Syafruddin Prawiranegara

ketua Pemerintahan Darurat Republik Indonesia (PDRI) dan Wakil Perdana Menteri Indonesia ke-3

Mr. Syafruddin Prawiranegara, atau juga ditulis Sjafruddin Prawiranegara (28 Februari 1911 – 15 Februari 1989) adalah pejuang pada masa kemerdekaan Republik Indonesia yang juga pernah menjabat sebagai Presiden/Ketua PDRI (Pemerintah Darurat Republik Indonesia) ketika pemerintahan Republik Indonesia di Yogyakarta jatuh ke tangan Belanda saat Agresi Militer Belanda II pada tanggal 19 Desember 1948.

Syafruddin Prawiranegara
Ketua Pemerintah Darurat Republik Indonesia
Masa jabatan
19 Desember 1948 – 13 Juli 1949
Sebelum
Pendahulu
Soekarno
Pengganti
Soekarno
Sebelum
Menteri Keuangan Republik Indonesia 5
Masa jabatan
2 Oktober 1946 – 26 Juni 1947
PresidenSoekarno
Masa jabatan
6 September 1950 – 27 April 1951
PresidenSoekarno
Sebelum
Pendahulu
Lukman Hakim
Sebelum
Menteri Pertanian Republik Indonesia 5
Masa jabatan
29 Januari 1948 – 4 Agustus 1949
PresidenSoekarno
Informasi pribadi
Lahir(1911-02-28)28 Februari 1911
Belanda Serang, Banten, Hindia Belanda
Meninggal15 Februari 1989(1989-02-15) (umur 77)
Indonesia Jakarta, Indonesia
Partai politikMasyumi
Suami/istriT. Halimah Syehabuddin Prawiranegara
Sunting kotak info
Sunting kotak info • L • B
Bantuan penggunaan templat ini

Masa muda dan pendidikan

Tokoh yang lahir di Anyar Kidul yang memiliki nama kecil "Kuding" ini memiliki darah keturunan Sunda Banten dan Minangkabau. Buyutnya, Sutan Alam Intan, masih keturunan raja Pagaruyung di Sumatera Barat, yang dibuang ke Banten karena terlibat Perang Padri. Ia menikah dengan putri bangsawan Banten, melahirkan kakeknya yang kemudian memiliki anak bernama R. Arsyad Prawiraatmadja. Ayah Syafruddin bekerja sebagai jaksa, namun cukup dekat dengan rakyat, dan karenanya dibuang oleh Belanda ke Jawa Timur.

Syafruddin menempuh pendidikan ELS pada tahun 1925, dilanjutkan ke MULO di Madiun pada tahun 1928, dan AMS di Bandung pada tahun 1931. Pendidikan tingginya diambilnya di Rechtshogeschool (Sekolah Tinggi Hukum) di Jakarta (sekarang Fakultas Hukum Universitas Indonesia) pada tahun 1939, dan berhasil meraih gelar Meester in de Rechten (saat ini setara dengan Magister Hukum).

Pra-kemerdekaan

Sebelum kemerdekaan, Syafruddin pernah bekerja sebagai pegawai siaran radio swasta (1939-1940), petugas pada Departemen Keuangan Belanda (1940-1942), serta pegawai Departemen Keuangan Jepang.

Setelah kemerdekaan Indonesia, ia menjadi anggota Badan Pekerja KNIP (1945), yang bertugas sebagai badan legislatif di Indonesia sebelum terbentuknya MPR dan DPR. KNIP diserahi kekuasaan legislatif dan ikut menetapkan Garis-garis Besar Haluan Negara.

Pemerintah Darurat RI

Syafruddin adalah orang yang ditugaskan oleh Soekarno dan Hatta untuk membentuk Pemerintahan Darurat RI (PDRI), ketika Presiden Soekarno dan Wakil Presiden Mohammad Hatta ditangkap pada Agresi Militer II, kemudian diasingkan oleh Belanda ke Pulau Bangka, 1948. Syafruddin menjadi Ketua Pemerintah Darurat RI pada 1948.

Atas usaha Pemerintah Darurat, Belanda terpaksa berunding dengan Indonesia. Perjanjian Roem-Royen mengakhiri upaya Belanda, dan akhirnya Soekarno dan kawan-kawan dibebaskan dan kembali ke Yogyakarta. Pada 13 Juli 1949, diadakan sidang antara PDRI dengan Presiden Sukarno, Wakil Presiden Hatta serta sejumlah menteri kedua kabinet. Serah terima pengembalian mandat dari PDRI secara resmi terjadi pada tanggal 14 Juli 1949 di Jakarta.

Jabatan pemerintahan

Syafrudin Prawiranegara pernah menjabat sebagai Wakil Perdana Menteri, Menteri Keuangan, dan Menteri Kemakmuran. Ia menjabat sebagai Wakil Menteri Keuangan pada tahun 1946, Menteri Keuangan yang pertama kali pada tahun 1946 dan Menteri Kemakmuran pada tahun 1947. Pada saat menjabat sebagai Menteri Kemakmuran inilah terjadi Agresi Militer II dan menyebabkan terbentuknya PDRI.

Seusai menyerahkan kembali kekuasaan Pemerintah Darurat RI, ia menjabat sebagai Wakil Perdana Menteri RI pada tahun 1949, kemudian sebagai Menteri Keuangan antara tahun 1949-1950. Selaku Menteri Keuangan dalam Kabinet Hatta, pada bulan Maret 1950 ia melaksanakan pengguntingan uang dari nilai Rp 5 ke atas, sehingga nilainya tinggal separuh. Kebijaksanaan moneter yang banyak dikritik itu dikenal dengan julukan Gunting Syafruddin.

Syafruddin kemudian menjabat sebagai Gubernur Bank Sentral Indonesia yang pertama, pada tahun 1951. Sebelumnya ia adalah Presiden Direktur Javasche Bank yang terakhir, yang kemudian diubah menjadi Bank Sentral Indonesia.

Keterlibatan dalam PRRI

Pada awal tahun 1958, PRRI berdiri akibat ketidakpuasan terhadap pemerintah karena ketimpangan-ketimpangan sosial yang terjadi dan pengaruh komunis (terutama PKI) yang semakin menguat. Syafruddin diangkat sebagai Presiden PRRI yang berbasis di Sumatera Tengah.

Pada bulan Agustus 1958, perlawanan PRRI dinyatakan berakhir dan pemerintah pusat di Jakarta berhasil menguasai kembali wilayah-wilayah yang sebelumnya bergabung dengan PRRI. Keputusan Presiden RI No.449/1961 kemudian menetapkan pemberian amnesti dan abolisi bagi orang-orang yang tersangkut dengan pemberontakan, termasuk PRRI.

Politik

Pimpinan Masyumi (1960)

Masa tua

Syafrudin Prawiranegara memilih lapangan dakwah sebagai kesibukan masa tuanya. Namun berkali-kali bekas tokoh Partai Masyumi ini dilarang naik mimbar. Pada bulan Juni 1985, ia diperiksa sehubungan dengan isi khotbahnya pada hari raya Idul Fitri 1404 H di masjid Al-A'raf, Tanjung Priok, Jakarta. Dalam aktivitas keagamaannya, ia pernah menjabat sebagai Ketua Korp Mubalig Indonesia (KMI). Kegiatan-kegiatannya yang berkaitan dengan pendidikan, keislaman, dan dakwah, antar lain:

  1. Anggota Dewan Pengawas Yayasan Pendidikan & Pembinaan Manajemen (PPM), kini dikenal dengan nama PPM Manajemen(1958)
  2. Anggota Pengurus Yayasan Al Azhar/Yayasan Pesantren Islam (1978)
  3. Ketua Korps Mubalig Indonesia (1984-??)

Ia juga sempat menyusun buku Sejarah Moneter, dengan bantuan Oei Beng To, direktur utama Lembaga Keuangan Indonesia.

Syafruddin Prawiranegara meninggal di Jakarta, pada tanggal 15 Februari 1989, pada umur 77 tahun.

Keluarga

Syafruddin menikah dengan Tengku Halimah Syehabuddin.[1] Mereka memiliki delapan orang anak, dan sekitar lima belas cucu. Cucunya ketiga belas lahir di Australia sebagai bayi tabung pertama keluarga Indonesia, 1981.

Referensi

  1. ^ Badriah, Sederhana Hingga Akhir Hayat. Tempo, edisi Selasa, 01 Agustus 2006. Diakses 18 November 2009.

Sumber

Pranala luar

Didahului oleh:
Surachman Tjokrodisurjo
Menteri Keuangan
1946–1947
Diteruskan oleh:
A. A. Maramis
Didahului oleh:
Lukman Hakim
Menteri Keuangan
1949–1950
Diteruskan oleh:
Lukman Hakim
Didahului oleh:
Lukman Hakim
Menteri Keuangan
1950–1951
Diteruskan oleh:
Jusuf Wibisono
Didahului oleh:
Mohammad Natsir
Menteri Penerangan
1948–1949
Diteruskan oleh:
Samsuddin