Saya termasuk orang yang cukup taat kaidah bahasa Indonesia, meski sampai sekarang saya masih terus belajar. Hal utama yang selalu saya ingat dalam menulis dalam bahasa Indonesia adalah struktur kalimat. Baru setelah itu ejaannya. Struktur kalimat menjadi penting, karena kalau salah, dapat mengubah logika dan pengertian. Sementara ejaan, itu hanya persoalan kekayaan kita mengenal kosakata yang terdapat dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia. Oleh karena itulah saya sering mengkampanyekan penggunaan bahasa Indonesia dengan baik dan benar. Semisal, banyak orang menggunakan kata handal, itu salah, yang benar adalah andal. Atau orang sering sembrono menulis kata merubah, padahal yang benar adalah mengubah. Masih banyak lagi kosakata yang sering dituliskan secara salah.
Saya tidak pernah mengikuti kursus mengetik sepuluh jari. Saya hanya mempelajari itu secara otodidak. Saya belum pernah mengukur berapa kata yang diketik dalam satu menit. Tetapi saya merasa bahwa saya cukup cepat kalau mengetik, bahkan saat menulis, saya tidak pernah melihat keyboard. Kadang, saya hanya gemas saja kalau melihat orang mengetik dengan dua jari. Tangannya kethuwal-kethuwil (saya tak tahu terjemahan bahasa Indonesia-nya) bikin mata saya sepet.
Beberapa bidang yang menjadi minat saya untuk menyunting dan merintis artikel baru antara lain tokoh politik, tokoh seni, sastrawan, buku-buku sastra, budayawan, penemu, komunitas seni, dan situs sejarah.
Artikel rintisan saya memang tidak terlalu banyak. Tapi setiap saya menulis artikel baru, saya harus memastikan kesiapan data dan referensi. Sehingga ketika artikel itu muncul sebagai konten baru, pembaca sudah disuguhi, minimal data primer, yang diperkuat dengan rujukan-rujukan terpercaya. Saya paling tidak tega membaca artikel rintisan yang tak kunjung diselesaikan.