Pegandon, Kendal

kecamatan di Kabupaten Kendal, Jawa Tengah
Revisi sejak 27 April 2014 06.22 oleh 120.165.94.178 (bicara) (TENTANG PEGANDON)

Pegandon adalah sebuah kecamatan di Kabupaten Kendal, Provinsi Jawa Tengah, Indonesia.

Pegandon
Negara Indonesia
ProvinsiJawa Tengah
KabupatenKendal
Pemerintahan
 • Camat-
Populasi
 • Total- jiwa
Kode Kemendagri33.24.10 Edit nilai pada Wikidata
Kode BPS3324100 Edit nilai pada Wikidata
Luas- km²
Kepadatan- jiwa/km²
Desa/kelurahan-
Peta
PetaKoordinat: 6°59′34″S 110°10′13″E / 6.99278°S 110.17028°E / -6.99278; 110.17028

KYAI JEBENG - PEGANDON


Tentang Kyai Jebeng Pegandon cerita yang tersebar di daerah sekitar, bahwa Kyai Jebeng Pegnadon adalah santri atau pengikut Pangeran Benowo. Dan dituturkan bahwa nama Kyai Jebeng Pegandon yang sebenarnya adalah Surogondo. Disebut Jebeng Pegandon, karena tokoh yang mebmuka desa dan kemudian dinamakan Pegandon itu meninggal dunia dalam usia muda, yang atrinya belum berkeluarga, sehingga ada kesulitan untuk mencari asal-usulnya. Namun pada akhir-akhir ini diketahui bahwa para "penyekar" secara rombongan berasal dari trah keraton Surakarta.

Tanda kebesaran dan kealiman Kyai Jebeng Pegandon ini kadag-kadang masih dapat dirasakan oleh para penduduk sekitar. Antara percaya dan tidak percaya, jika waktu sholat telah tiba dan tetap ada orang yang bekerja di sekitar makamnya, maka yang bersangkutan mendapat peringatan. Kadang-kadang barang bawaannya (rumput) ditunggui seekor ular. Kalau tidak demikian, barang bawaannya dimasuki ular, dan karena tidak diketahui, maka barang itu tetap diangkat. Anehnya, si empunya tidak mampu lagi mengangkat. Namun, setelah dibuka ternyata diketahui di dalam rumput itu ada seekor anak ular kecil. Kalau tidak demikian, kadang-kadang terlihat seekor katak yang "besarnya" luar biasa.

PEGANDON DALAM SEJARAH

PANGERAN BENOWO (SUNAN ABINAWA) PEKUNCEN

Makam Pangeran Benawa di Desa Pakuncen Kecamatan Pegandon Kabupaten Kendal Jawa Tengah

Pangeran Benawa atau Raden Hadiningrat

· Pangeran Benawa Pangeran Benawa adalah Raja Pajang ketiga dan memerintah tahun 1586-1587, bergelar Kanjeng Adipati Pengging/ Pangeran Benawa/ Pangeran Hadipati/ Sultan Prabuwijaya.

· Silsilah Panger... an Benawa Pangeran Benawa adalah putera Hadiwijaya atau Jaka Jingkir, Raja pertama Pajang. Sejak Kecil ia dipersaudarakan Sutawijaya, anak angkat ayahnya, yang mendirikan Kerajaan Mataram.

Pangeran Benawa memiliki putri bernama Dyah Banowati yang menikah dengan Mas Jolang putra Sutawijaya. Dyah Banowati bergelar Ratu Mas Adi, yang kemudian melahirkan Sultan Agung, Raja terbesar Mataram.

Selain itu, Pangeran Benawa juga memiliki Putra bernama Pangeran Radin, yang kelak menurunkan Yosodipuro dan Ronggowarsito, Pujangga-pujangga besar Kasunanan Surakarta

· Kisah Kehidupan Pangeran Benawa Pangeran Benawa dikisahkan sebagai seorang yang lembut hati. Ia pernah ditugasi ayahnya untuk menyelidiki kesetiaan Sutawijaya terhadap Pajang. Waktu itu Benawa berangkat bersama Arya Pamalad (kakak iparnya yang menjadi adipati Tuban) dan Patih Mancanegara.

Sutawijaya menjamu ketiga tamunya dengan pesta. Putra sulung Sutawijaya yang bernama Raden Rangga tidak sengaja membunuh seorang prajurit Tuban, membuat Arya Pamalad mengajak rombongan pulang.

Sesampai di Pajang, Arya Pamalad melaporkan keburukan Sutawijaya, bahwa Mataram berniat memberontak terhadap Pajang. Sementara itu Benawa melaporkan kebaikan Sutawijaya, bahwa terbunuhnya prajurit Tuban karena ulahnya sendiri. Sutawijaya akhirnya terbukti memerangi Pajang tahun 1582, dan berakhir dengan kematian Hadiwijaya.

· Pangeran Benawa yang seharusnya naik takhta disingkirkan oleh kakak iparnya, yaitu Arya Pangiri adipati Demak. Benawa kemudian menjadi adipati Jipang Panolan. Pada tahun 1586 ia bersekutu dengan Sutawijaya untuk menurunkan Arya Pangiri dari takhta, karena kakak iparnya itu dianggap kurang adil dalam memerintah.

Dikisahkan, Arya Pangiri hanya sibuk menyusun usaha balas dendam terhadap Mataram. Orang-orang Demak juga berdatangan, sehingga warga asli Pajang banyak yang tersisih. Akibatnya, penduduk Pajang sebagian menjadi penjahat karena kehilangan mata pencaharian, dan sebagian lagi mengungsi ke Jipang.

Persekutuan Benawa dan Sutawijaya terjalin. Gabungan pasukan Mataram dan Jipang berhasil mengalahkan Pajang. Arya Pangiri dipulangkan ke Demak. Benawa menawarkan takhta Pajang kepada Sutawijaya. Namun Sutawijaya menolaknya. Ia hanya meminta beberapa pusaka Pajang untuk dirawat di Mataram.

Sejak itu, Pangeran Benawa naik takhta menjadi raja baru di Pajang bergelar Prabuwijaya. Namun hanya berjalan satu tahun.

· Akhir Kerajaan Pajang

Sepeninggal Benawa, Kerajaan Pajang berakhir pula, dan kemudian menjadi bawahan Mataram. Yang diangkat menjadi bupati di Pajang ialah Pangeran Gagak Baning adik Sutawijaya. Setelah meninggal, Gagak Baning digantikan putranya yang bernama Pangeran Sidawini.

· Perjalanan Pangeran Benawa setelah meninggalkan Kerajaan Pajang Dalam catatan Amien Budiman pada Babad Tanah Jawi bahwa Pangeran Benawa setelah hanya bertahta satu tahun, pergi ke Sedayu Jawa Timur kemudian menuju ke Barat dan sampai di Hutan Kukulan daerah Kendal bersama para pengiringnya, Kyai Bahu, Kyai Wiro dan dua lagi tidak diceritakan namanya.

Selama di hutan itu Pangeran Benawa merasakan sejuk hatinya melihat padang yang luas, sedang tanahnya baik dan rata. Hanya sayang tempat itu tidak ada sungai. Pangeran Benawa memberitahukan kepada sahabatnya tentang tidak adanya sungai itu, dan mereka mengatakan memang sebaiknya Pangeran Benawa membuat sungai.

Kyai Bahu dan Kyai Wiro diperintahkan menyudet sungai di dekat tempat itu hingga airnya bisa mengalir ke hutan dan menyenangkan hati mereka yang bermaksud bertempat tinggal di kawasan itu. Pangeran Benawa bersama empat sahabatnya pergi ke sungai lotud. mereka menjumpai tempat yang agak datar dan memudahkan aliran air. Kemudian Pangeran Benawa menyudet sungai itu dengan menggunakan tongkat. Aliran sungai itu mengalir ke arah timur laut sampai di hutan yang akan dijadikan pemukiman mereka.

Waktu itu sudah masuk waktu subuh. Pangeran Benawa bermaksud berhenti di tempat itu untuk melakukan sholat subuh. Adzan subuh dilakukan sendiri oleh Pangeran Benawa mendengar ada suara yang menjawab adzan yang diucapkan. Suara itu datang dari lurus arah timur tempat Pangeran Benawa melaksanakan sholat subuh. Peristiwa aneh tersebut disampaikan pada keempat sahabatnya.

Oleh Pangeran Benawa kemudian diperintahkan kepada para sahabatnya untuk mencari dimana asal suara yang menjawab adzannya. Namun mereka tidak menemukan apa-apa, hanya tiga buah makam dan ketiganya bernisan batu. Sayangnya dalam Babad Tanah Jawi tidak menyebut tiga makam itu milik siapa. Pangeran Benawa memeriksa ketiga makam itu secara teliti. Sedang di sebelahnya adalah sebuah pohon besar yang sudah berlubang, yang disebutnya pohon kendal. Kyai Bahu dan Kyai Wiro serta dua rekannya diperintahkan oleh Pangeran Benawa agar tinggal di hutan itu dan membuatnya menjadi tempat pemukiman. Desa itu kemudian diberi nama Desa Kendal.

Sedangkan Pangeran Benawa bermaksud tinggal di hutan sebelah selatan yang letaknya berdekatan dengan sudetan sungai. Ia berjalan ke arah selatan dengan diikuti oleh tiga sahabatnya, karena Kyai Bahu diperintahkan untuk tinggal di tempat yang baru dibuka itu. Sampai di hutan Tegalayang, Pangeran Benawa berhenti untk bertapa ngluwat, bertapa dengan mengubur dirinya dalam sebuah lubang. Lubang dipersiapkan oleh ketiga sahabatnya, dan selanjutnya Pangeran Benawa masuk di dalamnya, dan ketiga sahabatnya agar menutupnya. Sebelumnya dipesankan oleh Pangeran Benawa, bila sudah mencapai empatpuluh hari, maka lubang itu diminta untuk dibuka.

Setelah lebih satu bulan, datang dua utusan dari Mataram sambil membawa surat dari Panembahan Senopati yang akan diberikan kepada Pangeran Benawa, namun tidak dijumpai di tempat tersebut. Sebaliknya, mereka hanya bertemu dengan seorang pande besi yang bediam di hutan itu namanya Kyai Jebeng Pegandon. Kedua utusan itu mengira bahwa pande besi itu adalah Pangeran Benawa, maka disampaikan surat itu kepadanya sambil memberitahukan bahwa Pangeran Benawa diundang oleh Panembahan Senopati. Karena merasa dirinya bukan Pangeran Benawa, maka Kyai Jebeng Pegandon si tukang besi itu menjawab: "Bawalah pulang surat itu. Aku tidak mau diundang, dan lagi pula aku tidak mau mengabdi pada raja".

Kedua utusan itu pulang dan memberi laporan kepada Panembahan Senopati bahwa Pangeran tidak mau. Dan oleh Panembahan Senopati memang dua utusan tersebut telah keliru. Maka mereka diperintahkan kembali ke hutan mencari Pangeran Benawa di sebelah selatan hutan itu. Di samping itu juga mereka diperintahkan mendatangi lagi Kyai Jebeng Pegandon si pande besi sambil membawa wewdhung panelasan (pisau raut besar bersarung untuk menghabisi nyawa seseorang) untuk memancung leher pande besi tersebut.

Para utusan Mataram itu kembali ke hutan Kendal dan terlebih dahulu menuju ke tempat Kyai Jebeng Pegandon dan memberi tahu maksud kedatangannya atas perintah Panembahan Senopati. Kemudian Kyai Jebeng dibunuh dengan menggunakan wewedang dan jenazahnya dimakamkan di Pegandon.

Akhirnya kedua utusan tadi sampai di hutan Tegalayang dan mereka bertemu dengan ketiga sahabat Pangeran Benawa yang sedang menunggui lubang tempat bertapa Paengeran Benawa. Kedua utusan tadi menanyakan keberadaan Pangeran Benawa. Oleh Kyai Wiro, dijelaskan bahwa Pangeran Benawa sedang bertapa ngluwat baru sebulan lebih empat hari. Oleh Kyai Wiro disarankan memang sebaiknya kedua utusan itu bersabar dan mau menunggu karena bertapanya hanya tingga enam hari lagi. Dan sebagaimana pesan Pangeran Benawa, pertapaannya dibuka kembali setelah masa empat puluh hari oleh Kyai Wiro. Alangkah terkejut, ketika lubang terbuka ternyata Pangeran Benawa tidak ada di tempat, lubang itu kosong. Setelah kesana kemari dicari akhirnya Pangeran Benawa dijumpai sedang duduk tafakur menghadap ke arah barat.

Setelah meminta izin sowan, Kyai Wiro menyampaikan ada utusan dari Mataram, kemudian Pangeran Benawa mempersilahkan untuk bertemu dengannya. Maka kedua utusan itu menghaturkan surat dari Panembahan Senopati. Surat diterima dan dibaca, ternyata isinya Pangeran Benawa diminta untuk datang ke Mataram. Adapun sebabnya, yang pertama kakandanya rindu, dan yang kedua, apa saja kehendak Pangeran Benawa akan dituruti Panembahan Senopati. Pangeran Benawa menolak. "Aku tidak mau ke Mataram Jika kakanda Senopati mempunyai kehendak apapun, aku wakilkan kepada Kyai Bahu saja. Kakanda tidak usah membuat surat lagi". Kemudian Kyai Bahu dibawakan kepada kedua utusan tersebut ke Mataram.

Pangeran Benawa selanjutnya tinggal di hutan/gunung Kukulan. Akan tetapi selang beberapa hari ia pergi dari tempat itu ke arah utara, mencari tempat tinggal yang lebih baik. Akhirnya ia menjumpai tempat yang bagus, berada di pinggir sungai. Bersama ketiga sahabatnya, Pangeran Benawa tinggal di tempat itu. Tidak lama kemudian banyak orang berdatangan ingin bertempat tinggal dan belajar kepadanya. Tempat itu kemudian menjadi desa, diberi nama Desa Parakan (amargi kathah tiyang ingkang sami dateng umarak ing Kanjeng Pangeran/karena banyak orang yang datang dan menghadap Kanjen Pangeran).

Kemudian timbul pertanyaan dimanakah yang dimaksud dengan desa arakan itu? apakah Parakan yang sekarang ini merupaka sebuah tempat di Kabupaten Temanggung? Kalau tempat itu yang dimaksud, mestinya perjalanan Pangeran Benawa ke arah selatan bukan ke arah utara, sedangkan hutan Kukulan sebuah tempat yang letaknya kurang lebih 2 km dari Desa Sojomerto sekarang ini. Karena arah perjalanan Pangeran Benawa dari gunung/hutan Kukulan ke arah utara, tidak tertutup kemungkinan bahwa desa itu bernama Pakuncen masuk Kecamatan Pegandon.

Di desa itu ada masjid peninggalannya, ada sumur dan bahkan ada sebuah genthong yang konon katanya berasal dari Demak, namanya Genthong Puteri. Diceritakan juga bahwa genthong itu semula satu pasang, yang berarti ada dua buah, dimana yang satu tetap berada di Demak. Konon kedatangan genthong itu datang sendiri dari Demak lewat sungai dengan dikawal oelh seekor kebau, yang diberi nama "Kebo Londoh", yaitu jenis kerbau yang kulitnya putih. Orang JAwa menyebutnya "Kebo Bule".

Genthong itu sekarang ditanam di (serambi) bagian selatan masjid, dan hanya mulut genthongnya yang kelihatan. Genthong itu diyakini sebagai satu kesatuan dengan sumur yang ada di sebelah selatan masjid. Oleh masyarakat, air sumur itu bisa sebagai sarana pengobatan, dan hal itu sudah banyak yang membuktikan. Caranya, air dari sumur dimasukkan ke dalam genthong puteri dan dari genthong itulah diambil airnya. Makam Pangeran Benawa berada di belakang masjid Pakuncen.

Setelah sampai di keraton Mataram, Kyai Bahu menerima tugas dari Panembahan Senopati agar usahanya membuka hutan dan tanah serta membuat tempat pemukiman di kawasan hutan Kendal supaya dilanjutkan menjadi suatu negeri, sedang penghasilannya diserahkan kepada Pangeran Benawa. Di samping itu Pangeran Benawa diangkat derajatnya oleh Panembahan Senopati dengan nama Susuhunan Parakan. Sedangkan Kyai Bahu diberi nama kehormatan Kyai Ngabehi Bahurekso.

· Makam Pangeran Benawa Makam Pangeran Benawa, yang berada di kompleks makam Desa Pakuncen, Kecamatan Pegandon, Kabupaten Kendal, Provinsi Jawa Tengah. sekitar dua kilometer dari kompleks makam Pekuncen, terdapat sebuah goa yang dinamakan Goa Pekukulan dimana Pangeran Benawa bertapa.

sumber : buku Babad Tanah Kendal karya Ahmad Hammam Rokhani dan dari berbagai situs mohon maaf bila terdapat kekeliruan

Wisata Religi di Pegandon

Masjid Pekuncen dan Makam Mbah sunan Abinawa

MBAH SINGONEGORO

MASJID “NURUT TAQWA” PENANGGULAN PEGANDON "SINGONEGORO"

SAKSI PERJUANGAN TUMENGGUNG BAHUREKSO DI PEGANDON

Masjid “NURut TAQWA” Penanggulan Pegandon, Kendal, jawa tengah 7 km kearah barat daya kota Kendal, keberadaannya terlepas dari karisma seorang tokoh kerajaan MAtaram Islam, yakni Tumenggung Bahurekso yang pernah menyerang Batavia (Jakarta) untuk mengusir Kompeni Belanda ketika Mataram diperintahkan Sultan Agung. Akibat kegagalan yang dialami oleh prajurit Mataram, akhirnya mereka mengundurkan diri dan kembali ke mataram, namun sebelumnya sempat tinggal lama diPegandon dan pengikut Tumenggung Bahurekso Tumenggung Bahurekso, diantara prajurit Kiai Jumerto yang berdakwah didaerah Jumerto, Kiai Jebeng didaerah Jebeng, Kiai Srogo didaerah Srogo, Kiai Puguh didaerah Puguhl, Kiai Poloso didaerah Ploso yang semuanya masih berdekatan dengan daerah Pegandon. Prajurit Tumenggung Bahurekso juga membangun bui (penjara) diselatan masjid. Namun peninggalannya tidak dapat dijumpai lagi akibat diterjang banjir. Menurut penuturan Kiai Haya’ yang masih ada trah (Keturunan) Tumenggung Bahurekso,di Pegandon Tumenggung Bahurekso dikenal dengan sebutan “MBAH SULAIMAN”, tetapi, ada yang menyebut “SINGONEGORO” “MBAH SULAIMAN” atau “BAHUREKSO” atau “SINGONEGORO” Bin Mearh Bin Batoro Katong (Sunan Katong) yang merupakan trah dari Brawijaya V, Raja Majapahit yang makamnya di Kaliwungu. Menurut Kiai Haya’ (Gg.Delima – Penanggulan) tidak tahu persis siapa yang membangun masjid tersebut, namun diyakini lebih tua dari masjid keramat Pekuncen. Sunan Benowo pun Sewaktu-waktu berguru pada “MBAH SULAIMAN” alias “TUMENGGUNG BAHUREKSO”

KEISTIMEWAAN

Wujud masjid Nurut Taqwa yang sekarang sudah bukan Sali lagi karena telah mentgalami beberapa kali pemugaran, wujud asli masjid adalah lebih kecil dan terbuat dari kayu Jati, mulai tiang sampai atapnya, sehingga cepat rusak terkena air hujan, pada akhir tahun 1945 dilakukan renovasi besar-besaran dan wujudnya dapat dilihat pada foto tersebut,yang masih tersisa hanya beduk saja, sedangkan benda-benda peninggalan “TUMENGGUNG BAHUREKSO” lainnya, seperti “ARIT” dan “GENTONG” sudah raib, bahkan gentongnya sudah pindah ke masjid Pekuncen. Salah satu keistimewaan Masjid ini, dahulu meskipun terjadi banjir besar, namun air tidak pernah menyentuh masjid, kekawatiran akan terjadinya banjir itu disinyalir karena adanya peringatan “MBAH SULAIMAN” untuk tidak meninggikan masjid, karena sekitar masjid akan terendam air jika banjir, tetapi peringatan itu tidak diindahkan dan masjid tetap ditinggikan, akibatnya benar-benar luar biasa, banjir sering terjadi dan mengganas lewat sungai bodri yang terletak dibelakang masjid. Bahkan suatu hari setelah Idul Adha, banjir kembali melanda dan menghancurkan rumah-rumah penduduk. Apakah ini akibat peringatan “MBAH SULAIMAN”yang tidak digubris ? Wallahu a’lam

Selanjuttnya Kiai Haya’ menjelaskan, meskipun makam“TUMENGGUNG BAHUREKSO” ada dimana-mana, namun yang ada jasadnya hanya yang ada dibelakang masjid Nurut Taqwa Penanggulan, bahkan pejabat Kendal, seperti Bupati Kendal sering mengunjungi makam “TUMENGGUNG BAHUREKSO” tersebut. Menurut Kiai Haya’ berdasarka nasehat sesepuh, sebelum ziarah ke Muria dan Kaliwungu, hendaknya ke Penanggulan – Pegandon dulu, karena urutannya dari Penanggulan – lantas Kaliwungu dan terakhir di Muria Kudus. Untuk mengenang jasa-jasa “TUMENGGUNG BAHUREKSO” pada setiap tanggal 27 Syawal diadakan Haul (peringatan Kemangkatan) para peziarah yang berasal dr berbagai daerah diKendal, bahkan, ada yang dari Malaysia, Singapura. Ini membuktikan bahwa “MBAH SULAIMAN” tidak hanya dikenal di Pegandon dan Kendal saja, tetapi sampai luar negeri. Meskipun sudah tidak asli lagi, namun Masjid Nurut Taqwa menyimpan sejarah perjuangan Islam Nusantara. Bahkan, hari jadi Kendalpun tidak luput dari sejarah perjuangan “TUMENGGUNG BAHUREKSO” yang gagah perkasa menentang penjajah Belanda di Tanah Air.

*disadur oleh Abdur Rohman Hallo Pegandon* Dari buku Masjid-Masjid Bersejarah Di Indonesia - Halaman 234 – 1999 Th. Gema Insani

Desa/kelurahan