Salim bin Djindan
Al Habib Salim bin Djindan adalah seorang ulama yang dilahirkan di Surabaya pada 7 September 1906 M[Kalender Hijriyah: 18 Rajab 1324][1]. Nama lengkapnya adalah Habib Salim bin Ahmad bin Husain bin Saleh bin Abdullah bin Umar bin Abdullah bin Djindan. Salim bin Djindan wafat di Jakarta pada 1 Juni 1969 [Kalender Hijriyah: 16 Rabiul Awal 1389][1] .
Al Habib Salim bin Djindan | |
---|---|
Berkas:Habibsalimbindjindan.jpg | |
Lahir | 7 September 1906[1] Kota Surabaya, Karesidenan Surabaya, Hindia-Belanda |
Meninggal | 1 Juni 1969 Jakarta | (umur 62)
Kebangsaan | Indonesia |
Pekerjaan | Ulama, guru, Da'i, Pejuang |
Orang tua | Salim bin Ahmad (ayah) |
Menuntut Ilmu[1]
Menginjak usia remaja, ia berguru kepada Habib Abdul Qadir bin Ahmad Bilfaqih, seorang pakar hadis dan ahli fiqih yang saat itu memimpin Madrasah Al-Khairiyah di Surabaya.
Sebagai pemuda yang haus akan ilmu, Salim bin Djindan berguru pada berbagai ulama dan aulia yang tinggal di Surabaya. Di antaranya Habib Abdullah bin Muhsin Alatas yang makamnya terdapat di Empang, Bogor, dan sampai kini diziarahi banyak orang dari Jabodetabek.
Salah satu gurunya yang tersohor adalah Habib Muhammad bin Muhammad Almachdor (Bondowoso), Habib Abubakar bin Muhammad Assegaf seorang ulama dari Gresik yang dikenal luas di Tanah Air. Tiap tahun, ribuan orang, termasuk dari Jakarta, mendatangi Kota Gresik untuk menghadiri haulnya. Dia juga berguru dengan KH Kholil bin Abdul Muthalib dari Bangkalan Madura.
Setelah menimba ilmu dan mendapat sanad serta ijazah dari beberapa ulama, Habib Salim akhirnya memiliki keahlian dan alim dalam berbagai bidang: hadis dan sejarah, termasuk sanad hadis. Kepakarannya dalam bidang hadis menempatkannya sebagai seorang muhaddis (ahli hadis) dan musnid (menguasai ilmu sanad hadis).
Dalam menguraikan suatu hadis, Habib Salim sangat fasih dan hafal sumber-sumbernya sampai kepada Nabi Muhammad SAW. Inilah yang membuat orang kagum terhadap daya ingatnya yang demikian cemerlang.
Sebagai seorang yang hormat kepada guru-gurunya yang selama bertahun-tahun dia tekuni, dia pun memberikan penghargaan yang tinggi pada mereka.
Habib Salim pernah berkata, âAku telah berkumpul dan hadir di majelis mereka. Sungguh dapat aku rasakan bahwa majelis mereka merupakan majelis para sahabat Rasulullah SAW di mana terdapat kekhusyukan, ketenangan, dan kharisma yang terpencar di hati mereka.â
Kendati sudah terkenal sebagai dai muda (17 tahun) sewaktu di Surabaya, namanya makin berkibar saat hijrah ke Jakarta. Dalam masa remaja itu, dia juga berdakwah di kota-kota lain, seperti Pekalongan, Tegal, hinggaBogor, di samping membuka majelis taklim di kediamannya di Bidaracina (kini Jalan Otista), Jakarta Timur.
Triumvirat
Bersama dengan Habib Ali Al Habsyi (Habib Ali Kwitang) dan Al-Habib Ali bin Husein Al-Attas(Habib Ali Bungur/Habib Ali Cikini), mereka dikenal sebagai tiga serangkai (triumvirat) dalam berdakwah, kalau Habib Ali bin Husin Alatas lebih banyak diam dan Habib Ali Kwitang mengajak masyarakat saling mencintai; Habib Salim Bin Djindan dengan suara yang menggebu-gebu kadang mengkritik kebijakan pemerintah yang dianggapnya berlawanan dengan ajaran Islam[1].
Hampir semua Habaib dan ulama di Jakarta berguru kepada mereka, terutama kepada Habib Salim bin Djindan yang memiliki koleksi sekitar 15.000 kitab, termasuk kitab yang langka. Sementara Habib Salim sendiri menulis sekitar 100 kitab, antara lain tentang hadits dan tarikh, termasuk yang belum dicetak.
Tegas
Habib Salim terkenal sebagai ulama yang tegas dan keras, terutama dalam hal-hal kemaksiatan, Ia juga sering kali mengingatkan umat akan kerusakan moral. Kepada kaum wanita, Habib mengingatkan mereka agar memerhatikan cara berpakaian dan menutup aurat[1].
Tentang Autobiografi [1]
Saat masih hidup, pernah seseorang ingin menuliskan autobiografinya guna dipublikasikan. Namun, dengan tegas, Habib Salim menolaknya.
”Apa yang kalian lakukan? Menulis autobiografi saya, nantinya akan membuat anak cucu saya fakhr (berbangga diri-Red),” ujarnya.
Kemudian, Habib Salim meminta baik-baik naskah autobiografi itu dan merobek-robeknya, tanpa peduli si penulis yang menyatakan bahwa orang seperti dia perlu menerbitkan autobiografi agar diketahui masyarakat banyak.
Kolonel Sabur [1]
Ibnu Umar Junior dalam risalah Fenomena Kramat Jati menulis, ”Gara-gara keberaniannya, Kolonel Sabur (salah satu ajudan Bung Karno) sampai berang setengah mati kepada Habib Salim ketika dia melancarkan kritik-kritik terhadap pemerintah di sebuah acara di Palembang tahun 1957 yang dihadiri Presiden Soekarno.”
“Kolonel Sabur menyuruh Habib Salim turun dari mimbar. Di kesempatan itu, ia berkata kepada para hadirin, ‘Suara rakyat adalah suara Tuhan. Apakah saya harus terus ceramah atau tidak?’ Serempak para hadirin menjawab, ‘Teruuus!’.”
Meninggal Dunia [1]
Pada 1 Juni 1969 M [Kalender Hijriyah: 16 Rabiul Awal 1389], singa podium itu wafat[1]. Ribuan umat Islam dari berbagai pelosok Jabodetabek bertakziah ke kediamannya di Otista (Jalan Otto Iskandardinata), umat Islam pun merasa kehilangan dengan kepergian sang ulama.
Dari kediamannya di Otista ke Qubah Pekaburan Al-Hawi, Condet, Cililitan, Jakarta Timur, jenazah digotong secara geranting. Di sepanjang jalan sekitar 4 kilometer, mereka membaca takbir dan tahlil. Peziarah yang memadati Jalan Condet Raya itu tidak dapat memasuki tempat pemakaman akibat penuhnya massa.
Selepas kepergiannya, Habib Salim mewariskan majelis taklim dan ilmu pengetahuan melalui buku-buku yang tersimpan di dalam perpustakaannya. Di perpustakaan ini, tak kurang darilimaribu kitab, termasuk kitab-kitab dari mancanegara. Ini menunjukkan bahwa Habib Salim bin Djindan adalah seseorang yang haus akan ilmu.
Sepeninggal Habib Salim, dakwah dan perjuangannya dilanjutkan oleh kedua putranya, Habib Shahahuddin dan Habib Novel. Keduanya kini telah wafat. Habib Novel membuka majelis taklim di Larangan, Tangerang, dan kini diteruskan oleh kedua putranya Habib Jindan bin Novel bin Salim bin Jindan dan adiknya Habib Ahmad bin Novel bin Salim bin Jindan.
Kedua kakak beradik alumnus Darul Mustafa, Tarim, Hadramaut, ini merupakan lulusan pertama dari pesantren yang dipimpin oleh Habib Umar bin Hafidz bin Syekh Abu Bakar.
Catatan kaki
Daftar pustaka
- Website
- (Indonesia) Rabithah Alawiyah (12 November 2012). "Habib Salim bin Djindan, guru para Habaib". Rabithah Alawiyah. Diakses tanggal 8 Februari 2014. Hapus pranala luar di parameter
|work=
(bantuan) - (Indonesia) Republika Online (29 Juni 2012). "Hujjatul Islam: Habib Salim Bin Djindan, Guru para Habaib (1)". Republika Online. Diakses tanggal 8 Februari 2014. Hapus pranala luar di parameter
|work=
(bantuan) - (Indonesia) Republika Online (29 Juni 2012). "Hujjatul Islam: Habib Salim Bin Djindan, Guru para Habaib (2)". Republika Online. Diakses tanggal 8 Februari 2014. Hapus pranala luar di parameter
|work=
(bantuan) - (Indonesia) Republika Online (30 Juni 2012). "Hujjatul Islam: Habib Salim Bin Djindan, Guru para Habaib (3)". Republika Online. Diakses tanggal 8 Februari 2014. Hapus pranala luar di parameter
|work=
(bantuan) - (Indonesia) Republika Online (30 Juni 2012). "Hujjatul Islam: Habib Salim Bin Djindan, Guru para Habaib (4)". Republika Online. Diakses tanggal 8 Februari 2014. Hapus pranala luar di parameter
|work=
(bantuan)
Lihat Pula
- Al-Habib Ali bin Abdurrahman Al-Habsyi(Habib Ali Kwitang)
- Al-Habib Ali bin Husein Al-Attas
Pranala Luar =