Michael Servetus
artikel ini perlu dirapikan agar memenuhi standar Wikipedia. |
Netralitas artikel ini dipertanyakan. |
Michael Servetus, ahli geografi, tabib, psikolog, telah menyumbang bagi kesejahteraan manusia melalui penemuan-penemuan ilmiahnya. Michael Servetus hidup pada zaman pergolakan kekristenan di Eropa.
Pada tanggal 27 Oktober 1553, Michael Servetus dibakar di sebuah tiang di Jenewa Swiss. Guillaume Farel—pengeksekusi dan vikaris, yang mewakili John Calvin—memberi peringatan kepada orang-orang yang menyaksikannya, “[Servetus] adalah pria bijaksana yang tak salah lagi menganggap dirinya mengajarkan kebenaran, namun dia jatuh ke tangan si Iblis … Hati-hati agar hal yang sama tidak menimpa kalian!” Apa yang telah dilakukan oleh korban yang naas ini sehingga mengalami nasib tragis demikian?
Michael Servetus lahir pada tahun 1511 di desa Villanueva de Sijena, Spanyol. Sejak muda, dia adalah siswa yang menonjol. Menurut seorang penulis biografi, “pada waktu berusia 14 tahun, ia telah belajar bahasa Yunani, Latin, dan Ibrani, serta memiliki cukup banyak pengetahuan tentang filsafat, matematika, dan teologi.”
Sewaktu Servetus masih remaja, Juan de Quintana, pastor pribadi Kaisar Spanyol, Charles V, mempekerjakan dia sebagai pembantu. Dalam perjalanan tugasnya, Servetus dapat mengamati perpecahan yang mendasar dari agama-agama di Spanyol, yang telah mengirim orang Yahudi dan Muslim ke pembuangan atau yang memaksa mereka menganut agama Katolik.
Pada usia 16 tahun, Servetus pergi ke Prancis untuk belajar hukum di Universitas Toulouse. Di sanalah, untuk pertama kali ia melihat Alkitab yang lengkap. Meskipun membaca Alkitab dilarang keras, Servetus melakukannya secara diam-diam. Setelah menyelesaikan pembacaannya yang pertama, ia bertekad untuk membacanya “seribu kali lagi”. Boleh jadi Alkitab yang di pelajari Servetus di Toulouse adalah Poliglot Complutum, sebuah terjemahan yang memungkinkan dia membaca Alkitab daam bahasa aslinya (Ibrani dan Yunani), beserta terjemahannya dalam bahasa Latin. Pemelajaran Alkitabnya, serta kebobrokan moral dari golongan klerus yang telah ia lihat di Spanyol membuatnya kehilangan kepercayaan terhadap agama Katolik.
Keraguan Servetus diperkuat lagi ketika ia menghadiri penobatan Carles V. Raja Spanyol itu dinobatkan sebagai kaisar Imperium Romawi Suci oleh Paus Clement VII. Sang Paus duduk di singgasananya dan menerima sang raja, yang mencium kakinya. Belakangan Servetus menulis, ‘’“Saya telah melihat dengan mata kepala saya sendiri bagaimana paus di usung di atas bahu para pangeran, dengan segala kemegahan, disanjung di jalanan oleh kumpulan orang banyak.”’’ Servetus tidak habis pikir bagaimana kemegahan yang berlebih-lebihan itu bisa disamakan dengan kesederhanaan yang terdapat dalam Injil.
Pencarian Servetus akan Kebenaran Agama
Dengan bijaksana Servetus berhenti bekerja pada Quintana dan mulai berjuang sendirian mencari kebenaran. Ia percaya bahwa berita Kristus tidak ditujukan kepada kaum teolog dan filsuf melainkan kepada orang awam yang dapat memahami dan menerapkannya. Maka, ia memutuskan untuk memeriksa teks Alkitab dalam bahasa aslinya dan menolak ajaran apa pun yang tidak selaras dengan Alkitab. Menarik, kata “Kebenaran” dan kata turunannya lebih sering muncul daripada kata manapun dalam tulisan-tulisannya.
Pemelajaran Servetus dalam bidang sejarah dan Alkitab telah membantunya sampai kepada kesimpulan bahwa selama tiga abad pertama Tarikh Masehi, Kekristenan telah diselewengkan. Ia mendapati bahwa Konstantin dan para penggantinya telah memperkenalkan ajaran-ajaran palsu yang mengakibatkan diterimanya Tritunggal sebagai doktrin resmi. Pada usia 20 tahun, Servetus menerbitkan bukunya ‘‘On the Errors of the Trinity’’, karya tulis yang menyebabkan dia menjadi sasaran utama Inkwisisi.
Servetus memahami permasalahannya dengan jelas. “Dalam Alkitab,” tulisnya, “Tritunggal tidak pernah disebutkan... Kita dapat mengenal Allah, bukan melalui konsep filsafat yang kita banggakan, tetapi melalui Kristus.” Dia juga sampai pada kesimpulan bahwa roh sucil, bukan suatu pribadi melainkan tenaga aktif Allah.
Servetus berhasil membangkitkan beberapa reaksi yang positif. Tokoh Reformasi Protestan, Sebastian Franc, menulis, “Servetus, orang Spanyol itu, dalam risalahnya memberikan argumentasi bahwa hanya ada satu pribadi dalam diri Allah. Tetapi, Gereja Katolik Roma berpegang pada ajaran bahwa ada tiga pribadi dalam satu oknum. Saya lebih sependapat dengan orang Spanyol itu.” Namun demikian, baik Gereja Katolik Roma maupun gereja-gereja Protestan tidak pernah mengampuni Servetus karena menentang doktrin utama mereka.
Pemelajaran Alkitab juga membuat Servetus menolak doktrin-doktrin lain dari gereja, dan ia menganggap penggunaan patung-patung tidak berdasarkan Alkitab. Maka, satu setengah tahun setelah ia menerbitkan ‘‘On the Errors of the Trinity’’, Servetus dengan respek mengatakan kepada orang Katolik dan Protestan, “Saya tidak menyetujui ataupun menolak semua yang dikatakan oleh setiap pihak. Tampaknya, bagi saya kepercayaan mereka semua sebagian benar dan sebagian salah, namun setiap orang melihat kesalahan orang lain dan tidak menyadari kesalahannya sendiri.” Ya, dia berjuang sendirian mencari kebenaran.
Meski tulus, Servetus juga membuat kesimpulan yang keliru. Misalnya, ia memperhitungkan bahwa Armagedon dan [[Pemerintahan Milenium Kristus]] akan terjadi semasa hidupnya.
Mencari Kebenaran Sains
Karena terpaksa melarikan diri dari para penindasnya, Servetus mengganti namanya menjadi Villanovanus dan menetap di Paris. Di sana, ia mendapatkan gelar dalam bidang seni dan kedokteran. Karena rasa ingin tahunya akan sains, ia mempraktekkan pembedahan mayat agar dapat memahami cara bekerjanya tubuh manusia. Sebagai hasilnya, Servetus mungkin menjadi orang Eropa pertama yang menjelaskan adanya peredaran darah di paru-paru. Penemuannya ini dicantumkan dalam karyanya ‘’The Restitution of Christianity’’. Ia menemukan hal baru ini 75 tahun sebelum sistem peredaran darah yang lengkap dijelaskan oleh William Harvey.
Servetus juga mempersiapkan sebuah edisi baru ‘’Geography Ptolemeus’’. Karya ini begiu bagus sehingga ada yang menjuluki dia sebagai bapak geografi dan etnografi. Belakangan, sewaktu diadili di Jenewa, Servetus dikecam karena telah melukiskan negeri Palestina sebagai suatu daerah yang tandus dan kurang subur. Servetus membela diri dengan mengatakan bahwa penjelasannya memaksudkan keadaan pada waktu itu, bukan pada zaman Musa, yang pasti berlimpah susu dan madu.
Servetus juga mempersiapkan sebuah edisi baru ‘’Geography Ptolemeus’’. Karya ini begitu bagus sehingga ada yang menjuluki dia sebagai bapak geografi dan etnografi. Belakangan, sewaktu diadili di Jenewa, Servetus dikecam karena telah melukiskan negeri Palestina sebagai suatu daerah yang tandus dan kurang subur. Servetus membela diri dengan mengatakan bahwa penjelasannya memaksudkan keadaan pada waktu itu, bukan padazaman Musa, yang pasti berlimpah dengan susu dan madu.
Servetus juga menulis buku ‘’Universal Treatiseon Syrups’’ yang memberikan pendekatan baru dan seimbang terhadap suatu bentuk obat-obatan. Banyaknya pengetahuan medis dalam buku itu membuat dia menjadi perintis dalam bidang farmatologi dan penggunaan vitamin. Mengingat keahlian Servetus dalam begitu banyak bidang, seorang sejarawan menggambarkan dia sebagai “orang yang paling pintar sepanjang sejarah manusia, orang yang memberi sumbangsih bagi kebudayaan universal”.
Penentang yang Sengit
Pencari kebenaran selalu mempunyai banyak penentang. (Lukas 21:15) Salah satu dari antara sekian banyak musuh Servetus adalah John Calvin, yang telah mendirikan sebuah negara Protestan yang otoriter di Jenewa. Menurut sejarawan Will Durang, “kediktatoran [Calvin] tidaklah dipengaruhi oleh hukum atau kekerasan melainkan oleh kehendak dan kepribadiannya yang kuat,” dan Calvin “sama mutlaknya dengan paus manapun dalam menolak kepercayaan individu”.
Servetus mungkin bertemu dengan Calvin di Paris sewaktu mereka masih muda. Sejak awal sudah ada pertentangan kepribadian di antara mereka, dan Calvin menjadi musuh Servetus yang sengit. Meskipun Calvin seorang pemimpin Reformasi, akhirnya ia menuduh Servetus di hadapan Inkwisisi Katolik. Servetus berhasil lolos dari Prancis dengan susah payah, hanya patungnya atau tiruannya yang dibakar. Namun, ia dikenali dan dipenjarakan di perbatasan Jenewa. Di daerah itu, ucapan Calvin merupakan hukum.
Calvin memperlakukan Servetus dengan kejam di penjara. Tetapi, sewaktu berdebat dengan Calvin selama pengadilannya, Servetus menawarkan untuk mengubah pandangannya asalkan penentangnya bisa memberikan alasan berdasarkan Alkitab untuk meyakinkan dia. Calvin tidak berhasil melakukannya. Setelah diadili, Servetus divonis untuk dibakar di tiang. Menurut beberapa sejarawan, Servetus adalah satu-satunya penentang di bidang agama yang patungnya dibakar oleh orang Katolik dan orangnya sendiri dibakar hidup-hidup oleh orang Protestan.
Pencetus Kebebasan Beragama
Meskipun Calvin menyingkirkan saingan pribadinya, dia kehilangan wewengan moralnya. Eksekusi yang tidak adil terhadap Servetus menimbulkan kemarahan orang-orang yang rasional di seluruh Eropa, dan menjadi argumen yang sangat kuat bagi para pejuang kemerdekaan individu yang mendesak bahwa seseorang tidak boleh dibunuh karena kepercayaan agamanya. Para pejuang itu semakin bertekad untuk terus memperjuangkan kebebasan beragama.
Penyair Italia Camillio Renato memprotes, “Baik Allah maupun roh-Nya tidak menganjurkan tindakan demikian. Kristus pun tidak memperlakukan orang-orang yang menyangkal dia dengan cara demikian.” Dan humanis Pranis, Sebastien Chateillon menulis, “Membunuh seseorang tidaklah melindungi suatu doktrin, itu tetap suatu pembunuhan.” Servetus sendiri pernah berkata, “Saya menganggap hal yang serius bila orang-orang dibunuh hanya karena mereka salah dalam menafsirkan Alkitab, apalagi kalau kita tahu bahwa orang-orang yang dipilih pun bisa terjerumus ke dalam kesalahan.”
Berkenaan dampak yang sangat kuat dari eksekusi Servetus, buku ‘’Michael Servetus—Intellectual Ciant, Humanist, and Martyr’’ berkata, “Kematian Servetus merupakan titik balik dalam ideologi dan cara berpikir yang umum sejak abad keempat.” Buku itu juga mengatakan, “Dari sudut pandang sejarah, Servetus mati agar kebebasan hati nurani dapat menjadi hak sipil seseorang dalam masyarakat modern.”
Pada tahun 1908, sebuah monumen untuk Servetus didirikan di kota Annemasse, di Prancis, sekitar 5 kilometer dari lokasi dia dibunuh. DI sana, terdapat sebuah tulisan yang berbunyi, “Michael Servet[us], …ahli geografi, tabib, psikolog, telah menymbang bagi kesejahteraan manusia melalui penemuan-penemuan ilmiahnya, pengabdiannya terhadap orang sakit dan miskin, dan perjuangan yang gigih demi kebebasan berpikir dan berhati nurani…Keyakinannya tak tergoyahkan. Dia mengorbankan hidupnya demi kebenaran.”
Upaya pencarian Servetus akan kebenaran telah membuatnya menggunakan nama Yehuwa. Beberapa bulan setelah William Tyndale menggunakan nama ini dalam terjemahan Pentateukh-nya, Servetus menerbitkan buku ‘‘On the Errors of the Trinity’’—yang di dalamnya ia menggunakan nama Yehuwa. Dalam karya ini ia menjelaskan, “Nama lain, yang paling kudus dai semuanya, [Yehuwa], … dapat diartikan sebagai berikut, …‘Ia yang menyebabkan ada’, ‘Ia yang menjadikan ada’, ‘penyebab existensi’. Dia mengatakan, “Nama Yehuwa dengan tepah hanya disandang oleh sang Bapak.”
Pada tahun 1542, Servetus juga mengedit Alkitab terjemahan Latin oleh Santes Pagninus yang terkenal. Dalam catatan pinggirnya yang ekstensif, Servetus kembali menonjolkan nama ilahi. Dia mencangumkan nama Yehuwa dalam catatan pinggir dari ayat-ayat kunci seperti Mazmur 83:18, yang memuat kata “Tuhan” dalam teks ayat itu.”
Dalam karya tulisannya yang terakhir, The Restitution of Christianity, Servetus mengatakan berkenan nama ilahi, Yehuwa, “Jelaslah … bahwa ada banyak yang mengucapkan nama ini pada zaman dulu.”