Harta Berdarah

Revisi sejak 26 Oktober 2016 23.20 oleh JackReacher007 (bicara | kontrib) (perbaikan kesalahan pengetikan)

Harta Berdarah adalah film aksi Hindia Belanda (sekarang Indonesia) tahun 1940. Film ini disutradarai Rd Ariffien dan R Hu untuk Union Films, dan ditulis oleh Saeroen. Film ini dibuat untuk menarik perhatian penonton pribumi yang berpendidikan. Film yang dibintangi Zonder dan Soelastri ini bercerita tentang seorang pemuda yang meyakinkan seorang haji yang kikir agar lebih dermawan, dan seiring waktu ia jatuh cinta dengan putri sang haji.

Harta Berdarah
Iklan
Iklan
Sutradara
SkenarioSaeroen
Pemeran
  • Zonder
  • Soelastri
SinematograferKH Tjit
Perusahaan
produksi
Tanggal rilis
  • 1940 (1940) (Hindia Belanda)
NegaraHindia Belanda
BahasaIndonesia

Harta Berdarah dirilis saat Idul Fitri dan diiklankan sebagai "film aksi Indonesia yang menakjubkan". Untuk membuat takjub penonton, film ini memanfaatkan kemampuan silat Zonder dan ketenaran Soelastri sebagai penyanyi keroncong. Ulasan filmnya positif; banyak yang memuji pemeranan dan alur ceritanya. Meski Harta Berdarah ditayangkan pada 1944, film ini kemungkinan hilang sebagaimana film-film kontemporer waktu itu.

Alur

Di desa Soekasari, Mardjan mengusir orang-orang yang tidak mampu membayar pajak kepada tuan tanah, Hadji Doerachman (Moesa). Walaupun ia tahu soal pengusiran ini, Doerachman tidak dapat menghentikan Mardjan. Putrinya, Atikah (Soelastri), juga gagal meyakinkan Mardjan.

Maardjan dan orang-orang suruhannya mengusir Asmadi, istrinya Tjitjih, dan ibunya Asmadi yang sedang sakit. Karean Asmadi melawan, Mardjan memukuli dan menahannya. Sementara itu, seorang pemuda bernama Rachmat (Zonder) menjenguk bibinya di Soekasari. Setelah mengetahui aksi Mardjan, Rachmat mencarinya di rumah Doerachman dan meminta agar Mardjan berhenti. Setelah Mardjan dan orang-orangnya mengajak berkelahi, Rachmat berhasil mengalahkan mereka dan merundingkan pembebasan Asmadi. Di rumah, Asmadi mengetahui bahwa ibunya meninggal dunia tidak lama setelah pengusiran tersebut. Asmadi pun berjanji untuk balas dendam.

Suatu hari, Rachmat mendengar suara teriakan dan menemukan Atikah dalam keadaan pingsan gara-gara melihat ular. Setelah Atikah siuman, ia berterima kasih kepada Rachmat karena menyelamatkannya. Setelah mengetahui bahwa Atikah adalah putri Doerachman, Rachmat menyesal telah menolongnya. Akan tetapi, ketika keduanya melakukan bakti sosial, mereka jatuh cinta. Doerachman tidak menyetujui hubungan mereka dan tidak jadi mendanai bakti sosial mereka. Akibatnya, Atikah menggunakan perhiasan dan uang ibunya yang sudah meninggal untuk melanjutkan pembangunan desa. Pada suatu hari, saat Rachmat dan Atikah sedang duduk bersama dan menyanyikan lagu-lagu romantis, Mardjan menguping. Sekembalinya ke rumah Doerachman, Mardjan meyakinkan bosnya bahwa Rachmat hanya ingin mengambil alih kekayaan Doerachman. Ia juga meyakinkan Doerachman agar Atikah dinikahkan dengan Mardjan. Ketika Doerachman bersiap-siap untuk pergi, Mardjan memaksa sang haji yang tidak bisa membaca ini untuk menandatangani sebuah surat.

Menjelang pernikahannya, Atikah dikurung di rumah. Mengetahui soal perjodohan tersebut, Rachmat bertemu Doerachman. Setelah melawan Mardjan dan orang-orangnya, ia membawa sang haji ke desa yang pembangunannya dirintis oleh Rachmat dan Atikah. Karena program mereka mengatasnamakan Doerachman, warga desa tidak takut dengannya; mereka justru menghormatinya. Semua ini, termasuk pembangunan tersebut membuat Doerachman sadar bahwa mengeruk kekayaan untuk dirinya sendiri tidak membuatnya bahagia. Keduanya, ditemani Asmadi, kembali ke rumah Doerachman dan menemukan Asmadi dan orang-orangnya duduk santai di teras rumah.

Setelah ia diinterogasi Doerachman, Mardjan mengungkapkan bahwa surat yang ditandatangani Doerachman adalah surat penyerahan seluruh kekayaan sang haji kepada Mardjan. Murka dengan kelakuan Mardjan, Asmadi menyerangnya sedangkan Rachmat melawan orang suruhannya. Setelah kekayaannya kembali, Doerachman memusnahkan surat itu dan merestui permohonan Rachmat untuk menikahi Atikah.[a]

Produksi

 
Adegan Rachmat berkelahi melawan orang suruhan Mardjan. Pemerannya, Zonder, sangat terampil dalam seni bela diri.

Union Films didirikan tahun 1940 oleh pebisnis Tionghoa Ang Hock Liem dan Tjoa Ma Tjoen. Pasca kesuksesan film pertamanya, Kedok Ketawa, sutradara Jo An Djan pidnah ke Populair's Film. Union lantas mencari beberapa pemeran berbakat baru, termasuk R Hu, Rd Ariffien, dan Saeroen.[1] Ketiganya berperan penting dalam pembuatan Harta Berdarah; Hu dan Ariffien sama-sama menjadi sutradara untuk pertama kalinya, dan Saeroen – yang pernah menjadi penulis skenario Terang Boelan (1937) dan Fatima (1938) untuk rumah produksi lain – menulis skenario film ini.[2][3] Ariffien dipekerjakan karena Union ingin menjangkau penonton pribumi berpendidikan.[4]

Film ini dibintangi Soelastri dan Zonder, dan melibatkan Moesa, Oedjang, Oesman, Haroen, dan Abdullah.[5] Sebagian besar aktor, termasuk Soelastri dan Fatimah, pernah ambil peran di Kedok Ketawa,[6] dan Moesa, meski merupakan rekrutan baru, sudah pernah tampil di film buatan rumah produksi lain.[7] Zonder, yang baru kali ini menjadi pemeran film, sangat menguasai silat, sedangkan Soelastri dikenal sebagai penyanyi keroncong melalui nama panggungnya, Miss Ning. Keduanya memanfaatkan keahlian mereka dalam film ini. Musik film ditangani oleh Lief Java milik Hugo Dumas.[2][8][9] Sinematografinya dikerjakan oleh KH Tjit.[5]

Rilis dan tanggapan

Harta Berdarah dirilis pada akhir Oktober 1940, bertepatan dengan hari raya Idul Fitri.[9] Film yang kadang dipasarkan dengan judul Belanda (Bloedgeld) ini digadang-gadang sebagai "film aksi Indonesia yang menakjubkan".[b][9][10] Sebuah novelisasi, diterbitkan oleh Kolff-Buning yang bermarkas di Yogyakarta, yang kemudian meluncurkan; karya tersebut yang meliputi beberapa produksi tetap.[11]

Film ini mendapat tanggapan positif. Sebuah ulasan anonim di De Indische Courant mengatakan bahwa film ini sederhana namun dibuat dengan baik diiringi percakapan tegas dan humor.[9] Ulasan lain di Soerabaijasch Handelsblad juga positif; penulisnya mengatakan bahwa film ini tidak sama dengan film-film dalam negeri sebelumnya. Katanya, film-film sebelumnya menampilkan "sekelompok orang yang bergerak kaku dan melontarkan ujaran yang sulit dipahami",[c] namun film ini adalah sesuatu yang bisa dinikmati oleh siapapun "baik orang Indonesia atau Eropa".[d][12]

Pengaruh

Setelah Harta Berdarah, Union memproduksi lima film lagi;[13] semuanya kecuali satu disutradarai oleh Hu atau Ariffien.[14] Saeroen menulis tiga film, kemudian pindah ke Star Film setelah terlibat di Wanita dan Satria.[15] Kebanyakan pemerannya tetap di Union sampai beberapa film lagi. Film selanjutnya, Bajar dengan Djiwa (1941), lagi-lagi dibintangi oleh Zonder dan Soelastri.[16] Union Films akhirnya dibubarkan menyusul pendudukan Jepang di Hindia Belanda bulan Maret 1942.[17]

Harta Berdarah ditayangkan sekitar bulan Juli 1944.[18] Film ini bisa jadi tergolong film hilang. Film-film yang dibuat di Hindia Belanda direkam di film nitrat yang mudah terbakar. Setelah kebakaran menghanguskan sebagian besar gudang Produksi Film Negara tahun 1952, film-film nitrat lama ikut dimusnahkan.[19] Antropolog visual Amerika Serikat Karl G. Heider menulis bahwa semua film Indonesia yang dibuat sebelum 1950 tidak diketahui lagi keberadaan salinannya.[20] Akan tetapi, Katalog Film Indonesia yang disusun JB Kristanto menyebutkan beberapa film masih disimpan di Sinematek Indonesia dan Misbach Yusa Biran menulis bahwa sejumlah film propaganda Jepang masih ada di Dinas Informasi Pemerintah Belanda.[21]

Catatan penjelas

  1. ^ Ringkasan alur ini diambil dari novelisasi yang diterbitkan oleh Kolff-Buning.
  2. ^ Teks asli: "... prachtige Indonesische film-schlager."
  3. ^ Teks asli: "... een groepje stijf bij elkaar geposeerde personen met houtige bewegingen eenige ongearticuleerde klanken werden uitgestooten ..."
  4. ^ Teks asli: "... waarvan men kan genteten, Indonesier of European."

Referensi

Sumber

Pranala luar