Anak Agung Gde Rai
Artikel ini perlu diwikifikasi agar memenuhi standar kualitas Wikipedia. Anda dapat memberikan bantuan berupa penambahan pranala dalam, atau dengan merapikan tata letak dari artikel ini.
Untuk keterangan lebih lanjut, klik [tampil] di bagian kanan.
|
Anak Agung Gde Rai atau biasa dipanggil Agung Rai saja (lahir di Desa Peliatan, Ubud, Bali, 17 Juli 1955; umur 61 tahun) adalah tokoh seni yang berjasa besar melestarikan dan mempopulerkan karya-karya seni Indonesia (khususnya Bali)[1]. Dia adalah pendiri dan pemilik museum ARMA. Kecintaannya pada dunia seni (khususnya seni lukis) membuat pria yang pernah berprofesi sebagai acung (pedagang asogan) ini memburu karya-karya seni Indonesia hingga ke manca negara[2]. Di samping kesibukannya mengurus galeri, museum dan kegiatan-kegiatan seni, Agung Rai juga mengelola resort yang bernuansa budaya lokal dan kehidupan alami pedesaan ubud (dengan latar persawahan)[3].
Kehidupan Awal Kecintaan Agung Rai pada seni telah tertanam sejak kecil. Seperti anak-anak lain di kampungnya, dia juga bercita-cita menjadi pelukis terkenal. Kampung halamannya memang terkenal sebagai penghasil seniman (terutama pelukis dan pemahat). Namun Agung Rai segera menyadari bahwa dia tidak memiliki bakat yang memadai untuk menjadi seorang pelukis terkenal. Di samping itu, keadaan keluarga juga membuatnya mesti berpikir mencari kegiatan yang dapat menghasilkan uang untuk menopang ekonomi keluarga. Setamat SMPN Ubud, Agung Rai mencoba peruntungan sebagai acung lukisan karena keluarganya tak mampu membiayai pendidikannya ke jenjang lebih tinggi. Dia menawarkan lukisan kepada para bule yang mulai menyesaki pantai kuta dan daerah lain di Bali. Kesempatan itu juga dia gunakan untuk memperbaiki kemampuan berbahasa inggris. Agung Rai menyadari ternyata bakat dan insting seninya dapat tersalurkan dengan baik sebagai pedagang lukisan. Dia cukup sukses berkat kemampuannya memilih lukisan yang akan diminati orang banyak. Dari komisi yang dia dapat (hasil jualan lukisan orang lain), perekonomian Agung Rai dan keluarga mulai membaik. Dengan tekun dia menggeluti usahanya, berusaha membuka usaha sendiri dan akhirnya punya cukup modal untuk mengoleksi lukisan-lukisan terkenal. Berberapa lukisan Indonesia bahkan dia dapatkan dari luar negeri.
Kisah Museum ARMA
Kiprah Agung Rai sebagai pedagang dan kolektor seni mulai mendapat pengakuan sejumlah tokoh seni penting. Diapun sering diikutsertakan dalam berbagai kegiatan seni di dalam dan luar negeri. Pengalaman itu juga dia gunakan untuk mempelajari cara pengelolaan kegiatan kesenian, museum dan galeri di luar negeri. Dari pengalaman itu juga muncul ide dan cita-citanya mendirikan museum yang dapat berguna bagi banyak orang untuk menikmati karya seni sekaligus sebagai pusat pengembangan bakat-bakat seni masyarakat. Berkat kegigihan dan kerja kerasnya, pelan-pelan cita-cita itu dia wujudkan dengan mendirikan ARMA (Agung Rai Museum of Art) di UBUD. Museum tersebut diresmikan pada tahun 1996. Koleksi lukisan di ARMA, meliputi karya dari berbagai aliran, yang beberapa di antaranya merupakan karya 'masterpiece'. Seperti karya Raden Saleh, Walter Spies, Basuki Abdullah, Rudolf Bonnet, dan lainnya. Karya-karya inilah yang menjadi 'trade mark' Museum ARMA dan selalu dicari setiap ada pengunjung datang[4]. Sesuai dengan cita-citanya, Museum ARMA tidak hanya berfungsi sebagai pusat dokumentasi dan koleksi benda-benda seni tetapi juga tempat belajar dan berkarya yang terbuka bagi umum. Dia menyebutnya living museum karna telah befungsi memberdayakan masyarakat sekitar dan menumbuhkan tunas-tunas seniman generasi muda. Museum ini kini menjadi salah satu destinasi wisata terkenal di Bali sekaligus juga sebagai pusat kesenian yang telah mengorganisasikan banyak kegiatan seni seperti pentas dan pameran di dalam dan luar negeri.
Falsafaf Hidup Setelah melewati jalan panjang penuh perjuangan dan kini menjadi tokoh penting di bidang seni dan menjadi seorang entrepeneur sukses, Agung Rai tetap tampil sebagai pribadi sederhana dan bersahaja. Sering kali pengunjung ARMA menyangka di adalah karyawan biasa karena dengan senyum khas dan keramahannya dia sering ikut menjadi pemandu bagi pengunjung museum. Mereka terkejut setelah tahu bahwa pria itu adalah pendiri sekaligus pemilih museum yang sedang mereka kunjungi.Sikap hidup seperti itu hanya bisa dijalani karena ada keyakinan, pandangan hidup, dan falsafah yang diimani dengan kuat serta dipraktekkan dalam hidup. Bagi Agung Rai, pengabdiannya di bidang seni adalah bagian dari Yadnya, yakni jalan melayani sesama manusia dan memuliakan Tuhan. Dia selalu menekannya pentingnya menjaga harmoni dalam hubungan dengan sesama, alam dan Tuhan. Hormoni itu tampak dalam tiap-tiap detail museum dan juga resort yang dia kelola yang menampilkan nilai-nilai budaya (manusia), penghormatan pada alam dan sembah pada Tuhan.
- ^ "Agung Rai: A guardian of Balinese art", Jakarta Post (7/7/2014), lihat juga veri online di http://www.thejakartapost.com/news/2014/07/07/agung-rai-a-guardian-balinese-art.html
- ^ Couteau Jean & Wisatsana Warih, GUNG RAI: Kisah Sebuah Museum. Jakarta: Gramedia, 2013. Hal.151-153
- ^ Wawancara TV Thailand, bisa diakses di https://www.youtube.com/watch?v=Gerqr446jhs
- ^ Museum Harus Masuk Kurikulum, bisa diakses di http://news.okezone.com/read/2015/12/23/65/1273289/museum-harus-masuk-kurikulum