Keperawanan abadi Maria
Artikel ini perlu diterjemahkan dari bahasa Inggris ke bahasa Indonesia. |
Keperawanan abadi Maria (bahasa Inggris: perpetual virginity of Mary), atau Maria tetap perawan selamanya, menegaskan keperawanan Maria yang nyata dan kekal bahkan dalam peristiwa melahirkan Yesus Sang Putra Allah yang menjadi manusia (inkarnasi). Menurut doktrin ini, Maria selalu atau tetap perawan (Bahasa Yunani: ἀειπάρθενος, aeiparthenos) sepanjang hidupnya, menjadikan Yesus sebagai satu-satunya putra biologisnya, dimana pembuahan dan kelahiran-Nya dianggap sebagai hal yang ajaib.[2][3]
Di abad ke-4 doktrin ini didukung secara luas oleh para Bapa Gereja, dan pada abad ke-7 ditegaskan dalam sejumlah konsili ekumenis.[4][5][6] Doktrin ini merupakan bagian dari ajaran Gereja Katolik dan Anglikan Katolik, serta Gereja Ortodoks Timur dan Gereja Ortodoks Oriental, sebagaimana terungkap dalam liturgi mereka yang berulang kali menyebut Maria sebagai "yang selalu perawan".[7][8][9] Gereja Asiria dari Timur, yang mana berasal dari Gereja dari Timur, juga menerima keperawanan abadi Maria dengan memberinya gelar "Tetap Perawan" (Ever Virgin), setelah gelar "Surga Kedua" (Second Heaven).[10][11][12]
Beberapa reformis Protestan awal seperti Martin Luther mendukung doktrin keperawanan abadi Maria, dan tokoh pendiri Anglikanisme seperti Hugh Latimer dan Thomas Cranmer turut mengikuti tradisi yang mereka warisi dengan menerima Maria sebagai "yang selalu perawan";[13] namun kebanyakan dari Calvinisme meninggalkannya.[14][1] Sampai saat ini banyak teolog Protestan, terutama dari Anglikan dan Lutheran, tetap mempertahankan doktrin keperawanan abadi Maria.[15][7][16][17] Selain itu John Wesley, pendiri Gereja Metodis, juga menegaskan keperawanan abadi Maria.[18]
Doktrin dan representasi
Doktrin keperawanan abadi Maria, yang mana merupakan de fide (dipegang oleh umat Katolik sebagai suatu bagian penting dari iman), menyatakan bahwa Maria adalah seorang perawan sebelum, saat dan setelah melahirkan sepanjang hidupnya. Oleh karena itu dalam doktrin ini juga termasuk doktrin kelahiran Yesus dari perawan.[2][3][19] Selain itu doktrin keperawanan abadi ini berbeda dengan dogma Dikandung Tanpa Noda (Imakulata) yang mengaitkan pembuahan atau dikandungnya Perawan Maria sendiri yang tanpa noda dosa asal.[20]
Bukti penggunaan istilah Yunani Aeiparthenos (Tetap Perawan Selamanya) tercatat pada awal abad ke-4, dituliskan oleh Santo Epifanius dari Salamis,[21] dan digunakan secara luas dalam liturgi Gereja Ortodoks Timur.[22] Doa liturgi Ortodoks Timur biasanya diakhiri dengan kata-kata "Dengan mengenang ibu kita yang tersuci, murni, terberkati, dan mulia, (†) Sang Theotokos, dan yang selalu perawan Maria".[23] Katekismus Gereja Katolik (KGK) § 499 juga menggunakan istilah Aeiparthenos dan merujuk pada konstitusi dogmatis Lumen Gentium (butir 57) yang menyatakan: "Kelahiran Kristus tidak mengurangi keutuhan keperawanan ibu-Nya melainkan menyucikannya."[19][24] Doktrin keperawanan abadi ini juga tetap dipertahankan sebagian, tidak semua, gereja-gereja Anglikan dan Lutheran.[7]
Keperawanan Maria saat mengandung Yesus adalah satu topik utama dalam seni rupa Maria dalam Gereja Katolik, yang biasanya direpresentasikan dengan kabar dari Malaikat Agung Gabriel kepada Maria bahwa ia akan mengandung — dalam keperawanannya — seorang anak yang terlahir sebagai Anak Allah. Fresko (lukisan dinding) yang menggambarkan peristiwa ini nampak dalam banyak gereja (gedung) Katolik Roma selama berabad-abad.[25] Fresko tertua mengenai kabar gembira tersebut diketahui berupa lukisan abad ke-4 dalam Katakombe Priscilla di Roma.[26]
Keperawanan Maria setelah melahirkan Yesus juga secara berkala direpresentasikan dalam seni Kekristenan Ortodoks Timur dan Ortodoks Oriental (seperti dalam seni religius Barat awal) dengan memasukkan sosok Salome dalam peristiwa kelahiran Yesus, yang mana Injil Yakobus (apokrif) menyajikannya sebagai bukti bahwa Maria tetap perawan bahkan setelah melahirkan Yesus.[27][28] Dalam banyak ikonografi, keperawanan abadi Maria ditandai dengan 3 bintang di sisi kiri, kanan, dan di atasnya (atau di kepalanya) yang mana merupakan representasi keperawanannya sebelum, saat, dan sesudah melahirkan.[29][30]
Tradisi umum mengenai keperawanan abadi Maria merupakan salah satu unsur teologi yang kuat tentang Theotokos baik dalam tradisi Timur maupun Barat, dan menjadi sebuah bidang penelitian yang dikenal dengan nama Mariologi.
Perkembangan doktrin
Gereja perdana
Pada abad ke-2, ada pengembangan minat dalam Gereja perdana terkait bagaimana Yesus dikandung dan keperawanan Maria. Mayoritas penulis Kekristenan awal menerima bahwa Yesus dikandung oleh perawan dengan mengandalkan yang tertulis pada Injil Lukas dan Matius; fokus dari pembahasan-pembahasan masa awal ini adalah keperawanan sebelum kelahiran Yesus, bukan saat kelahiran atau setelahnya.[31][32]
Penafsiran atas teks Matius 1:25 bahwa "tidak bersetubuh dengan dia sampai ia melahirkan anaknya laki-laki" dan atas berbagai teks Perjanjian Baru yang menyebutkan saudara-saudara Yesus dibahas di bagian bawah, dalam sub-judul "Teks Kitab Suci". Saudara-saudara Yesus yang disebutkan dalam Injil, "Yakobus, saudara Tuhan Yesus" (menurut Galatia 1:19), "saudara Yesus yang disebut Kristus, yang bernama Yakobus" (menurut Flavius Yosefus),[33] ditafsirkan oleh banyak naskah bukanlah sebagai anak-anak Maria. Penggunaan kata "saudara" dalam Alkitab tidak hanya merujuk pada saudara biologis (kandung) tetapi juga pada kerabat keluarga atau sanak saudara tidak sekandung (Kejadian 14:14, Kejadian 29:15), teman dekat (2 Samuel 1:26, 1 Raja-raja 9:13), atau bahkan sekutu (Amos 1:9).
Sebuah dokumen dari abad ke-2 yang memberi perhatian khusus pada keperawanan Maria awalnya dikenal sebagai "Kelahiran Maria", namun kemudian dikenal dengan "Protoevangelium Yakobus" (dari sumbernya: Injil apokrif Yakobus).[3][34] Dokumen tersebut menceritakan mengenai keperawanan Maria sebelum ia melahirkan, keajaiban dalam bagaimana ia melahirkan, dan keperawanan fisik bahkan setelah melahirkan.[35][34][36] Selain itu dokumen yang sama juga mengklaim bahwa saudara-saudara Yesus, dalam Matius 13:56 dan Markus 6:3, adalah anak-anak Yusuf dari perkawinan sebelumnya (sebelum dengan Maria).[37] Tetapi teks ini tidak menyatakan secara eksplisit perihal keperawanan abadi Maria setelah kelahiran Yesus.
Belum ada konsensus sepenuhnya mengenai doktrin keperawanan abadi dalam Gereja awal mula hingga akhir abad ke-2; Tertulian (ca160 - ca225) tidak mengajarkan doktrin tersebut (walau ia mengajarkan perihal kelahiran dari perawan),[butuh klarifikasi] tetapi Ireneus (ca130 - ca202) — yang dipandang sebagai seorang santo dan Bapa Gereja — mengajarkan tentang keperawanan abadi dan juga tema-tema lainnya terkait Maria.[32] Origen (185-254) bersikap tegas dalam masalah mengenai saudara-saudara Yesus ini, dan ia menyatakan keyakinannya bahwa saudara-saudara Yesus tersebut merupakan anak-anak Yusuf dari suatu perkawinan sebelumnya.[38] Akan tetapi dukungan yang lebih luas terhadap doktrin tersebut mulai terlibat dalam abad berikutnya.[32]
Beberapa penulis dari abad ke-4, Helvidius (Helvetius) dan Eunomius dari Cyzicus (salah seorang pemimpin Arianisme), menafsirkan pernyataan Matius dengan arti bahwa Yusuf dan Maria melakukan hubungan suami istri yang normal setelah kelahiran Yesus, dan bahwa Yakobus, Yoses, Yudas, dan Simon merupakan anak kandung Maria dan Yusuf, adalah suatu pandangan yang dipegang oleh Helvidius dan Eunomius.[39] Helvidius, mengikuti opini Tertulian, menentang doktrin keperawanan abadi Maria, dimana Hieronimus membalasnya dalam Ecclesiae hominem dengan mengatakan bahwa Tertulian bukanlah milik Gereja.[40] Sementara Basilius dari Kaisarea menyangkal pandangan Eunomius karena Basilius melihat teks Matius 1:25 sebagai bukti yang mendukung, bukan menentang, keperawanan abadi Maria.[39]
Pada abad ke-4, doktrin keperawanan abadi telah ditegasan dengan baik.[34] Sebagai contoh, ditemukan rujukan dalam tulisan abad ke-3 dari Hippolitus dari Roma yang menyebut Maria sebagai "sang tabernakel yang dibebaskan dari kecemaran dan kerusakan";[41] dan tulisan abad ke-4 dari Athanasius,[42] Epifanius,[43] Hilarius,[44] Didimus,[45] Ambrosius,[46] Hieronimus,[47] and Sirisius[48] melanjutkan pengesahan doktrin keperawanan abadi —sebuah kecenderungan yang melaju cepat pada abad berikutnya.[4][5]
Bapa Gereja dan abad pertengahan
Yohanes Krisostomus (347-407) membela keperawanan abadi Maria dengan sejumlah alasan, salah satunya adalah kata-kata Yesus kepada ibunya di Kalvari: "Ibu, inilah, anakmu!" dan kepada murid-murid-Nya: "Inilah ibumu!" (Yohanes 19:26-27).[49][50] Sejak abad ke-2, kedua perkataan Yesus dari salib tersebut telah menjadi dasar penalaran bahwa Maria tidak memiliki anak lain dan "sejak saat itu murid itu menerima dia di dalam rumahnya" (Yohanes 19:27) karena setelah kematian Yusuf dan Yesus tidak ada orang lain yang merawat Maria, sehingga Maria harus dipercayakan kepada murid tersebut (Yohanes).[51][52]
Pada masa Gregorius dari Nyssa dan Agustinus dari Hippo, seiring meningkatnya penekanan pada kesalehan Maria, pandangan atas peranan Maria yang lebih luas mulai timbul dalam konteks sejarah keselamatan.[6] Agustinus sendiri menyajikan sejumlah pendapat yang mendukung doktrin keperawanan abdi.[53][54] Di akhir abad ke-4, teks Lukas 1:34 ("Bagaimana hal itu mungkin terjadi, karena aku belum bersuami?") mulai dibaca sebagai satu hal yang menunjukkan "sumpah keperawanan abadi" dari pihak Maria.[6]
Konsep mengenai sumpah (kaul) keperawanan telah ditampilkan dalam Protoevangelium (4:1) yang mana menyatakan bahwa ibu Maria, Anna, mempersembahkan Maria sebagai "perawan dari Allah" di Bait Allah, dan bahwa Yusuf, seorang duda, berperan sebagai penjaga Maria (pada saat itu perlindungan hukum bagi wanita tergantung pada pelindung laki-laki mereka: ayah, saudara, atau suami).[55] Pada awal abad ke-7 Isidorus dari Sevilla, dalam Short Book on the Perpetual Virginity of Blessed Mary, menghubungkan tema Mariologi dan Kristologi dengan mengaitkan keperawanan Maria pada keilahian Kristus.[56] Buku lainnya dari sekitar abad ke 6-7, "Sejarah dari Yosef sang Tukang Kayu", menuliskan tentang Yesus yang menyebut Maria, saat kematian Yosef (atau Yusuf), sebagai "ibu-Ku, perawan tanpa noda";[57] tulisan tersebut kemungkinan disusun dalam bahasa Yunani, namun yang bertahan sampai saat ini hanya terjemahan dalam bahasa Koptik dan Arab.[58] Konsili Lateran tahun 649, yang dihadiri Maximus Sang Pengaku Iman, kemudian secara eksplisit menegaskan ajaran keperawanan Maria sebelum, saat, dan setelah kelahiran Yesus.[32] Hal ini selanjutnya ditegaskan pada konsili ekumenis ke-6 (Konsili Konstantinopel Ketiga) pada tahun 680.[4]
Selama berabad-abad interpretasi atas Maria sebagai seorang mempelai Allah yang tetap perawan yang mengambil sumpah keperawanan selamanya telah menyebar luas dan menjadi sangat lazim dalam masa Rupertus dari Deutz pada abad ke-12.[6] Pada abad ke-13, Thomas Aquinas telah membentuk argumen teologis yang panjang dan rinci dalam membela doktrin tersebut dan menyatakan bahwa penolakan terhadap keperawanan abadi Maria adalah merendahkan kesempurnaan Kristus, penistaan terhadap Roh Kudus, dan penghinaan terhadap martabat Bunda Allah.[59][60]
Maria, Hawa Kedua
Pada abad ke-4, dalam pembahasan rencana keselamatan Allah, satu tema paralel mulai timbul di mana ketaatan Maria ("jadilah padaku menurut perkataanmu itu" sesuai Lukas 1:38) dan doktrin keperawanan abadi menempatkan kedudukan yang berlawanan dengan Adam dan Hawa, seperti juga ketaatan Yesus berlawanan dengan Adam (Roma 5:12-21).[6][32] Konsep mengenai Maria sebagai "Hawa Kedua" (atau disebut juga "Hawa Baru") pertama kali diperkenalkan oleh Yustinus Martir sekitar tahun 155.[61] Dalam sudut pandang ini, yang mana dibahas secara rinci oleh Ireneus, didukung oleh Hieronimus, dan kemudian berkembang lebih lanjut, kaul ketaatan dan keperawanan Maria memposisikannya sebagai "Hawa Kedua" sebagai bagian dari rencana keselamatan, sebagaimana juga Yesus diposisikan sebagai "Adam Kedua".[6][32]
Tema yang dikembangkan oleh para Bapa Gereja ini berjalan beriringan dengan tema yang dikembangkan oleh Rasul Paulus dalam Roma 5:19 di mana ia membandingkan dosa Adam dengan ketaatan Yesus pada kehendak Bapa: "Jadi sama seperti oleh ketidaktaatan satu orang semua orang telah menjadi orang berdosa, demikian pula oleh ketaatan satu orang semua orang menjadi orang benar."[62] Dengan cara yang sama, ketaatan Maria atas pernyataan dari malaikat (Gabriel), dan kesetiaannya pada sumpah keperawanan untuk selamanya dipandang sebagai obat atas kerusakan yang disebabkan oleh Hawa.[63]
Ajaran mengenai Hawa Kedua ini terus tumbuh di kalangan Katolik, dan dalam pembahasan keperawanan abadi, Katekismus Konsili Trente tahun 1566 mengajarkan secara eksplisit bahwa sementara Hawa dengan mempercayai ular membawa kutukan terhadap umat manusia, tetapi Maria dengan mempercayai malaikat membawa berkat bagi manusia.[41][64] Konsep Hawa Kedua disebut Paus (Katolik Roma) Pius XII dalam ensiklik Mystici Corporis Christi dan dibahas Paus Yohanes Paulus II dalam Audiensi Umum di Vatikan pada tahun 1980, dengan demikian dapat dikatakan bahwa konsep ini tetap menjadi bagian dalam ajaran Gereja Katolik hingga sekarang.[65][66]
Reformasi Protestan
Masa awal Reformasi Protestan pada permulaan abad ke-16 tidak dengan segera menimbulkan suatu penolakan akan doktrin keperawanan abadi dan beberapa pemimpin Reformasi tersebut menyediakan berbagai tingkatan dukungan akan doktrin itu, tanpa secara langsung mendukungnya.[67][68]
Para reformis awal Protestan merasa bahwa teks Alkitab secara eksplisit diperlukan untuk menerima hal-hal terkait kelahiran Yesus dari perawan, tetapi yang diterima hanyalah keperawanan abadi.[69] Seiring berjalannya waktu, beberapa gereja Protestan berhenti mengajarkan doktrin tersebut dan beberapa gereja Protestan lainnya bahkan menyangkalnya.[70][14] Namun banyak denominasi Protestan lain, seperti Lutheran dan Anglikan, tetap mempertahankan doktrin keperawanan abadi Maria hingga sekarang.[15]
Para reformator awal
Martin Luther mempercayai bahwa Maria tidak memiliki anak lain, selain Yesus, dan tidak melakukan hubungan suami istri dengan Yusuf. Naskah Latin dari Smalcald Articles, yang ditulis oleh Luther, menggunakan istilah "Tetap Perawan" (Ever Virgin) untuk merujuk Maria.[67] Keperawanan abadi Maria merupakan keyakinan Luther sepanjang hidupnya, walau ia menolak doktrin-doktrin lain mengenai Maria selain "Bunda Allah".[67][71][72][73]
Ulrich Zwingli mendukung keperawanan abadi dan menulis: "Saya sangat percaya bahwa [Maria], ... selamanya tetap seorang Perawan yang utuh, murni."[74] Para reformator dari Inggris juga mendukung konsep keperawanan abadi, tapi alasan mereka beragam atas dukungan tersebut.[68] Dukungan Luther dan Zwingli atas keperawanan abadi disahkan oleh Heinrich Bullinger dan dimasukkan dalam Helvetic Confessions.[75]
Pandangan Yohanes Calvin tidaklah sejelas Luther mengenai keperawanan abadi Maria,[68] dan ia mewaspadai apa yang ia anggap "spekulasi fasik" pada topik tersebut.[75] Dalam komentarnya atas Lukas 1:34, ia menolak dan menganggap "tidak berdasar dan sama sekali tidak masuk akal" gagasan bahwa Maria telah membuat sumpah keperawanan abadi, dengan mengatakan bahwa "Ia, dalam hal itu, tentu akan melakukan pengkhianatan dengan membiarkan dirinya dipersatukan dengan seorang suami, dan tentu akan mencurahkan penghinaan pada janji suci perkawinan; yang mana tidaklah mungkin dilakukan tanpa cemoohan Allah" dan menambahkan bahwa tidak ada bukti keberadaan sumpah tersebut pada masa itu.[76] Ia juga menolak pendapat yang mendasarkan pada teks Matius 1:25 (Helvidius menyimpulkan Maria memiliki anak lagi karena frasa firstborn son) bahwa Maria mempunyai anak yang lain.[77]
Para reformator Anglikan dari abad ke-16 dan 17, misalnya Hugh Latimer dan Thomas Cranmer,[13] mendukung keperawanan abadi "atas dasar otoritas Kekristenan jaman dulu".[67] Pada abad ke-18, John Wesley, salah satu pendiri Metodisme, juga mendukung doktrin keperawanan abadi maria dan menuliskan bahwa: "... lahir dari Perawan Maria yang terberkati, yang juga setelahnya seperti sebelum ia melahirkan-Nya, melanjutkan suatu keperawanan yang murni dan tak ternoda."[67][78][79]
Lihat pula
Referensi
- ^ a b (Inggris) Terrence J. McNally (2009), What Every Catholic Should Know about Mary, ISBN 1-4415-1051-6
- ^ a b (Inggris) Mark Miravalle (1993), Introduction to Mary, Queenship Publishing, hlm. 56-64, ISBN 978-1-882972-06-7
- ^ a b c (Inggris) Raymond Edward Brown, ed. (1978), Mary in the New Testament, hlm. 273, ISBN 0-8091-2168-9
- ^ a b c (Inggris) James Buckley, Frederick Christian Bauerschmidt, Trent Pomplun (2010), The Blackwell Companion to Catholicism, hlm. 315, ISBN 1-4443-3732-7
- ^ a b (Inggris) Geoffrey W. Bromiley (1995), The International Standard Bible Encyclopedia, hlm. 271, ISBN 0-8028-3785-9
- ^ a b c d e f (Inggris) Raymond Edward Brown, ed. (1978), Mary in the New Testament, hlm. 278-281, ISBN 0-8091-2168-9
- ^ a b c (Inggris) Merriam-Webster's encyclopedia of world religions, Merriam-Webster, Inc., 1999, hlm. 1134, ISBN 0-87779-044-2
- ^ (Inggris) "Paragraph 2. "Conceived by the Power of the Holy Spirit and Born of the Virgin Mary" §499", Catechism of the Catholic Church, Libreria Editrice Vaticana
- ^ (Inggris) Divine Liturgy of St John Chrysostom, Coptic Liturgy of St Basil, Liturgy of St Cyril, Liturgy of St James, Understanding the Orthodox Liturgy etc.
- ^ (Inggris) W.A. Wigram, M.A., D.D., An Introduction to the History of the Assyrian Church (PDF), Assyrian International News Agency (retrieved from www.peshitta.org), hlm. 88
- ^ (Inggris) William McLoughlin, Jill Pinnock (2002), Mary for Earth and Heaven, Gracewing Publishing, hlm. 326, ISBN 9780852445563
- ^ (Inggris) Bishop Mar Bawai Soro, "Mary in the Catholic-Assyrian Dialogue: An Assyrian Perspective", Centro Pro Unione N.54 - Fall 1998 (PDF), hlm. 8, ISSN 1122-0384
- ^ a b (Inggris) Timothy Bradshaw, Commentary and Study Guide on the Seattle Statement Mary: Hope and Grace in Christ of the Anglican – Roman Catholic International Commission (PDF)
- ^ a b (Inggris) Ted Campbell (1996), Christian confessions: a historical introduction, hlm. 47, ISBN 0-664-25650-3
- ^ a b (Inggris) Longenecker, Dwight; Gustafson, David (2003). Mary: A Catholic Evangelical Debate. Gracewing Publishing. hlm. 64. ISBN 9780852445822.
- ^ (Inggris) Richard R. Lorsch (2008), All the People in the Bible, Eerdmans, hlm. 283, ISBN 978-0-80282454-7
- ^ (Inggris) Jackson, Gregory Lee (1993), Catholic, Lutheran, Protestant: a doctrinal comparison, hlm. 254, ISBN 978-0-615-16635-3
- ^ (Inggris) Holden, Harrington William (1872). John Wesley in Company with High Churchmen. London: J. Hodges. hlm. 119.
- ^ a b (Inggris) "Paragraph 2. "Conceived by the Power of the Holy Spirit and Born of the Virgin Mary"", Catechism of the Catholic Church, § 499, Holy See
- ^ (Inggris) F. Donald Logan (2002), A history of the church in the Middle Ages, hlm. 150, ISBN 0-415-13289-4
- ^ (Inggris) Lucien Deiss, Madeleine Beaumont (1996), Joseph, Mary, Jesus, hlm. 30, ISBN 0-8146-2255-0
- ^ (Inggris) Leena Mari Peltomaa (2001), The image of the Virgin Mary in the Akathistos hymn, hlm. 127, ISBN 90-04-12088-2
- ^ (Inggris) Donald Fairbairn (2002), Eastern Orthodoxy through Western eyes, hlm. 100, ISBN 0-664-22497-0
- ^ Lumen gentium, item 57, November 21, 1964
- ^ (Inggris) Annunciation Art, Phaidon Press, 2004, ISBN 0-7148-4447-0
- ^ (Inggris) Eugene Laverdiere (2007), The Annunciation to Mary, hlm. 29, ISBN 1-56854-557-6
- ^ (Inggris) Helene E. Roberts (1998), Encyclopedia of Comparative Iconography, hlm. 904, ISBN 1-57958-009-2
- ^ (Inggris) Vrej Nersessian (2001), Treasures from the Ark: 1700 Years of Armenian Christian Art, hlm. 167, ISBN 0-7123-4699-6
- ^ (Inggris) Steven Bigham (1998), Heroes of the icon: people, places, events, hlm. 47, ISBN 1-879038-91-9
- ^ (Inggris) David Coomler (1995), The icon handbook, hlm. 203, ISBN 0-87243-210-6
- ^ (Inggris) Raymond Edward Brown, ed. (1978), "The Theme of Mary's Virginity", Mary in the New Testament, hlm. 267-277, ISBN 0-8091-2168-9
- ^ a b c d e f (Inggris) Karl Rahner (2004), Encyclopedia of theology: a concise Sacramentum mundi, hlm. 896-897, ISBN 0-86012-006-6
- ^ (Inggris) Josephus on James, Josephus, Antiquities Book 20: chapter 9, UNC Charlotte
- ^ a b c (Inggris) L. Gambero (1991), Mary and the Fathers of the Church, trans. T. Buffer, San Francisco: Ignatius
- ^ (Inggris) Protoevangelium of James, XIX-XX, M.R. James translation
- ^ Quasten, Patrology 1:120-1.
- ^ Protoevangelium chapters 7-8.
- ^ (Inggris) John Anthony McGuckin (2004), The Westminster handbook to Origen, hlm. 150, ISBN 0-664-22472-5
- ^ a b (Inggris) Mark DelCogliano (2012), Tradition and Polemic in Basil of Caesarea’s Homily on the Teophany, Vigiliae Christianae 66, Koninklijke Brill NV, Leiden (retrieved from academia.edu), hlm. 40-43
- ^ (Inggris) T. C. Lawler, Walter J. Burghardt, ed. (1951), Tertullian, Treatises on marriage and remarriage, hlm. 160
- ^ a b (Inggris) Francis J. Ripley (1973), This Is the Faith, hlm. 264, ISBN 0-85244-678-0
- ^ Athanasius, Orations against the Arians 2.70
- ^ Epiphanius of Salamis, The Man Well-Anchored 120, c.f. Medicine Chest Against All Heresies 78:6
- ^ Hilary of Poitiers, Commentary on Matthew §1:4
- ^ Didymus the Blind, The Trinity 3:4
- ^ Ambrose of Milan, Letters 63:111
- ^ Jerome, Against Helvetius, 21
- ^ Denziger §91
- ^ (Inggris) Tim S. Perry, William J. Abraham (2006), Mary for evangelicals: toward an understanding of the mother of our Lord, hlm. 153-154, ISBN 0-8308-2569-X
- ^ (Inggris) Joel C. Elowsky (2007), John 11-21, hlm. 318, ISBN 0-8308-1099-4
- ^ (Inggris) Burke, Raymond L.; et al. (2008), Mariology: A Guide for Priests, Deacons, Seminarians, and Consecrated Persons, hlm. 308-309, ISBN 978-1-57918-355-4
- ^ (Inggris) Mark Miravalle (1993), Introduction to Mary, Queenship Publishing, hlm. 62-63, ISBN 978-1-882972-06-7
- ^ (Inggris) John C. Cavadini (1999), Augustine through the ages: an encyclopedia, hlm. 544, ISBN 0-8028-3843-X
- ^ (Inggris) J. Kuasten, Saint Augustine (Bishop of Hippo) (1978), St. Augustine, Faith, Hope & Charity, hlm. 126, ISBN 0-8091-0045-2
- ^ Protoevangelium of James 4, 7, 8-9, 15
- ^ (Inggris) Giulio D'Onofrio, Basil Studer (2008), The History of Theology: Middle Ages, hlm. 38, ISBN 0-8146-5916-0
- ^ (Inggris) Louise Bourassa Perrotta (2000), Saint Joseph: His Life and His Role in the Church Today, hlm. 86, ISBN 0-87973-573-2
- ^ (Inggris) Bart D. Ehrman, Zlatko Pleše (2011), The Apocryphal Gospels: Texts and Translations, Oxford University Press, hlm. 158
- ^ (Inggris) Thomas Gerard Weinandy, John Yocum (2004), Aquinas on doctrine: a critical introduction, hlm. 95, ISBN 0-567-08411-6
- ^ (Inggris) Joseph Peter Wawrykow (2005), The Westminster handbook to Thomas Aquinas, hlm. 91, ISBN 0-664-22469-5
- ^ (Inggris) Terrence J. McNally (2009), What Every Catholic Should Know about Mary, hlm. 185, ISBN 1-4415-1051-6
- ^ (Inggris) Jean Daille (1995), An exposition of the epistle of Saint Paul to the Philippians, hlm. 194-195, ISBN 0-8028-2511-7
- ^ (Inggris) Beverly Roberts Gaventa, Cynthia L. Rigby (2002), Blessed one: Protestant perspectives on Mary, hlm. 64, ISBN 0-664-22438-5
- ^ (Inggris) The Catechism of the Council of Trent, Translated Into English by Theodore Alois Buckley, hlm. 45-46 (Article III, Chapter VI, Question IX), ISBN 1-112-53771-6
- ^ (Inggris) Pope Pius XII, Mystici corporis Christi, Holy See
- ^ (Inggris) Pope John Paul II, General Audience March 12, 1980, Holy See
- ^ a b c d e (Inggris) Ted Campbell (1996), Christian confessions: a historical introduction, hlm. 150, ISBN 0-664-25650-3
- ^ a b c (Inggris) Donald K. McKim, David F. Wright (1992), Encyclopedia of the Reformed faith, hlm. 237, ISBN 0-664-21882-2
- ^ (Inggris) Jaroslav Jan Pelikan (1985), Reformation of church and dogma (1300-1700), hlm. 339, ISBN 0-226-65377-3
- ^ (Inggris) Terrence J. McNally (2009), What Every Catholic Should Know about Mary, hlm. 170, ISBN 1-4415-1051-6
- ^ Luther's Works, 22:214-215
- ^ (Inggris) "Sermon on the Presentation of Christ in the Temple", Luthers Werke 52:688- 99, quoted in Jaroslav Pelikan, Mary through the Ages, 158, and Martin Luther's Theology of Mary
- ^ Luther's Works, 21:326, cf. 21:346.
- ^ (Jerman) Zwingli, Ulrich; Egli, Emil; Finsler, Georg; Zwingli-Verein, Georg; Zürich (1905). "Eini Predigt von der ewig reinen Magd Maria.". Huldreich Zwinglis sämtliche Werke. 1. C. A. Schwetschke und Sohn. hlm. 385.
- ^ a b (Inggris) Beverly Roberts Gaventa, Cynthia L. Rigby (2002), Blessed one: Protestant perspectives on Mary, hlm. 119, ISBN 0-664-22438-5
- ^ Calvin. "Commentary on Luke 1:34". Harmony of Matthew, Mark, and Luke vol. 1.
- ^ Harmony of Matthew, Mark & Luke, sec. 39 (Geneva, 1562), / From Calvin's Commentaries, tr. William Pringle, Grand Rapids, MI: Eerdmans, 1949 (vol. 2, p. 215; vol. I, p. 107)
- ^ (Inggris) John Wesley, Joseph Benson (1812), "A Letter to a Roman Catholic", The works of the Rev. John Wesley, Volume 15, London: Thomas Cordeux, hlm. 110
- ^ (Inggris) Letter to a Roman Catholic, July 18, 1749
Bibliografi
- Jurgens, William A. (1998). Faith of the Early Fathers,. Liturgical Press. vol.1 ISBN 0-8146-0432-3 vol 2 ISBN 0-8146-1007-2 vol 3 ISBN 0-8146-1021-8.
- Ott, Ludwig (1974). Fundamentals of Catholic Dogma. Tan Books. ISBN 0-89555-009-1.
- Quasten, Johannes (1983). Patrology. Thomas More Pr. ISBN 0-87061-084-8.
- Dubay, S.M., Thomas (1987). ...And You Are Christ's. ISBN 0-89870-161-9.
- Stravinskas, Peter M. J. (1998). Mary and the Fundamentalist Challenge. Our Sunday Visitor. ISBN 0-87973-611-9.
Pranala luar
- The Ever-Virginity of the Mother of God
- Ancient Church: Mary Ever Virgin
- Why is Mary Considered Ever-Virgin?
- Catholic Answers: Brethren of the Lord
- Catholic Encyclopedia: Virginity; the Roman Catholic doctrine
- Catholic Encyclopedia: Mary, the Blessed Virgin, section on Perpetual Virginity of Mary
- Thomas Aquinas, Summa Theologiae: III.28.2
- Mariology.com
- St. Jerome on the Perpetual Virginity of Mary
- Evidence from the Old Testament and Talmud for Celibacy
- Church Fathers and Perpetual Virgin
- A Defense of Marian Doctrines