Wikipedia:Bak pasir
Mengawali cerita sejarah ini sebagai Purwadaksina, Purwa Kawitan Daksina Kawekasan, tersebutlah kerajaan besar di kawasan barat pulau Jawa PAKUAN PAJAJARAN yang Gemah Ripah Repeh Rapih Loh Jinawi Subur Kang Sarwa Tinandur Murah Kang Sarwa Tinuku, Kaloka Murah Sandang Pangan Lan Aman Tentrem Kawontenanipun. Dengan Rajanya JAYA DEWATA bergelar SRI BADUGA MAHARAJA PRABU SILIWANGI Raja Agung, Punjuling Papak, Ugi Sakti Madraguna, Teguh Totosane Bojona Kulit Mboten Tedas Tapak Paluneng Pande, Dihormati, disanjung Puja rakyatnya dan disegani oleh lawan-lawannya.
Raja Jaya Dewata menikah dengan Nyai Subang Larang dikarunia 2 (dua) orang putra dan seorang putri, Pangeran Walangsungsang yang lahir pertama tahun 1423 Masehi, kedua Nyai Lara Santang lahir tahun 1426 Masehi. Sedangkan Putra yang ketiga Raja Sengara lahir tahun 1428 Masehi. Pada tahun 1442 Masehi Pangeran Walangsungsang menikah dengan Nyai Endang Geulis Putri Ki Gedheng Danu Warsih dari Pertapaan Gunung Mara Api.
Mereka singgah di beberapa petapaan antara lain petapaan Ciangkup di desa Panongan (Sedong), Petapaan Gunung Kumbang di daerah Tegal dan Petapaan Gunung Cangak di desa Mundu Mesigit, yang terakhir sampe ke Gunung Amparan Jati dan disanalah bertemu dengan Syekh Datuk Kahfi yang berasal dari kerajaan Parsi. Ia adalah seorang Guru Agama Islam yang luhur ilmu dan budi pekertinya. Pangeran Walangsungsang beserta adiknya Nyai Lara Santang dan istrinya Nyai Endang Geulis berguru Agama Islam kepada Syekh Nur Jati dan menetap bersama Ki Gedheng Danusela adik Ki Gedheng Danuwarsih. Oleh Syekh Nur Jati, Pangeran Walangsungsang diberi nama Somadullah dan diminta untuk membuka hutan di pinggir Pantai Sebelah Tenggara Gunung Jati (Lemahwungkuk sekarang). Maka sejak itu berdirilah Dukuh Tegal Alang-Alang yang kemudian diberi nama Desa Caruban (Campuran) yang semakin lama menjadi ramai dikunjungi dan dihuni oleh berbagai suku bangsa untuk berdagang, bertani dan mencari ikan di laut.
Danusela (Ki Gedheng Alang-Alang) oleh masyarakat dipilih sebagai Kuwu yang pertama dan setelah meninggal pada tahun 1447 Masehi digantikan oleh Pangeran Walangsungsang sebagai Kuwu Carbon yang kedua bergelar Pangeran Cakrabuana. Atas petunjuk Syekh Nur Jati, Pangeran Walangsungsang dan Nyai Lara Santang menunaikan ibadah haji ke Tanah Suci Mekah.
Pangeran Walangsungsang mendapat gelar Haji Abdullah Iman dan adiknya Nyai Lara Santang mendapat gelar Hajah Sarifah Mudaim, kemudian menikah dengan seorang Raja Mesir bernama Syarif Abullah. Dari hasil perkawinannya dikaruniai 2 (dua) orang putra, yaitu Syarif Hidayatullah dan Syarif Nurullah. Sekembalinya dari Mekah, Pangeran Cakrabuana mendirikan Tajug dan Rumah Besar yang diberi nama Jelagrahan, yang kemudian dikembangkan menjadi Keraton Pakungwati (Keraton Kasepuhan sekarang) sebagai tempat kediaman bersama Putri Kinasih Nyai Pakungwati. Stelah Kakek Pangeran Cakrabuana Jumajan Jati Wafat, maka Keratuan di Singapura tidak dilanjutkan (Singapura terletak + 14 Km sebelah Utara Pesarean Sunan Gunung Jati) tetapi harta peninggalannya digunakan untuk bangunan Keraton Pakungwati dan juga membentuk prajurit dengan nama Dalem Agung Nyi Mas Pakungwati. Prabu Siliwangi melalui utusannya, Tumenggung Jagabaya dan Raja Sengara (adik Pangeran Walangsungsang), mengakat Pangeran Carkrabuana menjadi Tumenggung dengan Gelar Sri Mangana.
Pada Tahun 1470 Masehi Syarif Hiyatullah setelah berguru di Mekah, Bagdad, Campa dan Samudra Pasai, datang ke Pulau Jawa, mula-mula tiba di Banten kemudian Jawa Timur dan mendapat kesempatan untuk bermusyawarah dengan para wali yang dipimpin oleh Sunan Ampel. Musyawarah tersebut menghasilkansuatu lembaga yang bergerak dalam penyebaran Agama Islam di Pulau Jawa dengan nama Wali Sanga.
Sebagai anggota dari lembaga tersebut, Syarif Hidayatullah datang ke Carbon untuk menemui Uwaknya, Tumenggung Sri Mangana (Pangeran Walangsungsang) untuk mengajarkan Agama Islam di daerah Carbon dan sekitarnya, maka didirikanlah sebuah padepokan yang disebut pekikiran (di Gunung Sembung sekarang)
Setelah Suna Ampel wafat tahun 1478 Masehi, maka dalam musyawarah Wali Sanga di Tuban, Syarif Hidayatullah ditunjuk untuk menggantikan pimpinan Wali Sanga. Akhirnya pusat kegiatan Wali Sanga dipindahkan dari Tuban ke Gunung Sembung di Carbon yang kemudian disebut puser bumi sebagai pusat kegiatan keagamaan, sedangkan sebagai pusat pemerintahan Kesulatan Cirebon berkedudukan di Keraton Pakungwati dengan sebutan GERAGE. Pada Tahun 1479 Masehi, Syarif Hidayatullah yang lebih kondang dengan sebutan Pangeran Sunan Gunung Jati menikah dengan Nyi Mas Pakungwati Putri Pangeran Cakrabuana dari Nyai Mas Endang Geulis. Sejak saat itu Pangeran Syarif Hidayatullah dinobatkan sebagai Sultan Carbon I dan menetap di Keraton Pakungwati.
Sebagaimana lazimnya yang selalu dilakukan oleh Pangeran Cakrabuana mengirim upeti ke Pakuan Pajajaran, maka pada tahun 1482 Masehi setelah Syarif Hidayatullah diangkat menajdi Sulatan Carbon membuat maklumat kepada Raja Pakuan Pajajaran PRABU SILIWANGI untuk tidak mengirim upeti lagi karena Kesultanan Cirebon sudah menjadi Negara yang Merdeka. Selain hal tersebut Pangeran Syarif Hidayatullah melalui lembaga Wali Sanga rela berulangkali memohon Raja Pajajaran untuk berkenan memeluk Agama Islam tetapi tidak berhasil. Itulah penyebab yang utama mengapa Pangeran Syarif Hidayatullah menyatakan Cirebon sebagai Negara Merdeka lepas dari kekuasaan Pakuan Pajajaran.
Peristiwa merdekanya Cirebon keluar dari kekuasaan Pajajaran tersebut, dicatat dalam sejarah tanggal Dwa Dasi Sukla Pakca Cetra Masa Sahasra Patangatus Papat Ikang Sakakala, bertepatan dengan 12 Shafar 887 Hijiriah atau 2 April 1482 Masehi yang sekarang diperingati sebagai hari jadi Kabupaten Cirebon.
sedangkan ini lah sejarah desa Geyongan
Mengawali cerita sejarah ini sebagai Purwadaksina, Purwa Kawitan Daksina Kawekasan, tersebutlah kerajaan besar di kawasan barat pulau Jawa PAKUAN PAJAJARAN yang Gemah Ripah Repeh Rapih Loh Jinawi Subur Kang Sarwa Tinandur Murah Kang Sarwa Tinuku, Kaloka Murah Sandang Pangan Lan Aman Tentrem Kawontenanipun. Dengan Rajanya JAYA DEWATA bergelar SRI BADUGA MAHARAJA PRABU SILIWANGI Raja Agung, Punjuling Papak, Ugi Sakti Madraguna, Teguh Totosane Bojona Kulit Mboten Tedas Tapak Paluneng Pande, Dihormati, disanjung Puja rakyatnya dan disegani oleh lawan-lawannya.
Raja Jaya Dewata menikah dengan Nyai Subang Larang dikarunia 2 (dua) orang putra dan seorang putri, Pangeran Walangsungsang yang lahir pertama tahun 1423 Masehi, kedua Nyai Lara Santang lahir tahun 1426 Masehi. Sedangkan Putra yang ketiga Raja Sengara lahir tahun 1428 Masehi. Pada tahun 1442 Masehi Pangeran Walangsungsang menikah dengan Nyai Endang Geulis Putri Ki Gedheng Danu Warsih dari Pertapaan Gunung Mara Api.
Mereka singgah di beberapa petapaan antara lain petapaan Ciangkup di desa Panongan (Sedong), Petapaan Gunung Kumbang di daerah Tegal dan Petapaan Gunung Cangak di desa Mundu Mesigit, yang terakhir sampe ke Gunung Amparan Jati dan disanalah bertemu dengan Syekh Datuk Kahfi yang berasal dari kerajaan Parsi. Ia adalah seorang Guru Agama Islam yang luhur ilmu dan budi pekertinya. Pangeran Walangsungsang beserta adiknya Nyai Lara Santang dan istrinya Nyai Endang Geulis berguru Agama Islam kepada Syekh Nur Jati dan menetap bersama Ki Gedheng Danusela adik Ki Gedheng Danuwarsih. Oleh Syekh Nur Jati, Pangeran Walangsungsang diberi nama Somadullah dan diminta untuk membuka hutan di pinggir Pantai Sebelah Tenggara Gunung Jati (Lemahwungkuk sekarang). Maka sejak itu berdirilah Dukuh Tegal Alang-Alang yang kemudian diberi nama Desa Caruban (Campuran) yang semakin lama menjadi ramai dikunjungi dan dihuni oleh berbagai suku bangsa untuk berdagang, bertani dan mencari ikan di laut.
Danusela (Ki Gedheng Alang-Alang) oleh masyarakat dipilih sebagai Kuwu yang pertama dan setelah meninggal pada tahun 1447 Masehi digantikan oleh Pangeran Walangsungsang sebagai Kuwu Carbon yang kedua bergelar Pangeran Cakrabuana. Atas petunjuk Syekh Nur Jati, Pangeran Walangsungsang dan Nyai Lara Santang menunaikan ibadah haji ke Tanah Suci Mekah.
Pangeran Walangsungsang mendapat gelar Haji Abdullah Iman dan adiknya Nyai Lara Santang mendapat gelar Hajah Sarifah Mudaim, kemudian menikah dengan seorang Raja Mesir bernama Syarif Abullah. Dari hasil perkawinannya dikaruniai 2 (dua) orang putra, yaitu Syarif Hidayatullah dan Syarif Nurullah. Sekembalinya dari Mekah, Pangeran Cakrabuana mendirikan Tajug dan Rumah Besar yang diberi nama Jelagrahan, yang kemudian dikembangkan menjadi Keraton Pakungwati (Keraton Kasepuhan sekarang) sebagai tempat kediaman bersama Putri Kinasih Nyai Pakungwati. Stelah Kakek Pangeran Cakrabuana Jumajan Jati Wafat, maka Keratuan di Singapura tidak dilanjutkan (Singapura terletak + 14 Km sebelah Utara Pesarean Sunan Gunung Jati) tetapi harta peninggalannya digunakan untuk bangunan Keraton Pakungwati dan juga membentuk prajurit dengan nama Dalem Agung Nyi Mas Pakungwati. Prabu Siliwangi melalui utusannya, Tumenggung Jagabaya dan Raja Sengara (adik Pangeran Walangsungsang), mengakat Pangeran Carkrabuana menjadi Tumenggung dengan Gelar Sri Mangana.
Pada Tahun 1470 Masehi Syarif Hiyatullah setelah berguru di Mekah, Bagdad, Campa dan Samudra Pasai, datang ke Pulau Jawa, mula-mula tiba di Banten kemudian Jawa Timur dan mendapat kesempatan untuk bermusyawarah dengan para wali yang dipimpin oleh Sunan Ampel. Musyawarah tersebut menghasilkansuatu lembaga yang bergerak dalam penyebaran Agama Islam di Pulau Jawa dengan nama Wali Sanga.
Sebagai anggota dari lembaga tersebut, Syarif Hidayatullah datang ke Carbon untuk menemui Uwaknya, Tumenggung Sri Mangana (Pangeran Walangsungsang) untuk mengajarkan Agama Islam di daerah Carbon dan sekitarnya, maka didirikanlah sebuah padepokan yang disebut pekikiran (di Gunung Sembung sekarang)
Setelah Suna Ampel wafat tahun 1478 Masehi, maka dalam musyawarah Wali Sanga di Tuban, Syarif Hidayatullah ditunjuk untuk menggantikan pimpinan Wali Sanga. Akhirnya pusat kegiatan Wali Sanga dipindahkan dari Tuban ke Gunung Sembung di Carbon yang kemudian disebut puser bumi sebagai pusat kegiatan keagamaan, sedangkan sebagai pusat pemerintahan Kesulatan Cirebon berkedudukan di Keraton Pakungwati dengan sebutan GERAGE. Pada Tahun 1479 Masehi, Syarif Hidayatullah yang lebih kondang dengan sebutan Pangeran Sunan Gunung Jati menikah dengan Nyi Mas Pakungwati Putri Pangeran Cakrabuana dari Nyai Mas Endang Geulis. Sejak saat itu Pangeran Syarif Hidayatullah dinobatkan sebagai Sultan Carbon I dan menetap di Keraton Pakungwati.
Sebagaimana lazimnya yang selalu dilakukan oleh Pangeran Cakrabuana mengirim upeti ke Pakuan Pajajaran, maka pada tahun 1482 Masehi setelah Syarif Hidayatullah diangkat menajdi Sulatan Carbon membuat maklumat kepada Raja Pakuan Pajajaran PRABU SILIWANGI untuk tidak mengirim upeti lagi karena Kesultanan Cirebon sudah menjadi Negara yang Merdeka. Selain hal tersebut Pangeran Syarif Hidayatullah melalui lembaga Wali Sanga rela berulangkali memohon Raja Pajajaran untuk berkenan memeluk Agama Islam tetapi tidak berhasil. Itulah penyebab yang utama mengapa Pangeran Syarif Hidayatullah menyatakan Cirebon sebagai Negara Merdeka lepas dari kekuasaan Pakuan Pajajaran.
Peristiwa merdekanya Cirebon keluar dari kekuasaan Pajajaran tersebut, dicatat dalam sejarah tanggal Dwa Dasi Sukla Pakca Cetra Masa Sahasra Patangatus Papat Ikang Sakakala, bertepatan dengan 12 Shafar 887 Hijiriah atau 2 April 1482 Masehi yang sekarang diperingati sebagai hari jadi Kabupaten Cirebon.
Nama tempat pada umumnya diambil dari suatu peristiwa / kejadian atau nama orang yang fenomenal yang terjadi di tempat itu dan oleh orang kejadian itu biasanya dijadikan nama tempat untuk mengenang peristiwa atau nama seseorang tersebut.
Cerita sejarah ini berawal dari seorang sarjana Panama yang sedang melakukan penelitian tentang kebudayaan Cirebon dan lagi berkunjung ke Komplek Pemakaman Sunan Gunung Jati untuk pengumpulan data dan informasi sebagai bahan penulisan Tesisnya. Komplek pemakamam Sunan Gunung Jati adalah tempat makam dimana Sunan Gunung Jati dan Keturunannya (Sultan-Sultan Cirebon) dan para pembantunnya/Ki Gede disemayamkan.
Setelah sekian lama dia berkeliling di komplek pemakaman tersebut dia tertarik pada salah satu makam yang baginya agak ganjil dimana pada batu nisan makam tersebut tidak diberi nama indentitas dibandingkan dengan yang makam lainnya, maka bertanyalah si sarjana tersebut kepada pemandu atau yang biasa disebut Jeneng " Ini makamnya Siapa ? " Si pemandu tidak bisa menjawab padahal dia mengetahui jawabannya, kemudia jeneng menyarankan agar bertanya saja pada Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kota Cirebon. Pada keesokan harinya sarjana tersebut bertandang ke Kantor Dinas P dan K kota Cirebon menanyakan perihal makam yang tidak punya nama itu di Komplek pemakaman Sunan Gunung Jati, di Kantor Dinas P dan K ia juga tidak mendapatkan jawaban yang jelas dan memuaskan kemudian Dinas P dan K Kota Cirebon menyarankan agar bertanya pada para orang tua Desa Geyongan. Maka berangkatlah Ia ke Desa Geyongan dan bertemu dengan Bapak H. Markina dan inilah ceritanya selengkapnya.
Sahdan yang punya cerita disuatu malam didalam salah satu keraton Kesultanan Cirebon sedang mengadakan acara kesenian Tayuban atau sejenisnya yang dihadiri Sultan dan para pembantunya serta tidak ketinggalan para penari tayub (ronggeng), konon penari tayub itu diambil dari beberapa desa/pedukuhan terpilih tentu dengan persyaratan sangat ketat sudah barang tentu harus cantik, bahenol, pinter menari dan menyanyi pelog. Sudah merupakan tradisi kraton jaman dulu, keraton selalu mengadakan acara kesenian tayuban untuk menyenangkan hati Sultan dan pembesar keraton, sampai sekarang para penabuh gamelan hingga keturunannya selalu setia terhadap Sultan Cirebon.
Pada malam itu Sultan kelihat muram dan tidak semangat untuk melihat dan menari entah apa yang beliau pikirkan, maka bertanyalah si Sultan pada Tumenggung kepercayaannya " Ehh .. tumenggung kenapa si Anu itu tidak datang ? Tumenggung terdiam tidak bisa menjawab . Sudah sebulan dia tidak lagi menemaniku untuk menayub sergahnya . Matur tulung Sinuhun , saya juga tidak mengetahui kedaannya, jawabnya jawab Tumenggung", yah sudah kalau begitu saya utus kamu untuk mencari tahu tentang keberadaan si Anu, kata Sultan. Si anu itu adalah seorang penari tayub konon merupakan kesayangan Sultan, yang mempunyai paras cantik berasal dari pedukuhan anu (red : sekarang Desa Geyongan), waktu itu pedukuhan geyongan sudah ramai dan banyak penduduknya (link : cerita Sejarah Desa Geyongan). Keberadaan si Anu dan identitasnya hingga saat ini masih sangat misteri belum ada yang mengetahuinya, siapa gerangan ?
Singkat cerita Tumenggu itu berangkat ke Desa Geyongan untuk mencari tahu keadaan si penari tayub itu dengan berkendaraan kuda melewati jalan yang ada sekarang (dremaga lor). Setelah sampai di pedukuhan Geyongan si Tumenggung tadi tidak langsung menuju ke tempat si Nyai penari tapi mampir dulu beristirahat untuk melepaskan lelah setelah menempuh perjalan jauh dari Cirebon ke Geyongan di sebuah belik untuk memberi minum kuda sekalian minum atau sekedar cuci muka dan kaki. Belik itu adalah sumber mata air (tuk : bhs Cirebon) yang oleh orang dibuat kolam atau sumur dan dipergunakan orang untuk keperluan mandi dan sumber air minum biasanya letaknya ditepi jalan (toang) atau sawah. Keberadaan belik saat ini masih baik dan masih dipergunakan oleh masyarakat untuk mandi dan air minum, terletak di blok Kidas Desa Kebonturi yang merupakan peninggalan pedukuhan Kidas dan tidak jauh dari Simpang Tiga Jenun - Geyongan Kec. Arjawinangun.
Kebetulan waktu itu masih agak siang, jadi tidak ada salahnya untuk beristirahat (Ngaso bhs jawanya) pikir tumenggung. Sebelum ngaso si Tumenggung memotong bambu, waktu itu disekitar belik masih banyak bambu untuk dibuat semacam ayunan. Tanpa disadari setelah sekian lama berayunan terasa kantuk menghinggapi si Tumenggung. Gelise wong crita bobade wong kanda “ maka tertidurlah si Tumenggung tadi diatas ayunan sampai sore hari ", yah pantes saja dia tertidur selain kondisi dia lagi cape keadaan di belik juga mendukung sudah udaranya segar juga hembusan anginnya yang semliwir (sepoi-sepoi) siapapun orangnya pasti akan ngatuk dan tertidur. Menjelang waktu asyar " gragap " terbangunlah ia dan dengan tergopoh-gopoh menaiki kuda menuju ke rumah si Nyai penari di pedukuhan geyongan.
Singkat kata sampailah ia di rumah si Nyai penari, kedatangannya disambut dengan sopan dan senyuman manis sebagimana gadis desa yang lugu menyambut para pembesar dari keraton, langsung dia dihidangi air putih dan rebusan Boled (Ubi jalar) dan Campu (Umbi Batang/Singkong). Mangga gusti kula suwunakan mlebet teng gubuk kula ( silahlakan gusti untuk masuk ke rumah saya) kata si penari, tumben gusti mboten pranti-pranti nyambangi griya kula apa wenten wigatos sing sanget, timpal si Nyai penari. Begini Nyai sergah si Tumenggung, saya diutus oleh Kanjeng Gusti Sinuhun Sultan untuk mencari tahu keadaan Nyai, karena sudah sebulan Nyai tidak sambang ke Keraton untuk penari. Memang ada apa Nyai ? tanya si Tumenggung. Si Nyai cuma hanya bisa diam tidak bisa menjawab sekatapun, wajahnya tertunduk malu raut muka penuh rasa takut dan khawatir maklumlah gadis desa berbicara dengan penggede keraton. Lama sudah Tumenggung menanti jawaban si Nyai tapi Nyai tetap tidak bisa bicara sekatapun, maka bertanyalah lagi “ Ada apa Nyai ? bicarah Nyai sejujurnya “. Si Nyai tetap juga tidak bisa menjawab cuma bisa menjawab dengan bahasa isyarat yaitu dengan mengelus-elus perutnya yang sedang membesar itu. Sasmitane Tumenggung mengertilah apa yang diisyaratkan oleh Nyai , baiklah Nyai sekarang aku baru mengerti jawabanmu. Setelah sekian lama berada di rumah Nyai Penari berbicara ngalor-ngidul, menjelang sore wayah surup pulanglah Tumenggung tadi ke Cirebon dengan berpesan pada Nyai agar selalu menjaga kesehatan dan menjaga kandungannya.
Singkat cerita sampailah si Tumenggung di keraton Cirebon dan langsung melapor hasil perjalanannya mengunjungi si Nyai Penari itu, dengan tergopoh-gopoh laporlah ia ke Sultan . Sebelum sempat bicara melaporkan diri , Jumeneng Sultan langsung bertanya , “ Tumenggung kenapa kamu lama sekali baru menghadap saya, apa pedukuhan itu jauh sekali ? “ sergah Kanjeng Sultan “ . Matur Kanjeng Sultan kalau jauh sih tidak yah kurang lebih 2 jam perjalanan naik kuda letaknya sebelah utara dari tempatnya Ki Gede Palimanan, tempat itu belum ada namanya Kanjeng Sultan “ jawab Tumenggung. Iya… menurut hitungan saya kamu lama sekali datang melapor , sampai malam begini, kemana saja kamu ? Nganclong kemana ….. “ hardik Kanjeng Sultan. Aduh Kanjeng Sultan, pangapunten sing agunge pangapura kula, sebenernya saya tidak nganclong kemana-mana saya tadi tertidur sewaktu istirahat di Belikan hingga sore hari baru saya terbangun. Loh.. koh bisa tertidur memangnya kenapa ? Maaf Kanjeng Sultan, waktu di tempat itu saya membikin Ayunan dari bambu untuk duduk sambil istirahat tak terasa saya teridur, timpal Tumenggung. Ohh…. begitu ceritanya, baiklah kalau begitu karena pedukuhan itu belum punya nama maka tempat itu saya namakan Geyongan, sejak saat itulah pedukuhan itu dinamakan Geyongan hingga saat ini. Kata Geyongan sendiri diambil dari kata Ayunan padanan kata Geyongan. Adapun makna kata Geyongan adalah suatu alat yang terbikin dari kain atau bahan lainnya yang diikat dengan tali dan digantung biasanya digukanan untuk menidurkan bayi/anak, alat itu sudah sangat lajim digunakan masyarakat Cirebon.
Melanjutkan cerita tadi… terus bagaimana keadaan Nyai, Tumenggung ? tanya Kanjeng Sultan lagi. Begini Kanjeng Sultan, sebelumnya saya minta maaf barangkali laporan saya ini lancang dan pamali . Sebenarnya Nyai tidak sakit atau tidak kurang apapun semuanya sehat, Kanjeng .. , ayo teruskan laporanmu sergah Kanjeng Sultan penasaran. Ternyata setelah saya tanya dan lihat, Nyai saat ini sedang mengandung/hamil. Terkejutlah wajah Sri Sultan mendengar laporan itu, baiklah kalau begitu saya mengerti apa yang harus saya lakukan, Tumenggung untuk itu saya tugaskan kembali kepadamu untuk selalu mengawasi dan menjaga keadaan Nyai penuhi kebutuhan hidupnya jaga kesehatannya dan jaga keamanannya, perintah Kanjeng Sultan. Sumangga derek dawuh Kanjeng, timpal Tumenggung. Sejak saat itulah Nyai penari menjadi tanggungjawab dan pengawasan Tumenggung sampai melahirkan.
Delapan bulan kemudian si Nyai melahirkan jabang bayi perempuan di pedukuhan Geyongan, karena kehendak Allah. SWT bayi tersebut tidak panjang umur meninggal dunia sewaktu masih bayi dan dikubur/disemayamkan di pekuburan Desa Geyongan serta petilasannya juga dibuat di komplek pemakaman Sunan Gunung Jati. Karena beliau masih keturunan Sultan Cirebon oleh Sultan diberi gelar Nyi Ratu, sehubungan dia meninggal dan disemayamkan di Geyongan orang menyebutnya atau dijuluki Nyi Ratu Geyongan dan dihormati sebagai Ki Buyutan karena diduga mempunyai kharomah dan keramat. Saat ini makam Nyi Ratu Geyongan pada malam-malam tertentu terutama pada sore dan malam Jum’at banyak dijiarahi orang, sekedar untuk berdoa dan haulan bahkan dijadikan tempat menyepi/sunyaragi untuk mendapatkan kharomah dari-Nya.
Demikian cerita asal usul nama Geyongan, kepada semua pihak terlepas dari tidak atau validnya cerita ini saya mohon maaf. Tujuan saya menulis ini hanya sekedar menyambung lidah lewat tulisan dari cerita yang beredar di masyarakat, saya menyadari kelemahan bangsa ini bahwa kebanyakan suatu kejadian atau peristiwa tidak terdokumentasikan dengan baik.
'SEJARAH DESA GEYONGAN'Teks tebal
Sejarah desa geyongan secara tertulis dan akedemis sampai saat ini belum ada yang mendiskripsikan/meneliti, tulisan ini didasarkan atas pinuturan dan cerita dari orang yang anggap dipercaya (H. Markina, Wa Mungkar dan Suryadi, kini ketiganya telah Almarhum) serta bukti- bukti sejarah peninggalan kebudayaan sosial ekonomi masyarakat geyongan yang sempat penulis lihat. Tempat-tempat yang dianggap sebagai asal muasal nenek moyang penduduk Desa Geyongan terdapat di 4 tempat masing -masing Pedukuhan Warakas, Gembur, Mijasem dan Kidas.
1. Pedukuhan Warakas.
Bukti sejarah bahwa awal mula peradaban desa geyongan berawal dari daerah Warakas, Warakas itu merupakan bagian wilayah dari Desa Geyongan yang kini letaknya sebelah timur jalan by pass Cirebon - Jakarta sebelah selatan dukuh Sirnabaya dekat berbatasan dengan desa Sende. Dulu sekitar pertengahan abad 18-an (17 ... M) di daerah Warakas terdapat suatu komunitas santri (Pesantren) tidak diketahui siapa pimpinan pesantrennya, lambat laun komunitas tersebut berkembang menjadi pesantren yang ramai karena banyak orang yang menuntut ilmu (mengaji dan ilmu agama).
Pada suatu waktu di jalan (kini jalan by pass) terjadi peristiwa pembegalan/perampokan yang mengakibatkan pembunuhan. Sejak peristiwa itu kehidupan di komunitas warakas terganggu karena pihak Pemerintah Kolonial Belanda menuduh bahwa pelaku perampokan itu adalah penduduk Warakas bahkan pihak kolonial Belada melakukan penindasan dan intimidasi kepada penduduk.
Demi untuk menghindari fitnah dan tuduhan pihak kolonial serta hal-hal tidak diinginkan, maka komunitas Warakas berpindah tempat yaitu ke arah barat tepatnya di tepian/bantaran Sungai Winong (Kali Wetan kata orang Geyongan) yang dulu dikenal Pesantren Wetan itu. Bukti sejarah di Warakas ada komunitas sampai saat ini masih terdapat sisa peningalannya berupa kuburan, begitu juga yang ada di bantaran Kali Wetan juga terdapat bekas peninggalannya. Setelah dibangunnya kali irigasi oleh Pemerintah Kolonial Belanda pada tahun 1901 (implikasi dari politik balas budi Belanda : Educasi, irigasi dan transmigrasi), maka secara berangsur-angsur penduduk pesantren wetan yang berada bantaran sungai winong/kali wetan berpindah ke tempat yang baru yang kini kita kenal dengan Jatilawang dan ada juga yang pindah ke beberapa tempat di pedukuhan Geyongan.
2. Pedukuhan Gembur, Mijasem dan Kidas.
Sepertihalnya pedukuhan warakas, di pedukukan Gembur juga dulunya ada komunitas dan akhirnya kosong karena penduduknya pidah ke Desa Geyongan yang mungkin tanahnya lebih subur atau karena banyak penduduknya pindahan dari pedukuhan sekitarnya. Pedukuhan gembur terletak disebelah selatan Ds. Geyongan sekarang dekat blok Pace.
Demikian pula pedukuhan Mijasem penduduknya banyak yang pindah mungkin ke desa geyongan atau ke arjawinangun, jejak peninggalan pedukuhan mijasem masih dapat dilihat sampai sekarang berupa kuburan. Letak dari pedukuhan Mijasem sekarang masuk dalam desa Kebonturi dekat dengan Gedung Bioskop Pahala. Dan untuk pedukuhan Kidas sekarang terletak di desa Kebonturi di blok Kidas, pedukuhan ini juga ditinggalkan penduduknya hijrah ke desa Geyongan peninggalan yang masih dapat dilihat berupa makam dan belik. Dengan semakin banyak penduduk dari pedukuhan yang berpindah ke Geyongan semakin ramai dan berkembanglah Desa Geyongan hingga saat ini, sedang pedukuhan semakin ditinggal pergi penduduknya. Setelah penduduknya semakin ramai maka ditunjuklah seorang pemimpin atau yang kita kenal Kuwu (Kepala Desa).
Tidak ada cacatan yang pasti kapan geyongan itu berdiri sebagai Desa, berdasarkan catatan silsilah Kuwu di desa Geyongan Kuwu pertama yang memimpin Desa Geyongan adalah Ki Pandu sekitar pertengahan abad 19 (1850 M), dengan kedudukan desanya kalau sekarang ada di Tanahnya Man Wiat (Kakeknya Saki), beberapa tahun kemudian pindah ke Tanahnya Man Jupri (Bapaknya Majaji) dan pada Tahun 1923 pindah ke Balai Desa yang sekarang digunakan, waktu itu Kuwunya Bapak Wasura Dipraja. Keadaan balai desa Geyongan sekarang kondisi masih sangat baik cuman ada penambahan sedikit yaitu pendopo dan jendela kaca.