Sastra hikmat
Sastra hikmat adalah karya sastra yang banyak memuat pengalaman-pengalaman hidup dan pengajaran-pengajaran yang ditampilkan secara ringkas dalam bentuk pepatah dan aforisme.[1] Biasanya sastra hikmat dituliskan dalam bentuk puisi.[1] Ribuan tahun sebelum bangsa Israel ada dalam sejarah, di wilayah Timur Dekat sudah berkembang sebuah jenis sastra yang dikenal sebagai sastra hikmat dan menggunakan baris-baris puisi.[1] Jenis sastra ini dimulai dalam bentuk susunan beberapa nasihat yang mandiri.[1] Di dalam kanon Perjanjian Lama juga ditemukan tulisan-tulisan hikmat, seperti Amsal, Ayub dan Pengkhotbah.[2]
Tujuan
Tulisan-tulisan hikmat Perjanjian Lama tidak berdiri sendiri, tetapi merupakan pengungkapan dari suatu gerakan moral dan intelektual yang telah ada sejak dini dalam sejarah agama Ibrani.[2] Hal yang sama juga terjadi pada budaya-budaya agama di luar Israel.[2] Buku-buku hikmat memuat cerita tentang orang-orang yang sungguh-sungguh mencari kebenaran, yang bergumul dengan masalah-masalah lama dan baru.[2]
Proses Pembuatan
Tradisi hikmat, baik tertulis ataupun lisan, bukan hanya hasil dari pengalaman tetapi juga bertolak dari anggapan bahwa pengalaman bukanlah bersifat menipu.[2] Pengalaman memberikan bukti kuat yang memungkinkan untuk mengambil keputusan-keputusan tertentu tentang hidup manusia dan dunia pada umumnya.[2] Hikmat dalam Alkitab dimaknai sebagai hikmat ilahi.[2] Lewat hikmat, Allah hadir dan menyatakan diri dalam kebutuhan-kebutuhan yang paling dalam dari manusia.[2] Hikmat di Perjanjian Lama sangat erat hubungannya dengan kenyataan-kenyataan iman Perjanjian Israel.[2]
Kitab-kitab Hikmat
Amsal
Menurut Amsal, hikmat ialah sesuatu yang bersifat praktis bukan mengenai dugaan filosofis, metafisik, mistik, atau sesuatu yang abstrak, melainkan mengenai etika kehidupan sehari-hari.[1] Orientasi hikmat dalam Amsal ialah situasi konkret, yakni untuk mengarahkan orang bertindak kepada situasi yang baik.[1] Ia memberikan serangkaian nasihat dan peringatan.[1]
Dalam kitab Amsal terdapat arti hikmat secara luas bahwa tidak selalu berupa pengertian-pengertian saja, melainkan mencakup keterampilan yang situasional.[1] Sebagai contoh, Amsal 26:4–5, kedua ayat ini berorientasi kepada situasi.[1] Ayat keempat mengarahkan agar tidak atau lebih baik jangan menjawab orang bebal, jika kita tidak memiliki pegetahuan atau mempunyai jawaban.[1] Kemudian pada ayat kelima, jika kita memang memiliki pengetahuan yang melampaui orang bebal dan dapat menjawab pertanyaannya, Amsal mengarahkan agar kita menjawabnya.[1] Hal ini sebagai upaya untuk menunjukkan bahwa orang tersebut tidaklah bijak.[1]
Amsal seringkali dikaitkan dengan Salomo, namun harus tetap diingat bahwa ada amsal-amsal dari pengarang yang lainnya.[3] Amsal Salomo sebetulnya ialah perkataan manusia yang mengandung pengalaman, pengajaran dan kebijaksanaan yang diperoleh orang beriman sambil memandang dan mempertimbangkan hidup.[3] Secara ringkas, hikmat secara keseluruhan dalam kitab Amsal berbicara jelas tentang hitam dan putih, suatu analog antara yang baik dan yang jahat.[1]
Ayub
Kitab ini dibuka dengan perkenalan tokoh Ayub.[3] Ia diceritakan sebagai seseorang yang menerima banyak berkat Tuhan yakni keturunan-keturunan (7 putera dan 3 Puteri), kekayaan (banyak ternak) dan keternamaan.[3] Ayub tokoh sentral di kitab ini dan digambarkan sebagai seorang yang saleh, jujur serta takut akan Allah.[3]
Kitab Ayub merupakan bentuk baru yang unik dari sastra hikmat karena dalam ayat-ayatnya ditampilkan perdebatan yang besar, rumit dan keras.[3] Sosok Ayub dalam kitab ini digambarkan sebagai seorang yang benar di hadapan Allah namun harus mengalami penderitaan yang luar biasa.[1] Dirinya merasa telah menjadi korban kesewenang-wenangan Allah.[1] Ia mengarah langsung kepada Allah dan menjelaskan masalahnya dengan seolah memerintah Allah untuk konsekuen dan berpegang teguh kepada prinsipNya.[1] Jadi, kitab Ayub secara keseluruhan mempersoalkan integritas Tuhan.[1] Ada resiko terhadap segala sesuatunya baik perbuatan jahat maupun saleh, inilah pemahaman hikmat yang mencoba untuk disampaikan oleh kitab Ayub.[1]
Pengkhotbah
Menurut Pengkhotbah segala sesuatu adalah sia-sia atau kekosongan. Usaha terus menerus yang dilakukan oleh manusia pun tidak memberikan hasil yang lestari.[4] Kehidupan manusia yang rawan dan lemah ditertawakan oleh sifat alam yang berputar dan yang secara terus-menerus berulang kembali.[4] Proses perputaran alamiah yang terus-menerus berulang kembali itu menggaris-bawahi kesia-siaan keberadaan manusia, sehingga manusia tidak dapat berbuat apa-apa untuk mengubah kedudukannya di dalam alam.[4] Irama perputaran itu tidak dapat dikuasai atau diganggu gugat oleh manusia yang pendek umurnya.[4]
Penulis kitab Pengkhotbah mampu menyajikan uraian secara tenang dan terpadu, yang membawanya kepada kesimpulan bahwa hidup manusia itu tak punya isi nilai-nilai atau keberhasilan.[4] Pada dasarnya kitab ini memberitahukan kepada pembacanya mengenai keadaan dunia dan kekompleksannya dan bagaimana kiat untuk hidup di dalam dunia.[5] Akhirnya yang mau dikatakan oleh Pengkhotbah bahwa manusia ialah fana.[5] Hidup penuh dengan ketidakadilan, penindasan, kecemburuan, kesalahan yang fatal, keserbesalahan, ketiadaan pengandaian pada apapun dan kehidupan yang dibayangi oleh bayang maut.[5]
Lihat pula
Referensi
- ^ a b c d e f g h i j k l m n o p q r (Indonesia) Jan Fokkelman. 2009. Menemukan Makna Puisi Alkitab: Penuntun Membaca Puisi Alkitab sebagai Karya Sastra. Jakarta: BPK Gunung Mulia. Hlm. 201-217.
- ^ a b c d e f g h i (Indonesia) F.F Bruce,DD&Horis P Nasution. 1994. Tafsiran Alkitab Masa Kini: Ayub-Maleakhi. Jakarta: BPK Gunung Mulia. Hlm. 40.
- ^ a b c d e f (Indonesia) W. Lempp. 2009.Karangan-Karangan Theologia: Sekolah Tinggi Theologia. Jakarta. Hlm. 45-49.
- ^ a b c d e (Indonesia) S Wismoady Wahono. 1986. Di sini Kutemukan: Petunjuk mempelajari dan mengajarkan Alkitab. Jakarta: BPK Gunung Mulia. Hlm. 225-240.
- ^ a b c (Indonesia) Emanuel Gerrit Singgih. 2001. Hidup di bawah bayang-bayang maut: Sebuah Tafsir Kitab Pengkhotbah. Jakarta: BPK Gunung Mulia. Hlm. 7-13.