Aceh
Nanggröe Aceh Darussalam adalah sebuah Daerah Istimewa setingkat provinsi yang terletak di Pulau Sumatra dan merupakan propinsi paling barat di Indonesia. Daerah ini berbatasan dengan Teluk Benggala di bagian Utara, Samudera Hindia di sebelah barat, Selat Malaka di sebelah timur, dan Sumatra Utara di sebelah tenggara dan selatan.
| |||
Motto: "Pancacita" (Bahasa Sansekerta): "Lima Cita-Cita” | |||
Dasar hukum | UU RI No. 24/1956 UU RI No. 44/1999 UU RI No. 18/2001 | ||
Hari jadi: | … | ||
Ibu kota: | Banda Aceh (Dahulu Koetaraja) | ||
PJS.Gubernur: | Ir. H. Azwar Abubakar | ||
Wilayah - Total: | 55.390 km² | ||
Daerah Tingkat II - Jumlah: | 17 Kabupaten dan 4 Kotamadya | ||
Penduduk - Total: - Kepadatan: | +/- 4.500.000 80/km² | ||
Suku bangsa: | Orang Aceh, Orang Gayo, Orang Alas, Aneuk Jamee, Melayu Tamiang, Jawa dll. | ||
Agama: | Islam | ||
Bahasa: | Bahasa Aceh, Bahasa Indonesia, dll. | ||
Zona waktu: | (WIB) | ||
Lagu kedaerahan: | Bungong Jeumpa |
Sejarah
Aceh merupakan negeri yang amat kaya dan makmur pada masanya. Menurut seorang penjelajah asal Perancis yang tiba pada masa kejayaan Aceh di zaman Sultan Iskandar Muda Meukuta Perkasa Alam, kekuasaan Aceh mencapai pesisir barat Minangkabau. Kekuasaan Aceh pula meliputi hingga Perak.
Sri Sultan Iskandar Muda kemudian menikah dengan seorang Puteri dari Kesultanan Pahang. Putri ini dikenal dengan nama Putroe Phang. Konon, karena terlalu cintanya sang Sultan dengan Isterinya, Sultan memerintahkan pembangunan Gunongan di tengah Medan Khayali (Taman Istana) sebagai tanda cintanya. Kabarnya, sang puteri selalu sedih karena memendam rindu yang amat sangat terhadap kampung halamannya yang berbukit-bukit. Oleh karena itu Sultan membangun Gunongan untuk mengubati rindu sang puteri. Hingga saat ini Gunongan masih dapat disaksikan dan dikunjungi.
Pada abad ke 16, Ratu Inggeris Elizabeth I, mengirim utusannya bernama Sir James Lancester kepada Kerajaan Aceh dan mengirim surat yang ditujukan: "Kepada Saudara Hamba, Raja Aceh Darussalam." serta seperangkat perhiasan yang tinggi nilainya. Sultan Aceh kala itu menerima maksud baik "saudarinya" di Inggeris dan mengizinkan Inggeris untuk berlabuh dan berdagang di wilayah kekuasaan Aceh. Bahkan Sultan juga mengirim hadiah-hadiah yang berharga termasuk sepasang gelang dari batu rubi dan surat yang ditulis di atas kertas yang halus dengan tinta emas. Sir James pun dianugerahi gelar "Orang Kaya Putih". Hubungan yang mesra antara Aceh dan Inggeris dilanjutkan pada masa Raja James I dari Inggeris dan Scotlandia. Raja James mengirim sebuah meriam sebagai hadiah untuk Sultan Aceh. Meriam tersebut hingga kini masih terawat dan dikenal dengan nama Meriam Raja James.
Selain Kerajaan Inggeris, Pangeran Maurits -pendiri dinasti Oranje- juga pernah mengirim surat dengan maksud meminta bantuan Kesultanan Aceh Darussalam. Sultan menyambut maksud baik mereka dengan mengirimkan rombongan utusannya ke Belanda. Rombongan tersebut dipimpin oleh Tuanku Abdul Hamid. Rombongan inilah yang dikenal sebagai orang Indonesia pertama yang singgah di Belanda. Dalam kunjungannya Tuanku Abdul Hamid sakit dan akhirnya meninggal dunia. Beliau dimakamkan secara besar-besaran di Belanda dengan dihadiri oleh para pembesar-pembesar Belanda. Namun karena orang Belanda belum pernah memakamkan orang Islam, maka beliau dimakamkan dengan cara agama nasrani di pekarangan sebuah Gereja. Kini di makam beliau terdapat sebuah prasasti yang diresmikan oleh Mendiang Yang Mulia Pangeran Bernard suami mendiang Ratu Juliana dan Ayahanda Yang Mulia Ratu Beatrix.
Pada masa Iskandar muda, Kerajaan Aceh mengirim utusannya untuk menghadap Sultan Kekaisaran Ottoman yang berkedudukan di Konstantinompel. Karena saat itu Sultan Ottoman sedang gering maka utusan kerajaan Aceh terluntang-lantung demikian lamanya sehingga mereka harus menjual sedikit demi sedikit hadiah persembahan untuk kelangsungan hidup mereka. Lalu pada akhirnya ketika mereka diterima oleh sang Sultan, persembahan mereka hanya tinggal Lada Sicupak atau Lada sekarung. Namun sang Sultan menyambut baik hadiah itu dan mengirimkan sebuah meriam dan beberapa orang yang cakap dalam ilmu perang untuk membantu kerajaan Aceh. Meriam tersebut pula masih ada hingga kini dikenal dengan nama Meriam Lada Sicupak. Pada masa selanjutnya Sultan Ottoman mengirimkan sebuah bintang jasa kepada Sultan Aceh.
Kerajaan Aceh juga menerima kunjungan utusan Kerajaan Perancis. Utusan Raja Perancis tersebut semula bermaksud menghadiahkan sebuah cermin yang sangat berharga bagi Sultan Aceh. Namun dalam perjalanan cermin tersebut pecah. Akhirnya mereka mempersembahkan serpihan cermin tersebut sebagai hadiah bagi sang Sultan. Dalam bukunya, Danis Lombard mengatakan bahwa Sultan Iskandar Muda amat menggemari benda-benda berharga. Pada masa itu, Kerajaan Aceh merupakan satu-satunya kerajaan melayu yang memiliki Balee Ceureumeen atau Hall of Mirror di dalam Istananya. Menurut Utusan Perancis tersebut, Istana Kesultanan Aceh luasnya tak kurang dari 2 kilometer. Istana tersebut bernama Istana Dalam Darud Donya (kini Meuligo Aceh, kediaman Gubernur). Di dalamnya meliputi Medan Khayali dan medan Khaerani yang mampu menampung 300 ekor pasukan gajah. Sultan Iskandar muda juga memerintahkan untuk memindahkan aliran sungai Krueng Aceh hingga mengaliri istananya (sungai ini hingga sekarang masih dapat dilihat, mengalir tenang di sekitar Meuligoe). Disanalah sultan acap kali berenang sambil menjamu tetamu-tetamunya.
Kerajaan Aceh sepeninggal Sultan Iskandar Thani mengalami kemunduran yang terus menerus. Hal ini disebabkan kerana naiknya 4 Sultanah berturut-turut sehingga membangkitkan amarah kaum Ulama Wujudiyah. Padahal, Seri Ratu Safiatudin Seri Ta'jul Alam Syah Berdaulat Zilullahil Filalam yang merupakan Sultanah yang pertama adalah seorang wanita yang amat cakap. Beliau merupakan puteri Sultan Iskandar Muda dan Isteri Sultan Iskandar Thani. Beliau pula menguasai 6 bahasa, Spanyol, Belanda, Aceh, Melayu, Arab, dan Parsi. Saat itu di dalam Parlemen Aceh yang beranggotakan 96an orang, 1/4 diantaranya adalah wanita. Perlawanan kaum ulama Wujudiyah berlanjut hingga datang fatwa dari Mufti Besar Mekkah yang menyatakan keberatannya akan seorang Wanita yang menjadi Sultanah. Akhirnya berakhirlah masa kejayaan wanita di Aceh.
Pada masa perang dengan Belanda, Kesultanan aceh sempat meminta bantuan kepada perwakilan Amerika Serikat di Singapura yang disinggahi Panglima Tibang Muhammad dalam perjalanannya menuju Pelantikan Kaisar Napoleon III di Perancis. Aceh juga mengirim Habib Abdurrahman untuk meminta bantuan kepada Kekaisaran Ottoman. Namun Kekaisaran Ottoman kala itu sudah mengalami masa kemunduran. Sedangkan Amerika menolak campur tangan dalam urusan Aceh dan Belanda.
Setelah satu tahun perang, Sultan Aceh Mahmmud Syah mangkat karena wabah Kolera. Kerabat Sultan, Sultan Muhhamad Daud Syah ditabalkan sebagai Sultan di Masijd Indra Puri. Sultan M. Dawud akhirnya meyerahkan diri kepada belanda pada tahun 1903 setelah dua Isterinya, anak serta Ibondanya terlebih dahulu ditangkap oleh Belanda. Kesultanan Aceh akhirnya jatuh seluruhnya pada tahun 1904. Istana Kesultanan Aceh kemudian di luluhlantakkan dan diganti dengan bagunan baru yang sekarang dikenal dengan nama Pendopo Gubernur.
Sementara pada masa kekuasaan Belanda, bangsa Aceh mulai mengadakan kerjasama dengan wilayah-wilayah lain di Indonesia dan terlibat dalam berbagai gerakan nasionalis dan politik. Sarekat Islam, sebuah organisasi dagang Islam yang didirikan di Surakarta pada tahun 1912, tiba di Aceh pada sekitar tahun 1917. Ini kemudian diikuti organisasi sosial Muhammadiyah pada tahun 1923. Muhammadiyah membangun sebuah sekolah Islam di Kutaraja (kini bernama Banda Aceh) pada tahun 1929. Kemudian pada tahun 1939, Partai Indonesia Raya (Parindra) membukan cabangnya di Aceh, menjadi partai politik pertama di sana. Pada tahun yang sama, para ulama mendirikan PUSA, sebuah organisasi anti-Belanda.
Aceh kian hari kian terlibat dalam gerakan nasionalis Indonesia. Saat Volksraad (parlemen) dibentuk, Teuku Nyak Arif terpilih sebagai wakil pertama dari Aceh. (Nyak Arif lalu dilantik sebagai gubernur Aceh oleh gubernur Sumatra pertama, Moehammad Hasan).
Seperti banyak penduduk Indonesia dan Asia Tenggara lainnya, rakyat Aceh menyambut kedatangan tentara Jepang saat mereka mendarat di Aceh pada 12 Maret 1942, karena Jepang berjanji membebaskan mereka dari penjajahan. Namun ternyata pemerintahan Jepang tidak banyak berbeda dari Belanda. Jepang kembali merekrut para uleebalang untuk mengisi jabatan Gunco dan Sunco (kepala adistrik dan subdistrik). Hal ini menyebabkan kemarahan para ulama, dan memperdalam perpecahan antara para ulama dan uleebalang. Pemberontakan terhadap Jepang pecah di beberapa daerah, termasuk di Bayu, dekat Lhokseumawe, pada tahun 1942, yang dipimpin Teungku Abdul Jalil, dan di Pandrah, Jeunieb, pada tahun 1944.
Sejak tahun 1976, organisasi pembebasan bernama Gerakan Aceh Merdeka (GAM) telah berusaha untuk memisahkan Aceh dari Indonesia melalui upaya militer. Pada 15 Agustus 2005, GAM dan pemerintah Indonesia akhirnya berhasil mencapai kesepakatan damai untuk mengakhiri konflik berkepanjangan tersebut.
Pada 26 Desember 2004, sebuah gempa bumi besar menyebabkan tsunami yang melanda sebagian besar pesisir barat Aceh, termasuk Banda Aceh, dan menyebabkan kematian ratusan ribu jiwa.
Disamping itu telah muncul aspirasi dari beberapa wilayah NAD, khususnya di bagian barat, selatan dan pedalaman untuk memisahkan diri dari NAD dan membentuk 2 propinsi baru yang disebut Aceh Leuser Antara yang terdiri dari Aceh Tengah, Bener Meriah, Gayo Lues, Aceh Tenggara dan Aceh Singkil. Serta Aceh Barat Selatan atau ABAS yang terdiri dari Nagan Raya, Aceh Barat Daya, Aceh Selatan, Simeulue, Aceh Barat dan Aceh Jaya. 4 Desember 2005 diadakan Deklarasi bersama di Gelora Bung Karno, Jakarta yang dihadiri ratusan orang dan 11 bupati yang ingin dimekarkan wilayahnya, dan dilanjutkan dengan unjukrasa yang menuntut lepasnya 11 kabupaten tadi dari Nanggroe Aceh Darussalam.
Sosial kemasyarakatan
Suku bangsa
Provinsi NAD terdiri dari Suku Aceh, Suku Gayo, Suku Alas, Suku Aneuk Jamee, Suku Melayu Tamiang, Suku Kluet, dll.
Bahasa
Bahasa yang digunakan adalah Bahasa Aceh, Bahasa Indonesia.
Meskipun banyak yang menggunakan bahasa Aceh dalam pergaulan sehari-hari, namun tidak berarti bahwa corak dan ragam bahasa Aceh yang digunakan sama. Tidak saja dari segi dialek yang mungkin berlaku bagi bahasa di daerah lain; bahasa Aceh bisa berbeda dalam pemakaiannya, bahkan untuk kata-kata yang bermakna sama. Kemungkinan besar hal ini disebabkan banyakya percampuran bahasa, terutama di daerah pesisir, dengan bahasa daerah lainnya atau juga karena kelestarian bahasa aslinya.
Bahasa lain yang digunakan di Acah adalah Bahasa Gayo yang dituturkan di kabupaten Aceh Tengah, Bener Meriah, Gayo Lues dan Serbajadi, Aceh Timur. Bahasa Simeulue dan beberapa bahasa lainnya di kabupaten Simeulue, Melayu Tamiang, Alas, Aneuk Jamee yang merupakan dialek Bahasa Minangkabau dan Bahasa Kluet.
Agama
Mayoritas penduduk di provinsi NAD memeluk agama Islam. Selain itu provinsi NAD memiliki keistimewaan dibandingkan dengan provinsi yang lain, karena di provinsi ini Syariat Islam diberlakukan kepada sebagian besar warganya yang menganut agama Islam.
Pendidikan
Dalam hal pendidikan, sebenarnya provinsi ini mendapatkan status Istimewa selain dari D.I. Yogyakarta. Namun perkembangan yang ada tidak menunjukkan kesesuaian antara status yang diberikan dengan kenyataannya. Pendidikan di Aceh dapat dikatakan terpuruk. Salah satu yang menyebabkannya adalah konflik yang berkepanjangan, dengan sekian ribu sekolah dan institusi pendidikan lainnya menjadi korban. Pada UAN (Ujian Akhir Nasional) terakhir, yaitu pada tahun 2005, ada ribuan siswa yang tidak lulus dan terpaksa mengikuti ujian ulang.
Aceh juga memiliki sejumlah Perguruan Tinggi Negeri seperti
Aceh.Net
Permasalahan sosial
Gerakan Aceh Merdeka
Aceh hingga kini masih didera konflik berkepanjangan yang disebabkan keinginan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) yang dipimpin Hasan Tiro ingin memisahkan Aceh dari Indonesia karena ketidakadilan dan kezaliman Pemerintah Pusat dan TNI/Polri terhadap rakyat Aceh.
Penerapan Darurat Militer di Aceh
Pemerintahan
Sejak tahun 1999, Nanggroe Aceh Darussalam telah mengalami beberapa pemekaran wilayah hingga sekarang mencapai 4 pemerintahan kota dan 17 kabupaten sebagai berikut :
Daftar Gubernur
No. | Periode | Nama Gubernur | Keterangan |
1 | 1945 - 1946 | Teuku Nyak Arif | |
2 | 1947 - 1948 | Teuku Daud Syah | |
3 | 1948 - 1951 | Daud Beureuh | Gubernur Militer |
4 | 1951 - 1952 | Danu Broto | |
5 | 1952 - 1953 | Teuku Sulaiman Daud | |
6 | 1953 - 1955 | Abdul Wahab | |
7 | 1955 - 1956 | Abdul Razak | |
8 | 1957 - 1964 | Prof. Dr. Ali Hasyimi | |
9 | 1954 - 1966 | Nyak Adam Kamil | |
10 | 1966 - 1967 | H. Asbi Wahidi | |
11 | 1968 - 1978 | A. Muzakir Walad | |
12 | 1978 - 1981 | A. Madjid Ibrahim | |
13 | 1981 - 1986 | Hadi Thayeb | |
14 | 1986 - 1991 | Prof. Dr. Ibrahim Hassan | |
15 | 1991 - 1993 | Prof. Dr. Ibrahim Hassan | |
16 | 1993 - 21 Juni 2000 | Prof Dr Syamsudin Mahmud | |
18 | 21 Juni 2000 - November 2000 | Ramli Ridwan | Pejabat Gubernur |
17 | November 2000 - 19 Juli 2004 | Abdullah Puteh | Nanggroe Aceh Darussalam, diberhentikan sementara sejak 26 Desember 2004 |
18 | 19 Juli 2004 - | Azwar Abubakar | Plt Azwar Abubakar, mengantikan Abdullah Puteh yang dipenjara 10 Tahun karena kasus korupsi |
Kondisi dan sumber daya alam
Kondisi alam
Keanekaragaman hayati
Sumber daya alam
Potensi daerah
Perekonomian
Tenaga Kerja
Pertanian & perkebunan
Hutan & ikan
Perikanan
Sebelum bencana tsunami 26 Desember 2004, perikanan merupakan salah satu pilar ekonomi lokal di Nanggroe Aceh Darussalam, menyumbangkan 6,5 persen dari Pendapatan Daerah Bruto (PDB) senilai 1,59 triliun pada tahun 2004 (Dinas Perikanan dan Kelautan NAD 2005). Potensi produksi perikanan tangkap mencapai 120.209 ton/tahun sementara perikanan budidaya mencapai 15.454 ton/tahun pada tahun 2003 (Dinas Perikanan dan Kelautan NAD 2004). Produksi perikanan tersebut merata, baik di Samudera Hindia maupun Selat Malaka.
Industri perikanan menyediakan lebih dari 100.000 lapangan kerja, 87 persen (87.783) di sub sektor perikanan tangkap dan sisanya (14.461) di sub sektor perikanan budidaya. Sekitar 53.100 orang menjadikan perikanan sebagai mata pencaharian utama. Namun demikian, 60 persen adalah nelayan kecil menggunakan perahu berukuran kecil. Dari sekitar 18.800 unit perahu/kapal ikan di Aceh, hanya 7.700 unit yang mampu melaut ke lepas pantai. Armada perikanan tangkap berskala besar kebanyakan beroperasi di Aceh Utara, Aceh Timur, Bireuen, Aceh Barat dan Aceh Selatan.
Menurut Nurasa et. al. (1993), nelayan Aceh sebagian besar menggunakan alat tangkap pancing (hook and line). Alat tangkap lain adalah pukat, jaring cincin (purse seine), pukat darat, jaring insang, jaring payang, jaring dasar, jala dan lain-lain.
Infrastruktur penunjang industri ini meliputi satu pelabuhan perikanan besar di Banda Aceh, 10 pelabuhan pelelangan ikan (PPI) utama di 7 kabupaten/kota dan sejumlah Tempat pelelangan ikan (TPI) kecil di 18 kabupaten/kota. Selain itu terdapat 36.600 hektar tambak, sebagian besar tambak semi intensif yang dimiliki petambak bermodal kecil. Tambak-tambak ini terserbar di Aceh Utara, Pidie, Bireuen dan Aceh Timur.
Departemen Kelautan dan Perikanan (DKP) Indonesia mengelola sebuah pusat pendidikan dan latihan (Pusdiklat) budidaya, sebuah pusat penelitian dan pengembangan (Puslitbang) budidaya, sebuah laboratorium uji mutu perikanan dan sebuah kapal latih. Di tiap kabupaten/kota, terdapat dinas perikanan dan kelautan. Total aset di sektor perikanan pra tsunami mencapai sekitar Rp. 1,9 triliun.
Badan Perencanaan Pembangunan Nasional/Bappenas (2005) memperkirakan 9563 unit perahu hancur atau tenggelam, termasuk 3969 (41,5%) perahu tanpa motor, 2369 (24,8%) perahu bermotor dan 3225 (33,7%) kapal motor besar (5-50 ton). Selain itu, 38 unit TPI rusak berat dan 14.523 hektar tambak di 11 kabupaten/kota rusak berat. Diperkirakan total kerugian langsung akibat bencana tsunami mencapai Rp. 944.492,- (50 persen nilai total aset). Sedangkan total nilai kerugian tak langsung mencapai Rp. 3,8 milyar. Sebagian besar kerugian berasal dari kerusakan tambak.
Kerusakan tambak budidaya tersebar merata. Bahkan di daerah yang tidak terlalu parah dampak tsunaminya (misalnya di Aceh Selatan), tambak-tambak yang tergenang tidaklah mudah diperbaiki dan digunakan kembali. Total kerugian mencapai Rp. 466 milyar, sekitar 50 persen dari total kerugian sektor perikanan. Kerugian ekonomi paling besar berasal dari hilangnya pendapatan dari sektor perikanan (tangkap dan budidaya). Hilangnya sejumlah besar nelayan, hilang/rusaknya sarana dan prasarana perikanan termasuk alat tangkap dan perahu serta kerusakan tambak menjadikan angka kerugian sedemikian besarnya.
Diperkirakan produksi perikanan di Aceh akan anjlok hingga 60 persen. Proses pemulihan diperkirakan membutuhkan waktu paling sedikit 5 tahun. Di sub sektor perikanan tangkap, bahkan diduga perlu waktu lebih lama (sekitar 10 tahun), karena banyaknya nelayan yang hilang/meninggal selain rusaknya sejumlah besar perahu/alat tangkap. Berdasarkan asumsi tersebut, total kerugian yang mungkin terjadi hingga sektor ini pulih total dan kembali ke kondisi pra tsunami diperkirakan mencapai Rp. 3,8 triliun.
Lihat juga: Panglima Laôt
Industri
Aceh memiliki sejumlah industri besar diantaranya
Wisata
- Taman Putroe Phang
- Pinto Khop
- kuburan Kherkoff
- Danau Laut Tawar
- Danau Aneuk Laot
- Iboih
- wisata tsunami
Jasa
Energi
Pertambangan
Transportasi
Komunikasi
Ekspor & Impor
Keuangan & Perbankan
Seni dan Budaya
Nanggroe Aceh Darussalam merupakan kawasan yang sangat kaya dengan seni budaya galibnya wilayah Indonesia lainnya. NAD mempunyai aneka seni budaya yang khas seperti tari-tarian, dan budaya lainnya seperti:
- Didong (seni pertunjukan dari masyarakat Gayo)
- Tradisi Meuseukee Eungkot (wilayah Aceh Barat)
- Peusijuek (atau Tepung tawar dalam tradisi Melayu)
Musik
Tarian
- Tari Seudati
- Tari Saman
- Rapai Geleng
- Rateb Meuseukat
- Likok Pulo
- Ranup Lampuan
- Tarek Pukat
- Tari Guel, dari Gayo
- Tari Bines, dari Gayo
Sastra
Makanan Khas
Aceh mempunyai aneka jenis makanan yang khas. Antara lain timphan, gulai itik kare kambing yang lezat, Gulee Pliek U dan meuseukat yang langka. Di samping itu emping melinjo asal kabupaten Pidie yang terkenal gurih, dodol Sabang yang dibuat dengan aneka rasa asal serta bolu manis asal Peukan Bada, Aceh Besar juga bisa jadi andalan bagi NAD.
Lihat pula
- http://aceh.net semua informasi ttg Aceh in English Language
- Daftar provinsi Indonesia
- SIRA
Referensi
Pranala luar
- (Indonesia) informasi ttg Aceh in English Language http://aceh.net
- (Indonesia) Situs resmi
- (Indonesia) Pusat Informasi Dan Berita Acheh
- (Indonesia) Aceh Institute Lembaga Kajian Independen Aceh
- (Indonesia) AcehKids.org Program Taman Bacaan Anak dan Komunitas di Aceh
- (Indonesia) Pusat Informasi dan Inspirasi Rakyat Aceh (PIIRA) aCehpO
- (Indonesia) Pusat Informasi Dan Inovasi(AcHeHnEsE.Com
- (Indonesia) Harian Serambi Indonesia
- (Indonesia) Situs Aceh Flyktning Foreningen Norway
- (Indonesia) Situs resmi Gerakan Aceh Merdeka
- (Indonesia) UURI No.18 Tahun 2001 Tentang Otonomi Khusus Bagi Propinsi Daerah Istimewah Aceh Sebagai Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam
- ^ "Kode dan Data Wilayah Administrasi Pemerintahan (Permendagri No.137-2017) - Kementerian Dalam Negeri - Republik Indonesia". www.kemendagri.go.id (dalam bahasa Inggris). Diarsipkan dari versi asli tanggal 2017-04-29. Diakses tanggal 2018-07-09.