Mardiker

suku bangsa di Indonesia
Revisi sejak 16 September 2014 15.19 oleh Toonyf (bicara | kontrib)

De Mardijkers atau Portugis Hitam adalah sebutan untuk para bekas anggota tentara Portugis dan keturunan India, Portugis juga Budak keturunan Afrika di Batavia yang dibebaskan dari tawanan Belanda. Setelah beralih dari Katolik menjadi Protestan, mereka ditempatkan di Kampung Tugu, dewasa ini termasuk wilayah Kecamatan Koja, Jakarta Utara, dengan jemaat dan gereja tersendiri, Gereja Tugu, yang dibangun pertama kali pada tahun 1661. Terdapat juga Mardijkers keturunan Filipina yang bermukim di Kelurahan Papanggo.

Seorang Mardijker dan istrinya, detail, Churchill 1704.

Mardijkers berpakaian seperti orang Portugis dan menggunakan bahasa Portugis-Kreol. Sampai abad 18 orang-orang Mardijkers masih tinggal di kampung-kampung di Batavia.

Sejarah

Bangsa Portugis selain sebagai penjajah juga mempunyai misi religius dalam menyebarkan agama Katolik, yang memungkinkan mereka untuk berinteraksi sangat dekat dengan penduduk lokal, bahkan tidak ada masalah bagi mereka untuk melakukan perkawinan secara sah dan resmi di bawah gereja. Hal inilah yang mendorong terjadinya proses akulturasi budaya dengan para penduduk lokal, seperti halnya para keturunan Portugis yang ada di benua Amerika Selatan. Mereka terlahir sebagai atau Portugis Hitam, dengan memakai nama belakang atau marga Portugis dari pihak ayah mereka.

Komunitas Portugis di mulai ketika orang Portugis membina benteng di Sunda Kelapa, akan tetapi banyak dari suku "Mardijikers" di bawa oleh Belanda setelah mereka menjajah Melaka yang masa itu berada di tangan Portugis, pada abad ke 17, banyak dari penduduk yang bisa berbahasa Portugis di bawa ke Batavia sebagai tawanan perang. Setelah beberapa tahun lamanya mereka menetap di Batavia dengan status sebagai tawanan perang, lalu tahun 1661 pada masa Gubernur Jenderal Joan Maetsuycker yang berkuasa di Batavia dari tahun 16531678. Atas persetujuan gereja Protestan Batavia dengan VOC mereka dibebaskan, walau dengan syarat mereka harus melepaskan agama Katolik, dan berpindah menjadi Protestan. Belanda pada saat itu melarang keras berkembangnya agama Katolik di wilayah jajahannya. Kira-kira sebanyak 23 kepala keluarga atau sekitar 150 jiwa dibebaskan oleh pemerintah Hindia Belanda, mereka diberikan lahan atau wilayah yang terletak 10 kilometer arah tenggara Kota Batavia yang sekarang bernama Kampung Tugu di Jakarta Utara. Orang yang melepaskan agama Katolik di sebut "Mardijkers". Kaum Katolik yang menolak untuk mengadop agama Protestan di buang ke kepulauan Nusa Tenggara sebagai budak. Kaum Madjikers di kaumkan terpisah dari kaum "Indo-European" yang dahulunya memang di dominasikan oleh kaum Portugis, ini di karenakan tidak semua kaum Mardijikers memiliki keturunan Portugis, melainkan adalah keturunan budak yang berasal dari berbagai bangsa yang di jajah Portugis di masa itu dan bisa berbahasa Portugis. Di masa awal penjajahan Mardijikers kategorikan sebagai "inlandse Christenen" atau "Pribumi beragama Kristiani". Akan tetapi setelah masa berlalu Madjikers terasimilisasikan dengan kaum Indo-European di karenakan agama yang mereka anut.

Di tempat yang baru ini, secara kuantitas masyarakat Tugu berkembang pesat, dan pada sensus Batavia pada tahun 1699 jumlah Madjikers mencapai 2,407 jiwa.

Merdeka

Kata Mardijkers banyak dipercaya sebagai cikal bakal kata "Merdeka" yang berarti bebas. Meskipun demikian, istilah Mardijker ini sesungguhnya adalah penggunaan Belanda atas versi Portugis dari kata Maharddhika, yaitu kata bahasa Sanskerta yang berarti "kaya, sejahtera, dan hebat". Dalam bahasa Portugis "Mardika" memiliki arti "kebebeasan"

Tentara

Setelah dibebaskan, Mardijkers bertugas kembali di ketentaraan VOC, dan secara tradisional, keturunan merekapun menjadi serdadu. Kemudian masuk juga mantan budak-budak yang berasal dari India dan Afrika, yang bercampur dengan budak-budak yang berasal dari Sulawesi, Bali dan Melayu.

Tahun 1777 masih terdapat 6 kompi Mardijkers (sekitar 1.200 orang) di dinas ketentaraan VOC yang bertugas menjaga perumahan Belanda di dalam kota. Tahun 1803 masih tersisa satu kompi, dan kompi terakhir dibubarkan tahun 1808.

Lihat pula

Pranala luar