Tragedi Benteng Kuta Reh

Revisi sejak 16 Januari 2017 03.33 oleh Rilies (bicara | kontrib) (jalannya pertempuran)

Benteng Kuta Reh terletak di Kecamatan Bambel, Kabupaten Aceh Tenggara

saat ini, Tragedi ini sendiri adalah bagian dari Perang Aceh-Belanda yang sangat panjang, Tragedi ini terjadi 110 tahun yang lalu atau pada tanggal 14 Juni 1904, di mana sebanyak 2.922 Rakyat Alas dibantai oleh pasukan Gotfried Coenraad Ernst van Daalen atas perintah Gubernur Militer Belanda di Aceh, korban yang mati syahid sendiri terdiri dari 1.773 laki-laki dan 1.149 perempuan (Menurut Asnawi Ali) Tetapi Menurut Kempes dan Zentgraaff korban lebih banyak lagi yakni berjumlah  4.000 orang. ini adalah genosida pertama yang di lakukan oleh Belanda di Indonesia.[1]

Ekspedisi G.C.E van Daalen[2]

Pembantaian di Kuta Reh itu bermula dari keinginan Gubernur Militer Belanda di Aceh, Van Huetsz untuk menaklukkan seluruh Aceh seteplah raja Aceh Sulthan Muhammad Daud Syah menyerah pada 1903. Ia memerintahkan Van Daalen untuk menyerang daerah Gayo Lues pada 1904. Perjalanan menuju ke Gayo tidaklah mudah. Sepanjang perjalanan menuju ke sana, mereka selalu di serang oleh pejuang Aceh di beberapa tempat, ditambah lagi mereka harus naik turun bukit. Untuk menghibur para marsose itu, Van Huetsz merasa perlu mengirim istri-istri mereka ke sana melalui Kuala Simpang. Para wanita itu dikirim oleh Rammerswall, kepala depot 800 pekerja paksa di Kuala Simpang. Pengiriman itu sangat merepotkan Rammerswall. Dari Kuala Simpang, transportasi barisan perempuan-perempuan itu dilakukan dengan naik perahu sampai ke Kalue. Dari sana para pekerja paksa mengangkut barang-barang mereka sampai ke Pinding, terus melewati Gunung Burni Gajah. Namun, di tengah perjalanan melelahkan itu, sebelum sampai ke Blangkejeren banyak istri marsose yang memilih kembali ke Langsa. Sementara perempuan-perempuan yang melanjutkan perjalanannya ke Blangkejeren merupakan perempuan-perempuan tua Ambon yang oleh Zentgraaff digambarkan sebagai perempuan-perempuan kasar jenis “tartar” yang berwajah kusam yang tidak lagi menggoda, bahkan bagi pengawal rombongan itu sekalipun. Inilah yang kemudian menjadi masalah baru, hingga menimbulkan perselingkuhan antara marsose dengan istri kawannya. Banyak marsose yang prustasi hingga menembak komandan dan kawan sepasukannya sendiri. Keberingasan marsose itu berdampak pada penyerangan-penyerangan selanjutnya ke berbagai daerah operasi. Mereka menjadi pasukan yang di luar kendali dan bertindak brutal. Mulai dari penyerangan ke Gayo Laut, Gayo Deret, sampai kemudian Van Daalen dan pasukannya pada 9 Maret 1904 menyerang Gampong Kela sebuah daerah terpencl di Gayo Lues pada masa itu. Mulai dari kampung itulah penaklukan demi penaklukan dilakukan Van Daalen, dimulai dari benteng pasir (16 Maret 1904), Gemuyung (18,19,20 Maret 1904), Durin (22 Maret 1904), Badak (4 April 1904), Rikit Gaib (21 April 1904), Penosan (11 Mei 1904), Tampeng (18 Mei 1904). Hampir seluruh isi benteng dimusnahkan dan yang luka-luka tertawan akhirnya dibunuh. Menurut catatan Keempes dan Zentegraaf hampir 4000 rakyat Gayo dan Alas gugur, termasuk pejuang Gayo seperti Aman Linting, Aman Jata, H Sulaiman, Lebe Jogam, Srikandi Inen Manyak Tri, Dimus dan lain-lain. Setelah menaklukkan Gayo Lues pasukan Belanda kemudian menuju Tanah Alas. Mereka baru kembali lagi ke Gayo Lues pada tahun 1905 untuk menyusun pemerintahan. Belanda kemudian membentuk Pemerintahan Sipil yang disebut Onder Afdeling (Kabupaten).  Onder Afdeling Gayo lues membawahi tiga daerah yang disebut Landchap (Kecamatan), yaitu: Landchaap Gayo Lues di Blang Kejeren dikepalai oleh Aman Safii. Landchap Batu Mbulan dikepalai oleh Berakan. Landchap Bambel dikepalai oleh Syahidin.Sejak 1905 – 1942 Tanah Alas tunduk ke Gayo Lues. Tahun 1926 terjadi pemberontakan rakyat terhadap Belanda di Blang Kejeren yang dipimpin oleh Muhammad Din, pemberontakan gagal. Muhammad Din ditangkap dan dibuang ke Boven Digul (Irian Jaya) sedangkan kawan-kawannya dibuang ke Cilacap, Sukamiskin dan Madura.

Jalannya Pertempuran

Sehari sebelum penyerangan G.C.E Van Daalen ke Benteng Kuta Reh sekitar pukul 18.00 WIB tertanggal 13 juni 1904 dibivaknya Lawe Sagu. G.C.E Van Daalen mengumpulkan seluruh opsir-opsir dan pasukanya, untuk memberikan pengaturan dan perintah yang pada tanggal 14 juni 1904 ditetapkan sebagai penyerangan terhadap Benteng Kuta Reh.

Instruksi seperti ini lazim dilakukan pasukan Belanda apabila hendak melakukan suatu penyerangan terhadap benteng-benteng yang dianggap kuat dan berbahaya.

Untuk melaksanakan penyerangan ke Benteng Kuta Reh menurut J.C.J Kempees dalam bukunya “ de Tocht van Overste van Daalen Door de Gajo Loeos Alas en Bataklanden “ Pasukan Belanda terbagi dalam tiga golongan pasukan,yakni :

1.      Sebelas Brigade Mareshausse ( Marsose ).;

2.      Pasukan Infantri dan orang-orang hukuman (Umumnya orang-orang hukuman dari Jawa,Ambon dan Batak yang membawa peralatan);

3.      Dan yang Ketiga, Pasukan Infantri serta orang-orang hukuman (alat-alat perlengkapan) dan regu kesehatan.

Dalam pasukan ini terdapat pula empat Brigade bekas koloni Pendeng yang di datangkan dari Kuala Simpang dibawah pimpinan Kapten de Graaf dibantu oleh Letnan Lasander. Empat Brigade dibawah Pimpinan Kapten Sceepens, dibantu oleh Letnan Christoffel Bertugas melakukan penyerangan di bagian Selatan dan Timur dari Benteng Kuta Reh, Tiga Brigade dibawah Pimpinan Letnan Watrin, dibantu Letnan Van Braam Morris, mendapat tugas menembus Benteng dari bagian Barat dan Utara, Sedangkan Brigade dibawah Pimpinan Letnan Winter bertugas sebagai pasukan cadangan yang sewaktu-waktu siap melakukan penyerbuan apabila pasukan inti kewalahan menghadapi para pejuang Gayo-Alas. Sedangkan pasukan Kapten Stolk mendampingi Van Daalen menyerbu bagian Selatan Benteng. Pada tanggal 14 Juni 1904 tepat pukul 07.15 pagi. bergerak dan berangkatlah pasukan dari bivak Lawe Sagu menuju Benteng Kuta Reh, Pada pukul 07.55 wib oleh pasukan Kapten Scheepens dan Lasander berhasil mencapai Benteng Kuta Reh dan melakukan pengamatan tentang Penampakkan bentuk dari Benteng.

Dari pengamatan itu dapat diketahui Benteng Kuta Reh didirikan tidak di Kampung (Kute), melainkan di sebuah lapangan terbuka yang luas, berdinding setinggi 2 meter, setebal 2 meter bagian atasnya cukup tebal bila kita berdiri tegak dan berjalan.

Dindingnya cukup curam, dibagian luarnya dipagari dengan bambu-bambu hidup setebal 4,5 meter, kemudian ditanami pula dengan bambu berduri hidup setebal 5 meter diatas benteng dipagari pula lagi dengan bambu runcing setinggi 2 meter, dan seluruh dinding benteng diberi lubang-lubang kecil yang oleh pasukan Gayo-Alas digunakan sebagai tempat untuk menembak pasukan Belanda.

Dibagian dalam sepanjang dindingnya digali lobang untuk tempat perlindungan, kemudian lobang/ parit-parit ini dalamnya terdapat pula pondok-pondok (barak) tempat perlindungan.

Setelah pasukan Van Daalen melihat secara umum keadaan dari Benteng Kuta Reh, kemudian pasukan meneruskan perjalanananya menuju Benteng ini dengan menempatkan pasukan-pasuan sebagaimana yang telah di Instruksikan dari semula, dan Van Daelen juga menginstruksikan semua pasukannya untuk sedekat mungkin dengan Benteng Kuta Reh.

Di pihak pasukan gabungan dari Gayo-Alas sendiri Sebelum Pasukan Van Daalen memasukki Tanoh Alas, Mereka telah terlebih dahulu mendapatkan info akan kedatangan pasukan Belanda yang akan menyerang Tanoh Alas, berita itu mereka dapat dari pasukan Gayo Lues yang mengundurkan diri ke Tanoh Alas akibat kekalahan perang melawan Belanda, dari sisa pasukan Gayo Lues itulah pejuang-pejuang Alas mendapat info akan siasat perang Belanda, dan membuat persiapan Benteng jauh lebih baik dan kuat ketimbang benteng-benteng yang berada di Tanoh Gayo yang kurang mendapat waktu dan info akan kedatangan Belanda.

lebih kurang 4000 orang (J.C.J Kempees dan Zentgraaff) atau 2922 orang (Asnawi Ali) Gayo-Alas yang berada di dalam Benteng bahu-membahu mepertahankan Nahma (marwah) orang Gayo-Alas yang tak sudi tanahnya dijajah.

Diantara pasukan tersebut terdapat beberapa Panglima Perang yang disegani yang di antaranya: Panglima Mamad anak Kejerun Bambel, Panglima Haji Djafar adik dari Raja Cik Batu, Panglima Guru Leman dan Panglima Ejem.

Setiap panglima memiliki tugas dan perannya masing-masing didalam mempertahankan benteng. Panglima Mamad dengan pasukannya mempertahankan benteng dari arah Timur, Panglima Guru Leman dan Panglima Ejem di bagian Selatan, dan Panglima Haji Djafar di bagian Utara dan Barat Benteng.

Setelah melihat pasukan kecil Belanda dibawah Pimpinan Kapten Scheepens yang hendak maju mendekati dinding Benteng, Panglima Guru Leman lantas memberikan komando pasukannya untuk menyerang terlebih dahulu dengan melepaskan tembakan senjata bedil dari celah-celah lubang dinding Benteng dengan gencar, mengakibatkan Kapten Scheepens terkena tembakkan dilambung kirinya, Mendapat serangan yang gencar dan gigih dari pasukan Panglima Guru Leman tak pelak membuat pasukan Kapten Scheepens terkejut dan seketika pasukan Belanda dari arah selatan porak-poranda dan memaksa mereka untuk mundur.

Melihat keadaan Kapten Scheepens dan pasukanya kewalahan menghadapi pejuang Alas  membuat Van Daalen murka, dia memberikan perintah langsung tepat pada pukul 08.45 wib, untuk melakukan penyerbuan serentak. Pasukan Moris maju menaiki dinding benteng dan memberikan instruksi tembakkan, serangan dari pasukkan Moris disambut dengan gagahnya lemparan lembing bercabang oleh Pasukan Panglima Haji Djafar yang olehnya Moris terluka bagian punggungnya Seketika saja tembak menembak dan pertempuran dengan dahsyatnya terjadi di Benteng Kuta Reh.

pasukan Van Daalen dari Selatan berusaha menguasai pintu masuk Benteng.

Setelah pintu masuk ini dapat dikuasai oleh pasukan Christoffel maka seluruh pasukanya memasuki Benteng, dengan disambut kelewang, tombak lembing,bambu dan bedil dari pejuang Gayo-Alas, Pertempuran tak seimbang pun terjadi, yang mengakibatkan banyaknya korban dari pejuang Gayo-Alas yang mati Syahid.

Melihat keadaan pasukan Gayo-Alas semakin terpojok. membuat pasukan Panglima Mamad, Panglima Guru Leman dan Panglima Ijem mengalihkan pertahananya ke arah belakang Benteng.

Dengan Pertempuran yang tak seimbang, dengan cepatnya pasukan Belanda berhasil menaklukkan seluruh perlawanan Gayo-Alas dan Benteng berhasil dikuasai sepenuhnya pada pukul 09.40 WIB. Tetapi pasukan Guru Leman, Panglima Mamad, Panglima Ijem yang berhasil meloloskan diri sesekali melepaskan tembakan dari arah belakang Benteng.

Dibawah Instruksi langsung Van Daalen, Belanda mengadakan pembersihan didalam Benteng, dan memerintahkan pasukan Infantry untuk mengumpulkan senjata dan menghitung korban yang syahid, mereka juga menyita bahan-bahan perlengkapan Benteng. setelah selesai Seluruh pasukan kembali ke Lawe Sagu, dan pukul 15.45 WIB seluruh pasukan Van Daalen telah berada kembali ke Bivak di Lawe Sagu.

Menurut catatan J.C.J Kempees korban-korban yang jatuh dalam penyernangan dalam Benteng Kuta Reh antara lain sebagai berikut,

Kerugian dipihak Benteng Kuta Reh;

313 pria tewas, 189 wanita tewas, 59 anak-anak tewas, 20 wanita luka berat, 31 anak-anak luka berat, 63 anak anak dan wanita cedera, 75 karaben disita dan bahan bahan makanan.

ada juga sumber lainnya korban yang mati syahid sendiri terdiri dari 1.773 laki-laki dan 1.149 perempuan (Menurut Asnawi Ali) Tetapi Menurut Kempes dan Zentgraaff korban lebih banyak lagi yakni berjumlah  4.000 orang. ini adalah genosida pertama yang di lakukan oleh Belanda di Indonesia

Kerugian pihak Belanda:

2 marsause tewas, 3 opsir luka luka masing masing, Kapten Scephens, Letnan van bram moris, Letnan cristoffel, 1 brigade lebih marseuse luka luka, 4400 peluru ditembakan

Diantara yang tewas terdapat Kepala Kampung Kuta Reh dan Kejeruntua Batu Mbulan dan Pengulu Cik Batu Mbulan. (Sumber : atjehcyber)

Galeri Foto[3]

  1. ^ Riduwan Philly Created
  2. ^ http://seputaraceh.com/read/8768/2012/06/13/kuta-reh-108-tahun-lalu
  3. ^ Google.com/