Reklamasi daratan di Singapura

artikel daftar Wikimedia

Reklamasi daratan dari perairan sekitar diterapkan di Singapura untuk memperluas daratan alaminya yang terbatas. Reklamasi daratan adalah proses menambah daratan baru dengan menimbun perairan sekitar.[1] Ada beberapa cara melakukan reklamasi daratan. Cara paling sederhana adalah mengimpor dan menimbun batuan besar dan/atau semen ke perairan, kemudian menimbun tanah liat sampai ketinggian daratan yang diinginkan tercapai.[2] Mengeringkan lahan basah yang terbenam atau bioma serupa untuk memunculkan daratan juga tergolong reklamasi daratan.[2]

Singapura menerapkan reklamasi daratan ekstensif untuk memperluas wilayahnya ke luar batas geografis alaminya.

Seperti di wilayah pesisir Hong Kong dan Makau, proses reklamasi daratan memungkinkan terjadinya pembangunan cepat dan urbanisasi.[3] Wilayah pesisir dibatasi oleh letak geografis dan biasanya dibatasi oleh lautan. Wilayah pesisir dapat meluas ke lautan dengan reklamasi daratan.

Reklamasi daratan sudah dilakukan di Singapura sejak awal abad ke-19 dan semakin intens pada paruh akhir abad ke-20 karena pertumbuhan ekonominya melesat.[4] Dengan luas 719 kilometer persegi, Singapura lebih kecil daripada New York City.[5],[6] Karena itu, pemerintah Singapura menilai reklamasi daratan perlu dilakukan. Proyek reklamasi dimanfaatkan untuk menopang kawasan komersial, permukiman, industri, dan pemerintahan yang sudah ada, termasuk kawasan resmi dan militer. Pelestarian sejarah dan budaya setempat dapat dilakukan karena kebutuhan lahan baru ditopang dengan cara reklamasi daratan.[7]

Pada tahun 1960, Singapura dihuni oleh kurang dari dua juta orang. Angka tersebut berlipat dua pada tahun 2008 menjadi hampir 4,5 juta jiwa.[8] Untuk memenuhi kebutuhan penduduk yang semakin bertambah (serta meningkatnya upaya ekonomi dan industralisasi negara), Singapura menambah luas daratannya sebesar 22% sejak merdeka tahun 1965. Sebagian tanah reklamasi dibiarkan kosong untuk cadangan masa depan.[9],[10] Meski penduduk asli Singapura tidak bertambah cepat seperti pada pertengahan abad ke-20, orang asing terus membanjiri kota ini seiring bertumbuhnya ekonomi negara. Karena itu, pemerintah Singapura gencar melakukan reklamasi daratan.[11],[12] Pemerintah berencana memperluas Singapura sebesar 7-8% pada tahun 2030.[13]

History

 
Rencana tata kota Singapura buatan Stamford Raffles, 1822.

Tahap pertama reklamasi daratan dimulai tidak lama setelah Sir Stamford Raffles tiba pada tahun 1819. Raffles datang untuk membangun pelabuhan Britania yang menyaingi Belanda. Meski Singapura saat ini merupakan tempat berlabuh yang ideal, Singapura zaman dulu hanya desa nelayan kecil biasa.[14],[4] Mengubah desa kecil menjadi pusat dagang besar memerlukan penataan ulang dan pemanfaatan lahan yang lebih baik. Dengan beberapa perubahan terhadap rencana aslinya, Raffles memutuskan pada tahun 1822 bahwa pusat perdagangan yang baru akan dibangun di bantaran selatan Sungai Singapura, dekat mulut sungai.[15] Kala itu, hampir seluruh bantaran selatan berupa rawa yang dipenuhi bakau dan dialiri anak-anak sungai.[16] Daerah itu tidak dihuni.[16] Meski Residen Britania pertama di Singapura, William Farquhar, mengkhawatirkan biaya dan kelayakan reklamasi daratan, ia akhirnya memutuskan bahwa proyek ini bisa dilaksanakan.[16] Karena bantaran sungai barat daya rawan banjir, Raffles memerintahkan agar sebuah bukit kecil dikeruk (sekarang Raffles Place) dan tanahnya ditimbun di dataran rendah yang rawan banjir.[16] Proyek ini dimulai pada paruh akhir 1822 dan dikerjakan selama 3-4 bulan oleh tenaga kerja Tionghoa, Melayu, dan India.[16] Bantaran selatan kemudian dikapling dan dijual ke investor komersial.[16]

Usai proyek reklamasi pertama, geografi Singapura tidak banyak berubah sampai 1849. Pemerintah membangun fasilitas pelabuhan yang semakin sibuk setelah Permukiman Selat Britania didirikan tahun 1829 dan Terusan Suez dibuka tahun 1969. Dua momen penting tersebut membuka jalur pelayaran yang lebih baik antara Singapura dan Eropa.[17],[4]

Pada awal abad ke-20, terutama 1919 sampai 1923, reklamasi Singapura dilakukan untuk meningkatkan sarana publik seperti jalan raya, kereta api, dan perlindungan pesisir dari aspek militer.[4] Pembangunan ini berlanjut sampai Perang Dunia II ketika Jepang menduduki Singapura. Alih-alih memperbaiki Singapura, Jepang lebih berfokus pada mengembangkan kebudayaan Jepang, mendirika nsekolah Jepang, dan memutar film-film propaganda Jepang di bioskop.[18] Pada masa itu, industrialisasi di Singapura berjalan lambat dan tidak berubah sampai awal 1960-an (saat itu Singapura mengalami perubahan politik besar-besaran) ketika Singapura turut mendirikan Malaysia tahun 1963.[4],[19] Sebagai wilayah Malaysia (dan wilayah merdeka tahun 1965), Singapura merasakan manfaat program pembangunan ekonomi yang memungkinkan sekaligus membutuhkan proyek reklamasi daratan besar-besaran.[4] Singapura mengalami lonjakan permintaan lahan industri, infrastruktur, komersial, dan permukiman. Beberapa proyek mereklamasi ratusan hektar daratan sekali jalan.[4] Kawasan Industri Jurong mulai dikembangkan pada awal 1960-an untuk memenuhi kebutuhan lahan industri. Tahun 1968, 153 pabrik didirikan di Jurong, 46 di antaranya sedang dibangun.[20] Tidak banyak bagian Jurong lama yang bertahan. Sebagian besar Jurong lama dibatasi oleh Waduk Pandan dan Sungei Pandan.[21] Pada saat yang sama seiring pengembangan Kawasan Industri Jurong, distrik bisnis pusat Singapura juga diperluas ke lahan reklamasi.[4] Ekonomi Singapura yang lemah pun berubah drastis melalui industrialisasi pascaperang dan reklamasi daratan.[22]

 
Marina Bay saat ini dapat berdiri berkat reklamasi daratan.

Pada tahun 1981, Bandar Udara Changi Singapura dibuka setelah menimbun rawa seluas dua kilometer persegi dengan +52.000.000 meter kubik material tanah.[23] Karena Changi memiliki kebijakan membangun terminal baru sebelum kapasitas bandara tercapai, terminal ketiga direncanakan lebih awal dan dibuka pada 1 Januari 2007.[24] Bandara Changi memegang gelar bandar udara terbaik di dunia setiap tahun sejak 2013 sampai 2016.[25]

Per 1991, 10% daratan Singapura direklamasi.[4] Pada tahun itu, lahan industri di daratan utama Singapura mulai langka. Pemeirntah memutuskan agar tujuh pulau kecil di selatan Jurong disatukan menjadi Pulau Jurong.[26] Tahun 2008, Singapura merupakan salah satu pusat perdagangan dan penyulingan minyak terbesar di dunia.[27] Fasilitas yang dibutuhkan untuk industri minyak sebesar itu memerlukan lahan yang sangat luas. Kini, hampir seluruh industri minyak Singapura berpusat di Pulau Jurong dan Kawasan Industri Jurong.[27]

Tahun 1992, proyek reklamasi Marina Centre dan Marina South seluas 360 hektar rampung setelah diumumkan pada akhir 1970-an..[28] Proses reklamasi ini menghilangkan Cekungan Telok Ayer dan Inner Roads; mulut Sungai Singapura yang sejatinya berakhir di laut dialihkan ke Marina Bay.[29] Proyek Marina Bay menambah daratan pinggir air dekat pusat bisnis Singapura dan dijadikan lahan properti premium untuk keperluan komersial, hunian, hotel, dan hiburan.[29]

Singapura terus membangun dan memperluas wilayahnya. Beberapa proyek reklamasi masih berlangsung hingga saat ini. Pemerintah berencana menambah 7-8% daratan negaranya pada tahun 2030.[30]

Masalah penambangan pasir

Reklamasi daratan memerlukan material timbunan.[2] Untuk perairan dangkal di sekitar Singapura, pasir merupakan opsi terbaik untuk reklamasi.[31] Pasir tidak selalu digunakan untuk reklamasi, tetapi sering dijadikan material utama untuk reklamasi Singapura.[32] Singapura justru menggunakan terlalu banyak pasir sehingga stok dalam negerinya habis dan berusaha mengimpor pasir dari negara-negara sekitar demi memenuhi kebutuhan reklamasi.[13] Walaupun industri di seluruh dunia bergantung pada pasir, Program Lingkungan Perserikatan Bangsa-Bangsa menemukan bahwa Singapura merupakan pengimpor pasir terbesar di dunia pada tahun 2014.[13] Pada tahun 2010 saja, Singapura mengimpor 14,6 juta ton pasir.[33]

Seiring pembangunan berjalan, sumber pasir bangunan semakin langka. Pada tahun 1997, Malaysia mengumumkan larangan ekspor pasir.[33] Media setempat terus melaporkan penyelundupan pasir ke Singapura. Perdana Menteri Mahathir Mohamad menyatakan bahwa penambang pasir korup ini "menggali Malaysia dan menyerahkannya kepada orang lain.”[33]

 
Kapal penambang pasir mengeruk Sungai Tatai di Kamboja.

Tahun 2007, Indonesia melarang ekspor pasir ke Singapura.[33] Larangan ini muncul setelah terjadi ketegangan antara Singapura dan Indonesia terkait pulau-pulau di antara kedua negara ini. Penambang pasir kabarnya hampir melenyapkan pulau-pulau tersebut.[33] Tahun itu, lebih dari 90% pasir impor Singapura berasal dari Indonesia.[34] Larangan ini menaikkan biaya konstruksi dan memaksa pemerintah mencari sumber pasir baru. Singapura terus mencari sumber karena negara-negara tetangganya juga melarang ekspor pasir.[35]

Tahun 2009, Vietnam mengikuti jejak Malaysia dan Indonesia dengan melarang ekspor pasir ke Singapura.[36]

Pada tahun itu juga, Kamboja melarang ekspor pasir, tetapi tidak total seperti negara-negara lain. Meski pasir dari dasar laut boleh diekspor, pasir sungai tidak boleh lagi dikeruk dan diperjualbelikan.[33] More recently, however, certain rivers that receive replenishments of sand naturally due to their proximity to seawater have been made exempt from this ban.[33] Meski dibatasi, Kamboja saat ini merupakan pemasok pasir utama bagi Singapura. Sebagai pemasok 25% pasir Singapura tahun 2010, Kamboja mengalami perubahan ekosistem yang drastis.[33] Setelah Sungai Tatai (pengecualian larangan) mulai digali tahun 2010, jumlah tangkapan ikan, kepiting, dan lobster warga setempat berkurang sebesar 85%; jumlah wisatawan juga berkurang karena kebisingan proyek meningkat.[33] Warga Kamboja meminta penambangan pasir dihentikan.[33] Kerusakan besar terjadi di seluruh Provinsi Koh Kong akibat pengerukan ini.[37]

Pemerintah Singapura tidak mau mengungkap sumber pasir impornya.[37] Kementerian Pembangunan Nasional mengatakan bahwa pemerintah membeli pasir dari "berbagai sumber yang disetujui", tetapi menegaskan bahwa rincian lebih lanjut bukan informasi publik.[37]

Pada November 2016, Singapura menerapkan metode reklamasi baru dengan menggunakan polder seperti Belanda.[35] Sebuah tembok dibangun untuk memisahkan air laut dengan polder (dataran rendah) dan permukaan airnya dikendalikan menggunakan pompa.[35] Penerapan metode polder akan mengurangi ketergantungan Singapura terhadap pasir impor untuk proyek-proyek reklamasi.[35] Metode ini akan diterapkan di Singapura di ujung barat laut Pulau Tekong, tempat dibangunnya pusat latihan militer yang diperluas hingga 810 hektar.[35]

Kontroversi dengan Malaysia

Pada tahun 2003, Malaysia mengkritik Singapura karena melakukan reklamasi di kedua ujung Selat Johor yang memisahkan kedua negara.[13] Malaysia mengklaim bahwa proyek Singapura mengganggu wilayah Malaysia dan berdampak buruk bagi lingkungan dan mata pencaharian nelayan setempat.[13] Malaysia menutut Singapura lewat jalur hukum sesuai Konvensi Hukum Laut PBB (UNCLOS).[13] Sengketa ini diselesaikan setelah melalui proses arbitrase.[13]

Singapura juga mengkritik Malaysia atas dua proyek reklamasi Malaysia di Selat Johor. Salah satu proyek akan menyatukan empat pulau di selat ini dan membangun metropolis baru bernama Forest City.[13] Malaysia mengiklankan Forest City sebagai kebun besar dengan bangunan-bangunan hijau dan transportasi publik yang mapan. Proyek tersebut tertunda ketika Singapura melontarkan protes pada tahun 2014. Pemerintah Malaysia kabarnya menyetujui pengurangan luas proyek Forest City pada Januari 2015.[13]

Lihat pula

Referensi

  1. ^ Wikipedia contributors, "Land reclamation," Wikipedia, The Free Encyclopedia, https://en.wiki-indonesia.club/w/index.php?title=Land_reclamation&oldid=766322137 (accessed February 15, 2017).
  2. ^ a b c Wikipedia contributors, "Land reclamation".
  3. ^ R. Glaser, P. Haberzettl, and R. P. D. Walsh, “Land Reclamation in Singapore, Hong Kong, and Macau,” GeoJournal (August 1991), accessed February 16, 2017.
  4. ^ a b c d e f g h i Glaser, “Land Reclamation”.
  5. ^ Wikipedia contributors, "Singapore," Wikipedia, The Free Encyclopedia, https://en.wiki-indonesia.club/w/index.php?title=Singapore&oldid=766718489 (accessed February 16, 2017).
  6. ^ Wikipedia contributors, "New York City," Wikipedia, The Free Encyclopedia, https://en.wiki-indonesia.club/w/index.php?title=New_York_City&oldid=766369032 (accessed February 19, 2017).
  7. ^ Tai-Chee Wong, Belinda Yuen, and Charles Goldblum, ed., Spatial Planning for a Sustainable Singapore (Springer Science + Business Media B.V., 2008), 26.
  8. ^ Wong, Spatial Planning. VII.
  9. ^ "Such Quantities of Sand,” The Economist. February 26, 2015.
  10. ^ Wong, Spatial Planning. 120-121.
  11. ^ Wikipedia contributors, "Demographics of Singapore," Wikipedia, The Free Encyclopedia, https://en.wiki-indonesia.club/w/index.php?title=Demographics_of_Singapore&oldid=764872042 (accessed February 19, 2017).
  12. ^ For influx of foreigners, see Wong, Spatial Planning. 23.
  13. ^ a b c d e f g h i "Such Quantities of Sand,” The Economist.
  14. ^ Matt K. Matsuda, Pacific Worlds: A History of Seas, Peoples, and Cultures (Cambridge: Cambridge University Press, 2012). 197.
  15. ^ National Library Board Singapore, “Singapore’s First Land Reclamation Project Begins,” last modified 2014. http://eresources.nlb.gov.sg/history/events/feddcf2a-2074-4ae6-b272-dc0db80e2146
  16. ^ a b c d e f National Library Board Singapore, “Singapore’s First Land Reclamation Project Begins”.
  17. ^ Wikipedia contributors, "Straits Settlements," Wikipedia, The Free Encyclopedia, https://en.wiki-indonesia.club/w/index.php?title=Straits_Settlements&oldid=764849132 (accessed February 16, 2017).
  18. ^ Wikipedia contributors, "Japanese occupation of Singapore," Wikipedia, The Free Encyclopedia, https://en.wiki-indonesia.club/w/index.php?title=Japanese_occupation_of_Singapore&oldid=766272805 (accessed February 16, 2017).
  19. ^ Wikipedia contributors, "Singapore".
  20. ^ Wikipedia contributors, "Jurong," Wikipedia, The Free Encyclopedia, https://en.wiki-indonesia.club/w/index.php?title=Jurong&oldid=764513959 (accessed February 17, 2017).
  21. ^ Wikipedia contributors, "Jurong".
  22. ^ Wikipedia contributors, "Jurong Island," Wikipedia, The Free Encyclopedia, https://en.wiki-indonesia.club/w/index.php?title=Jurong_Island&oldid=756833753 (accessed February 18, 2017).
  23. ^ Wikipedia contributors, "History of Singapore Changi Airport," Wikipedia, The Free Encyclopedia, https://en.wiki-indonesia.club/w/index.php?title=History_of_Singapore_Changi_Airport&oldid=762691740 (accessed February 18, 2017).
  24. ^ Wikipedia contributors, "History of Singapore Changi Airport".
  25. ^ Wikipedia contributors, "Singapore Changi Airport," Wikipedia, The Free Encyclopedia, https://en.wiki-indonesia.club/w/index.php?title=Singapore_Changi_Airport&oldid=766126853 (accessed February 18, 2017).
  26. ^ Wikipedia contributors, "Jurong Island".
  27. ^ a b Wong, Spatial Planning. 51.
  28. ^ Wikipedia contributors, "Marina Bay, Singapore," Wikipedia, The Free Encyclopedia, https://en.wiki-indonesia.club/w/index.php?title=Marina_Bay,_Singapore&oldid=762485366 (accessed February 19, 2017).
  29. ^ a b Wikipedia contributors, "Marina Bay, Singapore".
  30. ^ Goh Chok Tong, “Singapore is the Global City of Opportunity” (Keynote Address, Singapore Conference in London, March 15, 2015). 
  31. ^ Asad-ul Iqbal Latif, Lim Kim San: A Builder of Singapore (ISEAS-Yusof Ishak Institute, 2009). 
  32. ^ Denis D. Gray, “Cambodia sells sand; environment ravaged,” Asian Reporter (2011). 
  33. ^ a b c d e f g h i j Denis D. Gray, “Cambodia sells sand; environment ravaged”.
  34. ^ Alice Chia, “New reclamation method aims to reduce Singapore’s reliance on sand,” Channel News Asia (2016). 
  35. ^ a b c d e Alice Chia, “New reclamation method aims to reduce Singapore’s reliance on sand”.
  36. ^ Lindsay Murdoch, “Sand wars: Singapore’s growth comes at the environmental expense of its neighbors,” The Sydney Morning Herald (2016). 
  37. ^ a b c Lindsay Murdoch, “Sand wars: Singapore’s growth comes at the environmental expense of its neighbors”.