Liga Delos, didirikan pada 477 SM,[1] adalah perkumpulan negara kota Yunani, anggotanya berjumlah antara 150[2] sampai 173,[3] di bawah pimpinan Athena, yang tujuannya adalah untuk meneruskan penyerangan terhadap Kekaisaran Persia setelah kemenangan Yunani pada Pertempuran Plataia pada akhir Perang Yunani-Persia. Nama Liga Delos[4] berasal dari tempat pertemuan tetapnya, yaitu pulau Delos, di sana pertemuan digelar di kuil dan di sana juga tempat baitulmal liga ini, sampai akhirnya dalam gerakan yang simbolis,[5] Perikles memindahkannya ke Athena pada tahun 454 SM.[6] Tidak lama setelah pembentukannya, Athena mulai menggunakan angkatan laut liga untuk tujuannya sendiri. Tindakan ini pada akhirnya berujung pada konflik antara Athena melawan beberapa anggota liga. Liga ini juga digunakan oleh Athena untuk berperang melawan Liga Peloponnesos pimpinan Sparta. Liga Delos dibubarkan pada tahun 404 SM.

Liga Delos, sebelum Perang Peloponnesos pada 431 SM

Latar belakang

Perang Yunani-Persia bermula dari penaklukan kota-kota Yunani di Asia Kecil, dan khususnya Ionia, oleh Kekaisaran Persia Akhemeniyah pimpinan Koresh yang Agung tidak lama setelah tahun 550 SM. Persia mendapati bahwa Ionia sulit dikendalikan, dan akhirnya memutuskan untuk menempatkan satu tiran di tiap kota.[7] Meskipun negara kota Yunani di masa lalu seringa dipimpin oleh tiran, namun ini adalah bentuk pemerintahan arbitrer yang sudah mulai mengalami kemunduran.[8] Pada tahun 500 SM, mulai muncul banyak pemberontakan di Ionia yang menentang orang-orang kaki tangan Persia itu. Ketegangan yang meningkat ini pada akhirnya pecah menjadi pemberontakan terbuka akibat tindakan tiran kota Miletos, yakni Aristagoras. Berupaya untuk menyelamatkan dirinya setelah ekspedisi yang gagal pada tahun 499 SM yang didukung oleg Persia, Aristagoras memilih untuk menyatakan Miletos sebagai negara demokrasi.[9] Ini memicu revolusi serupa di seluruh Ionia, dan meluas ke Doris dan Aitolia, serta sekaligus menandai dimulainya Pemberontakan Ionia.[10]

Dua negara kota Yunani, yaitu Athena dan Eretria, ikut terseret dalam konflik ini oleh Aristagoras, dan dalam satu-satunya kampanye mereka pada tahun 498 SM, mereka ikut terlibat dalam penaklukan dan pembakaran ibukota regional Persia, Sardis.[11] Setelah peristiwa ini, pemberontakan Ionia berlanjut (tanpa adanya bantuan lagi dari pihak luar) selama lima tahun berikutnya, sampai akhirnya benar-benar dihentikan oleh Persia. Akan tetapi, raja Persia, Darius yang Agung, kemudian membuat keputusan yang sangat berpengaruh dalam sejarah. Dia merasa bahwa, meskipun pemberontakan berhasil diredam, dia masih harus memberikan hukuman kepada Athena dan Eretria karena telah membantu pemberontakan.[12] Pemberontakan Ionia telah sangat mengancam kestabilan kekaisaran Persia pimpinan Darius, dan negara-negara kota di Yunani daratan juga amat berpotensi memberikan ancaman terhadap kestabilan kekaisaran jika tidak ditangani. Karena alasan itulah, Darius memutuskan bahwa dia perlu menaklukan Yunani, yang harus dimulai dengan penghancuran Athena dan Eretria.[12]

Dalam dua dekade berikutnya ada dua invasi yang dilakukan oleh Persia ke Yunani. Pertempuran-pertempuran dalam kedua invasi itu banyak dicatat oleh para sejarawan Yunani kuno, dan beberapa di antaranya banyak dianggap sebagai pertempuran-pertempuran paling berpengaruh dalam sejarah. Pada invasi pertama, Thrakia, Makedonia dan Kepulauan Aigea ditaklukan oleh Kekaisaran Persia, sedangkan Eretria diluluhlantakan.[13] Namun, invasi itu berakhir pada tahun 490 SM akibat kemenangan telak Athena pada Pertempuran Marathon.[14] Seusai invasi pertama, Darius meninggal dan tanggung jawab perang kini dipegang oleh putranya, Xerxes I.[15] Xerxes kemudian memimpin Invasi kedua Persia ke Yunani pada tahun 4800 SM. Dia membawa pasukan darat dan armada laut yang besar ke Yunani.[16] Pasukan Yunani yang berusaha melawan Persia dikalahkan secara berturut-turut pada Pertempuran Thermopylae di darat dan Pertempuran Artemision di laut.[17] Akibatnya keseluruhan Yunani kecuali Peloponnesos jatuh ke tangan Persia, yang berniat untuk benar-benar menghancurkan armada laut Yunani. Namun, armada laut Persia malah dikalahkan secara telak pada Pertempuran Salamis.[18] Setahun kemudian, yaitu pada tahun 479 SM, negara-negara kota Yunani mengumpulkan pasukan Yunani terbesar yang pernah ada dan mengalahkan sisa-sisa pasukan Persia yang tersisa pada Pertempuran Plataia. Peristiwa ini sekaligus mengakhiri invasi Persia dan menyelamatkan Yunani dari ancaman Persia.[19]

Armada laut Yunani meneruskan kemenangan mereka dengan menghancurkan sisa-sisa armda laut Persoa, yang telah kehilangan semangat, pada Pertempuran Mykale, yang menurut tradisi terjadi pada hari yang sama dengan Pertempuran Plataia.[20] Peristiwa ini menandai akhir invasi Persia, dan mengawali fase berikutnya dalam Perang Yunani-Persia, yakni serangan balik Yunani.[21] Setelah Pertempuran Mykale, kota-kota Yunani di Asia Kecil memberontak kembali, dan Persia kini tak berdaya untuk menghentikan mereka.[22] Armada laut Yunani kemudian berlayar ke Khersonese Thrakia, yang masih dikuasai oleh Persia, dan mengepung serta menaklukan kota Sestos.[23] Setahun kemudian, yaitu tahun 478 SM, pasukan Yunani mengirim pasukan untuk menaklukan kota Byzantion (Istanbul modern). Pengepungan kota tersebut berhasil, namun tingkah laku jenderal Sparta, Pausanias, membuat banyak orang dalam pasukan Yunani tidak senang. Akibatnya dia pun dipanggil pulang ke Sparta.[24]

Pembentukan liga

Setelah menaklukan Byzantion, Sparta ingin segera mengakhiri keterlibatannya dalam perang. Pihak Sparta berpendapat bahwa dengan dibebaskannya Yunani daratan serta kota-kota Yunani di Asia Kecil, maka tujuan perang telah tercapai. Selain itu barangkali mereka juga berpendapat bahwa menciptakan keamanan jangka panjang bagi orang-orang Yunani di Asia Kecil itu tidaklah mungkin.[25] Setelah menang di Mykale, raja Sparta, Leotykhides, pernah mengajukan usulan untuk memindahkan semua orang Yunani di Asia Kecil ke Eropa sebagai satu-satunya cara untuk membebaskan mereka dari penguasaan Persia untuk seterusnya. Xanthippos, komandan Athena di Mykale, secara keras menolak usulan ini; kota-kota Ionia dulunya merupakan koloni Athena, dan jika tidak ada yang mau melindungi orang Ionia, maka Athena yang akan melakukannya.[25] Ini menandai titik ketika kepemimpinan persekutuan Yunani secara efektif berpindah ke tangan Athena.[25] Dengan penarikan mundur Sparta setelah penaklukan Byzantion, maka kepemimpinan Athena semakin terlihat jelas.

Perseutuan negara kota Yunani yang telah bertempur melawan invasi Xerxes pada awalnya didominasi oleh Sparta dan Liga Peloponnesos yang dipimpinnya Dengan mundurnya Sparta serta sekutu-sekutunya, kongres negara kota Yunani pun digelar Pulau Delos yang dianggap suci. Kongres ini bertujuan membentuk persekutuan baru untuk melanjutkan perlawanan terhadap Persia dan akhirnya dibentuklah suatu liga. Para sejarawan modern menyebut liga ini sebagai Liga Delos karena didirikan di Pulau Delos. Menurut Thukydides, tujuan resmi liga adalah "membalas kejahatan yang mereka derita dengan cara menggempur wilayah kekuasaan sang raja [Persia].""[26] Pada kenyataannya, tujuan ini terbagi menjadi tiga upaya utama, yaitu mempersiapkan invasi, memberi pembalasan terhadap Persia, dan mengatur cara pembagian rampasan perang. Para anggota liga diberi pilihan apakah mau mengirimkan pasukan bersenjata atau membayar pajak, yang dikumpulkan di baitulmal bersama. Sebagian besar negara memilih untuk membayar pajak.[26] Para anggota liga bersumpah untuk memiliki kawan dan lawan yang sama, dan menenggelamkan batang besi ke laut sebagai perlambang ditetapkannya persekutuan mereka. Politikus Athena, Aristides, nantinya akan menghabiskan sisa hidupnya dengan mengurusi permasalahan liga. Dia meninggal, menurut Plutarkhos, beberapa tahun kemudian di Pontos ketika sedang menentukan jenis pajak bagi anggota liga yang baru.[27]

Catatan kaki

  1. ^ Martin, Thomas (2001-08-11). Ancient Greece: From Prehistoric to Hellenistic Times. Yale University Press. ISBN 978-0300084931. 
  2. ^ The Complete Idiot's Guide to Ancient Greece By Eric D. Nelson, Susan K. Allard-Nelson, Susan K. Allard-Nelson. hlm. 197.
  3. ^ Streams of Civilization: Earliest Times to the Discovery of the New World By Mary Stanton, Albert Hyma. hlm. 125
  4. ^ A history of the classical Greek world: 478-323 BC By Peter John Rhodes hlm. 18 ISBN 1-4051-9286-0 (2006)
  5. ^ Eva C. Keuls, The Reign of the Phallus: Sexual Politics in Ancient Athens (Berkeley: University of California Press) 1985:18.
  6. ^ Thukydides, I, 96.
  7. ^ Holland, 147–151
  8. ^ Fine, hlm. 269–277
  9. ^ Herodotus V, 35
  10. ^ Holland, hlm. 155–157
  11. ^ Holland, hlm. 160–162
  12. ^ a b Holland, hlm. 175–177
  13. ^ Holland, hlm. 183–186
  14. ^ Holland, hlm. 187–194
  15. ^ Holland, hlm. 202–203
  16. ^ Holland, hlm. 240–244
  17. ^ Holland, hlm. 276–281
  18. ^ Holland, hlm. 320–326
  19. ^ Holland, hlm. 342–355
  20. ^ Holland, hlm. 357–358
  21. ^ Lazenby, hlm. 247
  22. ^ Thukydides I, 89
  23. ^ Herodotus IX, 114
  24. ^ Thucydides I, 95
  25. ^ a b c Holland, hlm. 362
  26. ^ a b Thukydides I, 96
  27. ^ Plutarkhos, Aristeides 26

Pranala luar

Templat:Link FA