Kuku Pancanaka pusaka Werkudara berupa kuku panjang runcing seperti pisau kecil di jempol kedua tangannya.

Alkisah putra Dewi Kunti yang berasal dari hasil puja cipta Bathara Bhayu itu lahir dalam wujud bungkusan sangat liat. Bayi itu sejak usia delapan tahun diletakkan di hutan “Mandalasara”. Tak ada satu orangpun yang mampu membuka bungkus itu. Bungkus itu tumbuh dan membesar meski tanpa makan dan minum, hanya menghirup udara. Alkisah di kahyangan ada Gajah Setu Sena yang giat bertapa dengan maksud meminta anugerah kelak dapat masuk ke surga manusia. Ia adalah anak dari Gajah Setu Bandha hewan klangenan Bathara Indra. Permohonannya akan dikabulkan jika ia dapat menolong anak Dewi Kunti lepas dari bungkusnya. Saat bungkus berusia 12 tahun, Gajah Setu Sena datang dan merobek bungkusnya dengan kedua gadingnya yang sangat kuat dan sakti. Di dalam bungkus itu ternyata ada seorang bocah besar yang lalu menangkap kedua gading itu dan dengan sekuat tenaga mematahkannya. Ajaib, kedua gading itu lalu menyatu di jempol tangan bocah itu membentuk kuku yang panjang dan runcing, sementara sukma Gajah Setu Sena menyatu dalam diri bocah itu. Nilai filosofis yang terkandung dalam peristiwa tersebut kelahiran Arya Werkudara yang melibatkan ilmu pengetahuan dimana kehadiran Gajah Setu Sena adalah juga merupakan kehadiran ilmu pengetahuan unut membantu kelahiran bayi tersebut. Proses menyatunya sukma juga merupakan lambang keberhasilan ilmu pengetahuan membantu kelahiran Arya Werkudara. Pada perspektif lain, kondisi bakat bayi tersebut juga dilambangkan memperoleh anugerah bakat kepandaian yang akan berguna bagi kebijaksanaan hidupnya kelak (gajah adalah lambang ilmu pengetahuan). Peristiwa pada saat sang bayi mematahkan gading serta menempelnya kedua gading pada ibu jari adalah disamping merlambangkan anugerah bakat dari bayi tersebut juga merupakan pesan untuk mengutamakan ilmu pengetahuan sebagai jalan hidup yang harus ditetapkan semenjak awal kehidupan manusia (gading adalah bagian paling berharga dari gajah, hal ini dapat diartikan sebagai intisari ilmu pengetahuan). Kuku itu diberi nama Kuku Pancanaka. (Berdasar Pagelaran Wayang Lakon "Bhima Bungkus" oleh Ki Anom Suroto). Secara filosofis, "kuku" terkait makna "kukuh" (teguh dan kuat keyakinan serta berlatih); panca = lima; naka = emas / tujuan, bisa juga dari naga=kuasa; artinya paugeran/moral/kekuatan/daya dasar. Lima daya berupa: daya bumi, air, api, angin, ether. Lima paugeran dapat berupa: 1. pengendalian nafsu membunuh/angkara 2. Pengendalian nafsu makan minum 3. Pengendalian nafsu seks 4. pengendalian nafsu kesenangan indrawi 5. Pengendalian nafsu mencuri/merugikan orang lain. Bisa juga berarti lima hawa sakti dalam diri: prana, apana, samana, udana, vyana. Kuku Pancanaka dapat juga diartikan kekuatan dari hasil mampu mengendalikan panca indriya. Kuku Pancanaka ini adalah pusaka untuk mengalahkan musuh (=kejahatan) dengan menggenggamkan seluruh jari di kedua tangan erat-erat. Maknanya adalah pemusatan pikiran dan kesadaran akan lima daya / kekuatan. Seperti telah dijelaskan diatas tentang filosofi asal muasal kuku Pancanaka sebagai keutamaan ilmu pengetahuan, posisi kuku yang diapit oleh jari telunjuk dan jari tengah dapat diartikan sebagai: ilmu pengetahuan tidak boleh menjadikan seseorang menjadi sombong atau jumawa serta tidak patut dipakai untuk menindas dan menistakan orang lain namun harus dipergunakan bagi kepentingan orang banyak sebagai keutamaanya. Jari telunjuk adalah sebagai perlambang tujuan sedangkan jari tengah adalah lambang netralitas atau posisi paling bijak, sehingga dapat disimpulkan bahwa "kepandaian / Ilmu pengetahuan harus dikendalikan untuk tidak membuat seseorang tinggi hati (posisi terjepit) dengan bijaksana dalam penggunaanya untuk kepentingan orang banyak (keutamaan ilmu pengetahuan) sedang letak kuku di sebelah kanan dan kiri adalah lambang penguasaan ilmu pengetahuan baik yg bermanfaat (kuku kanan) maupun yg dpt merusak sendi kehidupan (kuku sebelah kiri) harus dipergunakan dengan bijaksana.