SEJARAH KERAJAAN BANGGAI oleh : Haryanto Djalumang

Pada tahun 1580 Raden Cokro dilantik sebagai raja kerajaan Banggai pertama oleh Sultan Ternate Babb Ullah di Ternate, raja ini kemudian dikenal dengan nama Adi Cokro (Adi Soko), Mbumbu Doi Jawa, artinya tuanku raja Adi Cokro Meninggal di tanah Jawa (1590 M). Raja ke I kerajaan Banggai Adi Cokro (Adi Soko) menikah pertama kali dengan putri dari raja Motindok Ali Saseni, bernama Nuru Sapa melahirkan anak pertama bernama Abu Kasim Raden Sakka , kemudian raja Adi Cokro menikah kedua dengan putri bangsawan (Kastela) Portugis di Ternate bernama Kastilia melahirkan anak keduanya Maulana Frins Mandapar, dan raja Adi Cokro menikah ketiga dengan putri Bokan melahirkan anak perempuan ketiganya Putri Saleh, Raja ke I Adi Cokro (Adi Soko), yang berkuasa pada tahun 1580-1590, adalah raja yang mempersatukan wilayah kerajaan di Banggai laut (Liputomundo, Kadupang, Sisipan, Bongganan, Dodung, Tano Bonunungan) dan wilayah kerajaan di Banggai darat (Tompotika dan Motindok), dengan nama “Kerajaan Banggai”. Raja ke I Adi Cokro (Adi Soko) dimasa akhir pemerintahannya masih di utus Sultan Bab-Ullah ke kerajaan Demak (1590) dalam pertemuan raja-raja se Nusantara, ia berangkat bersama-sama dengan istrinya yang ketiga asal Bokan beserta anaknya putri Saleh, dengan waktu yang cukup lama di Demak Jawah Tengah. Kepergian Adi Cokro ke Demak, membuat para adi dan basalo di kerajaan Banggai mengalami ke vakuman pemerintahan, sehingga bermacam-macam cara dan upaya mencari pengganti raja. Ada informasi dan keterangan dari se orang ibu di Banggai bahwa Adi Cokro masih meninggalkan anak bernama Abukasim, dan berada di sebuah pegunungan di wilayah Banggai, maka dicarilah sang anak ini, kemudian di bawah dan menghadap kepada basalo dan tomundo, atas kesepakatan, Abukasim siap dan berkeinginan untuk menemui ayahnya di Demak Jawa Tengah, dengan beberapa syarat yang harus dipenuhi para basalo dan tomundo. Berangkatlah Abukasim ke Demak, dengan melakukan pelayaran yang cukup lama dan melelahkan sampailah ia di tanah jawa wilayah kerajaan Demak, tidak beberapa lama iapun ketemu ayahnya, dengan tanda-tanda yang ada dan yang diberikan oleh basalo dan tanda yang diberikan ayahnya sejak kecil, yaitu sebuah gelang tangan khusus. Berdasarkan tanda-tanda tersebut sang ayah yakin bahwa yang datang adalah putranya, Abukasim. Kedatangan Abukasim sang anak, diceritakan kepada ayahnya Adi Cokro, yaitu mengajak ayahnya kembali ke Banggai, untuk memimpin kerajaan Banggai, namun ajakan ini di tolak ayahnya, Adi Cokro berucap kalau “Abukasim tidak mau bersedia jadi raja Banggai, datanglah ke Ternate jemput adikmu bernama Mandapar, ajaklah adikmu ke Banggai, serta beri dia kepercayaan untuk memimpin kerajaan Banggai, dan untuk mengenal adikmu, perlihatkan gelang yang kau pakai ini, yang satunya di pakai adikmu Mandapar, dan kalau pulang ke Banggai adikmu putri Saleh di bawah serta, serta saya menitip pula agar bawah serta dua pasang burung ini (yang di kenal burung malelo, mamuha), peliharalah ia dengan baik, sehingga dapat dinimati rakjat Banggai” (Sumber, hasil penelitian Prof.Dr. W.E.L. Weck dan Franscois Valentijn, dalam bukunya berjudul, De Europeers in den Maleischen Archipel, B.K.I, Laiden, 1881). Dibawah ini susunan raja-raja Banggai sejak berdiri tahun 1580 M : 1. Raja Adi Cokro Mbumbu Doi Jawa 2. Pokoalas Doi Tano (yang meringankan segala sesuatu didarat) 3. Pokoalas Doi Ndalangon (yang meringankan segala sesuatu di laut) 4. Mbumbu Palakangkan (suatu pohon yang bercabang tidak berdaun dan menjulang ke langit) 5. Mbumbu Tetelengan (yang berbaring dengan punggung) 6. Mbumbu Dinadaat Doi Batang (yang dibunuh di batang kayu) 7. Mbumbu Dinadat Doi Taipa (yang dibunuh di pohon mangga) 8. Mbumbu Dinadat (yang dibunuh) 9. Mbumbu Ai Binggi (yang tidur-tidur miring), 10.Abukasim Mumbu Sinambebekan (yang digendung) 11.Mbumbu Doi Taipa (di pohon mangga) 12.Mbumbu Doi Pangkola (menjadi bagian tanah di

    pangkola).

Pengangkatan raja-raja tersebut diatas, adalah insiatif dari para Basalo dan pau Babasal, ini disebabkan Adi Cokro (Adi Soko) tidak kembali lagi ke Banggai, dan sampai meninggal di tanah jawa, sedangkan anak tertuanya Abukasim, belum siap memimpin kerajaan Banggai, maka atas insiatif dari Abukasim bersama-sama basalo menjemput adiknya Mandapar di Ternate, kemudian di bawah ke Banggai, setelah itu menyampaikan kepada Sultan Ternate untuk dilantik sebagai raja Banggai. Pada tanggal 16 Mai tahun 1600 M. Maulana Frins Mandapaar dilantik sebagai raja ke XIII Kerajaan Banggai oleh Sultan Ternate Said Uddin Barkat (berkuasa 1583-1606) di Ternate, raja Mandapar adalah putra dari Adi Cokro (Adi Soko) Mumbui doi Jawa yang ibunya berkebangsaan Portugis (Castella) bernama Kastilia, dilantiknya raja Mandapar atas inisiatif kakaknya Abukasim Radden Sakka dan para basalo sangkap. Raja Mandapar menikah pertama dengan putri Banggai melahirkan anak yang kemudian bernama Molen Mbumbu doi Kintom, menikah kedua dengan putri Goa-Makassar di Banggai melahirkan anak yang kemudian bernama Paudagar Mbumbu Doi Benteng. Maulana Frins Mandapar meninggal tahun 1630 di Lonas, Lompio, Kota Banggai, dengan gelar Mandapar Mbumbu Doi Godong. Tahun 1602 Belanda datang ke Indonesia dan mendirikan Vereeniging Oast Indische Compagnie (VOC) yang merupakan Kongsi Dagang Belanda untuk perdagangan di Hindia Timur (Indonesia). Berikut ini disampaikan dokumen sejarah yang dikumpulkan JJ.Dormier dari berbagai sumber, kontrak antara VOC Belanda dengan raja Banggai; Kesaksian salah seorang pelaut bangsa Inggris bernama David Niddeleton yang pernah dua kali datang ke Banggai menyebutkan. Pengaruh VOC di Banggai sudah ada sejak Raja Mandapar memimpin Banggai. Kerajaan Banggai pernah dikuasai Ternate, namun setelah kerajaan Ternate dapat ditaklukan dan direbut oleh Sultan Alaudin dari kerajaan Gowa (Sulawesi Selatan) maka Banggai ikut menjadi bagian dari kerajaan Gowa. Dalam sejarah tercatat kerajaan Gowa sempat berkembang dan mempunyai pengaruh yang sangat besar dan kuat di Indonesia Timur. Setelah raja Mandapaar meninggal (1630) di Lonas, Lompio Pulau Banggai, kemudian digantikan putranya bernama Molen Mbumbui doi Kintom (1630-1648) sebagai raja ke XIV kerajaan Banggai, ibundanya putri Banggai. Pada saat raja ke XIV Banggai ini memimpin, wilayah kerajaan Banggai dikuasai Kerajaan Goa, Sultan Alauddin (1592-1639). Meninggal raja Mbumbu doi Kintom, digantikan raja Paudagar Mbumbu doi Benteng (1648-1689), sebagai raja ke XV kerajaan Banggai, adik tiri Mbumbu doi Kintom, ibundanya keturunan Goa-Makassar. Pada tahun 1637 kerajaan Gowa di bawah Sultan Malikussaid masih menguasai kerajaan Banggai, berakhir sampai dengan perjanjian Bongaya (1667), dan sejak tahun 1675 kerajaan Banggai dikuasai kembali oleh sultan Ternate Mandarsyah (1648-1675) yang sangat berpihak kepada pemerintahan Belanda. Perjanjian Bongaya (Het Bongaisch Verdraag), ditandatangani pada tanggal 16 November 1667, atas inisiatif dan prakarsa pemerintah Belanda yang dipimpin oleh Cornelis Speelman. Perjanjian ini berisi antara lain, kerajaan Goa harus melepaskan seluruh haknya terhadap pulau Banggai dan pulau Gapi (Peling), perjanjian ini di tandatangini oleh raja Goa Sultan Hasanuddin, raja Bone Arung Palakka, raja Soppeng Arung Billa dan Sultan Ternate Mandarsyah. Raja Banggai ke XV ini meninggal, digantikan raja Mbulang Mbumbu doi Balantak (1689-1705), sebagai raja kerajaan Banggai ke XVI, putra raja Molen Mbumbu doi Kintom, dilantik oleh Sultan Ternate Sibori di Ternate, sultan Sibori oleh Doermier disebut sebagai Sultan Amsterdam, karena keberpihakan kepada VOC Belanda sangat dominan daripada kepada rakyatnya. Albert C.Cruyt (1930), dalam bukunya mengatakan bahwa sejak tahun 1683 orang sudah mulai berbicara tentang Banggai, karena Ternate dianggap sebagai leenheffer (penerima pinjaman) pada perusahaan Hindia Belanda, karena Banggai merupakan daerah takluknya, maka kerajaan ini dijadikan jaminan atau borok kepada VOC Belanda, oleh Sultan Ternate Baab Ullah, Sultan Sahid Barakat, Sultan Mudhaffar, Sultan Said Fatahullah (Sibori) dan Sultan Ternate yang berkuasa sampai tahun 1900. Pada Tahun 1689 dibuat suatu kontrak (yang pertama) antara V.O.C (Verrenigde Oost Indische Compagnie) dan Banggai, dimana juga tentang beberapa butir hubungan Ternate dengan Banggai diatur, antara lain isinya; bahwa tidak boleh diangkat bobato baru, ataupun yogugu, kapitan-laut, hokum tua atau sangaji, kecuali setelah mendapat ijin dari Compagnie, bersama-sama dengan sultan Ternate (art.15); berikut, bahwa pada kemangkiran dan kematian, atau juga karena tingkah laku jahat serta pemecatan oleh E.Comp, seorang raja baru harus dipilih dengan cara musyawarah bersama antara Gubernur dan sultan Ternate, beserta para bobato Banggai (art.16); raja Banggai setiap tahun harus memberi homagium (penghormatan) kepada sultan Ternate dan dengan demikian mengirim pemberian atau pajak, sebagaimana yang menjadi kebiasaan dan pantas (art.26). Pada saat Sultan Hasanuddin dikenal sebagai raja yang sengit melawan Belanda. Bentuk perjuangan yang dilakukan Hasanuddin ternyata memberikan pengaruh tersendiri bagi Raja Banggai , yakni Raja Mbulang dengan gelar Mumbu Doi Balantak, hingga Mbulang memberontak terhadap VOC Belanda dan Sultan Ternate. Sebenarnya Mbulang Doi Balantak menolak untuk berkongsi dengan VOC lantaran monopoli dagang yang terapkan Belanda hanya menguntungkan Belanda sementara rakyatnya di posisi merugi. Tapi apa hendak dikata, karena desakan Sultan Ternate yang menjadikan Kerajaan Banggai sebagai bagian dari taklukannya, dengan terpaksa Mbulang Doi Balantak tidak dapat menghindar dari perjanjian yang dibuat VOC Belanda. Raja ke XVI ini wafat digantikan oleh raja Abdul Gani Mbumbu Doi Kota (1705-1728), sebagai raja Banggai ke XVII, putra raja Paudagar Mbumbu Doi Benteng. Kemudian, raja Abdul Gani meninggal digantikan raja Banggai ke XVIII raja Abu Kasim Mumbu Doi Bacan (1728-1753) putra dari raja Mbulang Mbumbu doi Balantak. Tahun 1741 tepatnya tanggal 9 November perjanjian antara VOC dengan Mbulang Doi Balantak diperbarui oleh Raja Abu Kasim yang bergelar Mbumbu Doi Bacan. Meski perjanjian telah diperbaharui oleh Abu Kasim, tetapi secara sembunyi - sembunyi Abu Kasim menjalin perjanjian kerjasama baru dengan Raja Bungku. Itu dilakukan Abu Kasim dengan target ingin melepaskan diri dari Kerajaan Ternate. Langkah yang ditempuh Abu Kasim ini dilakukan karena melihat beban yang dipikul oleh rakyat Banggai sudah sangat berat karena selalu dirugikan oleh VOC. Tahu raja Abu Kasim menjalin kerjasama dengan Raja Bungku, akhirnya VOC jadi berang (marah). Abu Kasim lantas ditangkap dan dibuang ke Pulau Bacan (Maluku Utara), hingga akhirnya meninggal disana. (JJ.Dormier, Catatan Untuk Banggai-Gapi, 1945). Tahun 1741, kontrak tersebut ditambah lagi dengan campur tangan yang lebih mendalam yaitu; bahwa atas permintaan raja Banggai di tempatkan disana seorang corporal dengan empat prajurit untuk membantu raja dalam melaksanakan pasal-pasal perjanjian ini, dan pelayanan-pelayanan serta sebuah rumah (art.27), ungkap Doermier. Setelah raja Abu Kasim wafat di gantikan raja Banggai ke XIX kerajaan Banggai raja Kabudo Mbumbu Doi Mondonu (1753-1768), adik raja Abdul Gani, putra raja Pausadagar Mbumbu Benteng. Setelah raja Kabudo wafat di gantikan raja ke XX kerajaan Banggai raja Ansyara Mbumbu Doi Padongko (1768-1773), putra raja Kabudo Mbumbu Doi Mondonu. Kemudian, setelah raja Ansyara wafat digantikan raja Banggai ke XXI raja Mandaria Mbumbu Dinadat Darah Putih (1773-1809), putra raja Ansyara Mbumbu Doi Padongko.

Setelah raja Mandaria meninggal, digantikan raja Banggai ke XXII  raja Atondeng Mbumbu Doi Galela (1809-1821), adik rakja Mandaria dn putra raja Ansyara.
Setelah raja Atondeng wafat digantikan raja kerajaan Banggai ke XXIII raja Taja Mumbu Sau (1821-1827), cicit raja Mbulang Mbumbu Doi Balantak. Meninggal raja Taja digantikan raja Banggai ke XXIV raja Laota Mbumbu Doi Tenebak (1827-1847), adik raja Tadja, cicit raja Mbulang Doi Balantak. 

Wafat raja Laota di gantikan raja Banggai ke XXV raja Agama Mbumbu Doi Bugis (1847-1852). Raja Agama pernah melawan kekuasaan Sultan Ternate, tetapi tidak dapat membendung serangan tentara Sultan Ternate, Tobelo, Sebelum raja Agama melakukan perlawanan dengan Sultan Ternate, beliau pernah menulis surat ke Sri Sultan Kutai di Kalimantan, Sri Sultan Butun, untuk meminta bantuan dalam perang melawan Tobelo, namun bantuan itu tak kunjung datang, walhasil yang ada di kerajaan Banggai hanyalah pasukan dari Mendono yang dipimpin oleh Bosanyo Tatu Yasin (Mea Mata), dan Kapitan Togian Lapalege, perang berkecamuk hampir tiga minggu lamanya, dan pasukan Tobelo, VOC Hindia Belanda, banyak jatuh korban, namun karena persenjataan dari pasukan raja Agama yang sangat minim, maka diambil keputusan untuk menyelamatkan raja Agama ke kerajaan Goa melalui, dengan didampingi angkatan perang Togian pimpinan Kapitan Lapalege memerintahkan agar komandan perang Togian Penggawa Uwa Labia mengawal raja Agama sampai ke kerajaan Bone. Penyelamatan raja Agama atas inisiatif Kapitan Togian Lapalege, Bosanyo Mendono Tatu Yasin dan raja Agama sendiri. Setibanya di kerajaan Bone, raja Agama diterima dengan baik dan diberikan penghormatan, pelayanan, sampai akhir hayatnya. Oleh karena itu belia dinamakan raja Agama Mumbu doi Bugis ” Tuanku raja Agama meninggal di tanah Bugis. Meninggal raja Agama, kemudian digantikan raja Banggai ke XXVI raja Tatu Tonga Mbumbu Doi Jere (1852-1858), anak raja Mandaria Mbumbu Dinadat. Meninggal raja Tatu Tonga, digantikan raja Banggai ke XXVII raja Soak Mbumbu Doi Banggai (1858-1870), putra raja Laota Mbumbu Doi Tenebak. Wafat raja Laota digantikan raja kerajaan Banggai ke XXVIII raja Nurdin Mbumbu Doi Labusana (1870-1882)), putra raja Tatu Tanga. Meninggal raja Nurdin, digantikan raja Banggai ke XXIX raja H. Abdul Azis (1882-1900), putra raja Soak, cucuk raja Laota. Kontrak antara Banggai dengan VOC dan Sultan Ternate ditambah lagi pada tanggal 30 Oktober 1880, menyangkut kejahatan-kejahatan di ajukan kepada sultan Ternate, dilanjutkan lagi dengan kontrak 5 Juli 1889, di mana impor dan ekspor senjata api, mesiu dan amunisi, dilarang masuk diwilayah kekuasaan sultan ternate; tambahan lagi dengan kontrak 20 Juli 1893, pemberian ijin-ijin explorasi (pencarian) pertambangan, dan konsensi untuk pengolahan tambang di dalam wilayah kesultanan, Sultan tetap memegang hak-hak tersebut, tetapi swapraja akan dapat memeproleh dari cukainya; juga ditetapkan hak raja untuk mengadakan explorasi guna kepentingannya sendiri. Kontrak suppletoir 29 September 1897, menambah kekuasaan VOC dan sultan ternate, ditiadakan keragu-raguan tentang pertanyaan apakah peraturan pertambangan Hindia Belanda masih berlaku a.l. atas kesultanan Ternate dan warganya. Meninggal raja Abdul Azis, digantikan raja Banggai ke XXX raja H.Abdurrahman (1901-1922), cucu raja Atondeng, raja Abdurrahman pada tahun 1922 menunaikan ibadah Haji ke tanah suci Mekkah, dan ikut bersama-sama dengan raja Abdurrahman adalah keponakannya Syoekuran Aminuddin Amir yang masih berumur 20 tahun, raja Abdurrahman kemudian wafat dalam perjalanan dari Mekkah ke Indonesia, atas kesepakatan Basalo Sangkap, pemerintahan kerajaan Banggai di pimpin oleh Jogugu Hanapi (1925), dan dilanjutkan oleh Jogugu Zakaria Uda’a (1929). Kekuasaan Ternate atas Banggai berakhir pada tanggal 1 April 1908, dengan Kontrak suppletoir tanggal 23 Maret 1907 Sultan ternate menyerahkan Banggai, Bungku dan Mori Kepada Pemerintahan Hindia Belanda dan kontrak ini berlaku mulai 1 April 1908. Dengan demikian raja Banggai Abdurrahman menjalankan Korte Verklering sebagai penguasa Banggai. (Sumber : Dormier, dalam Valentijn, Kruyt, Vorsten, Goedhart, De Clerck, Hand.S.G.). Meninggal raja H.Abdurrahman, digantikan raja Banggai ke XXXI raja Awaluddin (1925-1940), putra raja H.Abdul Azis. Kemudian raja Awaluddin meninggal digantikan raja Banggai ke XXII Nurdin Daud (1940-1941), cicit raja Nurdin Mbumbu Labusana, cucuk Kapitan Dadau, putra yogugu Hajim, karena raja Nurdin dilantik masih berumur 12 Tahun, maka pemerintahan Kerajaan Banggai dijalankan oleh yogugu Zakaria Uda’a, kemudian pemerintahan kerajaan diserahkan kepada raja Banggai ke XXIII H.Sjoekoeran Aminuddin Amir, cicit raja Agama Mbumbu Doi Bugis, cucuk Muha Mayor, putra mian tuu’ Palabatu Amir. Sebelum, menjabat raja Banggai, tahun 1926 Syoekuran Aminuddin Amir diangkat menjadi “Hatibi Banginsa” di Banggai, jabatan syara’ di kerajaan Banggai, tahun 1929 Syoekuran Aminuddin Amir menjabat sebagai mayor ngopa merangkap Kepala Distrik Tangkian yang berkedudukan di Bunta, tahun 1940 diangkat menjadi Kepala Hadat di Lambangan merangkap Kepala Distrik Bawahan Lambangan dan Bualemo. Pengangkatan dan pelantikan raja Banggai ke XXXI dan raja ke XXXII , serta raja Banggai ke XXXIII di laksanakan di Banggai yang dilakukan oleh Basalo Sangkap (Empat Pembesar), yaitu basalo Doodung, basalo Tano Banunungan, basalo Monsoongan dan basalo Gong-gong. Basalo Sangkap inilah yang mengangkat, melantik dan memberhentikan raja, dengan persetujuan Komisi Empat, yaitu jogugu (pemerintahan di Banggai Kepulauan) berkedudukan di Banggai, hukum tua (pemerintahan di pulau peling) berkedudukan di Salakan, Kapitan Laut (pemerintahan di pantai selatan Banggai darat) berkedudukan di Luwuk, dan mayor ngopa (pemerintahan di pantai utara Banggai darat) berkedudukan di Bunta. Komisi Empat pemerintahan kerajaan Banggai berlaku efektif pada raja ke XXXI H.Awaluddin. Ketika raja Banggai H.Awaluddin wafat, proses pergantiannya dilakukan oleh Basalo Sangkap, atas persetujuan Komisi Sampat (Empat), mengangkat raja ke XXXII Nurdin Daud, cicit raja Nurdin Mbumbu doi Labusana, cucuk Kapitan Daud, anak dari jogugu hajim. Nurdin Daud saat itu baru berumur 12 tahun. Ia hanya dapat melaksanakan pemerintahan kerajaan selama kurang lebih 9 (Sembilan) bulan, oleh Basalo Sangkap atas persetujuan Komisi Sampat (Empat), di putuskan raja Nurdin Daud di kirim ke Makassar untuk melanjutkan Sekolah. Pengganti Nurdin Daud untuk melaksanakan pemerintahan kerajaan sementara di angkat Jogugu Zakaria Uda’a (05 Februari 1941), dan pada Tanggal 1 Maret 1941 Basalo Sangkap atas persetujuan Komisi Sampat (Empat), mengukuhkan raja Banggai ke XXXIII H. Syoekuran Aminuddin Amir menjadi Raja Banggai terakhir kerajaan Banggai (1952). Raja Banggai diangkat dan diberhentikan oleh sebuah lembaga yang bernama Basalo Sangkap (Empat Pembesar), yaitu pertama Basalo Dodouung, kedua Basalo Monsongan, ketiga Basalo Lampa dan keempat Basalo Gonggong, sebagai Badan Legislatif. Dalam pelaksanaan pemerintahan kerajaan Banggai, raja dibantu oleh Komisi Empat, sebagai Dewan Menteri atau Badan Eksekutif, yaitu pertama Mayor Ngopa atau raja muda, kedua Kapitan Laut (Kepala Angkatan Perang), ketiga Jogugu (Menteri Dalam Negeri), dan keempat Hukum Tua (Pengadilan Negeri). Ke empat Menteri ini diangkat dan diberhentikan oleh Raja. Sistem Komisi empat ini tetap dipertahankan sebagai sistem pemerintahan di Kerajaan Banggai, dan hanya diadakan pembagian wilayah kepada empat komisi, yang dimulai tahun 1900, pada saat raja Abdurrahman berkuasa, sebagai berikut : Mayor Ngopa, membawahi wilayah Pagimana dan Bunta berkedudukan di Pagimana. Kapitan Laut, membawahi wilayah Luwuk, Kintom, Batui, Lamala dan Balantak, berkedudukan di Luwuk. Jogugu, membawahi wilayah Banggai, Labobo Bangkurung, berkedudukan di Banggai, dan Hukum Tua, membawahi wilayah Tinangkung, Buko, Liang, Totikum, Bulagi, yang berkedudukan di Salakan. Baik Doermier maupun Albert C. Kruyt, mengatakan bahwa untuk dapat menentukan suatu bentuk sifat (karakteristik) pergantian raja-raja Banggai, pertama ternyata bahwa tidak pernah se orang perempuan menjadi ratu di kerajaan Banggai, kedua sangat jarang kita menemukan bahwa sang ayah digantikan oleh putranya, hanya berlaku pada raja Mandapar (putranya raja Molen dan raja Paudagar), raja Molen pada putranya raja Mbulang, raja Kabudo pada anaknya raja Ansyara dan ke anaknya raja Mandari, serta raja Soak kepada putranya raja Abdul Azis dan Awaluddin. Sering terjadi bahwa dari satu generasi lebih dari satu orang menjadi raja; mereka baru pindah ke generasi berikut kalau generasi sebelumnya sudah habis, artinya kalau generasi sebelumnya itu tidak dapat lagi memberikan orang yang cocok. Dengan singkat sistem ini dapat dilihat sebagai bersifat hak waris dengan pemilihan (eleksi). Boscher dan Mathijeen (1854), mengatakan bahwa rakyat Banggai darat terhimpun dalam satuan-satuan persekutuan :

  • Batoei (Batui) berpenduduk 606 jiwa
  • Tangian (Tangkian) berpenduduk 234 jiwa
  • Kintew (Kintom) berpenduduk 306 jiwa
  • Mendono berpenduduk 575 jiwa
  • Lantio (Lontio) berjumlah 551 jiwa
  • Loewoek-Keleke berpenduduk 561 jiwa
  • Lainang Timur berpenduduk 4.070 jiwa
  • Lainang Barat berpenduduk 3.040 jiwa

Boscher juga mengatakan mengatakan bahwa pada tahun 1854-1900, di kerajaan Banggai darat terdapat Distrik Batoei of Mondono, yaitu : Batoei, Tangkian, Kintom, Mondono, Lantio, Loewoek-Keleke, Lainang Timur dan Lainang Barat Pada tahun 1901, jumlah Distrik bertambah, yaitu Sinorang, Batui, Tangkian, Kintom, Mondono, Lontio, Nambo, Luwok, Keleke, Basama, Lamala dan Pokobondolong. Dormeire (1947), mengatakan bahwa Lipuadino Lolantang membawahi 12 (duabelas) Kabasalonan, yaitu, Lolantang, Palabatu, Suit, Patukuki, Tombos, Keleke (Banggai darat), Lo’nsom (Banggai darat), Belalon, Basosol, Papadang, Batuanao, dan Toi-Toi. Dalam Bahasa Bangga disebut BA BASALO AN, atau dalam bahasa Saluan disebut POM BOSYANYO AN, yakni wilayah kedaulatan seseorang, sesepuh yang bergelar BOSANYO, itulah Bosanyo Keleke. Bosanyo Keleke, pada saat membawa Huhu (pajak) ke raja Banggai, melalui Bosanyo Kintom, Huhu tersebut berupa Lilin dari Lebah, Minyak Kaukus yang disebut Timpaus, berasal dari wilayah Keleke.


3.2. Sejarah Singkat Kabupaten Banggai

Pada tahun 1923 di Luwuk, terbentuk Partai Syarikat Islam Indonesia (PSSI), yang dipimpin oleh Kalia Makmur, Maladjo Ahmad, N.Pedju, Abdullah H.Kasim, Jan Posumah dan Usman Hamid. Di Pagimana PSII dipimpin oleh Jusuf Monoarfa, T.S. Bullah, Agulu Lagonah. Di Bunta dipimpinan oleh S. Kardiat. Balantak dipimpin oleh Salim Hambali, kemudian pada Tahun 1948, PSII Kabupaten Banggai dipimpin oleh Atjo Dg. Matorang, Djakaria N.Agama, Man Djibran, A.Jakobos, Jan Posuma, Sadjo Dg. Matorang, dan Abd. Madjid Mang. Pada tahun 1932 telah berdiri Organisasi Muhammadiyah Luwuk, dengan tokohnya antara lain, H.Muhammad Noer, Ipung Mang, Sirajuddin Datu Adam, dan H.Thalib. Di Pagimana Muhammadiyah di pimpin oleh Abdau Masulili, M.Tapoh, M.A. Makarao, di Bunta di pimpin oleh S.Bunai, Sanusi Mangantjo. Pada Tahun 1934, terbentuk Pengurus Cabang Nahdlatul Ulama (NU) Banggai, dengan Ketuanya Ahmad Mile, wakil ketua Habib Ahmad Al Hasni, Sekretaris Abd. Azis Sinukun dan wakil Sekretaris Djen Djalumang, yang dibentuk oleh Pengurus NU Jawa Timur Habib Said Al Bakar dan Habib Awad Al Bakar. Pada tanggal 17 Agustus 1950 terbentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) berdasarkan Undang-Undang Dasar Sementara (UUDS) 1950, wilayah NKRI dari sabang sampai marauke, dan semua Staatblad yang menjadi dasar pembentukan Negara-negara bagian dan satuan-satuan kenegaraan, dinyatakan dicabut dan tidak berlaku lagi. Pemerintah RI. mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Republik Indonesia Serikat (RIS) Nomor 21 Tahun 1950, ditetapkan tanggal 14 Agustus 1950, diumumkan tanggal 16 Agustus 1950, mulai berlaku tanggal 17 Agustus 1950, tentang wilayah asal Daerah Sulawesi Selatan, daerah Minahasa, daerah Sangihe & Talaud, daerah Sulawesi Utara, daerah Sulawesi Tengah Negara Indonesia Timur (NIT), kedudukan Pemerintahan di Makassar dan Manado. Pada tanggal 17 Juni 1950 di bentuk rapat pembentukan Komite Nasional Indonesia (KNI) Luwuk Banggai di Pagimana di ketuai Suleman Masulili. Dan kemudian pada tanggal 28 September 1950 tokoh-tokoh KNI Pagimana datang ke Luwuk atas prakarsa Letnan Taroreh dari Kesatuan Sulawesi Utara dan Maluku (SUMU) untuk menyampaikan hasil rapat di Pagimana. Pada tanggal 1 dan 2 Oktober 1950 dimulailah pertemuan bertempat di rumahnya H. Thalib (depan Masjid raya Mutahidah) Luwuk, antara tokoh-tokoh KNI Pagimana Sulaeman Masulili, AR. Lanasir, Jusuf Monoarfa, T.S.Bullah, A. Lagonah, M.A. Makarao dengan tokoh-tokoh politik di Luwuk, Ahmad Mile, Aco Dg.Matorang, Abd. Azis Sinukun, S.Datu Adam, M. Ahmad, Abd.Azis Larekeng, Djeng Djalumang, Ena Musa, dan tuan rumah H.Thalib, serta Letnan Taroreh. Hasil pertemuan, belum menemukan kata sepakat tentang wadah perjuangan untuk melahirkan wilayah daerah otonom serta penentuan Ibu Kota Kabupaten, tokoh politik KNI Pagimana menghendaki Ibu Kota di Pagimana, sedangkan tokoh politik Luwuk menghendaki Ibu Kota di Luwuk. Pemerintahan Republik Indonesia Serikat (RIS), mengeluarkan Peraturan Pemerintah Nomor 33 Tahun 1952, tentang pembagian wilayah Sulawesi Tengah menjadi 2 (dua) Kabupaten, yaitu Kabupaten Poso dan Kabupaten Donggala. Kabupaten Poso wilayahnya meliputi bekas Swapraja Banggai, dengan Jabatan Kepala Pemerintahan Negeri (KPN) Banggai. Pada tanggal 23 Juli 1955, di Asrama Luwuk Banggai Makassar terjadi pertemuan, dan terbentuk sebuah Organisasi Kerukunan Pelajar (OKP) Luwuk Banggai yang dipimpin oleh Abd. Azis Larekeng, salah satu keputusan dari rapat tersebut yang sangat mendesak adalah ‘”menyampaikan aspirasi politik kepada partai politik dan tokoh masyarakat di Luwuk agar secepatnya memperjuangkan terbentuknya Kabupaten Banggai menjadi Daerah Tingkat II Banggai.

Pada tanggal 7 Pebruari 1956, atas prakarsa Pemerintah Swapraja Banggai membentuk wadah organisasi yang di beri nama “Badan Perjuangan Otonomi Daerah” (BPOD), yang terdiri dari tokoh politik dan pemerintah swapraja Banggai, masing-masing adalah Djakaria N.Agama, Ahmad Mile, M.H.Wauranagai, A.Momor, Aco Dg. Matorang, Abd.Azis Sinukun, Abd. Azis Larekeng, AL. Lanasir, Agulu Lagonah, Usman Hamid, T.S.Bullah, H.Thalib, Abd. Razak Datu Adam, Djeng Djalumang, Jan Posuma, B. Salam, Sulaeman Amir, S.P.Makarao, dan Ema Musa, di Jakarta Abd.Djadil Abdullah, Farouk Zaman dan Abd. Kahar Dangka.

Salah satu keputusan rapat BPDO adalah, memperjuangkan terbentuknya Daerah Tingkat II Banggai, dan mengutus delegasi ke Poso, Makassar dan Jakarta, dengan pertimbangan bahwa agar daerah Swapraja Banggai berdasarkan staadblad 14377 ad V sub 3 yang merupakan wilayah Afdeling Poso, dibentuk dan dimekarkan menjadi “Daerah Swatantra Tingkat II Banggai,” atau DASTING II. Pada Tanggal 5 Maret 1957, Pemerintah Swapraja Banggai mengeluarkan pernyataan yang isinya sebagai berikut, pertama Sesuai dengan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1957 tentang Pokok-pokok Pemerintahan Daerah, maka atas kemauan sendiri, sudi menerima bilamana status Swapraja Banggai dialihkan menjadi status Daerah Tingkat II, kedua Pada saat terbentuknya Daerah Tingkat II nanti, semua pegawai Swapraja Banggai harus dijamin dan dijadikan Pegawai Daerah, dan ketiga Hak milik Swapraja Banggai menjadi hak milik Daerah Tingkat II nanti. Pernyataan ini ditandatangani raja Banggai S.A. Amir, Mayor ngofa Djakaria N.Agama, jogugu Uda’a, hukum tua H.A. Hamid, dan kapitan S.Amir, disaksikan oleh Residen Koordinator Sulawesi Tengah H.D. Manoppo dan Pd. Daerah Poso Dj. Lapasere. Pemerintah Pusat telah mengeluarkan Undang-undang tentang Pokok-pokok Pemerintahan Nomor 1 Tahun 1945, junto Undang-Undang Nomor : 22 Tahun 1948, junto Undang-undang Nomor 44 Tahun 1950 junto Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1957. Pada tanggal 23 September 1956, delegasi BPOD Banggai berangkat ke Poso menghadap pemerintahan di Poso, ke Makassar bertemu dengan Gubernur Sulawesi Andi Pangeran Petta Rani dan di lanjutkan ke Jakarta, menemui Menteri Dalam Negeri RI, Mr.Sunaryo masing-masing dipimpin oleh Djakaria Nurdin Agama (ketua/penasihat wakil swapraja Banggai), M.H. Wauranagai (ketua/penasihat wakil Parkindo), Ahmad Mile (anggota wakil dari NU), Jan Posuma (Anggota wakil PSII), A. Momor (anggota) dan B.Salam (anggota wakil dari Masyumi). Karena B.Salam berangkat naik haji, setibanya di Makassar diganti oleh Abd. Azis Larekeng, dengan tujuan menyampaikan hasil rapat BPOD tanggal 7 Pebruari 1956 tentang pembentukan wilayah DASWATI II Kabupaten Banggai. Di samping sebagai anggota BPOD mereka, Ahmad Mile, Atjo Dg.Matorang, Abd. Azis Sinukun, Usman Hamid, Jusuf Monoarfah dan S.P. Makarao adalah anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Poso, wakil daerah swapraja Banggai, di tambah lagi dari unsur wanita ibu Gela (istri Daud Gela), wanita muslimat NU, dan dari unsur buruh Go Wen Sie (Pagimana). Perjuangan delegasi Badan Perjuangan Otonomi Daerah (BPOD) ke Poso, Makassar dan Jakarta membuahkan hasil, dengan keluarnya Undang-Undang Nomor : 29 Tahun 1959, tanggal 04 Juli 1959, Tentang Pembentukan Daerah Tingkat II di Sulawesi (Lembaran Negara Nomor 74 Tahun 1959, Tambahan Lembaran Negara Nomor 1822 Tahun 1959) dan mulai berlaku tanggal 04 Juli 1959., dengan Ibu Kota di Luwuk Tanggal 16 Juli 1959 keluarlah pula Keputusan Menteri PUOD RI Nomor : U.P. 7/9/6-1042, Tentang Pengesahan Kepala Daerah Swatantra Tingkat II Banggai BIDIN, Sulawesi Utara-Tengah. Berdasarkan Kepmendagri tersebut diatas, Kepala Pemerintahan swapraja Banggai, menyelenggarakan Serah terima jabatan antara Kepala Pemerintahan Negeri Banggai S.A. Amir dengan Bupati Daswati II Bidin dilaksanakan pada tanggal 12 Desember 1959, di Luwuk dengan Berita Acara Serah terima jabatan ditandatangani oleh kapitan Sulaiman Amir (wakil dari pemerintahan swapraja, kepala Pemerintahan Negeri S.A. Amir berhalanagan hadir) dan Bupati Daswati II Banggai Bidin, dengan disaksikan oleh Residen Koordinator Sulawesi Tengah R.M. Kusno Dhayupoyo. Secara efektif administrasi pemerintahan Bupati Pertama DASTING II Banggai BIDIN, baru bekerja pada tanggal 8 Juli 1960. Dan berdasarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 37 tanggal 13 Desember 1960, DASTING II Banggai masuk dalam wilayah Propinsi Sulawesi Utara-Tengah. Lahirnya Bupati Bidin sebagai Bupati pertama Daswati II Banggai tidak terlepas dari perjuangan para tokoh politik, yang tergabung dalam Komite XII, anggota Dewan Perwakilan Rakyat di Poso maupun dari anggota Badan Perjuangan Otonomi Daerah (BPOD) di Luwuk, mereka adalah, Ahmad Mile, Atjo Dg. Matorang, Abd. Azis Sinukun, Dj.N. Agama, A.Momor, M.H.Wauranagahi, T.S.Bullah, Agulu Lagonah, Sulaeman Amir, Usman Hamid, S.P. Makarao, Jusuf Monoarfa, B. Salam, Jan Posumah, TS. Bullah, AL. Lanasir, H.Thalib, Sirajuddin Datu Adam, Abd. Madjid Mang, Djeng Djalumang, dan Abd.Azis Larekeng, serta Ena Musa dan di Jakarta Abd.Djadil Abdullah, Farouk Zaman serta Abd.Kahar Dangka.