Orang Tionghoa di Lasem

Revisi sejak 6 Desember 2017 03.01 oleh Abdullah Faqih (bicara | kontrib) (←Membuat halaman berisi 'Orang Tionghoa di Lasem adalah sekelompok masyarakat etnis Tionghoa yang bermukim di Lasem, Kabupaten Rembang, Jawa Tengah. Munculnya kelompok tersebut tidak terlepas...')
(beda) ← Revisi sebelumnya | Revisi terkini (beda) | Revisi selanjutnya → (beda)

Orang Tionghoa di Lasem adalah sekelompok masyarakat etnis Tionghoa yang bermukim di Lasem, Kabupaten Rembang, Jawa Tengah. Munculnya kelompok tersebut tidak terlepas dari sejarah perdagangan orang Tionghoa di Indonesia yang menjadikan pesisir utara Jawa (termasuk Lasem) sebagai pintu awal masuknya. Dalam perkembangannya, kepentingan Tiongho tidak hanya menyoal perdagangan, mereka juga meleburkan diri dengan kelompok pribumi: menikah dengan pribumi bahkan mencampurkan kebudayaan mereka. Hal itu yang menyebabkan beberapa peniliti merasa kesulitan untuk melacak jejak budaya kelompok Orang Tionghoa pertama yang singgah di Lasem. Sejarah Terbentuknya komunitas Tionghoa di Lasem tidak terlepas dari lokasi strategis Lasem yang berada di pesisir utara Laut Jawa. Di wilayah tersebut kemudian banyak bermunculan kapal-kapal dagang dari berbagai negara yang singgah. Lama kelamaan, Lasem berkembang menjadi kota pusat perdagangan di masa kolonial Belanda. Wilayah strategis Lasem dalam hal perdagangan itu juga mengundang orang Tionghoa untuk datang untuk misi berdagang. Mereka datang dengan menggunakan perauh-perahu jung dari arah tenggara dataran Tiongkok. Pelabuhan-pelabuhan besar di sepanjang pesisir Laut Jawa tersebut juga banyak menghadap ke Laut Tiongkok Selatan. Hal itu juga mendukung orang Tionghoa untuk menetap di kota-kota pelabuhan tersebut. Perekonomian mereka di Indonesia justru menjadi semakin maju ketimbang ketika berada di Tiongkok yang sarat dengan kekangan dari kerajaan. Dalam mengembangkan perekonomiannya, orang Tionghoa memegang teguh nilai-nilai seperti ketekunan, berhemat, mengandalkan diri sendiri, semangat dalam berusaha dan keterampilan, ditambah dengan prinsip-prinsip organisasi sosial yang mudah ditemukan dan dikendalikan. Dalam perkembangannya, eksistensi orang Tionghoa juga harus berhadapan dengan keberadaan pemerintah kolonial Belanda. Semakin kuatnya eksistensi kolonial Belanda tidak serta merta membuat eksistensi orang Tionghoa di Lasem menyurut. Kolonial Belanda bahkan Lasem. Orang Tionghoa bahkan diberikan peranan atau posisi khusus untuk mengelola perekonomian sebagai usahawan dan membina jaringan perdagangan serta finansial yang menyeluruh; membentang dari pelabuhan-pelabuhan besar hingga ke pasar-pasar desa. Keberadaan orang Tionghoa di Lasem dalam perkembangannya tidak hanya dalam rangka berdagang. Mereka membaur dengan unsur dan budaya lokal sehingga beberapa peneliti kesulitan untuk mengenali jejak-jejak budaya Tionghoa generasi pertama yang muncul di Lasem. Mereka juga tidak hanya menjadi kelompok yang identik dengan perdagangan, mereka juga mempunyai minat menjadi petani, pengurus usaha pertanian bangsawan Jawa atau pachter (pengusaha tanah) pemerintah Belanda. Dalam perkembangannya, orang Tionghoa ternyata lebih banyak membaur dengan kebudayaan lokal Indonesia ketimbang dengan masyarakat Eropa, dalam hal ini adalah Belanda. Namun demikian, orang Tionghoa juga tidak melunturkan budaya asli mereka. Terjadinya percampuran antara orang Jawa dengan orang Tionghoa melalui proses yang tidak sebentar. Interaksi mereka telah terbangun dalam waktu yang lama, terutama dalam hal transaksi jual-beli. Menurut orang Jawa, orang Tionghoa dikenal sebagai pedang yang ulet dan terampil, sehingga mereka banyak berguru dan meniru cara berjualan orang Tionghoa. Begitu pun bagi orang Tionghoa, mereka yang sudah memiliki lebih dari tiga generasi di Lasem menjadi terbiasa dengan bahasa dan adat istiadat yang ada di sana. Membaurnya orang Tiongho dengan budaya setempat turut memengaruhi beberapa aspek kesenian Jawa, salah satunya adalah bati. Pengaruh tersebut tercermin dalam warna dan ragam hias dari batik yang ada di Lasem, bahkan sampai ke Cirebon dan Pekalongan. Beberapa orang Tionghoa bahkan juga ada yang menjadi ahli seni serta pelindung kesenian Jawa sekaligus menjadi penulis Jawa. Bercampurnya atau akulturasi kebudayaan orang Jawa dengan orang Tionghoa di Lasem juga tercermin dalam bentuk atau praktik kebudayaan orang Tionghoa di Lasem yang diterima baik oleh orang Jawa. Keberadaan kelenteng-kelenteng yang merupakan tempat peribadatan orang Tionghoa masih berdiri kokoh hingga saat ini. Nuansa yang menyelimuti kelenteng tersebut sangat khas dengan budaya Tionghoa dan berada di antara kebudayaan masyarakat Jawa. Ketika hari besar orang Tionghoa tiba pun, mereka akan merayakannya dengan sukacita. Mereka menampilkan beberapa atraksi seperti barongsai, liang liong, wayang potchi, dan upacara-upacara keagamaan tertentu. Kegiatan tersebut juga menjadi tontonan warga lokal serta warga di sekitar Lasem. Hal itu cukup memperlihatkan bahwa keberadaan orang Tionghoa di Lasem amat diterima baik oleh masyarakat setempat. Hubungan yang saling silih asih antar kedua kelompok tercermin dalam praktik-praktik kebudayaan dan keagmaan. Batik Tulis di Lasem Batik Tulis di Lasem memiliki perjalanan sejarah yang amat panjang, terlebih apabila dikaitkan dengan keberadaan orang Tionghoa di Lasem. Dalam sejarahnya, Lasem dikenal sebagai kerajaan kecil dibawah kekuasaan Kerajaan Majapahit. Ketika itu, Lasem dipimpin oleh seorang Raja bernama Bhre Lasem I atau Rajasaduhitendudewi atau Dewi Indu (1350-1375). Keberadaan batik sendiri sudah dikenal sebagai pakaian para bangsawan Kerajaan Majapahit. Motif dan corak yang ada di Lasem juga disamakan dengan motif dan corak yang dikenakan oleh bangsawan Majapahit, mengingat pakaian batik mereka banyak diambil dari Kerajaan Majapahit. Motif kain batik tersebut diduga juga sama dengan motif batik Mataram Yogyakarta dan Surakarta (batik vorstenlanden) saat ini, yaitu motif gringsing dan kawung yang berwarna soga serta biru. Kesimpulan ini berangkat dari keberadaan motif gringsing dan kawung pada ukiran pakaian dari arca-arca candi peninggalan kerajaan Majapahit atau masa sebelumnya. Dalam perkembangannya, pada tahun 1335 Saka (1413 Masehi), Kadipaten Lasem kedatangan seorang nahkoda kapal dari Armada Laut laksamana Chengho bernama Bi Nan Un dari negeri Champa (Vietnam). Kapal dari Champa tersebut tepatnya berlabuh ke Pantai Regol yang saat ini bernama Pantai Binangun. Rombongan orang Champa yang beragama Budha itu dikenal piawai di bidang kesenian, termasuk membatik, menari, membuat perhiasan emas, membuat peralatan kuningan, dan lain sebagainya. Lambat laun, Bi Nan Un dkenal ahli membatik dan menari. Ia kemudian menikah dengan Adipati Badranala dan memiliki dua anak, yaitu Wirabajra dan Santibadra. Kitab “Serat Badrasanti” jelas memaparkan data tentang sejarah batik Lasem dimana Puteri Na Li Ni dari Champa (Vietnam) dianggap sebagai perintis pembatikan di Lasem. Namun demikian, sebagaimana penduduk Jawa di Lasem, penduduk Tionghoa juga mengalami keterbelakangan ekonomi Sekali pun mereka dikenal sangat piawai dalam berdagang, ketertindasan yang dialami Indonesia akibat penjajahan Belanda tidak serta merta membuat perekonomian mereka membaik. Pada dasarnya, mereka mengalami kondisi yang sama sebagaimana penduduk Jawa pada masa itu. Seiring berjalannya waktu, datanglah seorang penjual arak (ciu) pada tahun 1700-an di Lasem. Perantau tersebut juga berasal dari negeri Tiongkok yang tiba bertepatan dengan masa penjajahan Belanda berlangsung. Sang pendatang sangat terkejud ketika menyaksikan penduduk Tiongkok di Lasem mengalami penderitaan dan kesulitan ekonomi. Dengan rasa iba, ia akhirnya bertekad untuk menetap di Lasem dan membantu meningkatkan derajat perekonomian orang Tionghoa di sana. Ia kemudian memberikan pengetahuan kepada orang Tionghoa tentang cara membuat batik tulis. Mula-mula, ia yang mendirikan usaha batik tulis dengan memperkerjakan orang Tiongho sebagai pekerjanya. Hal itu ia lakukan sembari mengajarkan kepada mereka keterampilan dalam membuat batik tulis. Lambat laun, orang Tionghoa berpikir untuk tidak selamanya menjadi pekerja atau buruh batik tulis. Mereka bertekad untuk memiliki usaha batik tulis sendiri. Dalam perkembangannya, usaha batik tulis tersebut rupanya lebih dari mampu untuk memenuhi kebutuhan ekonomi mereka. Bahkan, industry batik tulis di Lasem menjadi berkembang lebih cepat berkat sentuhan tangan dingin orang Tionghoa. Mereka pun dikenal sebagai pengusaha batik tulis yang mahir di Lasem. Berkaitan dengan motif dan stylenya, batik tulis Lasem juga sedikit banyak tersentuh oleh pengaruh budaya Tionghoa, Jawa Tengah (Solo dan Yogyakarta), serta pengaruh selera Pantai Utara Jawa. Beberapa contoh motif batik yang disebarluaskan oleh orang Tionghoa adalah motif naga (atau liong dari bahasa Cina long) dan motif swastika (banji), motif awan ‘Cina’ mudah dikenali pada pinggiran yang sejajar yang diberi warna bergradasi (motif mega mendung, ‘awan mendung’) atau motif ‘kebun’ (tamansari), dengan tumbuh-tumbuhan di atas warna dasar cerah dan dipenuhi wadasan yang ditarik ke atas. Motif-motif tersebut kini dikenal baik oleh pengrajin maupun pecinta batik Jawa, bahkan menjadi sebuah kelaziman dan dikenal paling masyhur. Pengaruh budaya Tionghoa juga tercermin dalam motif berbentuk burung-burung Phoenix yang merupakan kekhasan dari budaya Tionghoa. Sementara pengaruh gaya batik Jawa Tengah tercermin dalam pusat seni batik yang selalu memiliki nilai filosofi. Seiring berjalannya waktu, batik tulis Lasem kini menghadapi ancaman kepunahan. Berbagai permasalahan muncul yang mengarah pada ancaman kepunahan batik Lasem. Permasalahan mendasar yang dihadapi oleh industri batik tersebut adalah rendahnya minat generasi muda untuk melanjutkan usaha batik maupun menjadi pengrajin. Sebagian besar dari mereka lebih memilih untuk bekerja di sektor formal, baik di sekitar Kabupaten Rembang maupun di luar Kabupaten Rembang. Hal itu menyebabkan terjadinya dua masalah kritis dalam industri batik tulis di Lasem, berkurangnya aktor yang menekuni usaha batik tulis dan berkurangnya penghasilan bagi para penduduk di Lasem. Apabila dibandingkan dengan periode sebelumnya, batik tulis di Lasem memberikan kontribusi yang besar bagi perekonomian warga lokal, termasuk penduduk Jawa yang tinggal di sana. Para juragan batik dari Tiongkok itu pada abad ke-13 banyak memberikan kesempatan belajar membatik, menilai produksi yang baik, merencanakan dan menentukan sasaran penjualan, serta merencanakan target-target di masa depan dalam jangka waktu yang lama. Penduduk lokal banyak dipekerjakan dan mereka diperkenankan untuk mengerjakan pekerjaan membatiknya di rumah mereka masing-masing. Tidak cukup sampai di situ, juragan batik asal Tiongkok bahkan juga banyak banyak membantu perekonomian pnduduk sekitar dengan memberikan pinjaman atau hutang dalam jumlah kecil kepada para pekerja untuk mencukupi kebutuhan hidup mereka.



Referensi