Baju bodo

Pakaian tradisional khas suku Makassar dan Bugis yang berasal dari Sulawesi Selatan
Revisi sejak 29 Juni 2013 07.51 oleh ArdBot (bicara | kontrib) (Bot: Penggantian teks otomatis (-[[File: +[[Berkas:))

Baju bodo adalah pakaian tradisional perempuan suku BugisMakassar, Sulawesi, Indonesia. Baju bodo berbentuk segi empat, biasanya berlengan pendek, yaitu setengah atas bagian siku lengan. Baju bodo juga dikenali sebagai salah satu busana tertua di dunia.[1]

Gadis Makassar mengenakan baju bodo (tahun 1930-an?)
Baju bodo

Menurut adat Bugis, setiap warna baju bodo yang dipakai oleh perempuan Bugis menunjukkan usia ataupun martabat pemakainya.[2]

Warna Arti
Jingga dipakai oleh anak perempuan berumur 10 tahun.
Jingga dan merah dipakai oleh gadis berumur 10-14 tahun.
Merah dipakai oleh perempuan berumur 17-25 tahun.
Putih dipakai oleh para pembantu dan dukun.
Hijau dipakai oleh perempuan bangsawan.
Ungu dipakai oleh para janda.

Pakaian ini kerap dipakai untuk acara adat seperti upacara pernikahan. Tetapi kini, baju bodo mulai direvitalisasi melalui acara lainnya seperti lomba menari atau menyambut tamu agung.[3]

Dulu, baju bodo bisa dipakai tanpa penutup payudara. Hal ini sudah sempat diperhatikan James Brooke (yang kemudian diangkat sultan Brunei menjadi raja Sarawak) tahun 1840 saat dia mengunjungi istana Bone :

"Perempuan [Bugis] mengenakan pakaian sederhana... Sehelai sarung [menutupi pinggang] hingga kaki dan baju tipis longgar dari kain muslin (kasa), memperlihatkan payudara dan leluk-lekuk dada."[4] Rupanya cara memakai baju bodo ini masih berlaku pada tahun 1930-an.

Referensi

  1. ^ http://www.suarapembaruan.com/News/2007/11/18/Gaya/gaya02.htm Baju Bodo, Salah Satu Busana Tertua di Dunia. Suara Pembaruan Daily.
  2. ^ Gita (2009-06-21). "Mencari Perempuan Bugis". Kompasiana. Diakses tanggal 2009-11-25. 
  3. ^ http://www.ujungpandangekspres.com/view.php?id=25344&jenis=Life Bangga dengan Pakaian Adat. Harian Ujungpandang Ekspres.
  4. ^ James Brooke, Narrative of Events, dikutip Christian Pelras dalam Manusia Bugis, Jakarta, Nalar, 2006, hal. 271