Hamim Tohari Djazuli
Artikel ini merupakan artikel yang dikerjakan oleh Peserta Kompetisi Menulis Bebaskan Pengetahuan 2014 yakni 79Pandu (bicara). Untuk sementara waktu (hingga 25 April 2014), guna menghindari konflik penyuntingan, dimohon jangan melakukan penyuntingan selama pesan ini ditampilkan selain oleh Peserta dan Panitia. Peserta kompetisi harap menghapus tag ini jika artikel telah selesai ditulis atau dapat dihapus siapa saja jika kompetisi telah berakhir. Tag ini diberikan pada 18 April 2014. Halaman ini terakhir disunting oleh BP79Pandu (Kontrib • Log) 3876 hari 740 menit lalu. |
Hamim Tohari Djazuli, akrab dipanggil Gus Miek (lahir di Kediri, Jawa Timur 17 Agustus 1940 - meninggal di Surabaya, 5 Juni 1993 pada umur 52 tahun[1] adalah pendiri amalan dzikir Jama'ah Mujahadah Lailiyah, Dzikrul Ghofilin, dan sema'an (mendengarkan) al-Qur'an Jantiko Mantab.[2] Ia adalah putra dari K.H. Jazuli Utsman, pengasuh Pondok Pesantren Al-Falah, Ploso, Mojo, Kediri, Jawa Timur.[3] Ia terkenal sebagai seorang wali (kekasih Allah) yang menghabiskan sebagian besar waktunya di luar Pesantren untuk berdakwah.[4][5] Gus Miek juga terkenal sebagai wali yang memiliki banyak karomah (kelebihan).[2]
Biografi
Masa Kecil dan pendidikan awal
Gus Miek adalah putra ketiga dari enam bersaudara dari pasangan K.H Djazuli Utsman dan Nyai Rodhiyah.[2][3] Amiek (panggilan masa kecil Gus Miek) lahir dan besar di Kediri.[2] Ia tinggal di lingkungan bekas kantor penghulu yang telah ditebus orang tuanya dengan biaya 71 golden.[2] Gus Miek kecil adalah sosok yang pendiam dan suka menyendiri, berbeda dengan saudara-saudaranya dan teman sebayanya yang lebih senang dekat ibunya atau kepada para santri.[2] Hal ini dapat dilihat bila seluruh keluarga berkumpul, ia selalu mengambil tempat yang paling jauh.[2] Ketika kecil ia juga terkenal memiki suara yang merdu dan fasih pada saat membaca al-Qur'an.[2]
Pendidikan awal ia tempuh dengan masuk di Sekolah Rakyat (SR), namun tidak sampai selesai karena sering membolos.[6] Dalam pendidikan belajar membaca al-Qur'an, Gus Miek dibimbing langsung oleh ibunya, kemudian ia diserahkan kepada Ustadz Hamzah.[2] Sedangkan dalam pendidikan belajar kitab, Gus Miek beserta para saudaranya diajar langsung oleh ayahnya.[2].
Pada umur 9 tahun, Gus Miek telah mengenal ulama-ulama besar. Beberapa ulama tersebut yang sering dikunjungi Gus Miek adalah K.H. Mubasyir Mundzir, Kediri; K.H. Mas'ud (Gus Ud) Pagerwojo, Sidoarjo; dan K.H. Hamid, Pasuruan.[1][6] Ketika berkunjung ke rumah Gus Ud di Sidorajo, untuk pertama kalinya Gus Miek bertemu dengan K.H. Ahmad Siddiq yang pada saat itu menjadi sekertaris pribadi K.H. Wahid Hasyim.[1][6] K.H. Ahmad Siddiq inilah yang kelak sering menentang tradisi sufi Gus Miek namun ia juga yang kelak menjadi kawan karibnya di Dzikrul Ghofilin.[1][6]
Belajar di Lirboyo
Pada umur 13 tahun, Gus Miek melanjutkan pendidikannya di Pondok Pesantren Lirboyo, Kediri, setelah K.H. Mahrus Ali datang menjemputnya di Ploso untuk memintanya belajar di Pondok Pesantren asuhan K.H. Mahrus Ali tersebut.[2] Namun pendidikannya di Pondok Pesantren Lirboyo hanya bertahan selama 16 hari dan kemudian Gus Miek kembali pulang ke Ploso.[6]
Kepulangan Gus Miek yang mendadak ke Pondok Pesantren Ploso membuat orang tuanya resah karena ia tidak mau untuk melanjutkan belajarnya di Pesantren Lirboyo. Namun Gus Miek mampu menunjukkan bahwa selama belajarnya di Pesantren Lirboyo ia melakukannya dengan sungguh-sungguh, ia membuktikan kepada orang tuannya dengan cara menggantikan semua jadwal pengajian yang biasa diampu oleh ayahnya di Pondok Pesntren Ploso.[2] Gus Miek membuktikannya dengan mengajarkan berbagai kitab kepada para santri, yakni: kitab Tahrir (kitab fiqh tingkat dasar), Fatkhul Mu'in (kitab fiqh tingkat menengah), Jam'ul Jawami' (kitab ushul fiqh), Fatkhul Qarib (kitab fiqh tingkat menengah), Shahih Bukhari (kitab hadis), Shahih Muslim (kitab hadis), Tafsir Jalalain (kitab tafsir al-Qur'an), Iqna (kitab fiqh penjabaran dari kitab Fatkhul Qarib), Shaban (kitab tata bahasa Arab) dan Ihya' Ulumuddin (kitab tasawuf).[2]. Pada saat inilah orang tuanya menyadari adanya karomah (kelebihan) kewalian pada diri Gus Miek.[2]
Setelah menunjukkan kemampuannya kepada orang tuanya, beberapa bulan kemudian Gus Miek memutuskan untuk belajar lagi di Pesantren Lirboyo.[2] Di pesantren tersebut ia cukup rajin dalam mengikuti pengajian. Namun ia mempuyai kebiasaan yang sulit dihilangkan sejak di Ploso, yaitu ketika santri lain sedang sibuk mengaji, ia hanya tidur dan meletakkan kitabnya di atas meja.[2] Meskipun demikian, ketika gurunya mengajukan pertanyaan terkait materi yang telah disampaikan, Gus Miek selalu mampu menjawabnya dengan memuaskan.[2]
Di Pesantren Lirboyo, ada beberapa santri yang dekat dengan Gus Miek, di antaranya adalah Abdul Ro'uf dari Blitar yang mendapat tugas memasak, Abdul Zaini dari Gresik, Abdullah dari Magelang, Gus Idris dan Gus Fatkhurrohman.[2] Perkenalan dengan Abdullah tersebut yang akhirnya membuat Gus Miek meninggalkan Pesantren Lirboyo dan pergi ke Magelang.[2] Pada umur 14 tahun, ia pergi dan melanjutkan belajarnya ke sebuah Pondok Pesantren asuhan K.H. Dalhar di Watucongol, Magelang, Jawa Tengah.[2][6]
Referensi
- ^ a b c d www.tanbihun.com: Biografi Gus Miek (KH. Hamim Tohari Djazuli). Diakses 6 April 2014
- ^ a b c d e f g h i j k l m n o p q r s t Muhammad Nurul Ibad (2001). Perjalanan dan Ajaran Gus Miek. Pustaka Pesantren. ISBN 979-8452-32-1. Halaman 111-133.
- ^ a b www.tokohtokoh.com: KH. Hamim Djazuli. Diakses 6 April 2014.
- ^ Muhammad Nurul Ibad (2010). Dhawuh Gus Miek. Pustaka Pesantren. ISBN 979-8452-30-5. Halaman vii.
- ^ Muhammad Nurul Ibad (2012). Suluk Jalan Terabas Gus Miek. Pustaka Pesantren. ISBN 979-8452-31-3. Halaman vii.
- ^ a b c d e f www.nu.or.id: Gus Miek, dari Khataman ke Tempat Perjudian. Diakses 6 April 2014