telah membawa saya memendang kebenaran majemuk, bukan kebenaran tunggal. Ilmu filsafat telah mengajariku tidak hanya mengafirmasi tetapi sekaligus terbiasa berpikir falsifikasif ala Karl Popper itu. Dunia filsafat membawa saya memahami hidup ini tidak sebatas linier atau sekuentif. Dunia filsadat telah membawaku mempertanyakan segala hal, termasuk iman akan Allah. Ilmu filsafat kadang membuatku ragu pada identitasku, sekaligus menerbitkan gambaran siapa diriku. Bergelut dengan filsafat, membuatku keluar dari diriku, keluar dari dunia sempit dan berlayar ke samudra luas berpikir. Filsafat telah mempertajam daya intelektual, afeksi, dan spiritualku. Pendeknya, dunia filsafat telah membuka horizon berpikir, bertindak dan bereflektif di dalam diriku.
Akan tetapi, memasuki Program Magister Ilmu Teologi, saya dihantar untuk lebih menata kembali pola bertindak, berpikir dan berfleksi. Kebenaran itu tidak hanya kebenaran filosofis, tetapi ada kebenaran teologis. Menjadi mahasiswa S-2, saya lebih berpikir ke arah transformasi hidup. Ilmu teologi telah menghantarku memahami Allah lebih dekat. Ilmu teologi membawaku menghayati iman yang hidup, bukan sekadar ortodoksi, bukan pula sebatas dogma. Ilmu teologi telah membawaku menghayati hidup ini sebagai simbol kehadiran Allah. Oleh karena itu, tindakan sehari-hari mestinya tampak sebagai kehadiran Ilahi. Ilmu teologi bukan sekadar refleksi vertikal: manusia-Allah, tetapi sekaligus pengalaman iman yang dihidupi bersama manusia lain. Teologi bukan hanya perkara beriman tetapi sekaligus mencinta. Teologi bukan hanya sekadar keyakinan, tetapi penuh nalar. Ilmu teologi bukan cuma teori tetapi ia juga mesti terwujud dalam tindakan nyata!
Tidak terasa, dua tahun berlalu. Sayapun lulus dari jenjang pendidikan S-2. Saya menulis tesis: BÖWÖ DALAM TRADISI PERKAWINAN ÖRI MORO’Ö-NIAS BARAT: PERMASALAHAN DAN SOLUSINYA DALAM TERANG AJARAN GEREJA KATOLIK.”Tidak gampang menuliskan tesis itu. Sebab, saya menulisnya dengan metode penelitian lapangan. Saya ibarat penyambung potongan puzzle yang berserakkan di mana-mana. Buku ilmiah yang mendukung penulisan tesis itu, sangat minim. Tetapi, kerja keras membuatku melewati rintangan itu. Tepat tanggal 30 September 2011 silam, saya dinyatakan lulus dari program Magister Ilmu Teologi. Sejak itu, saya berhak menyandang gelar akademik yang tak pernah kubayangkan: M. Hum (Magister Humaniora) dalam konsentrasi ilmu teologi transformatif. Berkat Allah memang selalu menyertaiku. Nilaiku sangat mencengangkan. Saya lulus dengan predikat cum laude. Saya pun berhasil meraih IPK 3, 85. Terima kasih Tuhan atas anugerah besarMu.
Dipilih Memimpin
Ada pengalaman yang patut saya bagikan kepada Anda. Sejak SD hingga SMP saya selalu dipilih menjadi ketua kelas. Saya hampir tidak mengerti mengapa saya dipilih menjadi pemimpin. Padahal, saya merasa bahwa saya bukanlah anak yang hebat kala itu. Bahkan saya sebenarnya cenderung minder. Kalau berbicara cenderung meledak-ledak dan bahkan grogi. Pengalaman sebagai pemimpin semakin menjadi bagian dari dari hidupku. Waktu saya SMA, saya juga dipilih menjadi wakil ketua OSIS periode tahun 2000-2001. Bahkan di Seminari Menengah St. Petrus Aek Tolang, saya dipercaya sebagai Presidium (2000-2001).
Saya pikir, pengalaman dipilih menjadi pemimpin hanya sampai di sini saja. Ehm......ternyata prediksi saya meleset. Waktu saya menimba ilmu di Bandung-Jawa Barat, saya malah semakin bergelut sebagai leader!. Pada tahun 2010 silam, saya dipercaya sebagai Koordinator Panitia Grand Rencontre. Acara ini merupakan temu siswa Katolik se-Bandung Raya yang diadakan tepat tanggal 14-16 Juni. Bersama teman-teman, saya mempersiapkan acara ini selama berbulan-bulan.
Mahasiswa idealnya, tidak pasif saja. Perlu kreatif dan mengasah kemampuan soft skill melalui, salah satunya, keterlibatan dalam organisasi. Hal semacam itu saya tekuni. Saya awali pengalaman berorganisasi menjadi Sekretaris Jenderal Himpunan Program Studi Filsafat Universitas Katolik Parahyangan, Bandung (2005-2006). Saya juga pernah menjadi panitia OSEKKA Fakultas Filsafat Unpar (2006). Selama menjadi mahasiswa, jabatan organisasi yang bergengsi yang pernah saya alami adalah menjadi Majelis Perwakilan Mahasiswa (MPM), Unpar (2007-2008). Saya dipercaya menduduki jabatan Internal Inspekor, suatu badan yang memantau keaktivan dan kinerja MPM, Lembaga Kepresidenan Mahasiswa (LKM) bahkan kinerja Himpunan Program Studi.
Aktif di organisasi mahasiswa ternyata tidak berhenti di situ. Di dalam komunitas Skolastikat Krosier, saya juga dipilih menjadi Dewan Frater tiga tahun berturut-turut. Dan pada tahun 2009-2010 lalu saya dipercaya menjadi Dekan Frater Skolastikat Krosier. Itulah hidup saya. Tidak pernah terlepas dari pengalaman dipilih sebagai pemimpin. Menulis tentang diri sendiri bukanlah sikap narsis. Bukan juga ingin menyombongkan diri, bukan sikap gagah-gagahan/show off, bukan! Saya menulis tentang diriku sendiri sebagai bagian dari show up, ingin membagikan kisah hidupku apa adanya. Jika filsuf kondang, Descartes, pernah berkata: ”cogito ergo sum,” (saya berpikir maka saya ada), saya juga berkata: saya berbagai maka saya ada. Berbagi itu bentuk lain dari sikap meng-ada-kan diri.