James Hal Cone
James Hal Cone adalah seorang teolog kulit hitam dari Amerika Serikat.[1] Teologi yang diangkat oleh Cone adalah Teologi hitam.[1] Pada saat pasca-1960an Cone sangat aktif menulis buku dan menjadi dosen di Seminari Teologi Union di New York.[1] [2]
James Hal Cone | |
---|---|
Lahir | 5 Agustus 1938 Fordyce, Arkansas |
Kewarganegaraan | Amerika Serikat |
Almamater | Northwestern University |
Dikenal atas | Teologi Hitam |
Penghargaan | 8 penghargaan, Paul Robeson Award, Mother AME Zion Church (2006), Julius C. Hope Champion of Social Justice (2006), Arkansas Black Hall of Fame (2003), Fund for Theological Education Award (1999), Theological Scholarship and Research Award (1994), American Black Achievement Award (1992) |
Karier ilmiah | |
Bidang | Teologi Sistematika |
Institusi | Seminari Teologi Union di New York (1969- ), Adrian College (1966-69), Philander Smith College (1964-66) |
Biografi Singkat
Cone lahir di Fordyce, Arkansas dan dibesarkan di Bearden, Arkansas. [3] Dia mendapat gelar B.A. Gelar dari suka Philander Smith College di Arkansas pada tahun 1958, dan gelar BD dari Garrett-Evangelical Theological Seminary pada tahun 1961, MA dan Ph.D.berasal dari Northwestern University pada tahun 1963, dan 1965 masing-masing.[3] Dia mengajar teologi dan agama di philander Smith College, Adrian College di Michigan, dan mulai tahun 1970 di Seminari Teologi Union di New York City.[3]
Pemikiran
Allah
James Cone menyinggung soal realitas Allah.[4] Ia menyatakan bahwa Allah tidaklah dimiliki oleh manusia, tetapi Allah yang memiliki manusia. Allah bukan milik orang kulit putih tetapi Allah milik semua orang.[4] Dikatakan juga bahwa Injil itu adalah Injil yang membebaskan, Injil itu adalah pesan Tuhan, untuk mengetahui Injil itu tidak hanya melalui pengetahuan saja, tapi harus juga melalui iman, sehingga Injil berisi soal pesan pembebasan yang dilakukan Tuhan di dunia.[4] Realita yang terjadi menurut Cone merupakan penyimpangan yang besar, bahwa Allah hanya dimiliki orang oknum tertentu saja, mereka adalah kelompok yang membuat diri mereka menjadi superior dalam sistem, mereka adalah orang kulit putih. [4] Allah ada untuk orang kulit putih, teologi yang perkembang adalah teologi dari kaca mata kulit putih, Allah hanya dimiliki oleh orang kulit putih.[4] Kepemilikan Allah pada orang kulit putih, hal yang tidak benar, berdampak kepada perlakukan sosial yang ada di tengah masyarakat. Contoh yang sangat jelas adalah superioritas orang kulit putih. [4]
Kristus
Dalam Tulisannya yang berjudul Black Theology Documentary, Cone menulis: Kristus Amerika itu tidak memiliki ciri-ciri rasial, Ia berkulit langsat, berambut ikal warna coklat dan kadang-kadang sungguh ajaib-memiliki mata biru..[5] Orang-orang kulit putih berkeberatan jika ia berbibir tebal, sama seperti orang Farisi berkeberatan, jika mereka melihat Dia di suatu ”pesta” bersama dengan orang-orang pemungut cukai.[5]Namun apakah orang kulit putih setuju atau tidak, Kristus berkulit hitam. Memperkirakan, bahwa Kristus memilih kulit hitam, bukanlah suatu gagasan teologi emosional,… membayangkan Kristus tidak berkulit hitam dalam abad ke-20, secara teologis sama mustahil dengan bila ia dibayangkan bukan orang Yahudi pada abad pertama.[5]
Cone mempertanyakan kembali apa artinya keputusan Konsili Nicea pada tahun 325, yang menyatakan bahwa Kristus adalah sehakikat –homoousios- dengan Bapa dan keputusan Konsili Chalcedon pada tahun 451, yang menyatakan bahwa kedua kodrat yang ilahi dan manusiawi, tidak terbagi dan terpisah dan tidak tercampur dan tidak berubah.[6] Apa artinya bagi mereka yang melihat Yesus bukan sebagai suatu gagasan dalam pemikiran, tetapi Yesus yang mereka kenal sebagai juru selamat dan sahabat.[6] Pokok ini diuraikan oleh Cone dalam bukunya The Spirituals and Blues.
Menurut dia, lagu Negro Spirituals itu bersifat cerita mengenai daya upaya historis orang kulit hitam untuk memperoleh kebebasan duniawi, dan bukan suatu proyeksi orang Afrika yang tidak mempunyai harapan dan yang telah melupakan “tanah air” mereka, atas dunia lain.[7] Dalam lagu-lagu “Spirituals” itu Yesus dilihat sebagai Raja yang membebaskan umat manusia dari penderitaan yang tidak adil.[7] Ia penghibur dalam waktu-waktu susah, “bunga bakung yang di lembah” dan bintang terang diwaktu menjelang pagi. “Spirituals” itu tidak mengungkapkan spekulasi teologis.[7] Yesus bukanlah pokok-pokok permasalahan teologis. [7]Ia dilihat dalam kenyataan pengalaman kaum kulit hitam. Spirituals itu berbicara jelas dan tuntas tentang sifat ilahi Yesus. [7]Berbicara mengenai Bapa dan Anak adalah dua cara untuk berbicara tentang kenyataan kehadiran ilahi dalam masyarakat budak.[7] Yang menjadi pusat keberadaan mereka adalah lambang dari penderitaan mereka.[7] Yesus berada di tengahnya, sehingga Ia adalah Sahabat dn Teman sependeritaan dalam perbudakan, “Spirituals” itu tidak hanya berbicara tentang apa yang dilakukan oleh Yesus dan sedang dilakukan bagi orang kulit hitam dalam perbudakan. Ia dianggap sebagai orang yang memegang kunci penghakiman.[7] Yesus adalah Allah sendiri, yang menerobos ke dalam masa lampau historis umat manusia dan mengubahnya sesuai dengan pengharapan ilahi.[7]
Cone menegaskan bahwa Yesus Kristus harus diakui berdasarkan keberadaan-Nya kini, dalam masa lampau dan dalam waktu yang akan datang. “Kita baru dapat memahami riwayat hidup Yesus pada masa lampau dan arti keselamatan-Nya (soteriologis), jika hidup-Nya pada masa lampau dikaitkan secara logis dan teratur (dialektis) dengan kehadiran-Nya pada masa kini dan kedatangan-Nya pada masa yang akan datang”. Dalam menganalisa hidup Yesus pada masa lampau, kita tidak dapat menyangkal nilai soteriologis-Nya pada masa kini sebagai Tuhan dari pergumulan kita sekarang.[7] Pandangan terhadap masa depan Kristus, yang menerobos kehidupan mereka sebagai budak, mengubah pandangan mereka terhadap masa depan mereka sendiri.[7] Para teolog kulit hitam harus dapat membuktikan, bahwa sifat hitam Yesus bukan hanya bakat psikologis dari orang kulit hitam, tetapi berasal dari penelitian yang dapat dipercaya, dari sumber-sumber yang menyoroti riwayat hidup Yesus pada masa lampau, masa kini dan masa depan.[7] Kalau kita tidak berhasil dalam hal ini, demikian Cone berkata, maka kita akan kena tuduhan, bahwa “Kristus yang hitam” adalah s pemutar-balikan ideologis dari Perjanjian Baru untuk tujuan-tujuan politis. [7]
Yesus hitam, karena Dia orang Yahudi. Penyataan mengenai “Yesus berkulit hitam” dapat dipahami. [7]Jika arti Keyahudian-Nya pada masa lampau, dikaitkan secara dialektis dengan sifat hitam-Nya sekarang.[7] Keyahudian Yesus menempatkan Di dalam konteks keluaran (exodus), dan kedatangan-Nya di Palestina dihubungkan dengan pembebasan orang-orang Israel oleh Allah, ke luar dari Mesir (Yes 42:6,7).[7]
Salib dan Tiang Gantungan
Cone mengangkat kejadian kelam masa lalu yang terjadi di Amerika yang dialami oleh orang kulit hitam yaitu hukuman gantung di bawah pohon (lynching). [4] Hukuman gantung yang dialami oleh orang kulit hitam adalah bentuk dari ketidakadilan. [4] Orang Kulit hitam dengan kesalahannya akan layak dihukum mati dengan digantung bahkan digantung di depan publik untuk dilihat oleh orang-orang kulit hitam dan oleh orang-orang kulit putih.[4] Hal ini dilakukan oleh orang kulit putih untuk menunjukan keunggulan mereka pada saat itu kepada orang-orang kulit hitam.[4] Cone menghubungkan orang-orang kulit hitam yang mendapat perlakuan tidak adil dengan salib kristus.[4] Menurutnya banyak orang percaya bahwa Kristus yang disalib itu mati untuk menebus manusia dari dosa, dan penderitaan manusia digantikan oleh Kristus, tapi kenyataannya tetap ada diskriminasi.[4] Banyak kristen mendefinisikan bahwa keselamatan itu merupakan “anugerah murahan”, karena keselamatan itu berasal dari kematian Yesus dan akhirnya mereka menjadi pietis (pietis yang dangkal), dan akhirnya mereka menganggap bahwa kristus mati hanya untuk orang kulit putih, sehingga terjadi pembedaan antara orang kulit putih dan orang kulit hitam.[4] Cone menggambarkan Yesus sebagai orang kulit hitam. Orang kulit hitam yang digantung layaknya Yesus yang disalib.[4] Ia dihina dan dianggap kotor, ia dipertontonkan di tengah publik dan direndahkan. Itulah Yesus dan orang kulit hitam yang sama-sama menderita.[4]
Salib Yesus adalah perubahan radikal oleh Allah dari keadaan manusia, ketika yang terpilih untuk menggantikan Israel sebagai Hamba yang Menderita dan dengan demikian mengungkapkan kesediaan Allah untuk menderita, agar umat manusia dibebaskan secara sempurna.[7] Maka bagi Cone,hukuman gantung ini harus direflesikan sebagai penyaliban Yesus supaya tidak terjadi kesalahan sama bahwa Yesus disalibkan untuk semua orang, Allah hadir untuk semua orang. [4]
Referensi
- ^ a b c (Inggris) William Carl Placher. Readings in the History of Christian Theology: From the Reformation to the present. 1988. USA: Westminster John Knox Press. Hal. 191-192.
- ^ (Indonesia) Road Sagala. Firman Menjadi Daging. 2009. Jakarta: Perkantas. Hal. 32-33.
- ^ a b c (Inggris) Alfred T. Hennelly. Liberation theologies:the global pursuit of justice. 1995. USA: Twenty-Third Publications. Hal. 382.
- ^ a b c d e f g h i j k l m n o p (Inggris) James H. Cone. The Cross and the Lynching Tree. 2006. USA: Harvard Divinity Buletin. Hal. 47-55.
- ^ a b c (Inggris) James Hal Cone. Black Theology Documentary. 1970. USA: Roermond. Hal. 116-117.
- ^ a b (Inggris) James Hal Cone. God of Oppressed. 1975. USA: Roermond. Hal. 5.
- ^ a b c d e f g h i j k l m n o p q (Indonesia) Anton Wessel. Memandang Yesus. 2001. Jakarta: BPK Gunung Mulia. Hal. 84-89.