Daftar Wakil Presiden Irak

Revisi sejak 3 Mei 2007 09.35 oleh 202.133.82.4 (bicara) (VALIDASI FOTO POLOS SINUS PARANASAL 3 POSISI UNTUK MENEGAKKAN DIAGNOSIS RINOSINUSITIS KRONIK)

VALIDASI FOTO POLOS SINUS PARANASAL 3 POSISI UNTUK MENEGAKKAN DIAGNOSIS RINOSINUSITIS KRONIK

Vimala Acala, Kartono Sudarman, Anton Christanto, Slamet Widodo Bagian THT FK UGM/RS DR. Sardjito Yogyakarta

Latar belakang:Rinosinusitis adalah peradangan pada mukosa nasal dan sinus paranasal, dikatakan kondisi kronis apabila paling sedikit 12 minggu.Penegakan diagnosis rinosinusitis di daerah merupakan suatu masalah tersendiri pada fasilitas pelayanan kesehatan yang tidak memiliki CT-Scan, karena biaya untuk CT-Scan mahal maka penegakan diagnosis pada pasien-pasien rhinosinusitis kronis menggunakan foto polos. Masalah yang dihadapi saat ini adalah validitas foto polos di rumah sakit sardjito belum pernah diteliti, bahkan di Indonesia. Tujuan:Untuk menentukan validitas foto polos sinus paranasal 3 posisi untuk menegakkan diagnosis rinosinusitis kronik. Desain dan metode:penelitian ini menggunakan desain uji diagnostik. Sample diambil mulai bulan Januari sampai Maret 2007 di poliklinik RSUP DR.Sardjito secara consecutive sampling. Kritera inklusi adalah penderita tersangka rinosinusitis kronik menggunakan criteria task force, memiliki foto polos sinus paranasal 3 posisi, memiliki CT scan potongan koronal. Kriteria eksklusi adalah pernah menjalani operasi sinus sebelumnya, terdiagnosis tumor sinonasal, memiliki catatan medis tidak lengkap. tidak bersedia ikut dalam penelitian. Analisa statistik mengunakan diagnostic test. Hasil: Sensitivitas = 85,7% Spesifisitas = 33,3% Nilai duga positif = 75% Nilai duga negatif = 50% Rasio kecenderungan positif = 1,28 Rasio kecenderungan negatif = 0,42 Kesimpulan: Foto polos SPN 3 posisi valid untuk mendiagnosis rinosinusitis kronis.


Kata kunci: rinosinusitis kronik, foto polos sinus paranasal 3 posisi, CT-Scan, diagnosis










VALIDASI FOTO POLOS SINUS PARANASAL 3 POSISI UNTUK MENEGAKKAN DIAGNOSIS RINOSINUSITIS KRONIK

Vimala Acala, Kartono Sudarman, Anton Christanto, Slamet Widodo Bagian THT FK UGM/RS DR. Sardjito Yogyakarta


PENDAHULUAN

Rinosinusitis merupakan istilah yang lebih tepat dari sinusitis karena jarang sinusitis tanpa didahului rinitis dan tanpa melibatkan inflamasi pada mukosa hidung. Rinosinusitis menjadi penyakit berspektrum inflamasi dan infeksi pada mukosa hidung dan sinus paranasal (Benninger et al., 2003). Rinosinusitis didefinisikan sebagai gangguan akibat inflamasi mukosa hidung dan sinus paranasal. Rinosinusitis dikatakan kronik apabila telah berlangsung sekurangnya dalam 12 minggu (Benninger et al., 2003). Sinus paranasalis seperti bagian alat pernafasan lain, dilapisi oleh epitel pseudostratified kolumner berlapis semu bersilia (Hilger, 1997). Mukosa sinus paranasal merupakan kelanjutan mukosa kavum nasi meskipun lebih tipis (Miller dan Amedee, 1998). Membrane basal tampak lebih tipis, jaringan subepitel memiliki jaringan ikat tipis yang melekat kuat pada periosteum, dan kelenjar seromusin relatif lebih sedikit. Sinus paranasalis mempunyai sistem mukosilia, terdiri dari gabungan epitel bersilia dan lapisan mucus, berfungsi sebagai proteksi dan melembabkan udara inspirasi. Lapisan mukus didorong oleh silia menuju ke ostium sinus. Transportasi mukus sinus diawali dari dasar sinus dengan gerakan menyerupai bintang, sepanjang dinding depan, medial, posterior dan lateral, serta atap sinus bertemu di ostium (Rohr, 1987; Evans, 1994; Miller dan Amedee, 1998).


2. Patofisiologi RSK Patofisiologi penyakit sinus terkait 3 faktor: patensi ostium, fungsi silia dan kualitas sekret. Gangguan salah satu faktor tersebut atau kombinasi faktor-faktor tersebut merubah fisiologi dan menimbulkan rinosinusitis. Obstruksi ostium menimbulkan drainase tidak adekuat, berakibat penumpukan cairan dalam sinus. Pada sinus maksilaris menjadi khusus karena mukus dibersihkan melawan pengaruh gravitasi (Miller dan Amedee, 1998). Faktor-faktor yang menyebabkan obstruksi ostium dapat menimbulkan sinusitis. Saat obstruksi terjadi hipoksia lokal dalam sinus, menimbulkan perubahan pH, kerusakan epitel dan fungsi silia. Cairan dalam sinus menjadi media yang baik bagi pertumbuhan bakteri, menimbulkan inflamasi jaringan dan penebalan mukosa sehingga menambah obstruksi pada ostium. 3. Klasifikasi RSK RSK ditandai penebalan mukosa penebalan mukosa, hiperplasi sel goblet, fibrosis subepitel dan inflamasi permanen. Remodelling mukosa sinus mengarah pada gangguan keseimbangan antara deposit dan degradasi kolagen dan matrik protein lain. Peningkatan sintesis fibroblast, merupakan respon adanya aktivasi eosinofil beserta produknya, termasuk profibrotic transforming growth factor- (TGF-). Sel inflamasi yang banyak terdapat di sinus antara lain : sel T, eosinofil, basofil, dan neutrofil memiliki jumlah menonjol dimukosa sinus. Pinheiro et al. (1998) membagi rinosinusitis ditinjau dari lima aksis : 1) gambaran klinis (akut, subakut, dan kronik), 2) lokasi sinus yang terkena (maksilaris, frontalis, ethmoidalis, dan sphenoidalis), 3) organisme yaang terlibat (virus, bakteri, atau jamur), 4) keterlibatan ekstrasinus (komplikasi atau tanpa komplikasi), dan 5) modifikasi penyebab spesifik (atopi, obstruksi komplek osteomeatal). Klasifikasi lain didasarkan ditemukan tidaknya alergi, membagi rinosinusitis menjadi alergi dan nonalergi atau berdasarkan ada tidaknya infeksi dibagi dalam rinosinusitis infeksi dan noninfeksi. Sedangkan untuk derajat sinusitis digunakan gambaran radiologis untuk menunjukkan berat ringannya penyakit. Pembagian secara radiologis telah banyak dilakukan diantaranya Lund MacKay. Pembagian menurut sistem Lund MacKay didasarkan pada pengukuran obyektif kelaian masing-masing sinus, dengan memberikan skor 0 bila tidak ditemukan kelainan, skor 1 bila ditemukan kelainan berupa opasitas parsial, skor 2 bila ditemukan opasitas total pada sinus, dan penilaian patensi osteomeatal komplek. Pembagian menggunakan sistem ini banyak dipakai mengingat sistem ini mampu mengukur kelainan masing-masing sinus secara obyektif, dapat dipakai untuk individual kasus, dan mempertimbangkan kondisi komplek osteometal (Zinreich, 2004). 4. Gejala dan tanda RSK Gejala RSK berbeda-beda, dari sangat ringan hingga berat. Gejala-gejala bisa dikelompokkan menjadi gejala subyektif dan obyektif. Gejala subyektif meliputi gejala nasal dan nasofaringeal, faring dan nyeri wajah. Gejala nasal mencakup obstruksi hidung, sekresi hidung dan post nasal drip. Seringkali gejala tersebut disertai dengan epistaksis dan gangguan olfaktorius. Gejala faring adanya rasa kering di tenggorokan dan gejala nyeri wajah disebabkan oleh keadaan vakum pada sinus. Proyeksi nyeri pada sinusitis maksilaris timbul di daerah pipi atau zigomatik, sedangkan pada sinusitis etomoidalis menimbulkan nyeri daerah sela mata. Untuk sinusitis frontalis nyeri terasa di daerah dahi, sedangkan sinusitis spenoidalis menimbulkan nyeri di daerah puncak kepala atau di oksipital (Evans, 1994). Adapun gejala obyektif ditentukan melalui pemeriksaan rinoskopi anterior, rinoskopi posterior dan pemeriksaan faring. Pemeriksaan rinoskopi anterior dapat ditemukan suatu tanda inflamasi yaitu mukosa hiperemis, edema, discharge mukopurulen yang terlihat di meatus media. Pemeriksaan rinoskopi posterior terlihat kumpulan pus di permukaan palatum, dapat berasal dari tiap sinus tetapi paling sering dari sinus maksilaris. Pus dapat tampak menetes melalui ujung posterior konka inferior dari meatus media. Pada pemeriksaan farings dapat terlihat pus mengalir sampai ke bawah melalui sela dinding lateral faring dan umumnya berasal dari sinus maksilaris, frontalis atau ethmoidalis (Evans, 1994; Sucipto, 1995). Pada pemeriksaan endoskopi dapat dilihat edema dan hiperemi di meatus media atau bulla ethmoid dan dan jaringan granulasi (Khun, 2004). 5. Diagnosis RSK Diagnosis RSK dapat tegakkan melalui anamnesis, pemeriksaan fisik dan penunjang. Pada anamnesis dapat didasarkan pada gejala seperti obstruksi hidung, kongesti, rasa nyeri di wajah, nyeri kepala, gangguan discharge hidung, post nasal drip, nafas bau, batuk, gangguan penghidu dengan atau tanpa telinga terasa penuh, faringitis, fatigue, malaise atau demam yang telah berlangsung selama 12 minggu (Benninger et al., 2003). Pemeriksaan fisik pada RSK harus ditemukan adanya salah satu tanda inflamasi yaitu 1) penemuan discharge berwarna pada saluran nafas, polip atau pembengkakan konka polipoid menggunakan rinoskopi anterior atau endoskopi setelah aplikasi dekongestan; 2) edema dan hiperemi di meatus media atau bulla ethmoid yang diidentifikasi menggunakan endoskopi nasal; 3) eritema lokal atau keseluruhan, edema dan jaringan granulasi (Benninger et al., 2003). 6. Radiologi sinus paranasal Penyakit inflamasi sinus membutuhkan diagnosis yang akurat sebagai kunci dalam manajemen terapi termasuk untuk menetapkan etiologi dan faktor predisposisi. Para ahli menyepakati bahwa rinosinusitis disebabkan oleh obstruksi clearance mukosilia dari sinus paranasal, khususnya daerah KOM. Peranan radiologi diharapkan dapat menggambarkan secara akurat morfologi regional dan menunjukkan obstruksi osteomeatal. 6.1. Foto polos atau radiografi standar Foto polos sinus paranasal merupakan metode mudah dan cepat untuk evaluasi struktur maksilofasial. Ada empat posisi yang sering adalah posisi Waters’, Towne’s, lateral, dan submentoverteks. Paparan radiasi berkisar 40-60 mSv. Pada pemeriksaan tersebut memuaskan untuk sepertiga bawah kavum nasi dan sinus maksila. Sinus ethmoid anterior et posterior, sinus frontal, dan sphenoid sering memberikan gambaran yang kurang baik akibat penumpukan bayangan (Zeinreich SJ. 2004). Penebalan mukosa lebih dari 4 mm, opasitas komplit sinus maksilaris, dan gambaran air fluid level merupakan gambaran utama yang digunakan radiologist dan ahli THT untuk diagnosis sinusitis pada foto polos ini. Gambaran opasitas sinus maksilaris tersebut dapat diakibatkan penebalan dinding anterior sinus atau jaringan lunak yang tebal. Polip sinus juga dapat memberi gambaran seperti air fluid level(Zeinreich SJ. 2004). Pemakaian CT scan dan roentgen polos telah diteliti oleh beberapa peneliti yang membandingkan roentgen polos dan CT scan koronal pada bayi dan anak dengan sinusitis rekuren. Hasil menyebutkan bahwa dari 70 pasien terdapat 80% mempunyai CT scan abnormal dan 75% roentgen tidak berkorelasi terhadap CT scan. Telah diteliti korelasi roentgen polos dengan CT scan pada penderita sinusitis akut, berdasarkan evaluasi pada 21 pasien didapatkan kesesuaian sebesar 87% antara hasil roentgen polos dan CT scan.

6.2. CT scan 

6.2.1. Ketersediaan CT scan Ketersedian gambar menyediakan informasi tergantung pada jumlah photon yang tercatat pada detektor. Gambar terbagi atas jumlah gambar (spatial resolution) dan perbedaan densitas gambar (contrast resolution). Karena jumlah photon dibatasi oleh dosis radiasi terhadap jumlah daerah maka untuk mengatasi masalah ini dibuat beberapa gambar. Densitas gambar atau ketersediaan absorbsi dari obyek diukur menggunakan arbitary units (Hounsfield units). Skala Hounsfield units (HU) menunjukkan korelasi linier secara fisik. Skala ini menetapkan udara bernilai -1000, cairan bernilai 0, dan tulang bernilai +1000. Tulang yang berdensitas sangat tinggi bisa bernilai lebih dari +3000. Angka tersebut dapat dikonversi kedalam bayangan keabuan untuk mengkreasi gambar (Kurt R, Lange S, Grumme T, Wolfgang K. 1989). Contrast resolution adalah perbedaan terkecil densitas suatu detail obyek dan sekelilingnya yang masih dapat dikenali dalam gambar. Ketebalan slice merupakan faktor penting dalam perbedaan densitas gambar. Perbedaan rerata densitas sebesar 5 HU antara obyek dan struktur sekelilngnya membuat dapat dikenal secara detail. Ketika perbedaan densitas kecil dapat terdeteksi maka gambar tersebut homogen. Pada struktur yang kecil, setiap elemen volume mempunyai volume tertentu (misal 1x1x8 mm2) dan bahwa nilai CT scan adalah rerata dari densitas seluruh partikel yang mengisi volume tersebut (Kurt R, Lange S, Grumme T, Wolfgang K, 1989) Nilai CT scan disebut juga skor region of interest (ROI). Skor ROI merupakan rerata densitas pada CT scan pada ketebalan tertentu. Skor ROI sering digunakan untuk menentukan apakah gambaran pada CT scan berupa udara, cairan atau jaringan. Perbedaan gambaran tersebut dikelompokkan berdasarkan opasitas atau densitas gambar.( Thosiba’s Medical Electronic, 1995). 6.2.2. Teknik CT scan CT scan menyediakan gambaran hidung dan sinus paranasal yang lebih detail dibandingkan roentgen. Bagi ahli THT sangat membutuhkan gambaran KOM dan kelainan yang mungkin terdapat di sinus paranasal untuk mendapatkan diagnosis akurat dan rencana terapi selanjutnya. Potongan koronal CT scan memberikan gambaran akurat sinus ethmoid anterior, 2/3 kavum nasi bagian atas, recessus frontalis. Potong lintang CT scan dapat menilai kondisi soft tissue di kavum nasi, sinus paranasal, orbita, dan intrakranial. Perbedaan yang besar teridentifikasi antara komponen kavum nasi yaitu udara - tulang, lemak - orbita, dan soft tissue – udara. Perbedaan densitas juga mempermudah identifikasi sinus frontal, recessus frontal, processus uncinatus, infundibulum ethmoid, bulla ethmoid, sinus maksila, ostia sinus maksilaris, meatus media, sinus ethmoid, sinus sphenoid, dan recessus sphenoid. Gambaran yang jelas sangat mempermudah dalam diagnosis dan perencanaan terapi (Zeinreich SJ. 2004). Potongan koronal merupakan potongan yang terbaik karena mampu menunjukkan hubungan antara otak dan sinus ethmoid, orbita dan sinus paranasal, juga KOM. Pemakaian endoskopi hanya memberikan gambaran anatomi yang terletak didepan endoskopi, tetapi CT scan mampu mendefinisikan daerah yang tidak tampak menggunakan endoskopi. Pasien diposisikan prone dengan hiperekstensi di meja scanner. Kondisi KOM ideal diperoleh dengan CT scan difokuskan pada kavum nasi dan sinus paranasal. Bila pasien tidak dapat posisi prone maka potongan aksial dari palatum hingga melalui sinus frontalis(Zeinreich SJ. 2004). Pelaksanaan CT scan sering kali terkendala biaya, maka CT scan terbatas telah banyak dikerjakan untuk mengatasi permasalahan dan meningkatkan nilai diagnosis foto polos sinus paranasal. Perkiraan jarak sinus sphenoid hingga nares sekitar 7,5 cm maka CT scan standar dengan ketebalan 3 mm akan diperoleh 25 gambar. CT scan terbatas dikerjakan beragam mulai 3, 4, 5 hingga 10 mm sentrasi kavum nasi dan sinus paranasal (Zeinreich SJ. 2004). Penilaian CT scan meliputi 6 tahap, yaitu: 1) melihat gambaran dari anterior ke posterior (identifikasi sinus frontalis, sinus ethmoidalis, bulla ethmoidalis, sinus maksilaris, sinus sphenoidalis, kavum nasi, orbita, fossa kranii media, dan septum deviasi), 2) melihat lamina papiracea, processus uncinatus, dan konka media, 3) melihat recessus frontalis, 4) perhatikan asimetri kanan-kiri dengan melihat basis kranii, 5) indentifikasi sinus sphenoidalis, melihat septum intersphenoidalis, 6) melihat perluasan penyakit (Zeinreich SJ. 2004). 6.2.3. Perbandingan CT scan koronal terbatas dan foto polos sinus paranasal CT scan potongan koronal terbatas telah diteliti mengenai sensitivitas dan spesifitas bila dibandingkan dengan foto polos sinus paranasal. CT scan 4 slice dibandingkan CT scan standar didapatkan bahwa CT scan 4 slice memiliki sensitivitas 81,25%, spesifitas 89,47%, nilai duga positif 92,86, dan nilai duga negatif 73,91.13 Penelitian Goodman et al. (1995) mendapatkan bahwa foto polos sinus paranasal memiliki sensitivitas dan spesifitas secara keseluruhan 54% dan 64%.14 Penelitian serupa juga dilakukan oleh Garcia et al. (1994) mendapatkan kesesuaian foto polos mendeteksi sinusitis adalah 20% untuk sinus frontal, 0% sinus sphenoid, dan 54% sinus ethmoid. Sinus maksila memiliki 75% kasus. Sensitivitas dan spesifisitas posisi Waters adalah 76% and 81%. Sinus CT scan mempunyai kesesuaian dibandingkan CT standard masing-masing 100% untuk sinus frontal, 82% untuk sinus sphenoid, 73% untuk sinus ethmoid, dan 97% untuk sinus maksila. Kesesuaian secara keseluruhan bila dibandingkan CT scan standard adalah 88% (Garcia GP, Corbett ML, Elbery SM, Joyce MR, Le HT, Karibo JM et al. 1994). Pemeriksaan radiologi dibutuhkan untuk konfirmasi klinis. Rontgen sinus paranasalis didapatkan air fluid level, pengkabutan atau penebalan mukosa pada satu atau lebih sinus (Evans, 1994; Hilger, 1997). CT scan dapat menggambarkan penebalan mukosa, perubahan struktur tulang maupun kondisi osteomeatal komplek (Benninger et al, 2003). Sensitifitas dan spesifitas radiologi sinus paranasal 85% dan 80% untuk posisi waters, untuk tiga posisi 90% dan 60% sedangkan CT scan lebih dari 95% dan 61% (Dolor, 2001).

METODA PENELITIAN A. Rancangan Penelitian Penelitian ini merupakan uji diagnostik untuk menentukan validitas foto polos sinus paranasal 3 posisi dan CT scan potongan koronal sebagai alat diagnosis pada pasien dengan gejala klinis/persangkaan rinosinusitis kronis menurut kriteria task force. B. Populasi Penelitian Populasi target pada penelitian ini adalah pasien yang memenuhi kriteria klinis task force untuk persangkaan rinosinusitis kronis (RSK). Populasi terjangkau penelitian ini adalah pasien yang memenuhi kriteria klinis task force untuk persangkaan rinosinusitis kronis di RS Dr. Sardjito. C. Sampel Penelitian Sampel adalah bagian dari populasi terjangkau yang dipilih dengan cara tertentu. Teknik pengambilan sampel dengan cara berurutan (consecutive sampling), yaitu setiap pasien RSK di RS Dr. Sardjito Yogyakarta dan memenuhi kriteria inklusi dan ekslusi. Cara pemilihan sampel seperti ini adalah satu cara yang terbaik dalam penelitian klinik (Hulley dan Cumming, 1988). D. Kriteria Inklusi Kriteria inklusi penelitian ini adalah penderita dengan persangkaan RSK (task force positif), memiliki foto polos sinus paranasal 3 posisi, memiliki CT scan potongan koronal


E. Kriteria Eksklusi Kriteria eksklusi yang digunakan antara lain: pernah menjalani operasi sinus, terdiagnosis tumor sinonasal, memiliki catatan medis tidak lengkap. tidak bersedia ikut dalam penelitian. F. Cara Pengukuran Tata urutan cara penelitian adalah sebagai berikut: 1). Semua penderita yang tersangka RSK memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi dicatat identitasnya pada formulir penelitian, 2). Dilakukan foto polos sinus paranasal 3 posisi dan CT Scan potongan coronal. G. Kerangka Penelitian Gambar 1. Bagan alur penelitian dan analisis pada penelitian





H. Analisis Statistik Analisis data dalam penelitian ini adalah sensitivitas, spesifisitas, nilai duga positif, nilai duga negatif, rasio kecenderungan positif, dan rasio kecenderungan negatif dari CT Scan dan foto polos SPN 3 posisi. Penghitungan dari variabel dilakukan dengan memakai tabel 1 (Fletcher et al., 1988). Tabel 1. Tabel penghitungan sensitivitas, spesifisitas, nilai duga positif, nilai duga negatif, akurasi, rasio kecenderungan positif, dan rasio kecenderungan negatif. Foto polos SPN 3 posisi + - Total + a b N1 - c d N2 Total N3 N4 N

Keterangan : Sensitivitas = a/N3 x 100 % Spesifisitas = d/N4 x 100 % Nilai duga positif = a/N1 x 100 % Nilai duga negatif = d/N2 x 100 % Rasio kecenderungan positif = sensitifitas/ (b/(b + d)) Rasio kecenderungan negatif = (c/(a + c))/spesifisitas




HASIL PENELITIAN

A. Karakteristik subyek penelitian Jumlah sampel penelitian seluruhnya ada 20 pasien, dimana wanita sebanyak 11 orang (55%) dan laki-laki sebanyak 9 orang (45%). Perbandingan jumlah sample laki-laki dan perempuan hampir sama. Distribusi umur tergambar dalam table 2 dimana paling banyak dijumpai pada umur decade ke 3 (30%). Tabel 2. Distribusi umur sample penelitian Umur (dalam tahun) Jumlah (%) < 9 0 (0) 10-19 4 (20) 20-29 6 (30) 30-39 4 (20) 40-49 2 (10) 50-59 4 (20) >60 0 (0)

Keluhan utama pasien dengan persangkaan RSK terdistribusi dalam table 3 berikut ini.

Tabel 3. Distribusi gejala sample penelitian No. Gejala rinosinusitis Jumlah (%) 1 Discharge purulen 8 (40) 2 Hidung tersumbat 6 (30) 3 Gangguan penghidu 4 (20) 4 Rasa tertekan atau nyeri di sinus 1 (5) 5 Nyeri kepala 1 (5) 6 Fatigue 0 (0) 7 Gangguan tidur 0 (0)


B. Uji Diagnostik/Validasi Foto polos SPN 3 posisi (Tabel 4) Tabel 4. Tabel penghitungan sensitivitas, spesifisitas, nilai duga positif, nilai duga negatif, akurasi, rasio kecenderungan positif, dan rasio kecenderungan negatif foto polos SPN 3 posisi

Foto polos SPN 3 posisi + - Total + 12 4 16 - 2 2 4 Total 14 6 20

Sensitivitas = 12/14 x 100 % = 85,7% Spesifisitas = 2/6 x 100 % = 33,3% Nilai duga positif = 12/16 x 100 % = 75% Nilai duga negatif = 2/4 x 100 % = 50% Rasio kecenderungan positif = 85,7%/ (4/(4 + 2)) = 1,28 Rasio kecenderungan negatif = (2/(12 + 2))/33,3% = 0,14/0,33 = 0,42

PEMBAHASAN Jumlah sampel penelitian seluruhnya ada 20 pasien, Pada penelitian ini didapatkan perbandingan yang sama antara laki-laki dan perempuan (tabel 1), dimana wanita sebanyak 11 orang (55%) dan laki-laki sebanyak 9 orang (45%). Umur yang terbanyak terjadi pada dekade ke 3 (30%) (tabel 2). Keluhan utama yang didapatkan pada sampel penelitian dengan menggunakan kritera task force adalah discharge purulen (40%), hidung tersumbat (30%) dan gangguan penghidu (20%) (tabel 3). Hasil penelitian ini berbeda dengan penelitian yang dilakukan Evans pada tahun 1994 dimana didapatkan gejala subyektif meliputi gejala nasal dan nasofaringeal, faring dan nyeri wajah. Gejala nasal mencakup obstruksi hidung, sekresi hidung dan post nasal drip. Seringkali gejala tersebut disertai dengan epistaksis dan gangguan olfaktorius. Gejala faring adanya rasa kering di tenggorokan dan gejala nyeri wajah disebabkan oleh keadaan vakum pada sinus. Proyeksi nyeri pada sinusitis maksilaris timbul di daerah pipi atau zigomatik, sedangkan pada sinusitis etomoidalis menimbulkan nyeri daerah sela mata. Untuk sinusitis frontalis nyeri terasa di daerah dahi, sedangkan sinusitis spenoidalis menimbulkan nyeri di daerah puncak kepala atau di oksipital. Hal tersebut diatas membuktikan bahwa persangkaan RSK dengan keluhan utama discharge purulen pada hidung dengan umur sekitar dekade 3 harus dicurigai oleh klinisi sebagai gejala RSK. Permasalahannya adalah klinisi dituntut untuk membuktikan kecurigaan tersebut. Mahalnya CT Scan dan tidak adanya fasilitas CT Scan di beberapa daerah memaksa seorang klinisi melakukan foto polos SPN 3 posisi untuk menegakkan diagnosis RSK. Masalah yang dihadapi saat ini adalah validitas foto polos di rumah sakit sardjito belum pernah diteliti, bahkan di Indonesia. Data yang belum tersedia tentang validitas foto polos SPN 3 posisi di Indonesia membuat kalangan klinisi ragu untuk melakukan foto polos dan cenderung untuk merujuk ke pusat pelayanan medis yang tersedia fasilitas CT Scan. Hal ini menjadi beban tersendiri untuk pasien dalam proses diagnosis RSK, padahal pengobatan bisa dilakukan di daerah yang tidak memiliki fasilitas CT Scan. Permasalahan menjadi dasar bagi penelti untuk mencari validitas foto polos SPN 3 posisi dalam menegakkan diagnosis RSK. Penelitian dengan 20 sampel didapatkan sensitivitas sebesar 85,7% dan spesifitas sebesar 33,3%. Hal ini berarti 85,7% kemungkinan seseorang benar benar positif RSK jika ditemukan foto polos SPN 3 posisi positif. Dan 33.3% kemungkinan subyek bukan RSK apabila hasil foto polos SPN 3 posisi ditemukan negatif. Hasil tersebut membuktikan bahwa foto polos SPN 3 posisi bisa dilakukan untuk menegakkan diagnosis RSK. Penelitian ini sesuai dengan yang dilakukan Dolor tahun 2001 dimana didapatkan sensitifitas dan spesifitas radiologi sinus paranasal untuk tiga posisi 90% dan 60%, walaupun hasil berbeda. Dari 16 sampel pasien dengan CT Scan positif didapatkan 12 sampel foto polos SPN 3 posisi yang juga positif, ini menandakan bahwa hasil dari foto polos SPN 3 posisi mempunyai nilai duga positif yang tinggi (75%), sehingga foto polos SPN 3 posisi yang positif yang mempunyai nilai duga positif yang cukup tinggi dan tidak diperlukan foto CT Scan untuk mendiagnosa RSK. Hal di atas membuktikan bahwa foto polos SPN 3 posisi layak untuk mendiagnosis RSK di daerah yang tidak memilik fasilitas CT Scan.

KESIMPULAN

Foto polos SPN 3 posisi valid untuk mendiagnosis rinosinusitis kronis dengan sensitivitas 85,7% dan spesifitas 33,3%.




Daftar Pustaka

1. Benninger MS, Poole M, Ponikau J. 2003. Adult chronic rhinosinusitis: definitions, diagnosis, epidemiology, and pathophysiology. Otolaryngol Head Neck Surg (supl) 129S: S1-S32. 2. Hilger PA. 1997. Penyakit sinus paranasalis. Dalam Boies buku ajar penyakit THT; Effendi H editor. 6th eds. EGC, Jakarta. 3. Miller AJ, Amedee RG. 1998. Sinus anatomy and function. In Bailey BJ. Head & Neck Surgery - Otolaryngology. 2nd ed. Lippincott-lave, New York ; p: 413-421. 4. Rohr AS. 1987. Sinusitis: pathoysiology, diagnosis, and management. J Immunol Allergy Clin North Am 7:383-391 5. Evans KL. 1994. Fortnightly review: diagnosis and management of sinusitis. BMJ 309:1415-1422. 6. Pinheiro AD, Facer GW, Kern EB. 1998. Sinusitis: Current concepts and management. In Bailey BJ. Head & Neck Surgery - Otolaryngology. 2nd ed. Lippincott-lave, New York; p: 441-455. 7. Zeinreich SJ. 2004. Imaging for staging of rhinosinusitis. Ann Otology Rhinology laryngology; 133: 19-23. 8. Sucipto D. 1995. Temuan sinuskopi pada pasien sinusitis maksilaris kronis. Kongres Nasional Perhati XI. Jogjakarta: 179-189. 9. Khun FA. 2004. Role of endoscopy in the management of chronic rhinosinusitis. Ann Otol Rhinol Laringol; 113: 10-14. 10. Kurt R, Lange S, Grumme T, Wolfgang K. 1989. Cerebral and spinal computerized tomography. Scherring AG, West Germany. 11. Thosiba’s Medical Electronic. 1995. The statement of ROI. In Manual of thosiba’s CT scan. Serial number 27345-Tosh-201. 12. Awaida JPS, Woods SE, Doerzbacher M, Gonzales Y, Miller TJ. 2004. Four cut sinus computed tomographic scanning in screening for sinus disease. Southern Medical J; 97: 18-20. 13. Goodman GM, Martin DS, Klein J. 1995. Comparison of a screening coronal CT versus a contagious coronal CT for evaluation of patients with presumptive sinusitis. Am Allergy asthma Immunology; 74: 178-182. 14. Garcia GP, Corbett ML, Elbery SM, Joyce MR, Le HT, Karibo JM et al. 1994. Radiographic imaging studies in pediatric chronic sinusitis. J Allergy Clin Immunol; 94: 1-11. 15. Dolor RJ, Williams JW. 2001. Management of Rhinosinusitis in Adults: Clinical Applications of Recent Evidence and Treatment Recommendations. JCOM; 9: 463-477. 16. Hulley SB, Cummings SR. 1998. Designing Clinical Research. Williams and Wilkins, Baltimore. 17. Fletcher RH, Fletcher SW, Wagner EH. 1988. Clinical Epidemiology : The Essential, 2nd ed. Williams & Wilkins, Baltimore, USA:58-04.