Paku Alam I

Adipati dari Pakualaman
Revisi sejak 18 Februari 2008 05.48 oleh Borgxbot (bicara | kontrib) (Robot: Cosmetic changes)

BPH Notokusumo dilahirkan pada 21 Maret 1764 (versi lain 1760) di Yogyakarta. Beliau adalah putera ketiga Hamengkubuwono I dan Raden Ayu Srenggoro, seorang selir yang berasal dari desa Karangnongko. Di dalam urutan seluruh putra-putri Hamengkubuwono I Notokusumo adalah urutan ke 11. Beliau merupakan salah satu putra terkasih Sultan HB I

Perjalanan Panjang Menuju Tahta Paku Alam

Kiprah BPH Notokusumo dalam kancah politik telah dilakukan ketika masih muda. Sekitar 1780 beliau mendapat gelar Bandoro Pangeran Hario (disingkat BPH), sebuah gelar pejabat senior di Kasultanan Yogyakarta. Putra Raden Ayu Srenggoro ini sangat dekat hubungannya dengan Pangeran Adipati Anom (gelar putra mahkota) yang kelak menjadi Hamengkubuwono II.

Pada masa pemerintahan Hamengkubuwono II timbul intrik-intrik istana yang disulut oleh Patih Danurejo II (semacam Sekretaris Negara) dan van Braam, minister untuk Surakarta. Pertentangan antara Sultan HB II dan Patihnya membawa banyak sekali akibat. Hubungan antara Hamengkubuwono II dan Pangeran Adipati Anom yang kelak menjadi Hamengkubuwono III tidak harmonis. Untuk meredam ambisi Danurejo II, Sultan mengangkat RT Notodiningrat (kelak menjadi Paku Alam II) menjadi sekretaris istana dan menyerahkan hampir semua urusan Sekretariat Negara padanya. Hal ini semakin memperuncing keadaan yang ada.

Dengan sedikit intrik, Danurejo II berhasil memancing pemberontakan Bupati Madiun, R Rangga. BPH Notokusumo dan terutama putranya RT Notodiningrat ikut terseret dan dituduh mendalangi pemberontakan. Berkat laporan keliru yang dibuat Danurejo II dan van Braam, Daendels, Gubernur Jenderal Belanda-Perancis di Batavia, memerintahkan pembebasan tugas RT Notodiningrat dari sekretaris istana. Selanjutnya Daendels meminta Hamengkubuwono II untuk menyerahkan Notokusumo dan Notodiningrat ke Semarang. Akhirnya Notokusumo dan Notodiningrat diberangkatkan ke Semarang dan ditawan disana. Kemudian kedua tawanan dibawa ke Tegal dan selanjutnya ke Cirebon, dimana terjadi upaya pembunuhan terhadap mereka. Setelah dari Cirebon Notokusumo dan Notodiningrat dipindahkan ke Batavia. Pada saat yang sama, dengan perundingan dan kekuatan 7000 pasukan Belanda-Perancis, Hamengkubuwono II dimakzulkan paksa dari tahtanya. Sebagai pengganti diangkatlah Pangeran Adipati Anom sebagai Hamengkubuwono III.

Di Batavia ternyata juga terjadi kejadian yang tak terduga. Daendels dicopot dari jabatannya dan digantikan oleh Gubernur Jenderal Jan Willem Janssens. Gubernur Jenderal yang baru ini berusaha memulihkan keadaan dengan memperbaiki kesalahan-kesalahan yang dilakukan pendahulunya. Notokusumo dan Notodiningrat tidak lagi diperlakukan sebagai tawanan kriminal. Namun beliau berdua tetap belum diperbolehkan kembali ke Yogyakarta.

Pada jeda waktu yang tak terlalu lama terdengar berita Bala Tentara Pemerintah Kerajaan Inggris mulai masuk perairan Laut Jawa. BPH Notokusumo dan RT Notodiningrat diminta ke Bogor dan diserahkan pada adik Sekretaris Jendral Belanda- Perancis. Setelah tentara Belanda-Perancis kalah di Batavia dan Meester Cornelis (sekarang kawasan Jatinegara) serta pasukan Kerajaan Inggris menuju Bogor, Kedua bangsawan Yogyakarta dipindahkan ke Semarang dan akhirnya ke Surabaya.

Di Surabaya Notokusumo ditemui Pejabat Kerajaan Inggris. Pemerintah Kerajaan Inggris tertarik dengan kasus pengasingannya. Setelah proses penyelidikan akhirnya Raad van Indie berpendapat kedua bangsawan hanya merupakan korban kelicikan intrik-intrik pejabat Belanda-Perancis. Inggris berpendapat bahwa BPH Notokusumo adalah orang yang tepat untuk melunakkan Hamengkubuwono II yang menentang Inggris. Kemudian beliau diminta Gubernur Jawa di Semarang untuk tinggal di kota tersebut.

Di kota lumpia itu BPH Notokusumo mendapat sambutan yang baik. Beliau berterima kasih kepada Inggris atas kepercayaan terhadapnya dan putranya. Inggris berharap Notokusumo bersedia menjadi mediator antara Inggris dengan Sultan Sepuh yang bertahta kembali dan menentang Inggris. Setidaknya Soedarisman Poerwokoesoemo mencatat ada dua versi yang berbeda mengenai peran Notokusumo di tahun 1811-1812 di Yogyakarta.

Versi pertama mengatakan setelah kembali ke Yogyakarta BPH Notokusumo menjelaskan maksud kedatangannya pada Sultan. Sultan dalam pernyataannya menerima proposal Inggris untuk menyerahkan tahta kepada Adipati Anom dan meminta maaf kepada Inggris atas insiden pembunuhan Danurejo II yang dilakukan menurut perintahnya dengan kompensasi Inggris memberi amnesty kepada Sultan. Sultan juga meminta agar sikapnya jangan dipublikasikan. Sultan menyambut sendiri Letnan Jenderal Thomas Stamford Raffles ketika datang ke Yogyakarta dan mengadakan jamuan kenegaraan.

Konflik dan intrik berdarah ternyata tidak berhenti. Kondisi yang berbalik seratus delaan puluh derajat ini menyebabkan Adipati Anom menjadi ketakutan. Kali ini konflik turut menyeret Kasunanan Surakarta dan Kadipaten Mangkunagaran. Setelah ibundanya ditahan oleh Sultan Sepuh-karena dianggap ikut mempengaruhi Adipati Anom-, Adipati Anom bekerja sama dengan Kapten Tan Djiem Sing menemui Crawfurd, residen Inggris untuk Yogyakarta. Dari hasil pertemuannya Crawfurd dalam suratnya kepada Raffles mengusulkan Adipati Anom di angkat lagi menjadi sultan. Dalam surat itu pula Notokusumo diusulkan menjadi Pangeran Merdiko. Akhirnya diusulkan Letnan Gubernur Jenderal datang ke Yogyakarta dengan membawa pasukan untuk berperang.

Versi kedua mencatat segera setelah penyerahan kekuasaan dari Belanda-Perancis kepada Inggris, Hamengkubuwono II kembali mengambil alih tahta dari putranya. Kepada pemerintah Inggris Sultan mengusulkan bebrapa tuntutan, diantaranya, pembayaran kembali uang ganti rugi daerah pesisiran yang diambil Belanda, Penyerahan makam-makam leluhur, dan diserahkannya BPH Notokusumo dan RT Notodiningrat.

Oleh Raffles Sultan Sepuh dibiarkan dalam kedudukannya dan bahkan diperkuat kedudukannya. Tuntutan Sultan untuk membebaskan kedua kerabatnya dipenuhi. Sebaliknya Sultan diminta untuk membubarkan Angkatan Bersenjata Kasultanan. Akibat campur tangan Inggris terlalu jauh dalam urusan istana, Sultan segera mengadakan perundingan dengan Sunan Surakarta untuk melepaskan diri dari Inggris.

Sultan secara terang-terangan menentang Inggris dengan menolak pembubaran korps prajuritnya dan memperkuat pertahanan di istana serta menambah jumlah milisi bersenjata. Notokusumo dan Kapten Tan Djiem Sing-lah yang memberi tahu kepada Inggris segala rencana Sultan.

Dan akibatnya pada pertengahan Juni 1812, Admiral Gillespie datang ke Yogyakarta dengan pasukan bersenjata lengkap. Selain itu Legiun Pangeran Prangwadono (Mangkunagaran) juga diperbantukan. Segera Gillespie mengirim ultimatum kepada Sultan untuk segera merealisasikan sikapnya dengan menyerahkan tahta pada Adipati Anom dan menjadikan BPH Notokusumo menjadi pangeran merdiko. Sultan dengan tegas enggan memenuhi ultimatum.

Sebuah versi mengemukakan mulai 18 Juni 1812 istana mulai dihujani meriam. Setelah mengepung tiga hari dan mengadakan serangan kilat pada hari terakhir istana dapat ditaklukkan pada 20 Juni 1812. Versi lain berpendapat mulai 20 Juni 1812 keraton mulai diserang dan pada 28 Juni 1812 istana sepenuhnya dapat dikuasai Inggris. Pada tanggal itu pula Sultan Sepuh untuk kedua kalinya diberhentikan dan sekali lagi Hamengkubuwono III ditahtakan sebagai Sultan Yogyakarta.

Tahta Paku Alaman

Pada 29 Juni 1812 Notokusumo diangkat oleh Pemerintah Kerajaan Inggris menjadi Gusti Pangeran Adipati Paku Alam. Pengangkatan ini berdasarkan jasa-jasanya terhadap Pemerintah Inggris (lihat Perjalanan Panjang Menuju Tahta Paku Alam di atas). Melalui Perjanjian Politik 17 Maret 1813 (sering disebut dengan Politiek Contract)Notokusumo secara resmi diangkat sebagai Pangeran Merdiko dibawah Pemerintah Inggris dengan gelar Pangeran Adipati Paku Alam. Kepadanya diberikan tanah dan tunjangan, tentara kavaleri, hak memungut pajak, dan hak tahta yang turun temurun. Semua ini diperoleh dengan imbalan kesetiaan kepada Pemerintah Inggris. Daerah kekuasaan Paku Alam meliputi sebuah kemantren di kota Yogyakarta (sekarang menjadi wilayah kecamatan Pakualaman) dan Daerah Karang Kemuning (Adikarto) di bagian selatan Kabupaten Kulon Progo sekarang.

Pekerjaan sebagai penguasa baru telah menunggu. Di samping mengurusi daerahnya sendiri Paku Alam I juga diangkat Raffles menjadi wali Hamengkubuwono IV antara 1814-1820. Tugas perwalian ini sangat terbatas karena harus berbagi dengan GK Ratu Ageng dan GK Ratu Kencono, nenek dan bunda Sultan, serta Patih Kasultanan. Semasa Hamengkubuwono V (ditahtakan ketika berusia balita), Paku Alam tidak lagi diikutkan pada perwalian. Pada 7 Maret 1822 secara resmi oleh Pemerintah Hindia Belanda diberi gelar Pangeran Adipati. Selanjutnya gelar ini hanya digunakan untuk para penguasa Kadipaten yang telah berusia lebih dari 40 tahun. Dalam Perang Jawa 1825-1830 Paku Alam bersifat pasif. Setelah memerintah selama sekitar 16 tahun Paku Alam mangkat dan dimakamkan di Kota Gede Yogyakarta. Pendiri Kadipaten Pakualaman ini meninggalkan 11 putra-putri.


Referensi

Pranala Luar

Didahului oleh:
tidak ada
Penguasa Paku Alaman di Yogyakarta
1813-1829
Diteruskan oleh:
Paku Alam II