Kyai Tunggul Wulung adalah seorang tokoh yang diceritakan dalam Babad Kediri, salah satu abdi dari Raja Jayabaya. Ia dipercaya menjadi penjaga kawah Gunung Kelud untuk mengarahkan lava Kelud agar tidak memakan banyak korban.[1] Nama "Tunggul Wulung" memiliki arti "Panji/ Bendera Biru-Hitam".[2]

Kyai Tunggul Wulung
LahirIndonesia Kediri, Indonesia
MeninggalIndonesia Indonesia

Babad Kediri

Babad Kadhiri ditulis pada tahun 1832 oleh Mas Ngabehi Purbawijaya dan Mas Ngabehi Mangunwijaya.

Menurut Babad Kediri, Raja Jayabaya, yang memerintahkan kerajaan Kediri pada paruh pertama abad ke-12 M, mempunyai dua abdi bernama Kyai Daha dan Kyai Daka.[1][3] Pada saat babat alas (lit. "membuka hutan") di pinggir sungai Kediri, banyak warga yang bergabung. Pada saat itu, yang membuka hutan adalah kakak-beradik sakti dan bijaksana Kyai Doho dan Kyai Doko. Pemerintahan Jayabaya membuat tempat tersebut berkembang pesat menjadi sebuah negeri yang diberi nama Kerajaan Doho dan ibukotanya bernama Daka, sementara istananya bernama Mamenang.

Sêrat Babad Kadhiri menuliskan:[4]

Dhawuh pangandikanipun Prabu Aji Jayabaya makatên: Bênêr kowe iku wong bodho, nanging kêna dak pêrcaya. Ing samêngko ingsun mung darma jumênêng ratu, sira kang dak pitaya among anak putunira. Namanipun adhi kula Kyai Daka inggih kapundhut, kaangge nama dhusun, adhi kula kaparingan nama Kyai Tunggul Wulung, kadadosakên senapati.

"Kemudian Prabu Aji Jayabaya berfirman: Benar kamu itu orang bodoh, tapi bisa dipercaya. Jika nanti saya menjadi raja, kamu akan berada diantara menteri-menteri. Nama adik Kyai Daha juga diambil, sebagai nama dusun, adik akan diberi nama Kyai Tunggul Wulung, dijadikan senapati."

Kyai Daha dijadikan patih yang taat berganti nama menjadi Buta Locaya, sementara Kyai Daka dijadikan senopati perang dengan nama Tunggul Wulung. Saat Raja Jayabaya moksa, keduanya juga ikut moksa. Buta Locaya ditugaskan untuk menjaga Selabale (gua Selomangleng), sedangkan Tunggul Wulung diperintahkan untuk menjaga kawah Gunung Kelud agar letusannya tidak banyak merusak desa sekitar, dan memakan banyak korban jiwa. Konon, nantinya Raja Jayabaya akan datang kembali, dan tugas Tunggul Wulung adalah mempersiapkan kedatangan sang raja yang telah muksa.[1][5][6]

Serat Darmogandul

Serat Darmogandul merupakan karya sastra Jawa Baru yang menceritakan jatuhnya Majapahit akibat serbuan Kerajaan Demak. Hampir seluruh isi Serat Darmagandul merupakan bentuk turunan dari cerita babad Kadhiri.

Samuksane Sang Prabu Jayabaya lan putrane putri kang aran Ni Mas Ratu Pagêdhongan, Buta Locaya lan kiyai Tunggulwulung uga padha muksa; Ni Mas Ratu Pagêdhongan dadi ratuning dhêmit nusa Jawa, kuthane ana sagara kidul sarta jêjuluk Ni Mas Ratu Anginangin. Sakabehe lêlêmbut kang ana ing lautan dharatan sarta kanan keringe tanah Jawa, kabeh padha sumiwi marang Ni Mas Ratu Anginangin. Buta Locaya panggonane ana ing Selabale, dene kiyai Tunggulwulung ana ing gunung Kêlut, rumêksa kawah sarta lahar, yen lahar mêtu supaya ora gawe rusaking desa sarta liya-liyane.

Saat moksanya Sang Prabu Jayabaya dan putrinya yang bernama Ni Mas Ratu Pagedhongan, Buta Locaya dan Kyai Tunggulwulung juga sama-sama moksa. Ni Mas Ratu Pagedhongan menjadi ratu makhluk halus pulau Jawa, kotanya berada di laut selatan serta dijuluki Ni Mas Ratu Anginangin. Seluruh makhluk halus yang ada di lautan daratan serta kanan-kirinya tanah Jawa, semua sama-sama takluk kepada Ni Mas Ratu Anginangin. Buta Locaya kediamannya ada di Selabale, sedangkan Kyai Tunggulwulung ada di Gunung Kelut, mengawasi kawah serta lahar, jika lahar keluar supaya tidak membuat rusak desa dan lain-lainnya.

Buku Goenoeng Keloed

Goenoeng Keloed' (1941) adalah buku berbahasa Jawa klasik karya R. Kartawibawa, terbitan Badan Penerbitan G Kolff & Co tahun 1941. Buku ini menceritakan sosok Kyai Tunggul Wulung tidak jauh beda seperti yang dijelaskan dalam Babad Kediri. Ia adalah orang asli Kediri dan merupakan abdi Raja Jayabaya. Dia ditugaskan untuk menjaga Gunung Kelud agar bersahabat dengan manusia dan alas di sekitarnya. Tempat kediaman Kyai Tunggu Wulung berada di lereng Kelud bagian timur laut, dekat dengan kawah. Konon daerah tersebut sangat wingit, banyak orang kerasukan dan menjumpai hal-hal gaib yang tak masuk akal.[1]

Buku ini menjelaskan bahwa Kyai Tunggul Wulung tidak mengganggu manusia, justru melindungi jika ada Marabahaya, misalnya jika tersesat. Namun, jika ia tidak berkenan pada orang yang masuk ke daerahnya, tiba-tiba terdengar suara gemuruh di bagian barat Kelud, kemudian muncul hujan badai, suasana jadi gelap gulita seperti malam. Orang yang mengerti akan terlebih dulu membakar kemenyan sebelum masuk ke Gunung Kelud untuk meminta izin.[1]

Buku tersebut juga dijelaskan, untuk menghindari bahaya saat Gunung Kelud meletus, orang zaman dulu menutup rapat-rapat pintu rumahnya, kemudian memanjat pohon rangon. Dengan demikian, lava, air, pasir, lumpur, dan bebatuan yang mengalir deras dari puncak Kelud tidak mengenai mereka.[1]

Kyai Ibrahim Tunggul Wulung

Kiai Ibrahim Tunggul Wulung adalah seorang penginjil Jawa dari abad ke-19. Nama aslinya adalah Ngabdullah, ia mengganti namanya menjadi Tunggul Wulung setelah menjadi petapa di lereng Gunung Kelud. Van Akkeren menduga Ngabdullah ingin menyamakan dirinya dengan Tunggul Wulung, penjaga Gunung Kelud, lambang kekuatan yang menyelamatkan dunia dari kehancuran.[2]

Lihat pula

Pranala luar

Referensi

  1. ^ a b c d e f Anwar Khumaini. 20 Februari 2014. MERDEKA.COM, Peristiwa. Kisah Kyai Tunggul Wulung, si penjaga kawah Gunung Kelud.
  2. ^ a b Jan S. Aritonang. 2004. "Sejarah perjumpaan Kristen dan Islam di Indonesia", hal. 93.
  3. ^ Sutarman Soediman Partonadi. 1990. "Sadrach's Community and Its Contextual Roots: A Nineteenth Century Javanese Expression of Christianity", hal. 46. Amsterdam. ISBN 90-5183-094-7.
  4. ^ Mas Ngabèi Mangunwijaya. 1932. "Sêrat Babad Kadhiri", Cetakan ke-2. Kediri: oekhandel TAN KHOEN SWIE.
  5. ^ Susanne Schröter. 2010. "Christianity in Indonesia: Perspectives of Power", hal. 72-73. Berlin: Lit Verlag. ISBN 978-3-643-10798-5. (Inggris)
  6. ^ Merle Calvin Ricklefs. 2007. "Polarising Javanese Society: Islamic and Other Visions, C. 1830-1930", hal. 200. Singapura: NUS Press. ISBN 978-9971-69-346-6. (Inggris)