Kategori:Novel
KOmentar: meski novel ini judulnya berbahasa Inggris, tapi yakinlah bahwa ceritanya Indonesia betul. Hal ini disebabkan MAKNA SINATRIA menyukai cerita-cerita yang berbau horor/mistis, di samping terpengaruh cerita Harry Potter. So, bagi kalian lebih membaca aja dulu, lalu dikomentari. Bagi penerbit, silakan dibaca, jika tertarik bisa menghubungi penulisnya: MAKNA SINATRIA, +62271 782469 (Jl. Mangga RT 01 RW 06, Ngadirejo, Kartasura, Sukoharjo) Silakan membaca!
FIVE STOOGESCHECK
BAB SATU
Five Héros—lima kaki tangan—kelompok geng yang dibuat oleh lima cowok keren di SMA 7. Nuno, Rian, Rai, Herdi dan Yudho. Anggota pertama sekaligus pendiri Five Héros, Nuno Alfriansyah. Cowok kelahiran 18 Januari 1992 ini menjabat sebagai ketua OSIS. Nyalonin diri atas inisiatif teman-temannya. Selain jadi ketua OSIS, ia adalah juara umum pertama dari kelas XI-IA. Ahli dalam segala bidang. Tingginya 180 sentimeter (masih akan tinggi lagi) dan aktif dalam klub basket. Sebenarnya ia dicalonin jadi ketua klub dan kapten tim cowok, tapi ditolaknya karena terlalu sibuk dengan kegiatan OSIS dan kegiatan sekolahnya. Meski ngerasa paling lemah dalam pelajaran kimia, ia nggak pernah dapat nilai kurang dari tujuh. Ketua keamanan OSIS, Rai Kuncoro. Cowok paling disiplin di SMA 7. Karena kedisiplinannya, ia disegani anggota-anggotanya. Rai juga jadi ketua klub pecinta alam (Palaphyska). Karena keahliannya panjat tebing, Rai dapat banyak piala. Rai juga sempat bergabung dengan Paskibra SMA 7. Tapi, karena ia jadi gampang lelah dan terlalu sering keluar kelas saat pelajaran, akhirnya Rai memutuskan keluar dan masuk ke Palaphyska. Rai sangat kasar pembawaannya. Namun, sebenarnya ia sangat sensitif. Rian Pratama; cowok yang dewasa dan tenang dalam menghadapi semua masalah. Karena sifat tenangnya, jabatan wakil ketua OSIS pantas berada di pundaknya. Berperan sebagai penasehat Nuno di rapat berkala OSIS. Rian juga ketua teater. Herdi Kurniawan, cowok paling muda dari seluruh anggota Five Héros dan sifatnya kekanak-kanakkan. Tapi ia sangat bijaksana. Suka ngejadiin masalah yang kecil jadi besar. Sangat bertanggung jawab dengan masalah keuangan, makanya, ia pantas menjabat sebagai Bendahara umum OSIS. Lain dengan Nuno, Herdi sangat ahli dalam pelajaran kimia. Walau sudah ahli dalam berbagai pelajaran, kalau berhadapan dengan yang namanya matematika, nilainya selalu ancur-ancuran. Yudho Witjaksono, anggota terakhir yang paling lembut. Nggak suka kekerasan, namun jika ia sudah mengganggap sesuatu itu keterlaluan, bisa meledak juga. Ia berasal dari Sunda. Karena itu, bahasa Indonesianya sering kali tertukar dengan bahasa Sunda. Ia ketua klub koran sekolah sekaligus editornya. Yudho juga seniman yang ahli dalam kesenian apapun. Seni lukis, seni pahat, seni patung, dapat dikuasainya. Jago main piano dan punya grand piano di rumah. Yudho juga hafal dengan semua bahasa bunga.
Matahari bersinar sangat terik. Entah kenapa hari ini terasa lebih panas dan kering daripada hari-hari sebelumnya. Semua anak merasa kegerahan dan yang pasti, cadangan minuman dalam sekejap habis. Es teh yang biasanya sisa banyak pun habis karena diserobot anak-anak. Mungkin hujan akan mengguyur Solo karena memang sedang musimnya. Siang hari panas menyengat kemudian sorenya hujan deras pun mengguyur. Cuma pengurus OSIS saja yang mau nggak mau harus betah berada di dalam ruangan tertutup, dengan kipas angin yang terus berdengung dan berputar. Pengurus OSIS saat itu sedang mengadakan rapat untuk membicarakan masalah narkoba yang sedang marak dibicarakan dan menyerang beberapa anak di SMA 7. Entah kenapa bandar narkoba ini rasanya nggak puas ngerusak generasi muda kalau belum semuanya. Dan inilah yang selama ini diselidiki oleh Five Héros secara diam-diam. Mereka marah sama bandar narkoba yang niatnya cari uang lewat kehancuran orang lain. Suara kipas angin berdengung pelan. Semua pengurus OSIS terdiam. Nggak ada yang bicara. Semuanya menatap buku yang ada di hadapannya. Tadi, sewaktu pelajaran keempat, Nuno dengan mendadak mengumumkan rapat OSIS. Dan semua pengurus OSIS nggak bawa catatan rapat, kecuali Five Héros dan sekretaris OSIS. Mereka selalu meletakkan buku catatan rapat mereka di ruang OSIS. Padahal, Nuno selalu ngamuk kalau ada anak yang lupa bawa buku catatannya. Yah, akhirnya Nuno memarahi semua pengurus OSIS yang nggak bawa buku catatan. Dan nggak ada yang berani ngebantah karena Nuno memang sudah memperingatin jika akan ada rapat mendadak. “Jadi, berapa anak yang tercatat positif 100 % terinfeksi narkoba dan dikirim ke pusat rehabilitasi?” kata Nuno di awal rapat. “Er—yang tercatat sih ada empat orang yang terkena narkoba dan seorang terinfeksi AIDS. Katanya sih gara-gara jarum suntik yang digunakannya itu udah nggak higienis lagi. Sekarang semuanya udah dikirim ke pusat rehabilitasi,” jawab Nora segera, sang sekretaris OSIS. “He-eh. Gue juga udah denger soal anak yang terkena AIDS itu.” Nuno terdiam sebentar. Lalu mukulin kepalan tangannya ke meja rapat. “Sebenarnya apa sih niatan si bandar narkoba itu? Gue udah kehabisan akal gimana caranya ngorek informasi tentang bandar ini. Semua anak yang terbukti kena aja tetap tutup mulut ngasih tahu siapa yang ngasih narkoba itu ke mereka. Katanya rahasia perusahaan! Hal itu semakin ngebuat gue pengen tau siapa yang jadi dalang semua kejadian nyebelin ini!” kata Nuno marah. “Kami juga udah kehabisan akal,” sahut pengurus OSIS lainnya. “Gimana kalau kita hajar habis-habisan anak-anak yang masuk ke pusat rehabilitasi sampai mereka buka mulut tentang bandar itu?” usul Rai sadis. “Rai, nggak semuanya selesai pake cara kasar, kan?” tolak Yudho jengkel. Nuno sendiri sebenarnya setuju dengan cara yang diusulin Rai. Hajar aja! Tapi, ia juga setuju dengan usul Yudho. ‘Nggak semua masalah selesai pake kekerasan’. Ia lalu berdiri dan mondar-mandir di belakang kursinya sambil menggaruk-garuk dagu. Bukannya kalau untuk kebaikan segala cara halal dilakukan? Kalau udah gini, hajar semua anak yang terinfeksi dan mereka bakalan buka mulut kan? Sekali lagi Nuno berpikir keras. Apa yang harus dilakukannya kini? Semua mata memandangnya selagi berpikir keras. Nuno tiba-tiba berhenti dan bertopang di kursinya. Ia memandang Yudho tajam. “Yud, loe sebenernya udah ngebuat artikel tentang narkoba di koran sekolah belum, sih?” tanya Nuno pada Yudho nggak yakin. “Itu mah udah sering gue lakuin dari dulu-dulu. Bahaya narkobalah, seberapa banyak generasi muda yang terinfeksilah. Pokoknya udah semua deh. Merekanya aja yang keras kepala nggak mau ngedengerin orang tua ngomong. Lagian sebelum diterbitkan juga gue udah bilang sama elo, kan? Gue udah ngebuat artikel tentang dampak negatifnya narkoba. Tapi, gue rasa nggak ada dampaknya sedikit pun deh!” ujar Yudho lemes. Semua pengurus OSIS ngangguk-angguk setuju. Nuno kembali mondar-mandir di belakang kursinya. Yudho menghadap ke bukunya dan menulis lagi. Nora mengetuk-ngetukkan pulpen yang ada di tangannya pada meja rapat. Rian menakupkan tangan pada wajahnya, berusaha berpikir apa aja yang bisa mereka lakuin. Mulan, sahabat dekat Nora mengipas-ngipas wajahnya dengan buku catatan rapatnya. Herdi sudah kesekian kalinya menguap. Hawa yang panas membuat ia sering ngantuk atau itu hanya karena otaknya kekurangan oksigen aja. Rai yang sejak tadi memejamkan matanya, langsung membuka matanya dan angkat bicara. “Gimana kalau kita lakuin tes urine?” usul Rai mengambang. Terdengar suara gumaman anggota OSIS yang pro dan kontra. “Tes urine? Boleh juga,” terima Nuno. “Tapi…” Nuno berpikir lagi. “Gimana kalau beberapa anak tahu dan ngebocorinnya ke anak-anak yang mungkin dicurigai make narkoba? Kan bisa-bisa mereka melarikan diri pada hari H-nya.” “Itu soal mudah,” sahut Nora. “Kita data aja siapa yang nggak masuk saat pengambilan tes urine dan kita bisa temui mereka so kita berusaha ngebuatin jadwal waktu luang mereka untuk lakuin tes urine. Atau orang yang nggak masuk, bisa kita jadiin acuan dan kita masukin ke blacklist orang yang dicurigain.” “Benar juga. Kalau begitu, usul elo diterima,” kata Nuno sambil duduk dan mencatat di buku catatan rapatnya. Semua anggota mengikuti jejak pemimpin mereka dan sekarang semuanya sibuk menulis. Begitu Nuno selesai menulis, “ada usul lain?” Semua orang yang mulai meletakkan pulpennya diam dan menggeleng pelan. Rasanya sudah tak ada cara lain selain tes urine. Tapi cara itu kelihatan kotor. Bayangin aja: urine! Nuno mengangkat sebelah alisnya. Ingin rasanya memakai cara lain. Tapi… mereka kelihatannya sudah nemuin cul-de-sac alias jalan buntu. “Apa nggak ada cara lain?” Nuno berusaha membangkitkan anak buahnya untuk make cara lain. Yang penting bukan tes urine. “Bukannya darah itu di saring di ginjal sebelum jadi urine? So apa hubungannya dengan urine? Unsur narkoba itu kan katanya ada di darah, kalau darah udah disaring di ginjal, apa gunanya tes urine?” kata Nuno. Nora dan Rai mengangguk ngerti. Yudho, Rian dan Herdi terkikik. Sebenarnya mereka tahu kalau Nuno itu sebenarnya jijik dengan cara yang begituan. “Nggak ada salahnya nyoba, kan? Kalau menurut pemikiran gue, tentunya ada beberapa unsur yang nggak tersaring di ginjal dan memungkinkan untuk terdeteksi oleh alat tes urine.” Nuno berpikir lagi. “Oke, oke. Boleh deh! Sekarang tinggal ngebuat pengajuan proposal agar rencana ini disetujuin sama kepala sekolah.” “Proposal?” timpal Mulan, ketua seksi kesehatan sekolah, yang secara serentak menghentikan kegiatan mengipas-ngipasnya. “Kenapa masih sempat ngebuat proposal? Kan ini tentang kesehatan. Nggak boleh kompromi dong! Jadi, kita masih harus nunggu beberapa saat lagi? Sampe ada beberapa anak yang jatuh sebagai korban?” “Mau gimana lagi…” “Apa loe nggak bisa bicara langsung dengan kepala sekolah agar disetujui? Ini kan kepentingan yang amat mendesak. Proposalnya bisa nyusul kan?” sahut Herdi. “Semua kegiatan yang direncanain trus dilakuin itu harus make proposal yang masuk akal agar disetujuin. Semua itu udah jadi peraturan. Jadi, semuanya setuju dengan tes urine ini sebagai cara terakhir?” “Setuju,” kata semua peserta rapat dan Nuno tersenyum puas. “Nora, loe kumpulin bahan proposal. Mulan, loe cari rumah sakit mana yang mau ngeberiin pengetesan urine. Herdi, loe cari penggalangan dana. Dan semuanya, rapat selesai. Semua boleh bubar dan kembali ke kelas masing-masing,” perintah Nuno tegas. Semua kursi berderit kecuali kursi Five Héros. Semuanya tahu kalau Five Héros akan mengadakan rapat rahasia setelah rapat OSIS. Mereka semua berdiri dan keluar. Five Héros menatap semua pengurus OSIS yang beriringan ke luar dari ruang OSIS. Setelah semua ke luar dari ruang OSIS, Rian, Herdi, Yudho dan Rai berdiri lalu mereka duduk mengitari Nuno. Saat Nuno akan membuka mulut untuk mulai berbicara, Nora membuka pintu dan masuk secara mendadak. Semua anggota Five Héros berdiri dengan kaget. “Apa yang loe lakuin?!” teriak Herdi kaget. “Gue cuma mau ngambil buku gue yang ketinggalan itu,” kata Nora sambil nunjuk buku yang tergeletak di atas dispenser. “Kalau gitu cepet ambil buku elo and out of here right now!!!” perintah Rai nggak sabar. “Oke. Oke. Jadi kalian ngusir, nih?” tanya Nora. Ia malah berkacak pinggang dan bersandar di kerangka pintu. “Memangnya kalian mau apa?” Nuno menggeram. “Ergh—loe pasti udah tahu! Herdi, ambilin bukunya.” Herdi mengambilkan buku catatan milik Nora dan memberikannya pada Nora yang tingginya nggak sampai hidungnya. Padahal mereka satu kelas dan, bahkan, Herdi lebih muda setahun daripada Nora. Kelima Five Héros berkacak pinggang di hadapan Nora dan Nuno melotot pada Nora. “Loe udah dapetin buku loe, jadi sekarang pergi aja deh loe!” Nuno berkata sambil mendorong Nora ke pintu. “Iya, iya. Emangnya apa sih yang selama ini kalian rapatkan?” katanya. “Loe nggak perlu tahu,” sahut Rai sinis. “Apakah…” katanya sambil menaikkan bola matanya seraya meluk buku catatannya. “… kalian gay?” tanyanya tanpa dosa. Nuno dan teman-temannya mendorong Nora dan berteriak bersama-sama. “Kami nggak HOMO! Dan sekarang, pergilah! Dan jangan nguping!” Nora pura-pura berbalik pergi. Five Héros membalikkan badannya dan meng-hela napas. Nuno menutup pintu begitu Nora berbalik. Saat pintu ditutup, Nora menoleh dan mendekati pintu dengan mengendap-endap. Dia nempelin telinganya di pintu dan berusaha nguping. Kalau dia bisa tahu apa yang dibicarain Five Héros selama ini, teman-temannya pasti bakalan kagum padanya. Dan saat Nora berusaha ngedengarin, tiba-tiba pintu dibuka dan ia terjerembab ke depan. Nuno memelototi Nora, yang tersenyum keki dengan wajah merah, dan bangkit lalu berlari pergi tanpa menoleh. Five Héros menggeleng-gelengkan kepala mereka dengan heran. Kenapa mereka bisa punya sekretaris yang kayak gitu? Hanya aja, yang mereka tahu, Nora emang seorang cewek yang rasa ingin tahu-segala-masalahnya gedhe banget! Five Héros masih ingat saat mereka pertama kali kenal Nora. Five Héros dan Nora itu sejak masih SMP udah saling kenal. Sama-sama anak SMP 1. Meskipun Nora tahu betul siapa Five Héros (semua murid juga udah tahu), Five Héros nggak kenal siapa anak yang bernama Nora Ristiana itu. Yang mereka tahu, mereka beri Nora gelar ‘Miss-want-to-know-all-the-thing” karena Nora ngambil mereka sebagai topik utama di mading sekolah. Bahkan mading itu disertai beberapa foto yang bahkan Five Héros sendiri nggak tahu kapan diambilnya. Akibatnya, mading itu nggak dilepas selama enam bulan. Padahal pergantian mading itu dua bulan sekali. Selidik punya selidik, ternyata Nora yang mengintai mereka selama dua bulan. Akhirnya, Five Héros men-cap Nora sebagai gadis yang selalu ingin tahu. Lalu mereka bertemu lagi di SMA. Kaget juga, tapi lama-lama mereka biasa dengan tingkah lakunya. Gadis yang pertama kali mereka sapa (teman sekelas). Selama dua tahun, dari kelas satu sampai kelas dua ini, mereka berlima sekelas dengan Nora. Akhirnya, saat Nora nyalonin dirinya jadi sekretaris, Five Héros niatnya mau ngejailin Nora. Tetapi, nyatanya mereka malah ngedukung dan jadi teman Nora. “So, what must we do to this fucking shit man?!” kata Rai geram sambil duduk. “Rasanya, kita harus lakuin penyelidikan sendiri. Kalau ngandalin proposal yang nggak tahu kapan kelarnya itu, rasanya hal ini selesainya bakalan lama. Sebelum narkoba itu nyebar tambah banyak, kita harus cegah hal ini,” jawab Rian. “Kalian tahu nggak kalau presentase terbesar anak-anak yang terkena narkoba itu dari SMA 1, SMA 3, SMA 4 dan SMA 7. Gue nggak tahu apa sebenernya maksud bandar narkoba itu,” terang Herdi sambil mengangkat bahu. Nuno menggaruk dagunya. “Rasanya gue udah mulai nyium niat si bandar jelek itu,” kata Nuno mengambang. “Oh yeah. Dimulai, analisis Nuno Alfriansyah. Ini yang sejak tadi udah gue tunggu,” kata Yudho bersemangat. Ia ikut duduk di samping Rai. “Sepertinya niat bandar ini bukannya cuma mau cari uang. Mereka rasanya hanya ingin ngerusak generasi bangsa aja. Memangnya apa sih untungnya mereka itu? Daripada jadi bandar, mendingan belajar supaya pinter. Tapi, hal ini bukan sepenuhnya salah si bandar. Si pengonsumsi itu juga bisa disalahin. Katanya remaja itu selalu ingin tahu, selalu ingin mencoba segalanya. Tapi, kalo yang namanya narkoba, semua remaja juga pasti udah tahu bahayanya. Mereka udah tahu begitu kalau masih dicoba juga namanya bukan remaja lagi, tapi masih bayi. Bukannya bayi itu selalu masukin apa pun ke mulutnya. Keterlaluan banget!” “So, what do we do now?” tanya Herdi lagi. “Nggak tahu. No clue. Pokoknya kita masih harus nyari data anak yang terinfeksi narkoba dari sini atau sekolah lain dan kita harus paksa mereka buka mulut. Sekeras apapun caranya. Pokoknya tetap cari aja dulu,” sahut Rai. “Ide bagus! Setuju?” sambut Nuno gembira. “SETUJU!” teriak Yudho, Herdi dan Rian sementara Rai manggut-manggut.
Nuno memasukkan motornya ke dalam garasi dan berjalan masuk ke rumah. Rumahnya masih sepi karena ortunya belum pulang dari kantor. Sementara adiknya, Shana, belum pulang karena akan pergi bersama sahabatnya, Rista dan Sania ke Waroeng Steak hari ini. Padahal biasanya Shana itu pulangnya bareng Nuno. Shana Denatra adalah nama lengkap Shana. Menurutnya, kata Denatra itu diambil dari kata Detonator yang artinya bahan peledak (hanya pikiran Shana doang). Shana juga sekolah di SMA 7 sama dengan kakaknya, Nuno. Gadis termuda di kelasnya. Umurnya baru 14 tahun. Namun, sikap dewasanya boleh diacungi jempol. Hanya satu kekurangannya: suka buat masalah dan gampang emosi. Matanya sipit kayak orang Cina dan badannya kecil banget. Nuno ganti baju di kamar dan segera keluar lagi sambil ngebawa majalah Hotgame-nya yang baru saja dibelinya di Gramedia. Nuno ngebuka tudung makanan dan nggak ngelihat apa-apa. Hanya ada nasi goreng sisa sarapan tadi pagi. Itupun hanya sedikit saja sisanya. Nuno menepuk dahinya kesal. “Gue lupa kalau Bi Inah baru pulang nanti siang karena ada layatan!” gerutunya sambil ngebuka pintu lemari es. Nuno nemuin lima potong brownies ukuran besar di dalam lemari es. Ia nyengir dan ngambil sebungkus kopi sachet untuk diseduh. Setelah semuanya siap, Nuno ngebawanya ke ruang keluarga. Menyalakan TV dan membolak-balik halaman majalahnya sambil ngemil brownies. Brownies itu hasil percobaan Shana dan Dina, kakak sulungnya. Sebagai makanan percobaan, brownies itu lumayan. Lumayan kagak enak, maksudnya. Tapi lima potong brownies itu hilang juga masuk ke dalam perut Nuno. Sejak tadi perutnya lapar gara-gara rapat OSIS yang nggak kelar-kelar. Begitu ia selesai baca majalahnya dan mulai fokus ke televisi, pintu depan di buka dan Shana menghambur masuk dan duduk di samping kakaknya yang menatap Shana heran. Mata Shana berlinang air mata. Agaknya ada masalah baru yang menimpa Shana. Padahal masalahnya sendiri belum selesai. Tapi, sebagai kakak yang baik, ia harus bertanya ada apa dan ngebiarin adikmu nyeritain masalahnya, ngeluarin uneg-uneg dan segala macam. Karena itu, Nuno mengelus rambut Shana dan berusaha membujuk supaya menceritakan apa yang terjadi. “Ada apa sih? Gak biasanya loe nangis. Ceritain dong! Kali aja kakak bisa bantu apa kek, gitu. Bantu nyumbang tisu dan sebagainya.” “Ah, kakak! Orang lagi serius juga!” ujar Shana kesal. “Iya iya. Emangnya kenapa? Kok elo nangis.” Shana sesengukkan sambil ngambil tisu yang ada di meja. Ia diam lama dan sebagai kakak yang baik, Nuno diam dan nunggu Shana bercerita. Setelah Shana mengeringkan air matanya dan tisu berserakan di depannya, Shana mulai bercerita tentang pacarnya, Surya. “Kak Nuno tahu kan Surya Adiraja? Pacarku yang itu loh.” Nuno menaikkan bola matanya. “Surya—oh! Surya anak kelas X-C itu! Yang rambutnya kayak Taufiq Hidayat itu! Kalau orang itu mah kakak tahu. Emangnya sejak kapan dia jadi pacar elo?” Shana mengibaskan tangannya. “Kakak mau ngedengarin ceritaku atau mau me-wawancaraiku, sich?” tanya Shana sinis dan Nuno langsung menutup mulutnya. “Kakak tahu kan kalau aku tadi pergi ke Waroeng Steak? Aku ketemu sama Surya lagi duduk berhadapan dengan cewek yang aku tahu cewek itu mantannya Surya. Mereka lagi pegangan tangan. Tadinya aku mau ngedeketin mereka, tapi Rista dan Sania nahan aku. Akhirnya aku cuma ngelihatin mereka sampai yang cewek ke toilet, dengan segera, aku ngedeketin Surya. Lalu aku tanya dia, eh—dianya nggak ngaku, katanya cewek itu sepupunya. Tepat pada saat itu, cewek itu datang dan kami sempat adu mulut. Karena nggak tahan dengan Surya yang terus-terusan ngebela cewek itu, aku ngambil air jeruk dan ngguyur Surya dengan air itu lalu balik ke tempat dudukku. Saat itu juga, Rista dan Sania menyeretku pergi dari sana.” “Lalu? Gimana dengan Surya? Dia melototin elo?” tanya Nuno. “Itulah! Dia cuma bengong. Kalau dia berani melototin aku, bakalan kugampar dia sampai bonyok!” jawab Shana sambil minum kopi buatan Nuno dengan santainya. “Kakak juga rada heran, baru sebulan gak ada elo masuk sekolah. Tapi, elo kok udah dapet pacar sih. Kakak aja udah dua tahun sekolah nggak dapet pacar juga. Meskipun udah nunggu lama,” ujar Nuno. “Biasa aja. Namanya juga cewek terkenal gitu loh! Nggak kayak kakak. Kakak kan nggak laku gitu loh!” ejek Shana. “Gitu loh, gitu loh! Bosen ngedenger loe ngomong kayak gitu,” protes Nuno. Saat itu juga, telepon di sebelah televisi berbunyi dengan keras. Nuno nyuruh Shana mengangkat telepon dan Shana gantian menyuruh kakaknya yang mengangkat teleponnya. Mereka bersuit dan nggak memperdulikan telepon yang terus-terusan berbunyi. Akhirnya Shana ngalah dan ia terpaksa ngangkat telepon yang berdering kesebelas kalinya. Begitu ngangkat gagang telepon, selama beberapa menit, Shana membelalakkan matanya. Beberapa detik kemudian, Shana menoleh pada Nuno dan ber-kata ‘Surya! Surya!’ tanpa suara. Nuno ngangguk cuek dan ngebuka majalahnya lagi. Shana mencibir dan langsung memusatkan perhatian pada telepon. “Ada apa?” tanya Shana sok cuek. “Loe masih marah? Harusnya gue yang marah! Soalnya elo nyiram gue pake aer jeruk! Kok elo sih yang marah?!” jawab Surya judes. “Kalau ada cowok ngeduain ceweknya, yang sepantesnya marah yang cowok atau yang cewek?!” bentak Shana. “…” Surya terdiam lama. “Udah deh, ya! Kelihatannya kita gak bisa bertahan lebih lama lagi! Kalau semua-nya kayak gini, kita mendingan putus aja deh! Gue paling nggak suka cowok yang ngeduain cewek kayak elo, dan lagi, nggak ngerasa bersalah kayak elo itu! UDAH! Kita PUTUS! Gue udah bosen ngomongan sama elo. Wajah loe tuh biasa aja tapi loenya sok kecakepan!” bentak Shana sambil ngebanting gangang telepon ke tempatnya. Nuno terbengong menatap adiknya dengan rasa nggak percaya. Padahal katanya Surya itu cinta matinya. Tapi kalau udah diduain, secinta apapun, pasti diputusin juga. Rasanya mendua itu kesalahan dalam pacaran yang bobotnya paling berat banget. Karena itu masuk akal juga. Nantinya Nuno juga bakalan heran kalau Shana nggak mutusin model cowok kayak dia. Shana duduk lagi dan ngelipat tangannya di depan dada, sambil terus-terusan mendengus sebal. Nuno nggak peduli juga. Soalnya dia udah tahu kalau semuanya bakalan berakhir kayak gini. Dia pernah ngelihat Surya di swalayan bareng seorang cewek. Bahkan mereka mesra banget kelihatannya. Tapi Nuno milih diem. “Kenapa sih semua orang yang namanya Surya itu sifatnya sama aja?!” ujar Dina yang secara tiba-tiba masuk tanpa permisi. Nuno dan Shana noleh saat tiba-tiba Dina masuk. Dina adalah kakak dari Nuno dan Shana. Ia sedang memasuki semester keempat di UNS. Rambutnya hitam panjang dan kelam. Bulu matanya lentik dan matanya sipit. Menurut Nuno, nggak ada cewek yang sesempurna kakak dan adiknya di dunia ini. Dina juga punya pacar yang namanya Surya dan hari ini dia ngelakukan hal yang hampir sama dengan yang dilakuin Surya pada Shana. Entah kenapa kedua saudaranya punya nasib yang sama hari ini. “Wah, wah. Sekarang kedua saudara gue sedang diserang oleh dua cowok yang namanya Surya. Sama-sama nyebelinnya dan sama-sama nggak cakepnya,” gerutu Nuno. “Nyebelin!”kata Dina sambil menjitak kepala Nuno. “Memangnya kakak punya pacar, apa?” tanya Shana sebal. Nuno mengibaskan tangannya. “Buat apa pacar? Mereka itu cuma ngerepotin doang. Mendingan sendiri. Bisa ngelakuin segalanya sendiri, dengan teman-teman setia gue. Semarah apapun, persahabatan nggak akan terkikis usia. Kami udah bersahabat sejak SD dan sampe sekarang persahabatan kami nggak putus juga tuh! Cewek manja itu cuma ngebuat masalah. Saat jatuh cinta, teman pun nggak kalian anggap teman. Tahu nggak?!” “Lihat saja. Suatu saat nanti loe bakal telan kata-kata itu tadi!” cibir Dina dan Shana bersamaan. Nuno berdiri dan ngambil jaket yang disampirkan di sofa. Lalu ia segera berlari ke pintu dan berusaha make sepatu secepatnya. “Gue mau pergi bersama teman-teman gue. Oh iya, kak Dina, Shana, Mama dan Papa tadi SMS gue. Katanya mereka nggak bisa pulang hari ini. Mereka pergi ke Bali untuk seminar. Tapi kelihatannya lebih njurus ke bulan madu ke lima deh! Soalnya hari ini kan ulang tahun perkawinan mereka. Oh! There is no time to chat! Gue pergi dulu yach!” kata Nuno sambil berlari ke garasi untuk mengambil motornya. Dina dan Shana ikut berjalan sampai di ambang pintu. “Hati-hati! Jangan ngebut!” kak Dina berteriak. “Oke deh, kakak!” sahut Nuno sambil terkekeh dan nyetater motornya. Nuno meluncur di jalan perumahan dan nggak ngurangin kecepatan sampai ke belokan. Nuno ngilang di belokan. Dina dan Shana memandang hilangnya Nuno dan menghela napas pasrah. “Nuno itu,” kata Dina pada Shana. “Meskipun bukan kakak kandungmu dan adik kandung kakak, dia tetap bertingkah laku seperti biasanya. Nggak pernah ngerasa minder sedikitpun. Meski dia nggak tahu hal yang sebenarnya.” “Iya…” sahut Shana.
to be continued (bersambung he he he)
Subkategori
11 subkategori di kategori ini ditampilkan berikut ini. Terdapat 11 subkategori seluruhnya dalam kategori ini.
F
N
Halaman-halaman dalam kategori "Novel"
Kategori ini memiliki 106 halaman, dari 106.
A
B
E
M
N
P
S
T
- Tanah Surga Merah
- The Accursed Kings
- The Big Read
- The Calligrapher's Daughter (novel)
- The Chimes
- The Golden Notebook
- The Hammer of Thor
- The Hardy Boys
- The House of Hades
- The Hundred and One Dalmatians
- The Last Don
- The Last Man
- The Litigators
- The Perks of Being a Wallflower
- The Red Badge of Courage
- The Secret Agent
- The Time Traveler's Wife
- The Watsons
- Therapy (novel)
- Tiga Sandera Terakhir
- Tujuh Manusia Harimau
- Tunnels (novel)