Sair Tjerita Siti Akbari (EYD: Syair Cerita Siti Akbari ; juga dikenal hanya sebagai Siti Akbari [a]) adalah syair berbahasa Melayu tahun 1884 karya Lie Kim Hok. Diadaptasi langsung dari Sjair Abdoel Moeloek, syair ini bercerita tentang seorang wanita yang menyamar sebagai lelaki untuk membebaskan suaminya dari Sultan Hindustan yang menangkapnya dalam serangan di kerajaan mereka.

Sair Tjerita Siti Akbari
Cover
Third printing, 1922
PengarangLie Kim Hok
NegaraHindia Belanda
BahasaMelayu Rendah
GenreSyair
PenerbitW. Bruining & Co.
Tanggal terbit
1884
Halaman200
OCLC318099218

Ditulis selama beberapa tahun dan dipengaruhi oleh sastra Eropa, Siti Akbari berbeda dari syair-syair sebelumnya dalam penggunaan penegangan dan penekanan pada prosa ketimbang bentuk. Syair ini juga menggunakan realisme sastra Eropa untuk memperluas aliran syair, meskipun mempertahankan beberapa keunggulan dari syair-syair tradisional. Pendapat-pendapat kritis telah menggarisbawahi berbagai aspek cerita syair ini, menemukan dalam karya ini sebuah empati yang berkembang bagi pemiikiran dan perasaan wanita, panggilan untuk adanya bahasa pemersatu di Hindia Belanda (sekarang Indonesia), dan polemik mengenai hubungan antara tradisi dan modernitas.

Siti Akbari meraup sukses baik secara komersil maupun secara kritis, mengalami dua kali cetak ulang dan sebuah film adaptasi tahun 1940. Ketika pengaruh Sjair Abdoel Moeloek menjadi jelas pada tahun 1920, Lie kemudian dikritik sebagai tidak orisinal. Namun, Siti Akbari tetap menjadi salah satu syair yang lebih dikenal yang ditulis oleh seorang penulis etnis Tionghoa. Lie kemudian dikenang sebagai "bapak sastra Melayu Tionghoa".[1]

Alur

Sultan Hindustan Bahar Oedin menjadi marah setelah pamannya, Safi, seorang pedagang, meninggal saat dipenjara di Barbari. Karena Abdul Aidid, Sultan Barbari, memiliki kekuatan militer yang lebih besar, Bahar Oedin menunggu waktu sambil berencana membalas dendam. Sementara itu, putra Abdul Aidid, Abdul Moelan menikahi sepupunya, Siti Bida Undara. Dua tahun kemudian, setelah Abdul Aidid meninggal, Abdul Moelan pergi dalam sebuah perjalanan laut yang panjang, meninggalkan istrinya di rumah.

Di kerajaan Ban yang dekat, Abdul Moelan bertemu dan jatuh cinta dengan Siti Akbari, putri Sultan Ban. Keduanya segera menikah, dan setelah enam bulan di Ban, kembali ke Barbari. Siti Bida Undara, yang pada awalnya marah pada pemikiran berbagi suaminya, segera menjadi teman dekat dengan Siti Akbari. Tak lama kemudian Bahar Oedin mengambil langkah balas dendamnya, menangkap Abdul Moelan dan Siti Bida Undara. Ketika sultan mencoba untuk menangkap Siti Akbari, ia menemukan mayat di kamarnya dan percaya bahwa itu adalah dia. Dia membawa tawanannya kembali ke Hindustan dan memenjarakan mereka.

Tanpa diketahuinya, Siti Akbari yang sedang hamil telah memalsukan kematiannya dan melarikan diri. Setelah beberapa bulan dia menemukan perlindungan di bawah Syaikh (Syekh) Khidmatullah, yang melatihnya ilmu silat (seni bela diri tradisional) sehingga dia bisa membebaskan suaminya. Meninggalkan anaknya dalam perawatan Khidmatullah, dia memulai perjalanannya. Ketika sekelompok tujuh orang menyapa dan berusaha memperkosanya, dia membunuh mereka. Mengambil pakaian mereka dan memotong rambutnya, ia menyamar sebagai seorang pria dan mengambil nama Bahara. Setelah tiba di Barbam, ia menghentikan perang antara dua pengingin takhta kekuasaan daerah tersebut. Dia membunuh si perampas, kemudian mengambil kepalanya untuk pewaris sah tahta, Hamid Lauda. Sebagai terima kasih, Hamid Lauda menghadiahkan "Bahara" (Siti Akbari) dengan kekuasaan untuk memerintah Barbam dan mengizinkan "Bahara" untuk menikahi adiknya, Siti Abian.

Siti Akbari, sebagai Bahara, meninggalkan Barbam untuk pergi ke Hindustan dan mengambil suaminya. Dengan bantuan dari dua penasehat yang telah dibenci Sultan, dia mampu mengintai situasi daerah. Dia akhirnya mengambil alih Hindustan dengan pasukannya, menaklukkan kesultanan tersebut sendirian, membunuh Bahar Oedin, dan membebaskan Abdul Moelan dan Siti Bida Undara. Sementara masih dalam penyamaran, Siti Akbari menyangkal Siti Abian dan memberikan Abdul Moelan padanya sebelum mengungkapkan identitas aslinya. Kerajaan yang berbeda tersebut kemudian dibagi di antara protagonis laki-laki, sementara Siti Akbari kembali ke perannya sebagai seorang istri. [b]

Latar belakang dan penulisan

 
Lie Kim Hok, penulis Sair Tjerita Siti Akbari.

Siti Akbari ditulis oleh Lie Kim Hok, seorang peranakan Tionghoa kelahiran Bogor yang dididik oleh misionaris Belanda. Para misionaris memperkenalkannya pada sastra Eropa, [2] termasuk karya-karya penulis Belanda seperti Anna Louisa Geertruida Bosboom-Toussaint dan Jacob van Lennep, [3] serta karya penulis Prancis seperti Jules Verne, Alexandre Dumas, dan Pierre Alexis Ponson du Terrail.[4] Dalam tesis doktoratnya, J. Francisco B. Benitez menunjukkan bahwa Lie mungkin juga telah dipengaruhi oleh tradisi lisan Melayu dan Jawa, seperti rombongan teater-keliling bangsawan Melayu atau kesenian wayang Jawa. [5]

Bukti yang ditemukan setelah kematian Lie pada tahun 1912 [6] berkesan bahwa Siti Akbari sangat dipengaruhi oleh Sjair Abdoel Moeloek (1847) yang terbit sebelumnya, dengan berbagai akreditasi kepada Raja Ali Haji atau Saleha. Kisah ini diterjemahkan oleh Arnold Snackey, kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Sunda. {sfn|Tio|1958|p=100}} Sumber inspirasi Lie tidak disetujui ada pada penerjemahan ini. Dokumentarian Christiaan Hooykaas, menulis dalam sebuah surat kepada kritikus sastra Nio Joe Lan, berpendapat bahwa inspirasi Lie datang dari versi Sjair Abdoel Moeloek yang disimpan di Koninklijk Bataviaasch Genootschap van Kunsten en Wetenschappen di Batavia.[7] Sementara itu penulis biografi Tio Ie Soei berpendapat bahwa versi yang menginspirasi Lie diterjemahkan pada tahun 1873 oleh guru Lie, Sierk Coolsma. Menurut Tio, Coolsma telah mendasarkan terjemahannya dari sebuah pertunjukan teater panggung dan menulisnya dengan buru-buru, sehingga hampir tak terbaca. Karena ia memiliki tulisan tangan yang lebih baik, Lie konon menyalin cerita tersebut untuk Coolsma dan menyimpan aslinya dalam koleksi pribadinya. [8] Sejarawan sastra Monique Zaini-Lajoubert menulis bahwa tidak satupun dari versi perantara tersebut telah ditemukan. [9]

Penulisan Siti Akbari diselesaikan dalam periode beberapa tahun. Lie menyatakan bahwa cerita itu memakan waktu tiga tahun, dengan penulisan secara sporadis. Namun, Tio melaporkan rumor bahwa penulisan karya ini memakan waktu sekitar tujuh tahun, dengan Lie kadang-kadang mengambil istirahat panjang dan kadang-kadang menulis dalam semangat, menulis dari fajar sampai senja.[10]

Gaya penulisan

Kritikus sastra G. Koster menulis bahwa saat menulis Siti Akbari, Lie Kim Hok dibatasi oleh formulasi Cerita Pandji dan puisi "syair" yang umum dalam sastra Melayu pada saat itu. Koster mencatat kesamaan struktural mendasar antara Siti Akbari dan bentuk-bentuk puisi yang ada.[11] Karya ini mengikuti arketip dari seorang tokoh atau pahlawan yang pergi dari kerajaan yang diatur hukum menuju ke pengasingan kemudian ke dalam kerajaan yang kacau, salah satu yang Koster berpendapat merupakan simbol dari siklus hukum lisan.[11] Arketip dan formula semacam ini digunakan dalam karya-karya kontemporer seperti Syair Siti Zubaidah Perang Cina (Puisi tentang Siti Zubaidah dan Perang terhadap Cina).[12] Perangkat alur dimana seorang wanita menyamarkan dirinya sebagai seorang pria untuk terjun ke dalam perang adalah juga umum dalam sastra Melayu dan sastra Jawa.[13] Lie menyimpang jauh dari tradisi yang mapan,[14] mencampurkan pengaruh sastra Eropa dan pribumi.[15]

Cerita ini terdiri dari 1.594 kuatrain sajak tunggal yang dibagi menjadi dua bait, dengan masing-masing bait terdiri dari dua baris, dan tiap baris terdiri dari dua setengah-garis dipisahkan oleh penggalan.[16] Sebagian besar baris ini adalah unit sintaksis lengkap, baik klausa atau kalimat.[17] Koster mencatat bahwa bentuk ini lebih bebas daripada dalam karya-karya yang lebih tradisional, dan sebagai hasilnya syair ini menjadi semacam puisi prosa.[18] Seorang narator yang tidak disebutkan namanya menceritakan kisah dari sudut pandang orang ketiga yang mahatahu;[19] tidak seperti karya kontemporer kebanyakan, narator "mengasumsikan otoritas pada dirinya sendiri" dengan menempatkan dirinya dan ide-idenya ke depan, alih-alih bertindak sebagai pihak yang tidak terlibat.[20]

Siti Akbari berbeda dari karya-karya kontemporer dengan memperkenalkan perasaan ketegangan. Koster memberikan identitas pedagang Hindustani sebagai contoh: identitas pria itu sebagai paman dari Sultan tidak diungkap sampai setelah saat yang nyaman dalam cerita. Koster menjelaskan periode di mana pembaca percaya Siti Akbari sudah mati, yang mencakup beberapa halaman, sebagai ciri di-luar-tradisi yang paling luar biasa dari karya ini. Dia mencatat bahwa tidak seperti kebanyakan karya-karya kontemporer, syair ini dimulai dengan kutipan,[21] alih-alih sebuah doa kepada Allah yang umum di kala syair Melayu kala itu.[22] Kutipan ini akhirnya ditunjukkan sebagai ramalan yang terpenuhi:

Tulisan asli Ejaan Yang Disempurnakan

Faedahnja hoedjan ini, Toewankoe sri Baginda
Melainkan bri satoe alamat, atawa soewatoe tanda,
Satoe hal amat adjaib, satoe hal jang tida tida,
Lantaran sang Poetri, nanti mendjadi ada

Faedahnya hujan ini, Tuanku Sri Baginda
Melainkan beri satu alamat, atau suatu tanda,
Satu hal amat ajaib, satu hal yang tidak-tidak,
Lantaran sang Puteri, nanti menjadi ada

Koster melihat kesan-kesan realisme dalam karya ini, terutama realisme idealis yang dipegang kuat pada saat itu di Belanda.[14] Dia mencatat bahwa motif dan kausalitas diberikan lebih banyak penekanan dalam narasi cerita ini dibandingkan sebagian besar karya-karya kontemporer saat itu. Dia mengamati bahwa ini juga tercermin dalam karakter dalam cerita ini, yang - meskipun dari kaum bangsawan dan orang suci - diberikan ciri-ciri orang yang bisa ditemukan di kehidupan nyata Batavia (sekarang Jakarta). Penggunaan tanda baca, hal lain jarang dalam literatur lokal kala itu, mungkin juga telah berguna untuk memberikan kesan bacaan yang lebih realistis[23] dan mencerminkan asal karya ini sebagai naskah tertulis, dan bukan dari sastra lisan.[18] Tio Ie Soei menggambarkan ritme karya ini sebagai lebih mirip sebuah pidato daripada sebuah lagu.[17]

Tema

Benitez menulis bahwa pasar dalam Siti Akbari "menyediakan kemungkinan untuk pertukaran dan koneksi" antara orang-orang dari semua budaya dan latar belakang, menghubungkan mereka. Dia menjelaskan bahwa ini merupakan representasi dari heteroglossia ditawarkan oleh bahasa Melayu pasar, yang berasal dari pasar. [24] Karena Lie juga menulis buku tentang tata bahasa Melayu pasar, Benitez berpendapat bahwa Lie mungkin berharap supaya dialek ini menjadi lingua franca di Hindia Belanda.[25]

Benitez menganggap puisi ini menyoroti ketegangan antara "subjektivitas monadik dan otonom" budaya Eropa dan "subjektivitas sosial" "adat", atau tradisi, dengan karakter Siti Akbari sebagai "sebuah tempat ketidakstabilan yang membuat nyata baik kemungkinan transformasi sosial, serta kecemasan atas kemungkinan reproduksi sosial yang kacau ". [26] Sebagai individu, Siti Akbari mampu melawan musuh-musuhnya dan merebut kembali suaminya. Namun pada akhirnya, dia memilih untuk kembali ke hubungan poligaminya dengan Abdul Moelan, sebuah penegasan bahwa tradisi ada di atas modernisme. [24] Dalam oposisi terhadap Siti Akbari, pedagang Safi Oedin menolak untuk hidup sesuai dengan adat istiadat setempat, sementara ia berada dalam tanah asing dan akhirnya mati. Benitez menulis bahwa ini "dapat dibaca sebagai peringatan bagi mereka yang menolak untuk hidup sesuai dengan adat setempat." [27] Koster mencatat bahwa - seperti syair pada umumnya - Siti Akbari bekerja untuk meningkatkan kesadaran atas adat dan sistem nilai tradisional.[11]

Zaini-Lajoubert berpendapat bahwa cerita ini mempromosikan perlakuan terhadap kaum perempuan sebagai orang dengan perasaan dan opini, yang bertentangan dengan pandangan patriarkial yang umum selama periode terbitnya buku tersebut, bahwa perempuan adalah benda tidak berperasaan. Dia menemukan bahwa karakter-karakter wanita dalam cerita ini merasakan kesedihan dan kegembiraan, mengutip beberapa bagian, termasuk salah satu di mana Siti Akbari mengaku bahwa dia merasa bahwa dia telah menunggu "puluhan tahun" [c] untuk Abdul Moelan. Zaini-Lajoubert mencatat bahwa karakter-karakter perempuan tidak semuanya berpendapat yang sama: meskipun Siti Akbari bersedia untuk menjalani suatu hubungan poligami, Siti Bida Undara harus dibujuk. Namun pada akhirnya, dia menemukan bahwa Siti Akbari menyampaikan pesan bahwa perempuan harus setia kepada suami mereka.[28]

Kritik

 
Lie meminjam banyak dari Sjair Abdoel Moeloek.

Meskipun Sjair Abdoel Moeloek dan Siti Akbari sering ditampilkan di atas panggung, kesamaan di antara keduanya tidak ditemukan selama beberapa tahun.[8] Zaini-Lajoubert menulis bahwa Tio Ie Soei menemukan kesamaan ini saat bekerja sebagai wartawan surat kabar Tionghoa-Melayu Lay Po pada tahun 1923. Kwee Tek Hoay mengikuti artikel ini dengan diskusi lain dari asal-usul karya tersebut pada tahun 1925.[9] Penulis-penulis yang selanjutnya mengkritik karya-karya lain Lie sebagai adaptasi terang-terangan.[29] Tan Soey Bing dan Tan Oen Tjeng, misalnya, menulis bahwa tak satu pun dari karya-karyanya yang orisinal. Tio Ie Soei, dalam tanggapannya, menyatakan bahwa Lie telah mengubah cerita-cerita yang telah diadaptasi olehnya, dan dengan demikian menunjukkan orisinalitas.[30]

Dalam mengeksplorasi kesamaan antara Sjair Abdoel Moeloek dan Siti Akbari, Zaini-Lajoubert mencatat bahwa nama-nama kerajaan dalam Siti Akbari, kecuali Barham ("Barbam" di Siti Akbari), diambil langsung dari karya yang terbit sebelumnya tersebut. Nama-nama karakter seperti Abdul Muluk ("Abdul Moelan" di Siti Akbari) dan Siti Rapiah ("Siti Akbari"), hanya diganti, meskipun beberapa karakter minor hadir dalam satu cerita dan bukan yang lainnya.[31] Elemen plot utama dalam kedua cerita tersebut adalah sama; beberapa unsur, seperti kelahiran dan masa kecil Abdul Muluk dan petualangan putra Siti Rapiah selanjutnya, hadir dalam satu cerita dan bukan yang lainnya - atau dibeberkan lebih detail.[32] Namun keduanya sangat berbeda dalam gaya mereka, terutama penekanan Lie pada deskripsi dan realisme.[33]

Catatan kaki

  1. ^ Untuk artikel ini, judul singkat Siti Akbari digunakan
  2. ^ Derived from the synopses by (Koster 1998, hlm. 97–98) and (Benitez 2004, hlm. 209–212)
  3. ^ Asli: "... belasan tahon..."

Referensi

  1. ^ Tio 1958, hlm. 87.
  2. ^ Koster 1998, hlm. 95, 105.
  3. ^ Koster 1998, hlm. 102.
  4. ^ Salmon 1994, hlm. 127.
  5. ^ Benitez 2004, hlm. 76, 218, 263.
  6. ^ Koster 1998, hlm. 95.
  7. ^ Nio 1962, hlm. 29; Koster 1998, hlm. 98.
  8. ^ a b Tio 1958, hlm. 100.
  9. ^ a b Zaini-Lajoubert 1994, hlm. 103.
  10. ^ Tio 1958, hlm. 101.
  11. ^ a b c Koster 1998, hlm. 99–100.
  12. ^ Zaini-Lajoubert 1994, hlm. 104.
  13. ^ Zaini-Lajoubert 1994, hlm. 104–105.
  14. ^ a b Koster 1998, hlm. 111.
  15. ^ Benitez 2004, hlm. 207.
  16. ^ Benitez 2004, hlm. 207; Koster 1998, hlm. 109.
  17. ^ a b Koster 1998, hlm. 109.
  18. ^ a b Koster 1998, hlm. 110.
  19. ^ Koster 1998, hlm. 103.
  20. ^ Koster 1998, hlm. 105.
  21. ^ Koster 1998, hlm. 101–102.
  22. ^ Koster 1998, hlm. 104.
  23. ^ Koster 1998, hlm. 107–108.
  24. ^ a b Benitez 2004, hlm. 253.
  25. ^ Benitez 2004, hlm. 261.
  26. ^ Benitez 2004, hlm. 213.
  27. ^ Benitez 2004, hlm. 229.
  28. ^ Zaini-Lajoubert 1994, hlm. 117–118.
  29. ^ Koster 1998, hlm. 114.
  30. ^ Tio 1958, hlm. 90–91.
  31. ^ Zaini-Lajoubert 1994, hlm. 107.
  32. ^ Zaini-Lajoubert 1994, hlm. 109.
  33. ^ Zaini-Lajoubert 1994, hlm. 110–112.

Rujukan