Diakonia Transformatif

Diakonia Transformatif adalah bentuk diakonia yang gereja lakukan dengan mengembangkan bentuk Diakonia Karitatif dan Diakonia Reformatif.[1] Diakonia Transformatif dikenal juga dengan istilah Diakonia Pembebasan.[1] Diakonia Transformatif mengilhami pemikiran Paulo Freire, yakni mengusahakan penyadaran (konsientasi) dan mendorong rakyat untuk percaya pada diri sendiri melalui pemberdayaan dan pengorganisasian (organizing and empowering people).[1] Maka dari itu, bentuk diakonia ini dilakukan dengan menyadarkan masyarakat mengenai hakikat dirinya sehingga mereka memiliki rasa percaya diri, dan juga memberdayakan masyarakat dengan mengorganisasikan mereka sehingga mereka dapat menghadapi serta melawan ketidakadilan melalui kemampuannya sendiri.[2]

Diakonia Transformatif bertujuan untuk mewujudkan perubahan total dalam fungsi dan penampilan kehidupan bermasyarakat, yakni perubahan yang terjadi dalam seluruh aspek kehidupan manusia (aspek politik, sosial, dan ekonomi), dan juga membebaskan rakyat kecil dari belenggu ketertindasan struktural yang tidak adil.[1] Diakonia seperti ini ditujukan bagi masyarakat yang terdiskriminasi, tersingkirkan, dan terbuang dari tatanan sosial-masyarakat.[3] Fokus pelayanan Diakonia Transformatif ini mengarah pada rakyat yang adalah sumber sejarah.[1] Maka dari itu, konten pelayanannya lebih bersifat preventif (pencegahan), menjunjung tinggi keadilan, mewadahi partisipasi rakyat, menganalisis persoalan kemiskinan dengan kacamata sosial, melakukan penyadaran dan mengorganisasi rakyat. [4]

Dalam melakukan Diakonia Transformatif ini, gereja memiliki tugas untuk mendampingi, membimbing, mengarahkan dan memberdayakan kemampuan sekelompok masyarakat tertentu.[5] Meskipun seperti itu, pelaksanaan Diakonia Transformatif menuai dampak buruk berupa ragam konflik dan risiko yang tinggi, karena para pelaku diakonia ini harus berjuang melawan sistem yang tidak adil dan kekuasaan yang semena-mena. [6] Selain itu, pelaksanaan diakonia ini memerlukan waktu yang cukup lama karena dalam prosesnya diperlukan pembenahan atas lingkaran sosial yang menyimpang dan yang menyebabkan kekacauan serta ketertindasan.[1]

Referensi

  1. ^ a b c d e f (Indonesia) Josef P. Widyatmadja. 2010. Yesus dan Wong Cilik. Jakarta: BPK Gunung Mulia, 47-60.
  2. ^ (Indonesia) Jimmy Oentoro. 2010. Gereja Impian: Mejadi Gereja Yang Berpengaruh. Jakarta: Gramedia, 79
  3. ^ (Indonesia) Emmanuel Gerrit Singgih. 2004. Mengantisipasi Masa Depan: Berteologi dalam Konteks di Awal Milenium III. Jakarta: BPK Gunung Mulia, 29.
  4. ^ (Indonesia) Richard M. Daulay. 2009. Firman Hidup 64. Jakarta: BPK Gunung Mulia, 64.
  5. ^ (Indonesia) Yosef Lalu. 2007. Katekese Umat. Jakarta: Komisi Kateketik KWI, 78.
  6. ^ (Indonesia) Emmanuel Gerrit Singgih. 2000. Iman dan Politik dalam Era Reformasi di Indonesia . Jakarta: BPK Gunung Mulia, 187-188.