Keresidenan Cirebon

wilayah administratif di Hindia Belanda

Karesidenan Cirebon atau bekas Karesidenan Cirebon yaitu wilayah administratif pemerintahan zaman Hindia Belanda dan zaman Inggris yang meliputi wilayah bekas kesultanan Cirebon setelah lepasnya wilayah Krawang sebelum tahun 1677 ketika sultan Cirebon pada saat itu pangeran Abdul Karim (Girilaya) dan kedua putranya yaitu pangeran Martawijaya dan Kartawijaya ditahan Mataram dan wali sultan Cirebon yang dijabat pangeran Wangsakerta didesak oleh Amangkurat 1 untuk memenuhi persyaratan agar Belanda mau membantu Mataram menumpas Trunojoyo (Trunojoyo berhasil membebaskan pangeran-pangeran Cirebon yang ditahan Mataram atas bantuan persenjataan Banten)[1]

Peta wilayah karesidenan Cirebon (setelah Indonesia merdeka)

Sebagai hasil desakan tersebut maka kesultanan Cirebon kehilangan banyak wilayah di pesisir baratnya (di antara sungai Cipunegara dan Citarum), sehingga yang tersisa pada saat peristiwa pembagian kesultanan Cirebon menjadi kesultanan Kasepuhan dan kesultanan Kanoman adalah wilayah yang membentang dari Luwung Malang (sekarang Haurgeulis) hingga Galuh dan Sukapura di pesisir Selatan.

Sejarah awal

Sejarah awal pembentukan wilayah karesidenan (pembantu gubernur) Cirebon tidak terlepas dari sejarah politik kewilayahan yang dipengaruhi oleh kekuasaan kesultanan-kesultanan Cirebon dengan para penjajah Belanda dan Britania Raya

Pada masa setelah pembagian kesultanan Cirebon menjadi kesultanan Kasepuhan dan kesultanan Kanoman wilayah kesultanan Cirebon yang tersisa adalah seluruh wilayah Kesultanan Cirebon dan taklukannya dikurangi wilayah Krawang (antara sungai Citarum dan Cipunegara) dilepaskan kepada Belanda atas desakan Amangkurat 1 dari Mataram dan wilayah Sumedang Larang yang mendeklarasikan berpisah dari Cirebon pasca peristiwa Harisbaya (sebagai ganti dari Ratu Harisbaya (istri Pangeran Mas Zainul Arifin (Sultan Cirebon Ke 4) yang pergi dari Cirebon ke Sumedang Larang dan akhirnya diceraikan dan menikah dengan pangeran Angkawijaya (Prabu Geusan Ulun) maka Sumedang Larang melepaskan wilayah bawahannya disebelah timur Cilutung (sungai Lutung) yaitu wilayah Sindang Kasih (sekarang berada disekitar kecamatan Kadipaten, kecamatan Panyingkiran, kecamatan Majalengka, kecamatan Cigasong) di kabupaten Majalengka

Masuknya pengaruh Belanda

Pada tahun 1681, Belanda menawarkan perjanjian persahabatan kepada kesultanan Cirebon yang pada waktu itu telah dipecah menjadi dua kesultanan yaitu kesultanan Kasepuhan dan kesultanan Kanoman serta satu peguron yang dipimpin oleh Pangeran Wangsakerta, perjanjian persahabatan tersebut kemudian ditandatangani oleh ketiganya pada tanggal 7 Januari 1681[2][3], perjanjian persahabatan yang dimaksud adalah untuk memonopoli perdagangan di wilayah Cirebon.

Semenjak kesultanan Cirebon dibagi menjadi dua kesultanan dan satu peguron, kisruh antara keluarga keraton tidak langsung selesai begitu saja, perihal hubungan berdasarkan derajat tertentu (bahasa Cirebon : pribawa) dalam kekeluargaan di kesultanan Cirebon dahulu menjadi bahan pertikaian yang berlarut-larut hingga akhirnya pihak Belanda mengirimkan utusan untuk membantu menyeleseikan masalah tersebut yang oleh sebagian masyarakat dianggap sebagai ikut campurnya Belanda dalam urusan internal kesultanan-kesultanan di Cirebon. Pada tanggal 3 November 1685 (empat tahun setelah perjanjian monopoli dagang Belanda terhadap Cirebon), Belanda mengirimkan Francois de Tack. Pada akhirnya terciptalah sebuah perjanjian baru yang ditandatangani ketiganya pada tanggal 4 Desember 1685, isi perjanjian tersebut diantaranya ;

bahwa dalam hubungan-hubungan yang sifatnya keluar, kesultanan-kesultanan di Cirebon hanya diwakili oleh seorang syahbandar (yang pada waktu itu adalah Tumenggung Raksanegara). Hal itu dimaksudkan agar perpecahan yang terjadi di kesultanan-kesultanan di Cirebon tidak diketahui oleh pihak asing

Namun perjanjian 4 Desember 1685 tidak berhasil memadamkan perselisihan antara keluarga besar kesultanan Cirebon, hal tersebut dikarenakan Francois de Tack dianggap lebih memihak Sultan Anom pada penyeleseian perjanjian tersebut.[4]

Belanda kemudian kembali mengirimkan utusan untuk menyeleseikan masalah internal di Cirebon yaitu Johanes de Hartog namun perjajian yang ditandatangani pada 8 September 1688[4] dengan kesimpulan bahwa kesultanan-kesultanan di Cirebon berada dalam perlindungan Belanda (VOC)[5]tersebut tidak membuahkan hasil.

Belanda dalam masalah pribawa

Pada tahun 1697 Sultan Sepuh I Sultan Sepuh Syamsudin Martawijaya meninggal dunia dengan meninggalkan dua orang putra, yaitu Pangeran Depati Anom Tajularipin Djamaludin dan Pangeran Raja Arya Cirebon, atas dasar pribawa, Belanda menentukan derajat paling tinggi (di antara seluruh keluarga besar kesultanan Cirebon) ditempati oleh adik almarhum Sultan Sepuh I Sultan Sepuh Syamsudin Martawijaya yaitu Sultan Anom I Sultan Badrudin Kartawijaya kemudian Pangeran Nasirudin Wangsakerta menduduki tempat kedua dan kedua putra almarhum Sultan Sepuh I Sultan Sepuh Martawijaya yaitu Pangeran Depati Anom Tajularipin Djamaludin dan Pangeran Aria Cirebon Abil Mukaram Kaharudin berada di tempat ketiga. Pangeran Arya Cirebon kemudian membentuk cabang kesultanan sendiri yang disebut Kacirebonan[6](pada era ini, kesultanan Kacirebonan yang dibentuk tidak sama dengan yang kemudian dibentuk oleh Pangeran Raja Kanoman pada tahun 1808)

Pada tahun 1703 Sultan Anom I Badrudin Kartawijaya wafat, maka dua tahun berikutnya yaitu pada tahun 1704 diadakan pengaturan urutan yang baru oleh Belanda. Panembahan Nasirudin Wangsakerta menempati derajat tertinggi (di antara seluruh keluarga besar kesultanan Cirebon), tempat kedua ditempati oleh kedua orang putra Sultan Sepuh I Sultan Sepuh Martawijaya yaitu Sultan Sepuh II Sultan Sepuh Tajularipin Djamaludin dan Sultan Kacirebonan I Sultan Cirebon Arya Cirebon Abil Mukaram Kaharudin dan tempat ketiga ditempati putra-putra Sultan Anom I Badrudin Kartawijaya yaitu Pangeran Raja Adipati Mandurareja Muhammad Qadirudin yang kemudian menjadi Sultan Anom II dan Pangeran Adipati Kaprabon yang menjadi rama guru bagi peguron Kaprabonan.

Pada tahun 1708, Belanda turut campur lagi untuk menempatkan perbedaan tingkatan dari ketiga cabang keluarga kesultanan Cirebon, setelah Panembahan Wangsakerta wafat tahun 1714, maka sekitar tahun 1715 – 1733 berkali-kali diadakan penggeseran tinggi rendahnya seseorang dalam menduduki tingkatan di antara keluarga besar kesultanan Cirebon yang pada waktu itu sebenarnya telah memiliki kesultanannya masing-masing, seperti anak-anak Sultan Sepuh I yaitu Pangeran Depati Anom Tajularipin Djamaludin yang telah menjadi Sultan Sepuh II di kesultanan Kasepuhan dan Pangeran Arya Cirebon Abil Mukaram Kaharudin yang telah membentuk cabang keluarga sendiri yaitu sebagai Sultan Kacirebonan pertama, demikian juga anak dari Sultan Anom I Badrudin Kartawijaya yaitu Pangeran Raja Mandurareja Muhammad Qadirudin yang telah menggantikan ayahnya sebagai Sultan Anom II kesultanan Kanoman serta Pangeran Adipati Kaprabon yang menguasai peguron Kaprabonan begitupun anak dari Pangeran Nasirudin Wangsakerta yaitu Pangeran Muhammad Muhyiddin yang melanjutkan tugas ayahnya sebagai pemimpin peguron (tempat pendidikan) dan kepustakaan Cirebon.

Bermula dari masalah pribawa inilah Belanda turut campur masalah internal keluarga besar kesultanan Cirebon, masalah pribawa mengenai dari cabang keluarga yang mana yang berhak menduduki tingkat tertinggi dalam keluarga besar kesultanan Cirebon selalu menimbulkan pertikaian yang berlarut-larut dan menimbulkan perselisihan yang terus menerus, peristiwa inilah yang mempercepat hilangnya wibawa keluarga besar kesultanan Cirebon.

Belanda menguasai politik Cirebon

Akhirnya pada tahun 1700-an, setelah melakukan monopoli dagang terhadap Cirebon dengan alasan perjanjian persahabatan, ikut campur memperkeruh internal kesultanan-kesultanan di Cirebon dengan turut serta dalam hal pribawa yang sebelumnya tidak terlalu meruncing (hal tersebut dibuktikan pada saat kedatangan awal Belanda ke Cirebon tahun 1681 pada perjanjian tersebut ditandatangani oleh tiga orang penguasa yang berarti posisi ketiganya diakui) Belanda akhirnya mengangkat Jacob Palm sebagai pejabat penghubung Gubernur Jendral untuk wilayah Kesultanan Cirebon, menurut Pangeran Sulaeman Sulendraningrat sejak diangkatnya Jacob Palm kekuasaan sultan-sultan di Cirebon dapat dikatakan habis (secara politik).[7]

Masa kekuasaan Belanda I (1705 - 1811)

Pada masa kekuasaan Belanda yang masuk dengan berbagai perjanjian ke Cirebon dan akhirnya Belanda berhasil menyingkirkan kekuasaan politik para sultan di Cirebon dengan diangkatnya Jacob Palm pada tahun 1700-an, wilayah kekuasaan kesultanan-kesultanan Cirebon pada waktu itu membentang dari Luwung Malang ( Haur Geulis) hingga ke Galuh, Limbangan dan Sukapura (Galunggung) termasuk wilayah pantai selatannya.

Pada tahun 1706, Belanda memutuskan untuk mengangkat Pangeran Arya Cirebon (putera kedua dari Sultan Sepuh 1 Syamsudin Martawijaya) sebagai pengawas bupati-bupati di wilayah Cirebon-Priyangan[8] dengan tujuan agar hasil bumi di wilayah tersebut dapat dengan mudah dikumpulkan dan dibawa ke Cirebon untuk kepentingan Belanda, pengangkatan tersebut juga bertujuan agar kedudukan Pangeran Arya Cirebon menjadi terpandang walau dia bukanlah seorang sultan.[9]

Pada tahun 1808 kesultanan Kacirebonan resmi berdiri setelah sebelumnya Belanda mengembalikan Pangeran Raja Kanoman yang diasingkan, berdirinya kesultanan Kacirebonan tidak terlepas dari dukungan masyarakat kesultanan Cirebon pada Pangeran Raja Kanoman yang merasa hak-haknya dirampas, Pangeran Raja Kanoman kemudian menjadi Sultan Kacirebonan pertama dengan gelar Sultan Cirebon Amirul Mukminin.

Pada tahun 1808 gubernur jendral Herman Willem Daendels mengeluarkan sebuah instruksi kepada para bupati agar tidak membiarkan para pemuda yang cukup umur untuk tidak menikah, instruksi tersebut tertuang sebagai berikut ;

een der voornaamste zorgen van de regenten zal ook moeten zijn, dat de gemeene inlander niet ongetrouwd blijve, maar alle huwbare jongelingen en jonge vrouwen zich behoorlijk in den echtenstaat begeven, dewijl heirdoor het ledig loopen en roundzwerven, alsmede vere andere onheilen, voorgekomen worden en de bevolking op en geregelde wijze komt te vermeerderen[10]


Salah satu tugas bupati seyogyanya tidak membiarkan warga pribumi tidak menikah, tetapi semua pemuda-pemudi yang cukup umur hendaknya menikah, sehingga dapat mencegah kekosongan suatu wilayah dan pengembaraan serta berbagai bencana lain dan jumlah penduduk dapat ditingkatkan secara teratur.[11]

Pada masa kemudian Belanda mulai menerapkan peraturan-peraturan di Cirebon seperti yang tertuang dalam reglement op het beheer van Cheribonesche Landen (peraturan tentang pengelolaan wilayah Cirebon) yang dikeluarkan pada 2 Februari 1809 di masa gubernur jendral Herman Willem Daendels yang mengatur dengan jelas tentang struktur kewilayahan bahwa Cheribonesche Landen (wilayah Cirebon) dibagi dalam dua wilayah yaitu wilayah kesultanan Cirebon dan wilayah Cheribonesche-Preanger Landen (wilayah Priyangan-Cirebon) yang berisi Limbangan, Sukapura (Galunggung) dan Galuh[11], posisi para sultan-sultan (telah dicabut hak politiknya), patih, tentang pemberian iuran, tentang sistem kerja paksa dan kewajiban anak negeri, polisi, pembuatan jalan dan dinas pos.

Latar belakang dikeluarkannya peraturan tersebut salah satunya adalah penataan masyarakat, penguasa Belanda pada masa itu menginginkan agar masyarakat mendekati perusahaan kolonial dalam hal lapangan kerja, sementara dalam tataran kewilayahan paling kecil, masyarakat diperintahkan tinggal di desa yang jumlah penduduknya ditentukan, wilayah dengan jumlah penduduk kurang dari enam kepala keluarga tidak diakui keberadaannya dan harus bergabung dengan wilayah lain yang lebih besar, pemukiman dengan jumlah penduduk lebih dari sepuluh kepala keluarga diperbolehkan memiliki dua kepala (pimpinan), sementara pemukiman yang berisi enam hingga sepuluh kepala keluarga hanya diperbolehkan memiliki satu pemimpin.[11]

Pada tahun yang sama selain ditegaskan tentang penataan wilayah, ditemukan juga perintah dari penguasa kolonial pada masa itu untuk mengurangi jumlah kyai di Sukapura (tasikmalaya dan sekitarnya) serta mencabut hak mereka dari pembebasan tanam paksa (dalam hal ini kewajiban menanam kopi)

Pada 13 Maret 1809, pemerintah kolonial Belanda menetapkan bahwa daerah kesultanan Cirebon (wilayah utara karesidenan Cirebon) terbagi atas daerah yang dikepalai oleh sultan-sultan yang mempunyai kedudukan sederajat dengan bupati, wilayah tersebut adalah, Cirebon dan Kuningan dikepalai oleh sultan Sepuh dari kesultanan Kasepuhan, wilayah Maja dikepalai oleh sultan Anom dari kesultanan Kanoman dan wilayah Indramayu dikepalai oleh sultan Kacirebonan dari kesultanan Kacirebonan sementara wilayah kota Cirebon pada masa itu dibagi dua wilayahnya antara sultan Sepuh dan sultan Anom[12]

Pada 20 Juni 1810, Gubernur Jendral Herman Willem Daendels memutuskan untuk menghapus wilayah Cirebon-Priangan dan wilayahnya dikendalikan langsung dari Batavia dengan nama Landdrostambt der Jacatrasche en Pranger Bovenlanden sementara sebagian dari bekas wilayah Cirebon-Priangan yakni wilayah Galuh dipinjamkan kepada kesultanan Yogyakarta karena tidak begitu menghasilkan dalam penanaman kopi

Masa kekuasaan Britania Raya (1811 - 1815)

Masa kekuasaan Britania Raya dimulai setelah Thomas Stamford Raffles berhasil mengalahkan Belanda dengan ditandatangani perjanjian Tuntang pada tahun 1811[13], penyerangan Britania Raya ke wilayah Hindia Belanda dikarenakan adanya insiden pengibaran bendera Perancis oleh Gubernur Jendral Hindia Belanda pada waktu itu yaitu Herman Willem Dandels disaat Britaia Raya dan negara eropa lainnya sedang bersatu melawan Napoleon. Perjanjian Tuntang menyatakan bahwa seluruh wilayah Hindia Belanda (termasuk wilayah kesultanan Cirebon) menjadi milik Britania Raya dibawan komando Britinia India (Inggris : British India) di Kalkuta, India

Masa kekuasaan Britania Raya berakhir dengan dikembalikannya wilayah Hindia Belanda (termasuk wilayah kesultanan Cirebon kepada Belanda pada tahun 1815

Masa Kekuasaan Belanda II (1815 - 1942)

Masa kekuasaan Belanda kedua ditandai dengan diserahkannya kembali wilayah Hindia Belanda dari tangan Britania Raya ke tangan Belanda, pada masa ini Belanda melanjutkan kebijakan yang telah dibuat oleh Inggris seperti para Sultan Cirebon tidak lagi menjabat jabatan publik karena sudah dipensiunkan oleh Raffless pada 1815.

Masa pemerintahan Republik Indonesia

Pada masa setelah kemerdekaan wilayah karesidenan Cirebon hanya meliputi wilayah-wilayah yang pada masa kolonialisme diatur langsung oleh sultan-sultan Cirebon sebagai bagian dari pegawai kolonial yang sekarang berisikan:

  1. Kota Cirebon
  2. Kabupaten Cirebon
  3. Kabupaten Indramayu
  4. Kabupaten Majalengka
  5. Kabupaten Kuningan
  6. Kabupaten Brebes
  7. Kota Banjar
  8. Kabupaten Ciamis
  9. Kabupaten Pangandaran
  10. Kabupaten Cilacap

Meskipun sekarang ini pembagian administratif berdasarkan karesidenan sudah tidak digunakan lagi, namun tanda kendaraan bermotor (plat motor) yang dipakai di wilayah eks karesidenan Cirebon ini (Kota Cirebon, Kabupaten Cirebon, Kabupaten Indramayu, Kabupaten Majalengka, dan Kabupaten Kuningan), semua menyandang kode "E" sebagai huruf awal, selain itu, Kota Banjar, Kabupaten Ciamis, dan Kabupaten Pangandaran menyandang kode "Z", kecuali Kabupaten Brebes menyandang kode "G" sebagai huruf awal dan Kabupaten Cilacap menyandang kode "R" sebagai huruf awal.

Referensi

  1. ^ Ekajati, Edi Suherdi. 2005. Polemik naskah Pangeran Wangsakerta. Pustaka Jaya : Bandung
  2. ^ Kartodihardjo, Sartono. 1988. Pengantar Sejarah Indonesia Baru : 1500 - 1900 (dari Emporium sampai Imperium). Jakarta : Gramedia
  3. ^ Roseno, Edi. 1993. Perang Kedondong 1818. Depok : Universitas Indonesia
  4. ^ a b Iswara, Prana Dwija. 2009. Sejarah Kerajaan Cirebon. Bandung : Universitas Pendidikan Indonesia
  5. ^ Ball, John Preston, 1982. Legal History 1608 - 1848. Sydney : Oughtershaw Press
  6. ^ Irianto, Bambang, Dyah Komala Laksmiwati. 2014. Baluarti Keraton Kacirebonan. Yogyakarta : Deepublish
  7. ^ Sulendraningrat, Pangeran Sulaeman. 1974. Sejarah Cirebon. Jakarta : Balai Pustaka
  8. ^ Hoadley, Mason Claude. 1975. Javanese Procedural Law, A History of Cirebon-Priyangan 'Jaksa' College 1706-1735. New York : Cornell University
  9. ^ Candrasasmita, Uka. 2009. Arkeologi Islam Nusantara. Jakarta : Gramedia
  10. ^ van Deventer, S. 1865. Bijdragen tot de kennis van het Landelijk Stelsel op Java. Zalt-Bommel : Joh. Norman en Zoon
  11. ^ a b c Bremen, Jan. 2014. Keuntungan Kolonial dari Kerja Paksa: Sistem Priangan dari Tanam Paksa Kopi di Jawa 1720-1870. Jakarta : Yayasan Pustaka Obor Indonesia
  12. ^ Dasuki, D.A. Dkk. 1977. Sejarah Indramayu. Indramayu : Pemerintah Daerah Kabupaten Indramayu
  13. ^ Kurnia, Anwar. Moh. Suryana. 2007. Sejarah Kelas VIII. Jakarta : Yudhistira

Lihat pula