Laweyan, Surakarta
Laweyan atau Lawiyan adalah kecamatan yang terletak di barat kota Surakarta. Kecamatan ini terkenal karena penduduknya banyak yang menjadi produsen dan pedagang batik, sejak dulu sampai sekarang. Di sinilah tempat berdirinya Sarekat Dagang Islam, asosiasi dagang pertama yang didirikan oleh para produsen dan pedagang batik pribumi, pada tahun 1912.
Laweyan | |||||
---|---|---|---|---|---|
Negara | Indonesia | ||||
Provinsi | Jawa Tengah | ||||
Kota | Surakarta | ||||
Pemerintahan | |||||
• Camat | - | ||||
Populasi | |||||
• Total | 86,315 (2.010) jiwa | ||||
Kode Kemendagri | 33.72.01 | ||||
Kode BPS | 3372010 | ||||
Luas | 8,64 km² | ||||
Kepadatan | 10.002 per km² | ||||
Desa/kelurahan | 11 | ||||
|
Etimologi
Nama "Laweyan" dipakai untuk menyebut kelompok masyarakat tertentu, yaitu yang dikenal sebagai kelompok kaum kaya (wong Nglawiyan), yang berlebih (kaluwih-luwih) dalam segala hal,terutama dalam hal kebutuhan hidup (harta kekayaan), Hal itu disebabkan karena daerah tersebut menjadi pusat perdagangan batik dan tempat tinggal para pengusaha batik tulis Jawa.
Tentang istilah Laweyan ada dua cara menulisnya, yaitu "Lawiyan" dan "Laweyan". Tulisan dengan Lawiyan ditemukan dalam nama makam Astana Lawiyan, tempat dimakamkannya Sunan Nglawiyan, yang terletak di sebelah selatan daerah Lawiyan.
Selanjutnya berdasarkan kata "Laweyan", secara etimologis berasal dari kata Lawe, yaitu benang bahan kain. Dalam bahasa Sanskerta terdapat kata Laway, artinya jenazah tanpa kepala. Kalau demikian, maka kata Laweyan, Lawayan menunjukkan tempat Nglawe (menghukum orang dengan lawe). Siapakah yang mendapatkan hukuman itu ? peristiwa ini kita hubungkan dengan Putri Pangeran Puger (Paku Buwana I) ketika masih sebagai Pangeran, yang diperisteri (diambil sebagai selir) oleh Sunan Mangkurat Mas (Mangkurat III), bermain cinta dengan Raden Sukra, Putra Patih Raden Arya Sindureja. Keduanya ketahuan dan dihukum mati dengan lawe. Mayatnya dimakamkan di Astana Lawiyan. Dengan demikian nama Laweyan lebih muda daripada Lawiyan.
Ada pula yang berpendapat bahwa nama "Lawiyan" berasal dari kata alih-alihan (perpindahan), dalam ucapan menjadi Ngalihan atau Ngaliyan yang akhirnya menjadi Lawiyan yaitu merupakan tempat perpindahan orang-orang dari Desa Nusupan (pelabuhan zaman Pajang-Kartasura di Bengawan Sala). Mereka pindah untuk menghindari bahaya banjir dari Bengawan Sala (dahulu namanya Bengawan Semanggi atau Bengawan Nusupan) Desa Nusupan (sekarang termasuk Kelurahan Semanggi) pada zaman Pajang dan Kartasura menjadi pelabuhan yang penting. Tetapi karena seringnya banjir, berpindah ke Lawiyan. Maka sampai saat ini wong Nglawiyan bagi masyarakat Sala termasuk kelompok orang kaya. Perkembangan selanjutnya dari Lawiyan ini pulalah muncul perkumpulan para pengusaha batik yang pertama yaitu Sarekat Dagang Islam dengan dipelopori oleh Kyai Haji Samanhudi (1911).
Sejarah
Riwayat Kampung Laweyan tidak dapat dilepaskan dari tokoh Ki Ageng Enis. Ki Ageng Enis adalah putra Ki Ageng Sela. Ki Ageng Enis berputra Ki Ageng Pemanahan dan Ki Ageng Pemanahan berputra Sutawijaya atau Mas Ngabehi Loring Pasar atau Senapati pendiri kerajaan Mataram Islam
Dalam sejarah Pajang[1], Pemanahan dan Sutawijaya bersama-sama dengan Ki Juru Martani dan Ki Panjawi, sangat berjasa kepada Sultan Pajang Hadiwijaya (Jaka Tingkir atau Mas Karebet) sebab dapat membunuh Arya Panangsang, musuhnya dari Jipang. Selanjutnya atas jasa tersebut, Sultan Hadiwijaya memberi anugerah tanah Pati kepada Ki Panjawi, dan tanah Mataram kepeda Ki Ageng Pamanahan. Sedang kepada Ki Ageng Enis dianugerahi tanah perdikan di Laweyan.[2] Karena ketaatan para kawulanya, Ki Ageng Enis mendapatkan sebutan Ki Ageng Luwih, makamnya di Astana Lawiyan. Istilah Lawiyan berasal dari kata Luwih (sakti) dari Ki Ageng Enis tersebut.
Istilah Lawiyan juga kita temukan pada peristiwa pembunuhan Raden Pabelan (Jaka Pabelan atau dalam cerita Ki Gede Sala disebut Kyai Batang). Dia dibunuh karena bermain asmara dengan putri bungsu Sultan, yaitu Raden Ayu Sekar Kedaton.[3]. Mayat Jaka Pabelan dibuang di Sungai Lawiyan (Sungai Jenes).
Selanjutnya nama Lawiyan disebut pula dalam peristiwa pelarian Sunan Paku Buwana II ke Panaraga dalam masa Geger Pacinan (Pemberontakan Tionghoa)[4]. Daerah ini dipergunakan sebagai tempat peristirahatan dan persembunyiannya. Sunan mohon berkah di Astana Lawiyan (Makam Ki Ageng Enis). Maka Sunan Paku Buwana II juga disebut Sunan Nglawiyan dan ketika mangkat juga dimakamkan di Astana Nglawiyan.
Kelurahan
Berikut ini adalah daftar 11 kelurahan di Laweyan:
- Kelurahan Penumping yang memiliki kode pos 57141 (gabung dengan Sriwedari)
- Kelurahan Sriwedari yang memiliki kode pos 57141 (gabung dengan Penumping)
- Kelurahan Purwosari yang memiliki kode pos 57142
- Kelurahan Kerten yang memiliki kode pos 57143
- Kelurahan Jajar yang memiliki kode pos 57144
- Kelurahan Karangasem yang memiliki kode pos 57145 (kelurahan paling barat di Surakarta)
- Kelurahan Pajang yang memiliki kode pos 57146
- Kelurahan Sondakan yang memiliki kode pos 57147
- Kelurahan Laweyan yang memiliki kode pos 57148 (gabung dengan Bumi)
- Kelurahan Bumi yang memiliki kode pos 57148 (gabung dengan Laweyan)
- Kelurahan Panularan yang memiliki kode pos 57149
Batas wilayah
Laweyan berbatasan dengan dua kecamatan di Solo dan dua kabupaten:
- Utara: Kecamatan Colomadu, Karanganyar dan Kecamatan Banjarsari
- Timur: Kecamatan Serengan dan Kecamatan Banjarsari
- Selatan: Kecamatan Kartasura, Sukoharjo, Kecamatan Baki, Sukoharjo, Kecamatan Grogol, Sukoharjo dan Kecamatan Serengan
- Barat: Kecamatan Kartasura, Sukoharjo
Yang terletak di kecamatan ini
- Taman Sriwedari, termasuk Stadion Sriwedari, Gedung Wayang Orang Sriwedari, dan Museum Radya Pustaka
- Kampung batik Laweyan
- Stasiun Purwosari
- Solo Grand Mall
- Solo Square
- Rumah Sakit Slamet Riyadi
- Solo Paragon Hotel
- Hotel Baron Indah
- d'Solo Boutique Hotel & Restaurant
Referensi dan pranala luar
- ^ (Atmodarminto, 1957:125; Dirjosubroto, 1916:87)
- ^ (Althoff, 1941 : 46) dalam Babad Tanah Jawi karya Althoff tersebut menyebutkan demikian: “Saking karsanipun Sultan Pajang, Ki Ageng Ngenis kaaturan gegriya ing Lawiyan, inggih ndherek. Nalika sedanipun inggih kakubur iang Lawiyan ngriku”
- ^ (Ibid : 86)
- ^ (Kuntharatama, 1958:7)