Organisasi Advokat adalah sebuah wadah profesi advokat yang didirikan dengan tujuan meningkatkan kualitas profesi advokat. Dasar pendirian organisasi advokat adalah Undang-Undang No. 18 Tahun 2003 tentang Advokat (UU Advokat).

Fungsi

Organisasi advokat memiliki fungsi diantaranya:

  1. menyelenggarakan pendidikan khusus profesi Advokat
  2. menyelenggarakan ujian advokat
  3. mengangkat advokat yang telah lulus ujian advokat
  4. menyusun Kode Etik Advokat Indonesia
  5. melakukan pengawasan terhadap advokat
  6. memeriksa dan mengadili pelanggaran kode etik profesi advokat
  7. menentukan jenis sanksi dan tingkat pelanggaran advokat yang dapat dikenakan sanksi

Peradi

Untuk melaksanakan ketentuan UU Advokat tersebut, dibentuklah Perhimpunan Advokat Indonesia (Peradi) pada tanggal 7 April 2005. Peradi merupakan hasil bentukan Komite Kerja Advokat Indonesia (KKAI) yang beranggotakan delapan organisasi advokat yang telah ada sebelum UU Advokat, yaitu:

  • Ikatan Advokat Indonesia (Ikadin)
  • Asosiasi Advokat Indonesia (AAI)
  • Ikatan Penasihat Hukum Indonesia (IPHI)
  • Himpunan Advokat dan Pengacara Indonesia (HAPI)
  • Serikat Pengacara Indonesia (SPI)
  • Asosiasi Konsultan Hukum Indonesia (AKHI)
  • Himpunan Konsultan Hukum Pasar Modal (HKHPM), dan
  • Asosiasi Pengacara Syariah Indonesia (APSI).

Kongres Advokat Indonesia (KAI)

Karena proses terbentuknya Peradi dianggap kurang demokratis, inkonstitusional dan tidak mewakili seluruh Advokat, karena hanya dididirikan oleh beberepa orang saja yang mengklaim mewakili organisasinya masing-masing, maka pada tanggal 30 Mei 2008 dimana kemudian Para Advokat sepakat menyelenggarakan Munas Para Advokat di Jakarta. hal demikian merupakan bentuk pelaksanaan amanat UU No. 18 Tahun 2003 tentang Advokat, sehingga kemudian terbentuklah Kongres Advokat Indonesia (KAI). hingga belakangan Peradin juga aktif kembali sebagai organisasi Advokat.

Kongres Advokat Indonesia (KAI)pertama kali menyelenggarakan ujian Calon Advokat pada bulan Agustus 2008 dan Ujian kedua pada bulan November 2008. Berkaitan dengan hal tersebut, KAI telah mengirim surat permohonan kepada Ketua Pengadilan Tinggi di seluruh Indonesia untuk berkenan mengambil sumpah Calon Advokat KAI sebagaimana yang diamanatkan UU Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat, namun surat dari KAI tersebut tidak mendapatkan tanggapan, bahkan Mahkamah Agung Republik Indonesia justru menghimbau kepada Ketua Pengadilan Tinggi di seluruh Indonesia untuk tidak mengambil sumpah para Calon Advokat baik dari PERADI, KAI maupun PERADIN sebelum ketiga Organisasi Advokat tersebut bersatu dalam wadah tunggal sebagaimana amanat UU Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat. Hal tersebut sebagaimana Surat Ketua Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 052/KMA/V/2009, tertanggal 1 Mei 2009, dimana dalam Surat Ketua Mahmakah Agung Republik Indonesia tersebut, Mahkamah Agung juga menyatakan jika tidak turut campur dalam urusan intern Organisasi Advokat.

Hal ini tentu saja melanggar amanat UU Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat dan juga bertentangan dengan isi Surat Ketua Mahkamah Agung Republik Indonesia No. 052/KMA/V/2009 itu sendiri, karena jika Mahkamah Agung Republik Indonesia tidak turut campur terhadap urusan intern Organisasi Advokat, seharusnya Mahkamah Agung Republik Indonesia tidak melarang Ketua Pengadilan Tinggi diseluruh Indonesia untuk mengambil sumpah Calon Advokat, meskipun para Calon Advokat tersebut tidak bisa dihalangi untuk beracara di Pengadilan, karena pada kenyataannya para Calon Advokat tersebut sering mengalami kendala pada saat menjalankan profesinya selaku aparat penegak hukum.

Pranala luar