Wawasanislam
Halo, Wawasanislam, selamat datang di Wikipedia bahasa Indonesia! | |||
---|---|---|---|
|
Pulau Cingkuk
Pulau Cingkuk memiliki potensi ganda. Melihat atmosfir dan panorama alamnya yang indah berpotensi sebagai lokasi pariwisata yang bertaraf internasional. Melihat posisinya yang strategis, tak salah, sepanjang sejarah pernah menjadi perhitungan geopolitik dan geostrategi Indonesia. Pernah pulau ini menjadi gerbang laut bagi pertahanan di pantai selatan Sumatera Barat. Pulau ini terletak di mulut perairan Painan, ibu negeri Kabupaten Pesisir Selatan, Sumatera Barat, Indonesia Pulau ini justru sudah menjadi saksi sejarah kepahlawanan rakyat Pesisir Selatan. Setiap bangsa asing yang bermaksud menjajah Sumatera Barat, mereka terlebih dahulu menguasai pulau ini sebagai transito dan basis pertahanan. Misalnya Belanda, sebelum menguasai Sumatera Barat, terlebih dahulu merebut pulau ini untuk menyusun nevre system (sistem urat nadi) pertahanannya. Ternyata di sinilah pula pertama kali (1663) VOC membangun Loji sebagai pusat pertahanan mereka. Namun oleh rakyat Pesisir Selatan mereka selalu dibuat tak pernah aman. Tanggal 7 Juni 1663 rakyat Pesisir Selatan mengobarkan Perang Bayang, menyerang Belanda di Salido dan di Pulau Cingkuk, adalah satu di antara peristiwa heroik rakyat Pesisir Selatan yang amat berharga dan bernilai kontributif dalam pencarian hari lahir Kabupaten Pesisir Selatan.
Pelabuhan Emas
Pantai barat Sumatera, sejak abad ke-7 ramai dilintasi kapal-kapal asing termasuk kapal-kapal yang dipimpin armada Islam. Tahun 672 seorang armada Cina I-Tsing telah sampai di Palembang. Ia meneruskan perlayaran ke India dengan kapal seorang raja di Sumatera (I-Tsing, terj. J.Takakusu, 1896:xxx. Juga dikutip C.Nooteboom, terj. Sutojo, 1972:15). Terdapat dalam Almanak Tiongkok, bahwa tahun 674 di pantai barat Sumatera sudah ada koloni dagang Arab di Sumatera Barat. Tahun 943 seorang Arab Mas`udi pernah menyebut Serandib yaitu Sailan sebagai suatu daerah berada di bawah Sabaq yaitu Sumatera (G.Ferrand, 1922:46, juga dikutip C.Nooteboom, terj.Sutojo, 1972:15-16). Diduga sejak abad ke-7 itu telah ada sentra pendudukan dan pembesar Arab di pantai barat Sumatera. Ini dikuatkan fakta sejarah, khusus Pesisir Selatan pernah ada wilayah Banda Sepuluh. Banda kalau berasal dari akar kata Bandar yang berarti pusat perdagangan maka, pastilah yang memberi nama itu orang Arab. Tetapi kalau Banda itu berasal dari Banda (Bahasa Minang) yang berarti Sungai Kecil, maka dimungkinkan pula nama itu diberi oleh pedagang dengan maksudnya adalah sepuluh sungai yang dapat dilayari kapal dagang. Dulu wilayah ini memang berfungsi sebagai gerbang dan pelabuhan dagang yang digelari pelabuhan emas. Wilayah Banda Sepuluh yang disebut-sebut pernah diperintah Sutan Lembak Alam putra Cinduo Mato (A.Snackey dalam Rusli Amran, 1986:271) itu adalah (1) Batangkapas, (2) Taluk, (3) Taratak, (4) Surantih, (5) Amping Parak, (6) Kambang, (7) Lakitan, (8) Palangai, (9) Sungai Tunu, (10) Punggasan. Pantai barat Sumatera ini, memang tidak hanya berfungsi sebagai pelabuhan hasil bumi dan bandar dagang, tetapi juga ajang percaturan perebutan pengaruh politik berbagai bangsa di dunia. Cina dan Persia berebut pengaruh untuk mendapatkan lada di wilayah Minangkabau. Perebutan pengaruh dua bangsa itu berlangsung lima abad berakhir tahun 1000 M. Sebelumnya abad ke-10, sebenarnya sudah semakin jelas misi dagang dan gerakan Islam melintasi perairan ini. Asia sa'at itu ingin melepaskan diri dari pengaruh Dinasti Tang. Demikian pula antara Umaiyah dan Sriwijaya, bersaing dalam berdagang lada dan saling menguasai Selat Malaka.
Basis Perjuangan
Sebagai basis sejarah, Pulau Cingkuk sejak abad ke-15 seperti menggoda setiap bangsa yang melintasi perairannya. Tidak saja Aceh ketika telah melebarkan sayap ke Bengkulu dengan mengirim Laksamana Sridano, tetapi juga oleh orang asing terkesan Pulau Cingkuk punya posisi penting dalam peralihan kekuasaan Aceh ke Kerajaan Minangkabau yang harus diakui Belanda. Setelah Perjanjian Painan atau Sandiwara Batangkapas tahun 1663 yang secara politis strategis memberi hati kepada Belanda sebagai sebuah sandiwara yakni Belanda mengira "permainan perang dan kedaulatan sudah di tangan setelah Aceh terusir". Betapa tidak Belanda sejak awal diberi angin mengusir Aceh di Pantai Barat. Yang Dipertuan Raja Minangkabau di Pagaruyung diam-diam bersikap netral, meskipun di satu sisi rakyat dibiarkan turut mengusir Aceh bersama Belanda. Andaikan Yang Dipatuan memihak Aceh dan menganjurkan melawan Belanda, pastilah kekuatan itu tak terkalahkan oleh Belanda. Karena pengaruh Dipertuan dianggap keramat dan semakin jauh dari istana dianggap semakin hebat. Itu diakui wakil-wakil Belanda. Sejak tahun 1601 diketahui Jacob Heemskerk orang penting di VOC sudah mencatat kekuatan kerajaan Minangkabau. Bahkan penulis Jan Pieterszoon Coen pernah mencatat "kaisar Minangkabau pemilik tunggal lada dan emas di pantai barat dan timur" . Kekuatan kerajaan ini selalu diperhitungkan Belanda. Setelah Aceh terusir dan setelah Sandiwara Batangkapas --di sekitar Teluk Kasai sekarang--, maka 28 Januari 1667 Dipatuan mengirim wakil-wakilnya ke Pulau Cingkuk bertemu dan merancang perundingan dengan VOC. Ia sama sekali tidak memandang kemenangan Belanda atau terusirnya Aceh. Dipatuan tetap memegang kedaulatan daerah-daerah yang pernah dikuasai Aceh. Belanda terpaksa mengakui, karena Kepala VOC ketika itu Verspreet amat takut dengan pengaruh Dipertuan. Namun wakil VOC dan panglimanya meminta untuk tetap dianggap penguasa tertinggi di pantai barat. Yang Dipertuan tidak boleh memungut pajak. Namun yang membuat kesal Belanda adalah, Dipertuan mengklaim semua kekuasaan VOC sebagai kedaulatannya setelah pertemuan wakil-wakilnya dengan VOC di Pulau Cingkuk tanggal 13 Februari 1667. Kenyataan pahit itu terpaksa ditelan Belanda, karena takut dengan pengaruh Dipertuan. Bahkan yan sangat menyakitkan Belanda adalah, Dipertuan secara politis mengangkat Verspreet sebagai Yang Dipertuan Gagah dengan pangkat Mantri Raja sebagai wakil mutlak Raja Minangkabau. Secara tidak disadari, Belanda telah setiap sa'at mengakui kekuasaan Raja Minangkabau, karena setiap ada pertemuan penting termasuk dengan Aceh, perjanjian di Barus 25 April 1668, terangkat ke permukaan "mengatasnamakan Raja Minangkabau yang berdaulat". Belajar dari kenyataan itu Belanda terus mengkonsolidasi kekuatan. Mereka membuat taktik, pangkat panglima seperti yang ada dalam struktur pemerintahan Aceh tetap dipertahankan. Iming-iming dikeluarkan, bahwa orang yang berjasa membantu Belanda mengusir Aceh diberi pangkat panglima. Pernah Orang Kayo Kacik dihadiahi pangkat panglima menggantikan Nando (Panglima terakhir Aceh). Karena ia membantu Belanda dalam mengusir Aceh agar mendapat kebebasan berdagang. Tetapi setelah Aceh pergi, Belanda pun ternyata lebih serakah. Belanda bukan memberikan kebebasan berdagang kepada rakyat, malah menjadikan bahasa "berdagang" sebagai tauriayah (eufemisme) untuk kata "menjajah". Orang Kayo Kacik diberi pangkat Panglima 18 September 1667 oleh Belanda dan diakui Yang Dipertuan. Juga orang-orang Padang lainnya yang pertama kali menjemput Belanda dari Pulau Cingkuk ke Padang, sampai ke anak cucunya mendapat kedudukan penting dari Belanda selama beratus-ratus tahun. Tak disadari bahwa sikap demikian melanggar adat asli. Masyarakat Minang marah. Belanda semakin dibuat tidak senang. Di mana-mana perang berkobar melawan Belanda. Perang Bayang terasa amat dahsat. Loji VOC di Muara dibakar rakyat, 8 Agustus 1669 yang dari peristiwa heorik rakyat itu diangkat Hari Jadi Kotamadya Padang. Tahun ini pula VOC mengakui semua negeri yang diduduki Belanda dipegang oleh Dipertuan. Kobaran api melawan Belanda itu belanjut sampai abad ke-20.