Edi Sedyawati
artikel ini perlu dirapikan agar memenuhi standar Wikipedia. |
Edi Sedyawati (lahir 28 Oktober 1938) adalah penulis dan arkeolog Indonesia.
Akibat perang, masa kecil Edi Sedyawati sempat dilewatkan di kota pengungsian. Ketika Jepang masuk (tahun 1942), bersama beberapa keluarga, ia dan adiknya yang masih bayi dibawa ibunya mengungsi dari Semarang ke Kendal, Jawa Tengah. Sementara itu, ayahnya, tokoh pergerakan, pergi ke luar kota. Setelah beberapa lama, Edi – yang belakangan dikenal sebagai penari dan arkeolog—bertemu ayahnya yang kemudian membawanya mengungsi ke rumah kakeknya di Ponorogo, Jawa Timur.
Setelah keadaan aman, Edi diboyong keluarganya ke Magelang —ketika itu ayahnya menjadi pembantu gubernur di kota ini. Kemudian mereka pindah lagi ke Yogyakarta. Bersamaan dengan perpindahan ibu kota dari Yogyakarta ke Djakarta, sang ayah—yang waktu itu bekerja di Kementrian Dalam Negeri—memboyongnya ke Jakarta. Di sini, Edi menyelesaikan pendidikan dasar sampai perguruan tinggi.
“Menari itu hobi, dan arkeologi itu studi,” kata mantan Dirjen Kebudayaan ini. Ia tertarik pada balet sesudah menontonnya di bioskop. Tapi, setelah terpukau oleh pemeran Abimanyu di sebuah pertunjukan wayang orang, Edi mempelajari tari Jawa dan bergabung dengan Ikatan Seni Tari Indonesia. Ayahnya, Imam Sudjahri—pengacara, redaktur koran Indonesia Raja sehabis perang, kemudian Sekjen Departemen Sosial RI—memang menginginkan dia belajar menari. Pada 1961, Edi sudah turut memperkuat misi kesenian Indonesia ke berbagai negara.
Ketertarikannya pada benda purbakala muncul waktu SMP, setelah ia diajak ayahnya jalan-jalan ke Jawa Tengah melihat candi-candi. “Saya terpukau oleh peninggalan masa lalu dan sejak saat itu saya terobsesi untuk mempelajarinya,” kata Edi. Obsesinya tercapai setelah menempuh pendidikan jurusan arkeologi Universitas Indonesia sampai meraih gelar doktor dengan predikat magna cum laude.
Jangan heran, karena Edi memerlukan waktu lima tahun untuk menyelesaikan disertasinya, yang berjudul “Pengarcaan Ganesha Masa Kadiri dan Singhasari: Sebuah Tinjauan Sejarah Kesenian”. Termasuk untuk berburu arca Ganesha, dari Museum Nasional Jakarta ke berbagai pelosok di Jawa Tengah, sampai ke pusat-pusat dokumentasi dan benda purbakala di Belanda. Melalui dunia purbakala juga, ia meniti karier akademi sampai menjadi guru besar di almamaternya.
Tari dan purbakala akhirnya dapat dipertemukannya. Tatkala membuat penelitian tentang sejarah tari Jawa dan Bali, Edi menggalinya dari data arkeologi. "Karier akademi saya juga bisa mengikuti dua jalur itu,” ujarnya. Sewaktu mendirikan Jurusan Tari di Institut Kesenian Jakarta, ia memanfaatkan pengalamannya menyusun kurikulum di tempatnya mengajar, Fakultas Sastra UI. Dan, agar lebih memantapkan bidang kesenian, ia mengikuti kursus etnomusikologi di East-West Center, Honolulu, Hawaii, AS, 1975.
Sebagai arkeolog, Edi prihatin dengan apresiasi masyarakat Indonesia terhadap purbakala dan tari negerinya. “Secara umum, masyarakat masih belum mengerti tentang perlunya merawat peninggalan purbakala,” ujarnya. Sebagai penari dan pengamat tari klasik Jawa, ia tidak puas dengan perkembangan tari di Indonesia. “Kebudayaan menjurus kepada hiburan dan (budaya) populer,” kata pengagum Bung Karno dan Koentjaraningrat ini. Kalau itu dibiarkan terus, menurut Edi, kualitas bangsa Indonesia nantinya juga sekualitas hiburan saja. “Padahal, seharusnya kita menjadi bangsa yang mempunyai kemantapan pengalaman batin dan pemahaman konseptual,” ujar penerima bintang “Chevalier des Arts et Letters” dari Prancis itu.
Kedua anaknya, yang sudah berkeluarga, tak lagi merepotkannya. Toh Edi masih sangat sibuk. Selain memeriksa tesis, skripsi, disertasi, persiapan mengajar, melaksanakan penelitian, ia sering juga diminta ikut serta dalam simposium, seminar, di dalam negeri maupun luar negeri. Karena itu, ia tidak punya waktu untuk melakukan hobinya memotret dan menyetir mobil. Tapi, soal memperhatikan penampilan, Edi masih meluangkan waktu. “Penampilan itu perlu, supaya enak dilihat orang lain,” tukasnya.
Biografi
Edi Sedyawati lahir di Malang, 28 Oktober 1938. Beragama Islam.
Pendidikan
- SR Kris, Jakarta (1951)
- SMP Negeri I, Jakarta (1954)
- SMA Negeri I, Jakarta (1957)
- Jurusan Arkeologi Universitas Indonesia (S1, 1963)
- Fakultas Sastra Universitas Indonesia (doktor, 1985)
Karier
- Pengajar Fakultas Sastra UI (1963–sekarang)
- Ketua Jurusan/Akademi Tari, LPKJ (1971-1977)
- Ketua Jurusan Arkeologi UI (1971-1974)
- Ketua Komite Tari Dewan Kesenian Jakarta (1971-1976)
- Anggota Dewan Pengurus Harian DKJ (1971-1974)
- Pembantu Dekan I Fakultas Kesenian Institut Kesenian Jakarta (IKJ; 1978-1980)
- Pembantu Rektor I IKJ (1986-1989)
- Ketua Jurusan Sastra Daerah, Fakultas Sastra UI (1987-1993)
- Kepala Pusat Penelitian Kemasyarakatan dan Budaya UI (1989-1993)
- Anggota Konsorsium/Komisi Disiplin Ilmu Seni (1990-sekarang)
- Direktur Jenderal Kebudayaan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan (1993-1999)
- Governor untuk Indonesia, Asia-Europe Foundation (1999-2001)
Kegiatan Lain
- Ketua Masyarakat Sejarawan Indonesia cabang Jakarta (1986-1990)
- Ketua I Masyarakat Sejarawan Indonesia (1990-1993)
- Penasihat Masyarakat Musikologi Indonesia (kemudian berganti nama Masyarakat Seni Pertunjukan Indonesia)
- Ketua Himpunan Sarjana Kesusasteraan Indonesia komisariat UI (1992-1993)
- Ketua Umum Ikatan Ahli Arkeologi Indonesia (1995-1999, 1999-2002)
Karya
Dia sangat produktif dalam berkarya. Tulisan-tulisannya banyak diterbitkan dalam bentuk buku, jurnal, dan karya ilmiah, yang tersebar di berbagai media. Karya-karyanya, antara lain:
- Pertumbuhan Seni Pertunjukan, Seri Esni No. 4, Sinar Harapan (1980)
Penghargaan
- Hasil Penelitian Terbaik Universitas Indonesia bidang Humaniora (1986)
- Bintang Jasa Utama Republik Indonesia (1995)
- Satyalencana Karya Satya 30 tahun (1977)
- Bintang "Chevalier des Arts et Letters" dari Republik Perancis (1997)
- Bintang Mahaputera Utama (1998) - Penghargaan UI sebagai peneliti senior berprestasi (2001)