Kota Yogyakarta

ibu kota Daerah Istimewa Yogyakarta, Indonesia

Kota Yogyakarta adalah salah satu kota besar di Pulau Jawa yang merupakan ibukota dan pusat pemerintahan Daerah Istimewa Yogyakarta, dan sekaligus tempat kedudukan bagi Sultan Yogyakarta dan Adipati Pakualam.

Kota Yogyakarta
Daerah tingkat II
Gedung Bank Indonesia di Yogyakarta
Gedung Bank Indonesia di Yogyakarta
Lambang resmi Kota Yogyakarta
Motto: 
Mangayu Hyuning Bawana
Cita-cita untuk menyempurnakan masyarakat
Slogan: Berhati Nyaman (Bersih, Sehat, Asri dan Nyaman)(umum)
Never Ending Asia (pariwisata)
Peta
Peta
Kota Yogyakarta di Jawa
Kota Yogyakarta
Kota Yogyakarta
Peta
Kota Yogyakarta di Indonesia
Kota Yogyakarta
Kota Yogyakarta
Kota Yogyakarta (Indonesia)
Koordinat: 7°48′5″S 110°21′52″E / 7.80139°S 110.36444°E / -7.80139; 110.36444
Negara Indonesia
ProvinsiDaerah Istimewa Yogyakarta
Tanggal berdiri7 Oktober 1756
Jumlah satuan pemerintahan
Daftar
  • Kecamatan: 14
Pemerintahan
 • BupatiDrs. H. Haryadi Suyuti
Luas
 • Total32,5 km2 (12,5 sq mi)
Populasi
 (2011)[1]
 • Total430.735
 • Kepadatan13,000/km2 (34,000/sq mi)
Demografi
Zona waktuUTC+07:00 (WIB)
Kode BPS
3471 Edit nilai pada Wikidata
Kode area telepon+62 274
Kode Kemendagri34.71 Edit nilai pada Wikidata
Kode SNI 7657:2023YYK
DAURp. 436.339.933.000,-
Flora resmiKelapa gading
(Cocos nuciferal vv. gading)
Fauna resmiBurung tekukur
(Streptoplia chinensis tigrina)
Situs webwww.jogjakota.go.id
Berkas:Jogja.jpg
Logo wisata "JOGJA"

Salah satu kecamatan di Yogyakarta, yaitu Kotagede pernah menjadi pusat Kesultanan Mataram antara 1575-1640. Keraton (Istana) yang masih berfungsi dalam arti yang sesungguhnya adalah Karaton Ngayogyakarta dan Puro Pakualaman, yang merupakan pecahan dari Mataram.

Etimologi

Nama Yogyakarta terambil dari dua kata, yaitu Ayogya yang berarti "kedamaian" (atau tanpa perang, a "tidak", yogya merujuk pada yodya atau yudha, yang berarti "perang"), dan Karta yang berarti "baik". Tapak keraton Yogyakarta sendiri menurut babad (misalnya Babad Giyanti) dan leluri (riwayat oral) telah berupa sebuah dalem yang bernama Dalem Gerjiwati; lalu dinamakan ulang oleh Sunan Pakubuwana II sebagai Dalem Ayogya[2].

Sejarah

Mataram Hindu (Abad ke-10 Masehi)

Meskipun hilang dari catatan sejarah sejak berpindahnya pusat pemerintahan Kerajaan Medang pada abad ke-10 ke timur, wilayah lembah di selatan Gunung Merapi sejak abad ke-15 tetap dihuni banyak orang dan konon menjadi bagian dari kawasan yang disebut sebagai Pengging. Dalam kronik perjalanannya, Bujangga Manik, seorang pangeran pertapa dari Kerajaan Sunda pernah melewati wilayah ini, tetapi tidak menyebut nama "Yogya" atau yang bermiripan.

Mataram Islam (1575 - 1620)

Cikal-bakal kota Yogya adalah kawasan Kotagede, sekarang menjadi salah satu kecamatan di Kota Yogyakarta. Keraton penguasa Mataram Islam pertama, Panembahan Senapati (Sutawijaya), didirikan di suatu babakan yang merupakan bagian dari hutan Mentaok (alas Mentaok). Kompleks tertua keraton ini sekarang masih tersisa sebagai bagian batu benteng, pemakaman, dan masjid. Setelah sempat berpindah dua kali (di keraton Pleret dan keraton Kerta, keduanya berada di wilayah Kabupaten Bantul), pusat pemerintahan Kesultanan Mataram beralih ke Kartasura.

Setelah Perjanjian Giyanti (1745 - 1945)

Sejarah kota memasuki babak baru menyusul ditandatanganinya Perjanjian Giyanti antara Sunan Pakubuwono III, Pangeran Mangkubumi (yang dinobatkan menjadi Sultan Hamengkubuwono I, dan VOC pada 13 Februari 1755. Perjanjian ini membagi dua Mataram menjadi Mataram Timur (yang dinamakan Surakarta) dan Mataram Barat (yang kemudian dinamakan Ngayogyakarta)

Yogyakarta sebagai pusat pemerintahan politik baru secara resmi berdiri sejak Pangeran Mangkubumi (Sultan Hamengkubuwono I) mengakhiri pemberontakan yang dipimpinnya, mendapat wilayah kekuasaan separuh wilayah Mataram yang tersisa, dan diizinkan mendirikan keraton di tempat yang dikenal sekarang. Tanggal wisuda keraton ini, 7 Oktober 1756, kini dijadikan sebagai hari jadi Kota Yogyakarta.

Perluasan kota Yogyakarta berjalan secara cepat. Perkampungan-perkampungan di luar tembok keraton dinamakan menurut kesatuan pasukan keraton, seperti Patangpuluhan, Bugisan, Mantrijeron, dan sebagainya. Selain itu, dibangun pula kawasan untuk orang-orang berlatar belakang non-pribumi, seperti Kotabaru untuk orang Belanda dan Pecinan untuk orang Tionghoa. Pola pengelompokan ini merupakan hal yang umum pada abad ke-19 sampai abad ke-20, sebelum berakhirnya penjajahan. Banyak di antaranya sekarang menjadi nama kecamatan di dalam wilayah kota.

Terdapat situs-situs tua yang tinggal puing, khususnya yang didirikan pada masa awal tetapi kemudian diterlantarkan karena rusak akibat gempa besar yang melanda pada tahun 1812, seperti situs tetirahan Warungboto, yang didirikan oleh Sultan Hamengkubuwana II dan situs Taman Sari di dalam tembok keraton yang didirikan Sultan Hamengkubuwana I. Pasar Beringharjo sudah dikenal sebagai tempat transaksi dagang sejak keraton berdiri, namun bangunan permanennya baru didirikan pada awal abad ke-20 (1925).

Paruh kedua abad ke-19 merupakan masa pemodernan kota. Stasiun Lempuyangan pertama dibangun dan selesai 1872. Stasiun Yogyakarta (Tugu) mulai beroperasi pada tanggal 2 Mei 1887. Yogyakarta di awal abad ke-20 merupakan kota yang cukup maju, dengan jaringan listrik, jalan untuk kereta kuda dan mobil cukup panjang, serta berbagai hotel serta pusat perbelanjaan (Jalan Malioboro dan Pasar Beringharjo) telah tersedia. Perkumpulan sepak bola lokal, PSIM, didirikan pada tanggal 5 September 1929 dengan nama Perserikatan Sepak Raga Mataram.

Masa Revolusi (1945 - 1950)

Kota Yogyakarta juga memainkan percaturan politik sejarah Indonesia, pada 4 Januari 1946, Pemerintah Republik Indonesia memutuskan untuk memindahkan Ibu kota dari Jakarta ke Yogyakarta setelah Belanda dengan Sekutu melancarkan serangan ke Indonesia. Kota ini juga menjadi saksi atas Agresi Militer Belanda II pada 19 Desember 1948, yang pada akhirnya dapat diduduki Belanda, serta Serangan Umum 1 Maret 1949 yang berhasil mneguasai Yogyakarta selama 6 jam.

Pusaka dan Identitas Daerah

  • Tombak Kyai Wijoyo Mukti

Merupakan Pusaka Pemberian Raja Kraton Yogyakarta Sri Sultan Hamengku Buwono X. Tombak ini dibuat pada tahun 1921 semasa pemerintahan Sri Sultan Hamengku Buwono VIII. Senjata yang sering dipergunakan para prajurit ini mempunyai panjang 3 meter. Tombak dengan pamor wos wutah wengkon dengan dhapur kudhuping gambir ini, landeannya sepanjang 2,5 meter terbuat dari kayu walikun, yakni jenis kayu yang sudah lazim digunakan untuk gagang tombak dan sudah teruji kekerasan dan keliatannya.

Sebelumnya tombak ini disimpan di bangsal Pracimosono dan sebelum diserahkan terlebih dahulu dijamasi oleh KRT. Hastono Negoro, di dalem Yudonegaran. Pemberian nama Wijoyo Mukti baru dilakukan bebarapa hari menjelang upacara penyerahan ke Pemkot Yogyakarta, pada peringatan hari ulang tahun ke-53 Pemerintah kota Yogyakarta tanggal 7 Juni 2000. Upacara penyerahan dilakukan di halaman Balaikota dan pusaka ini dikawal khusus oleh prajurit Kraton ”Bregodo Prajurit Mantrijero”.

Tombak Kyai Wijoyo Mukti melambangkan kondisi Wijoyo Wijayanti. Artinya, kemenangan sejati di masa depan, dimana seluruh lapisan masyarakat dapat merasakan kesenangan lahir bathin karena tercapainya tingkat kesejahteraan yang benar-benar merata.

Geografi

Kota Yogyakarta terletak di lembah tiga sungai, yaitu Sungai Winongo, Sungai Code (yang membelah kota dan kebudayaan menjadi dua), dan Sungai Gajahwong. Kota ini terletak pada jarak 600 KM dari Jakarta, 116 KM dari Semarang, dan 65 KM dari Surakarta, pada jalur persimpangan Bandung - Semarang - Surabaya - Pacitan. Kota ini memiliki ketinggian sekitar 112 m dpl.

Meski terletak di lembah, kota ini jarang mengalami banjir karena sistem drainase yang tertata rapi yang dibangun oleh pemerintah kolonial, ditambah dengan giatnya penambahan saluran air yang dikerjakan oleh Pemkot Yogyakarta.

Batas Administrasi

Kota Yogyakarta telah terintegrasi dengan sejumlah kawasan di sekitarnya, sehingga batas-batas administrasi sudah tidak terlalu menonjol. Untuk menjaga keberlangsungan pengembangan kawasan ini, dibentuklah sekretariat bersama Kartamantul (Yogyakarta, Sleman, dan Bantul) yang mengurusi semua hal yang berkaitan dengan kawasan aglomerasi Yogyakarta dan daerah-daerah penyangga (Depok, Mlati, Gamping, Kasihan, Sewon, dan Banguntapan).

Adapun batas-batas administratif Yogyakarta adalah:

  • Utara: Kecamatan Mlati dan Kecamatan Depok, Kabupaten Sleman
  • Timur: Kecamatan Depok, Kabupaten Sleman dan Kecamatan Banguntapan, Kabupaten Bantul
  • Selatan: Kecamatan Banguntapan, Kecamatan Sewon, dan Kecamatan Kasihan, Kabupaten Bantul
  • Barat: Kecamatan Gamping, Kabupaten Sleman dan Kecamatan Kasihan, Kabupaten Bantul

Pembagian administratif

Kota Yogyakarta terdiri atas 14 kecamatan[3]. Berikut adalah daftar kecamatan di Yogyakarta :

Demografi

Jumlah penduduk kota Yogyakarta, berdasar Sensus Penduduk 2010 [4]., berjumlah 388.088 jiwa, dengan proporsi laki-laki dan perempuan yang hampir setara.

Islam merupakan agama mayoritas yang dianut masyarakat Yogyakarta, dengan jumlah penganut Kristen dan Katolik yang relatif signifikan. Seperti kebanyakan dari Islam kebanyakan di kota-kota pedalaman Jawa, mayoritas masih mempertahankan tradisi Kejawen yang cukup kuat.

Yogyakarta juga menjadi tempat lahirnya salah satu organisasi Islam terbesar di Indonesia, yaitu Muhammadiyah yang didirikan oleh K.H. Ahmad Dahlan pada tahun 1912 di Kauman, Ngupasan, Gondomanan, Yogyakarta. Hingga saat ini, Pengurus Pusat Muhammadiyah masih tetap berkantor pusat di Yogyakarta.

Yogyakarta dikenal sebagai kota pelajar, karena hampir 20% penduduk produktifnya adalah pelajar dan terdapat 137 perguruan tinggi. Kota ini diwarnai dinamika pelajar dan mahasiswa yang berasal dari berbagai daerah di Indonesia. Perguruan tinggi yang dimiliki oleh pemerintah adalah Universitas Gadjah Mada, Universitas Negeri Yogyakarta, Institut Seni Indonesia Yogyakarta, Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga dan Institut Seni Indonesia Yogyakarta.

Transportasi

Kota Yogyakarta sangat strategis, karena terletak di jalur-jalur utama, yaitu Jalan Lintas Selatan yang menghubungkan Yogyakarta, Bandung, Surakarta, Surabaya, dan kota-kota di selatan Jawa, serta jalur Yogyakarta - Semarang, yang menghubungkan Yogyakarta, Magelang, Semarang, dan kota-kota di lintas tengah Pulau Jawa. Karena itu, angkutan di Yogyakarta cukup memadai untuk memudahkan mobilitas antara kota-kota tersebut. Kota ini mudah dicapai oleh transportasi darat dan udara, sedangkan karena lokasinya yang cukup jauh dari laut (27 - 30 KM) menyebabkan tiadanya transportasi air di kota ini.

Dalam kota

Bus kota

Kota Yogyakarta merupakan salah satu kota di Indonesia yang tidak mengenal istilah angkutan kota (angkot dengan armada minibus). Transportasi darat di dalam Yogyakarta dilayani oleh sejumlah bus kota. Kota Yogyakarta punya sejumlah jalur bus yang dioperasikan oleh koperasi masing-masing (antara lain Aspada, Kobutri, Kopata, Koperasi Pemuda Sleman, dan Puskopkar) yang melayani rute-rute tertentu[5]:

Trans Jogja

Sejak Maret 2008, sistem transportasi bus yang baru, bernama Trans Jogja hadir melayani sebagai transportasi massal yang cepat, aman dan nyaman. Trans Jogja merupakan bus 3/4 yang melayani berbagai kawasan di Kota, Sleman dan sebagian Bantul. Hingga saat ini (November 2010), telah ada 8 (delapan) trayek yang melayani berbagai sarana vital di Yogyakarta, yaitu:

  • Trayek 1A dan Trayek 1B, melayani ruas protokol dan kawasan pusat perekonomian dan pemerintahan, seperti Stasiun Yogyakarta, Malioboro, Istana Kepresidenan Yogyakarta.
  • Trayek 2A dan Trayek 2B, melayani kawasan perkantoran Kotabaru dan Sukonandi.
  • Trayek 3A dan Trayek 3B, melayani kawasan selatan, termasuk juga kawasan sejarah Kotagede.
  • Trayek 4A dan Trayek 4B, melayani kawasan pendidikan, seperti UII, APMD, UIN Sunan Kalijaga, dan Stasiun Lempuyangan.

Trans Jogja sangat diminati selain karena aman dan nyaman, tarif yang saat ini diterapkan juga terjangkau, yaitu Rp3.000,- untuk sekali jalan, dengan dua sistem tiket: sekali jalan dan berlangganan. Bagi tiket berlangganan, dikenakan potongan sebesar 10% untuk umum dan 30% bagi pelajar.

Taksi

Taksi mudah dijumpai di berbagai ruas jalan di Yogyakarta, terutama di ruas protokol dan kawasan pusat ekonomi dan wisata. Ada berbagai perusahaan taksi yang melayani angkutan ini, dari yang berupa sedan hingga minibus.

Luar kota

Kereta api

Transportasi ke Yogyakarta dapat menggunakan kereta api dari Jakarta, Bandung atau Surabaya, pemberangkatan dan kedatangan kereta api (KA) kelas eksekutif dan bisnis dilayani Stasiun Yogyakarta, juga dikenal sebagai Stasiun Tugu sedangkan KA kelas ekonomi dilayani di Stasiun Lempuyangan. Ada pula kereta api komuter cepat yang menghubungkan Kutoarjo dengan Surakarta melewati stasiun Lempuyangan, kereta tersebut bernama Prameks.

Bus

Bus AKAP tersedia dari dan ke semua kota di Pulau Jawa, datang dan berangkat dari Terminal Penumpang Yogyakarta, yang berada di Jalan Imogiri Timur, Giwangan, berada di tepi Jalan Lingkar Luar Selatan Yogyakarta, di batas wilayah antara Kota Yogyakarta dengan Kabupaten Bantul.Terminal lain yang lebih kecil seperti Terminal Jombor yang melayani antara lain rute Magelang dan Semarang dan Terminal Condong Catur ke arah Kaliurang.

Pesawat udara

Transportasi udara dari dan ke Yogyakarta dilayani oleh Bandara Internasional Adisutjipto yang terletak di tepi Jalan Adisucipto KM 9, Desa Maguwoharjo, Kecamatan Depok, Kabupaten Sleman. Bandara ini melayani penerbang domestik ke kota-kota besar di Pulau Jawa (Jakarta, Bandung, Surabaya), Sumatra (Batam), Bali, Kalimantan (Pontianak, Banjarmasin, dan Balikpapan), dan Sulawesi (Makassar).

Selain itu, bandara ini juga melayani penerbangan harian ke Singapura dan Kuala Lumpur dengan maskapai Penerbangan Malaysia dan Indonesia AirAsia.

Walikota Yogyakarta

Nomor urut Wali kota Potret Partai Awal Akhir Masa jabatan Wakil
1 Mohammad Enoch
(1893–1965)
  Penugasan Pemerintah 21 Mei 1947 3 Juli 1947 43 hari
2 Soedarisman Poerwokoesoemo
(1913–1988)
  PNI 22 Juli 1947 Januari 1966 18 tahun, 6 bulan
3 Soedjono A. Y.   ABRIAngkatan Darat Januari 1966 November 1975 9 tahun. 11 bulan
4 H. Ahmad   ABRIAngkatan Darat November 1975 Mei 1981 5 tahun, 6 bulan
5 Soegiarto   ABRIAngkatan Darat 1981 1986 6 tahun
6 Djatmikanto Danumartono
(lahir 1944)
  ABRIAngkatan Darat 13 Mei 1986 17 September 1991 5 tahun, 5 bulan
7   R. Widagdo
(1942–2018)
  ABRIAngkatan Darat 1991 1996 5 tahun
1996 2001 5 tahun
8   Herry Zudianto
(lahir 1955)
  PAN 20 Desember 2001 20 Desember 2006 5 tahun Syukri Fadholi
2001-2006
20 Desember 2006 20 Desember 2011 5 tahun Haryadi Suyuti
2006-2011
9 Haryadi Suyuti
(lahir 1964)
  Golkar 20 Desember 2011 20 Desember 2016 5 tahun Imam Priyono
2011-2016
Sulistyo
(Penjabat)
  Penugasan Pemerintah 20 Desember 2016 22 Mei 2017 5 bulan, 3 hari
(9) Haryadi Suyuti
(lahir 1964)
  Golkar 22 Mei 2017 22 Mei 2022 5 tahun Heroe Poerwadi
2017-2022
Sumadi
(Penjabat)
(lahir 1963)
  Penugasan Pemerintah 22 Mei 2022 22 Mei 2023 1 tahun
Singgih Raharjo
(Penjabat)
(lahir 1965)
  Penugasan Pemerintah 22 Mei 2023 Petahana 1 tahun, 191 hari


Kota kembar

Referensi

  1. ^ BPS, 2010
  2. ^ Surjomihardjo, Abdurracham. 2008. Kota Yogyakarta Tempoe Doeloe, Sejarah Sosial 1880-1930. Jakarta: Komunitas Bambu.
  3. ^ "Yogyakarta Dalam Angka" (PDF). BPS Kota Yogyakarta. Diakses tanggal 2012-12-19. 
  4. ^ BPS, 2010.
  5. ^ (Indonesia) Situs Resmi Pemerintah kota Yogyakarta. "Jalur bus" (pdf). Diakses tanggal 21 Juni. 

Lihat pula

Pranala luar