Insiden ayat-ayat setan, atau dikenal dalam literatur Islam sebagai qissat al-gharaniq (Kisah Burung Bangau), adalah nama sebuah dugaan kejadian ketika Nabi Muhammad disebutkan telah keliru mengira ayat-ayat yang "dibisikkan setan" sebagai wahyu.[1]

Narasi yang melibatkan tuduhan atas terjadinya insiden ayat-ayat ini, dapat ditemukan dalam beberapa sumber, seperti Sirah nabawiyah yang ditulis oleh al-Wāqidī, Ibn Sa'd (juru tulis dari Waqidi) dan Ibn Ishaq (yang direkonstruksi oleh Alfred Guillaume),[2] demikian juga dari tafsir oleh al-Tabarī. Kebanyakan cendekiawan Muslim menolak keabsahan sejarah dari insiden ini, berdasarkan argumen bahwa kisah ini memikili isnad (rantai penyampaian) yang lemah, serta berpegang pada doktrin isma dalam teologi Islam; yaitu Ketidakbersalahan Nabi; perlindungan Illahiah bahwa Allah melindungi Nabi Muhammad dari melakukan segala perbuatan salah.[1]

Istilah 'ayat-ayat setan' pertama kali disebutkan dan dipopulerkan oleh Sir William Muir (1858).[3]

Ikhtisar kisah

Ada beberapa sumber melaporkan peristiwa yang berbeda dalam pembentukan dan perincian riwayat.[4] Semua versi yang berlainan dapat ditelusuri merujuk kepada seorang periwayat, Muhammad bin Kaab, yang terpisah dua generasi dari perawi riwayat nabi, Ibn Ishaq. Intinya, cerita melaporkan bahawa Nabi Muhammad sangat ingin mengajak kaumnya dan tetangga-tetangga warga Mekkah agar memeluk Islam. Ketika dia menyebut Surah An-Najm[5], yang diwahyukan oleh malaikat Jibril, Setan mengambil kesempatan untuk membisikkan ayat berikut setelah ayat 19 dan 20:

Pernahkah kamu memikirkan Al-Lat, Al-‘Uzzá,
dan Manāt, yang ketiga, yang lain?
Ini adalah gharāniq yang dimuliakan, dan perantaraannya diharapkan.

Allāt, Al-'Uzzā dan Manāt adalah tiga dewi pagan yang disembah oleh penduduk Mekkah pada permulaan penyebaran Islam di Jazirah Arab. Menafsirkan makna "gharāniq" adalah sukar, karena kata ini bagaikan hapax legomenon. Penulis menduga bahawa kata ini bermakna burung bangau. Istilah dalam bahasa Arab ini memang pada umumnya bermakna seekor "bangau" - muncul dalam bentuk tunggal seperti ghirnīq, ghurnūq, ghirnawq dan ghurnayq, dan mempunyai bentuk kerabat kata lain untuk menyebut berbagai jenis burung, termasuk "gagak" dan "elang".[6]

Makna yang tersirat dari peristiwa ini adalah; Nabi Muhammad berpaling dari monoteisme sejati, dan berkompromi dengan pemujaan selain Allah, selain itu mengatakan bahawa dewi-dewi ini adalah benar dan pengantaraannya mereka adalah efektif. Penduduk Mekah bersuka cita mendengar ini dan turut sujud bersama Nabi Muhammad di ujung surah. Penghijrah Muslim yang telah melarikan diri ke Abesinia yang mendengar berakhirnya penindasan, mulai kembali ke Mekkah. Tradisi Islam menyebutkan bahwa malaikat Jibril menghardik Nabi Muhammad oleh karena mengelirukan wahyu. 22:52

Tidak pernah Kami mengirim seorang utusan atau nabi sebelum kami tetapi apabila Dia membaca (wahyu) yang dibisikkan Setan (pembangkang) dalam seperti mana yang dia membaca yang disebutkan. Tetapi Allah mematahkan apa yang setan bisikkan. Kemudian Allah meneguhkan wahyu-Nya. Allah adalah yang Maha Mengetahui, lagi Maha Bijaksana.

Nabi Muhammad menarik kembali kata-katanya dan penindasan oleh penduduk Quraisy Mekkah kembali berlanjut. Ayat [Qur'an 53:21] telah diberikan, di mana dewi-dewi ini telah direndahkan. Ayat tersebut, dari 53:19, berbunyi:

Pernahkah kamu menganggapkan Al-Lat dan Al-'Uzza


serta Manat, yang ketiga, yang lain?
Adakah yang milik kamu lelaki dan milik-Nya perempuan?
Itu sudah tentu adalah pembagian yang tidak adil!


Mereka hanyalah nama-nama yang telah kamu dan bapak-bapak kamu berikan, yang mana tidak diizinkan Allah (melalui firman-Nya). Mereka hanya mengikuti dugaan yang (mereka) inginkan sendiri. Dan kini kebenaran dari Tuhan telah tiba kepada mereka.

Lihat juga

Catatan

  1. ^ a b Ahmed, Shahab (1998). "Ibn Taymiyyah and the Satanic Verses". Studia Islamica. Maisonneuve & Larose. 87: 67–124. 
  2. ^ Ibn Ishaq, Muhammad (1955). Ibn Ishaq's Sirat Rasul Allah - The Life of Muhammad Translated by A. Guillaume. Oxford: Oxford University Press. hlm. 165. ISBN 9780196360331. 
  3. ^ John L. Esposito (2003). The Oxford dictionary of Islam. Oxford University Press. hlm. 563. ISBN 978-0-19-512558-0. 
  4. ^ Ahmed, Shahab (2008), "Satanic Verses", dalam Dammen McAuliffe, Jane, Encyclopaedia of the Qurʾān, Georgetown University, Washington DC: Brill (dipublikasikan tanggal 14 August 2008) 
  5. ^ (Q.53)
  6. ^ Militarev, Alexander; Kogan, Leonid (2005), Semitic Etymological Dictionary 2: Animal Names, Alter Orient und Altes Testament, 278/2, Münster: Ugarit-Verlag, hlm. 131–132, ISBN 3-934628-57-5 

Rujukan

  • Fazlur Rahman (1994), Major Themes in the Qur'an, Biblioteca Islamica, ISBN 0-88297-051-8 
  • John Burton (1970), "Those Are the High-Flying Cranes", Journal of Semitic Studies, 15: 246–264, doi:10.1093/jss/15.2.246. 
  • Uri Rubin (1995), The Eye of the Beholder: The Life of Muhammad as Viewed by the Early Muslims: A Textual Analysis, The Darwin Press, Inc., ISBN 0-87850-110-X 
  • G. R. Hawting (1999), The Idea of Idolatry and the Emergence of Islam: From Polemic to History, Cambridge University Press, ISBN 0-521-65165-4 
  • Nāsir al-Dīn al-Albānī (1952), Nasb al-majānīq li-nasfi qissat al-gharānīq (The Erection of Catapults for the Destruction of the Story of the Gharānīq) 

Pranala luar

Pengulas