Abdul Halim dari Majalengka
Artikel ini merupakan artikel yang dikerjakan oleh Peserta Kompetisi Menulis Bebaskan Pengetahuan 2014 yakni 79Pandu (bicara). Untuk sementara waktu (hingga 18 April 2014), guna menghindari konflik penyuntingan, dimohon jangan melakukan penyuntingan selama pesan ini ditampilkan selain oleh Peserta dan Panitia. Peserta kompetisi harap menghapus tag ini jika artikel telah selesai ditulis atau dapat dihapus siapa saja jika kompetisi telah berakhir. Tag ini diberikan pada 11 April 2014. Halaman ini terakhir disunting oleh BP79Pandu (Kontrib • Log) 3902 hari 1123 menit lalu. |
Abdul Halim, lebih dikenal dengan nama K.H. Abdul Halim Majalengka (lahir 26 Juni 1887, di Desa Ciborelang, Kecamatan Jatiwangi, Kabupaten Majalengka, Jawa Barat - meninggal 7 Mei 1962, di Majalengka pada umur 75 tahun) adalah salah seorang tokoh pergerakan nasional, tokoh organisasi Islam, dan ulama yang terkenal toleran dalam menghadapi perbedaan pendapat antarulama tradisional dan pembaharu.[1]
- Untuk mantan Perdana Menteri Indonesia dengan nama yang sama, lihat: Abdul Halim.
Kehidupan awal dan pendidikan
Sebagai anak yang dilahirkan di lingkungan keluarga pesantren, Kiai Abdul Halim telah memperoleh pendidikan agama sejak balita dari keluarganya maupun dari masyarakat sekitar.[1] Ayahnya meninggal ketika Kiai Abdul Halim masih kecil, sehingga ia banyak diasuh oleh ibu dan kakak-kakaknya.[1] Sejak kecil Kiai Abdul Halim tergolong anak yang gemar belajar.[1] Terbukti ia banyak membaca ilmu-ilmu keislaman maupun ilmu-ilmu kemasyarakatan.[1] Ketika berumur 10 tahun Kiai Abdul Halim belajar al-Qur'an dan Hadis kepada K.H. Anwar, yang sekaligus menjadi guru pertamanya di luar keluarganya sendiri.[1] K.H. Anwar merupakan seorang ulama terkenal dari Ranji Wetan, Majalengka.[1] Sebagai penggemar ilmu, Abdul Halim juga mempelajari disiplin ilmu lainnya, tidak pandang apakah yang menjadi gurunya sealiran (Islam) ataupun tidak, asalkan dapat bermanfaat bagi perjuangannya kelak.[1] Hal itu terlihat ketika Kiai Abdul Halim belajar bahasa Belanda dan huruf latin kepada Van Hoeven, seorang pendeta dan misionaris di Cideres, Majalengka.[1]
Ketika menginjak usia dewasa, Kiai Abdul Halim mulai belajar di berbagai Pondok Pesantren di wilayah Jawa Barat.[1] Di antara pesantren yang pernah menjadi tempat belajar Kiai Abdul Halim adalah :[1]
- Pesantren Lontang jaya, Penjalinan, Leuimunding, Majalengka, pimpinan Kiai Abdullah.
- Pesantren Bobos, Kecamatan Sumber, Cirebon, asuhan Kiai Sujak.
- Pesantren Ciwedus, Timbang, Kecamatan Cilimus, Kabupaten Kuningan, asuhan Kiai Ahmad Shobari.
- Dan yang terakhir Abdul Halim berguru kepada K.H. Agus ,Kedungwangi, Kenayangan, Pekalongan, sebelum akhirnya kembali memperdalam ilmunya di Pesantren Ciwedus.
Di Mekah
Setelah banyak belajar di beberapa pesantren di Indonesia, Kiai Abdul Halim memutuskan untuk pergi ke Mekah untuk melanjutkan mendalami ilmu-ilmu keislaman.[1] Di Mekah, Kiai Abdul Halim berguru kepada ulama-ulama besar di antaranya Syeikh Ahmad Khatib al-Minangkabawi, seorang ulama asal Indonesia yang menetap di Mekah dan menjadi ulama besar sekaligus menjadi Imam di Masjidil Haram.[1] Selama menuntut ilmu di Mekah, Kiai Abdul Halim banyak bergaul dengan K.H. Mas Mansur yang kelak menjadi Ketua Umum Muhammadiyah dan K.H. Abdul Wahab Hasbullah yang merupakan salah seorang pendiri Nahdlatul Ulama dan Rais Am Syuriyah (Ketua Umum Dewan Syuro) Pengurus Besar organisasi tersebut setelah Kiai Hasyim Asy’ari meninggal pada tahun 1947.[1] Kedekatan Abdul Halim terhadap kedua orang sahabatnya yang berbeda latar belakang antara pembaharu dan tradisional inilah yang membuat Kiai Abdul Halim terkenal sebagai ulama yang amat toleran.[1]
Selain belajar langsung kepada Syeikh Ahmad Khatib al-Minangkabawi, Kiai Abdul Halim juga mempelajari kitab-kitab para ulama lainnya, seperti kitab karya Syeikh Muhammad Abduh, Syeikh Muhammad Rasyid Ridlo, dan ulama pembaharu lainnya.[1] Selain itu Kiai Abdul Hakim juga banyak membaca majalah al-Urwatul Wutsqo maupun al-Manar yang membahas tentang pemikiran kedua ulama tersebut.[1]
Majlis Ilmi dan Hayatul Qulub
Setelah tiga tahun belajar di Mekah, Kiai Abdul Halim kembali ke Indonesia untuk mengajar. Pada tahun 1911, ia mendirikan lembaga pendidikan Majlis Ilmi di Majalengka untuk mendidik santri-santri di daerah tersebut.[1] Setahun kemudian setelah lembaga pendidikan tersebut telah berkembang, Kiai Abdul Halim mendirikan sebuah organisasi yang bernama Hayatul Qulub, yang kemudian Majlis Ilmi menjadi bagian di dalamnya.[1]
Menikah
Pada umur 21 tahun, Kiai Abdul Halim menikah dengan Siti Murbiyah puteri Kiai Ilyas (Penghulu Landraad Majalengka).[1] Pernikahan mereka dikaruniai tujuh orang anak.[1]