Sastra eksil Indonesia
Artikel ini tidak memiliki kategori atau memiliki terlalu sedikit kategori. Bantulah dengan menambahi kategori yang sesuai. Lihat artikel yang sejenis untuk menentukan apa kategori yang sesuai. Tolong bantu Wikipedia untuk menambahkan kategori. Tag ini diberikan pada 2011. |
Sastra Eksil Indonesia adalah karya-karya pengarang Indonesia yang terdampar di luar negeri dan tidak bisa atau tidak diperbolehkan pulang ke tanah air setelah peristiwa 30 September 1965.[1]
Sastra eksil Indonesia ialah karya sastra orang-orang eksil Indonesia, yakni orang-orang Indonesia yang terpaksa tidak bisa pulang kembali ke Indonesia karena situasi politik pada tahun 1965, khususnya mereka yang bermukim di Eropa Barat, dan lebih khusus lagi yang di Belanda. Situasi politik yang dimaksud ialah perubahan pemerintahan secara drastis dari pemerintahan sipil ke pemerintahan di bawah kekuasaan militer. [2] Keadaan ini terjadi sejak sekitar kuartal pertama tahun 1966, yang diawali dengan apa yang dinamakan ‘Peristiwa G30S’ tahun 1965. Terhambatnya warga Indonesia tidak bisa kembali ke tanah air, dan harus hidup dari satu negeri ke negeri lain, oleh mantan Presiden Abdulrachman Wahid alias Gus Dur menamai orang-orang eksil Indonesia sebagai ‘orang-orang yang terhalang pulang’ atau ‘orang-orang klayaban’.[2]
Kebudayaan eksil, termasuk sastra eksil, lahir sebagai akibat terjadinya dua atau lebih kekuatan ideologi dan kekuatan politik – sekaligus juga kekuatan ideologi-politik – yang tidak terdamaikan, sehingga pihak yang satu harus dilenyapkan atau diusir sejauh-jauhnya oleh pihak yang lain. Hindu-Budha vs Islam (Badui, Wong Using, Bali Kuno – abad ke-15), Belanda vs Jawa (Samin – abad ke-19), Kiri vs Kanan/Militerisme (Diaspora Indonesia – dua dasawarsa pasca-PD II).[2] Atau, dalam bentuk yang lebih lunak, hasil dari sekelompok makhluk yang kalah kuat yang dipindahkan dengan paksa dari tempat satu ke tempat lain oleh sekelompok makhluk yang lebih kuat. Seperti misalnya, antara lain, sastra Jawa Suriname dan sastra Jawa Afrika Selatan, yang lahir dari kuli-kuli kontrak dari Jawa di kawasan-kawasan tersebut.[2]
Sama yang umum dialami kaum eksil, para penulis eksil Indonesia juga harus membuang ciri-ciri dan jatidiri mereka.[2] Penghilangan jati diri itu dilakukan atas desakan dari penguasa di mana mereka berlindung – semua eksil Indonesia yang bermukim di China mereka harus bernama China, bahkan sampai di Eropa Barat pun (Perancis) mereka ‘mengubah nama’ mereka menjadi nama-nama Perancis.[2] Goncangan perubahan itu terlebih dirasakan oleh para eksil, karena di dalam ideologi mereka telah ditanamkan ajaran, bahwa ‘dunia proletariat mereka’ adalah ‘dunia murni’, sedang dunia di luar mereka adalah ‘lautan burjuasi’ yang serba kotor.[2]
Eksil Indonesia mempunyai kekhasan dibandingkan berbagai fenomena eksil dunia lainnya. Eksil pada umumnya adalah mereka yang melarikan diri ke luar negeri akibat berbagai tekanan politik.[3] Mereka mempersiapkan diri untuk tidak akan pernah bisa pulang.[3] Karenanya, mereka akan berintegrasi penuh dengan budaya dan masyarakat baru di mana mereka akan tinggal.[3] Mereka menjadikan tanah pengasingan itu sebagai rumah baru dan menciptakan kebudayaan-kebudayaan baru sebagai hasil dialektika budaya yang mereka bawa dari tanah asal mereka dengan budaya tanah pengasingannya. Inilah yang dikenal dengan nama kebudayaan diaspora.[3]
Kondisi tersebut tidak terdapat pada eksil Indonesia.[3] Ketika peristiwa 65 terjadi di Indonesia, mereka yang berada di luar negeri merasa hal tersebut tidak akan berlangsung lama.[3] Namun kenyataannya berlangsung puluhan tahun. [3]Baru pada tahun 1990an, mereka sadar bahwa mereka adalah eksil, setelah 25 tahun ketika pemerintah setempat mulai menuntut kejelasan kewarganegaraan sebagai syarat mendapatkan uang pensiun, ketika umur mereka sudah tua.[3] Bagi para penulis, semuanya menjadi terlambat.[3] Untuk terjun dalam pergaulan sastra setempat, mereka harus memiliki modal pengetahuan bahasa setempat yang cukup.[3] Dan belajar bahasa di usia tua hampir merupakan kemustahilan. Akhirnya mereka terkurung dalam kesadaran mereka yang tidak realistis, hidup di negeri asing namun tetap merasa Indonesia.[3]
Sastra eksil bukan satu aliran, tetapi sebagai suatu kekhususan akibat peristiwa sejarah.[1] Salah satu kekhususan kehidupan seniman eksil adalah kejiwaannya yang mengalami trauma akibat peristiwa politik.[1] Keterpisahan berlarut-larut dengan negeri asal membuat mereka terombang-ambing antara dendam dan nostalgia, antara ilusi dan loyalitas.[1] Bagi pada seniman dan sastrawan, pergulatan emosi itu muncul dalam bentuk puisi, yang ditulis bukan hanya oleh penyair.[1] Banyak pelukis eksil yang kemudian membuat puisi, dan muncul penyair baru yang usianya sudah mendekati usia pensiun. Menulis puisi menjadi kebutuhan para seniman eksil.[1]
Beberapa seniman yang tercatat sebagai penulis eksil, antara lain:[1]
Rujukan
- ^ a b c d e f g (Indonesia) Alham, Asahan (ed). Di Negeri Orang: Puisi Penyair Indonesia Eksil, Lontar, 2002, ISBN 979-8083-42-3
- ^ a b c d e f g (Indonesia) Setiawan, Hersri.Sastra Eksil Indonesia [1], makalah lokakarya tentang ‘Indonesian exiles: crossing cultural, political and religious borders’, Maret 2009, Canberra, Australia
- ^ a b c d e f g h i j k (Indonesia) Supartono, Alex, Rajawali Tak Bisa Pulang: Karya-Karya Eksil Utuy Tatang Sontani, Jurnal Kalam No. 18, 2001, Jakarta