Denpasar 1390-2009
1.1. Badung Periode 1390-1687 (Era Tegehkuri/Bali-Gelgel)
Pada selang periode tahun 1337-1343 di Pulau Bali berdiri megah sebuah kerajaan Bali Dwipa yang berpusat di Bedulu kira-kira 1 km arah selatan Goa Gajah kini. Pada periode tersebut raja Bali Dwipa adalah seorang raja yang terkenal keperkasaannya yang bernama Sri Asta yang bergelar Ratna Bumi Banten. Raja Sri Asta dibantu oleh pembantu utamanya Mahapatih Ki Pasung Grigis serta patih-patih lainnya yaitu: Kebo Iwa juga dipanggil dengan Kebo Teruna anak dari Ki Karang Buncing dari Blahbatuh, Ki Tambiak, Ki Gudug Basur, Ki Walung Singkal, Ki Tunjung Tutur, Ki Tunjung Biru, Ki Kopang, Ki Ularan dan Ki Girikmana.
Pada taahun 1343 kerajaan besar di Jawa yang berpusat di Trowulan yaitu Majapahit menyerang Bali Dwipa yang dipimpin oleh Panglima Perangnya Gajah Mada serta dibantu oleh: Arya Damar, Arya Kenceng, Arya Kutawaringin, Arya Pangalasan, Arya Gajah Para, Arya Kanuruhan, Arya Petandakan, Arya Pemacekan, Arya Belog, Arya Sentong, Arya Bencolong, Arya Wangbang Kediri, Arya Wangbang Kehuripan, Arya Wang Bang Kahuripan, Tan Kawur, Tan Mundur, Tan Kobar dan Mpu Wijaksara. Pada tahun 1343 Bali Dwipa ditaklukkan oleh kerajaan Majapahit, semua pasukan penyerang majapahit ditarik kembali ke Jawa kecuali yang ditugaskan menetap sementara di Pulau Bali untuk menertibkan perlawanan sembunyi-sembunyi rakyat hingga tahun 1350.
Gajah Mada kembali ke Pulau Jawa beserta sebagian besar pasukan penyerangnya dan memerintahkan Mpu Wijaksara menertibkan perlawanan dari rakyat Bali hingga tahun 1350. Pada tahun 1350 Ratu kerajaan Majapahit Tribuwana Tunggadewi menetapkan bahwa: wilayah Pasuruan diangkat menjadi Adipati Majapahit Dalem Putu Kepakisan, di wilayah Belambangan diangkat menjadi Adipati Majapahit Dalem Made Bima Sakti Kepakisan, di Pulau Sumbawa diangkat Adipati Majapahit Dalem Nyoman Kepakisan dan di wilayah Pulau Bali diangkat menjadi Adipati Majapahit Dalem Ketut Kresna Kepakisan.
Sejak tahun 1350 di Pulau Bali yang merupakan wilayah taklukkan Majapahit dipimpin oleh adipati Majapahit yaitu Sri Kresna Kepakisan sering dipanggil dengan Dalem Ketut dengan pusat kerajaan di Samprangan kira-kira satu kilometer timur Kota Gianyar saat ini dalam sejarah disebut kerajaan Bali-Samprangan. Mpu Wijaksara yang berhasil menertibkan perlawanan rakyat Bali, diangkat menjadi Mahapatih dengan Gelar Ki Patih Wulung serta dibantu oleh patih lainnya yaitu: Arya Kenceng, Arya Pemacekan serta Ki Padang Subadra. Karena sesuatu kesalahan Ki Patih Wulung beserta 400 pengiring dibuang ke Wilayah Bali Tengah yang kemudian disebut dengan wilayah Mas pada tahun 1355. Sejak 1355 sebagai ganti Ki Patih Wulung, Arya Kenceng diangkat menjadi Mahapatih menggantikan Ki Patih Wulung. Sri Kresna Kepakisan wafat tahun 1373 kemudian digantikan menjadi raja oleh anak tertua beliau yaitu Dalem Ile yang kemudian bergelar Sri Agre Kepakisan. Sri Agre kepakisan berkuasa hingga tahun 1380. Sejak tahun 1380 beliau digantikan oleh adik beliau yang keempat yaitu: Dalem Ketut Ngelesir yang kemudian bergelar Sri Smara Kepakisan. Bersamaan dengan berkuasanya Sri Smara Kepakisan pusat pemerintahan Kadipaten Majapahit Bali dipindahkan dari Samprangan ke Gelgel kira-kira enam kilometer selatan Kota Klungkung kini, sejak saat itu dinyatakan Kadipaten Majapahit Bali-Gelgel.
Kembali ke tahun 1360 dimana adipati Majapahit Bali-Samprangan adalah Sri Kresna Kepakisan dengan mahapatih pendamping beliau adalah Arya Kenceng. Sebelum menjadi mahapatih Arya Kenceng adalah salah seorang patih Bali-Samprangan penguasa wilayah Bali Selatan yang berkedudukan di Buwahan kira-kira tiga kilometer utara Kota Tabanan kini. Walaupun sejak tahun 1355 Arya Kenceng menjadi mahapatih Bali-Samprangan namun beliau tidak serta-merta pindah ke Samprangan pusat pemerintahan Kadipaten Majapahit saat itu. Arya Kenceng hanya datang menghadap Sri Kresna Kepakisan ke Samprangan jika dipanggil oleh raja atau saat-saat ada sidang besar Kadipaten atau istilah saat itu paruman agung.
Salah seorang anak Sri Kresna Kepakisan diberi nama oleh ayahandanya yaitu: Arya Kenceng Tegehkuri karena kesalahannya dibuang dan/atau dititipkan kepada Arya Kenceng pada tahun 1360 menetap di Buwahan. Arya Kenceng juga memiliki hubungan kerabat dengan Adipati Majapahit tersebut yaitu: sebagai adik ipar dari Sri Kresna Kepakisan karenanya Sri Kresna Kepakisan tidak sungkan untuk menitipkan anak beliau pada Arya Kenceng.
Setelah agak dewasa Arya Kenceng Tegehkuri karena merasa bersalah terhadap kakak angkatnya yaitu Dewa Rai (setelah menggantikan Arya Kenceng sebagai penguasa Bali Selatan bergelar Sri Maghada Natha) tahun 1380 meninggalkan Buwahan dan menetap kira-kira 20 km ditimur buwahan yang sekarang dikenal dengan wilayah Badung. Penduduk Badung yang dengan suka-rela menerima Arya Kenceng Tegehkuri sebagai bangsawan mereka sehingga pada tahun 1390 berdiri sebuah kerajaan Badung yang merupakan wilayah bawahan Kadipaten Majapahit Bali-Gelgel atas restu pusat pemerintahan Gelgel dengan penguasanya adalah Arya kenceng Tegehkori dengan pusatnya di Benculuk kira-kira tiga kilometer utara Kota Denpasar kini. Kerajaan Badung berkembang dengan pesat dari tahun 1390 hingga tahun 1480-an, pada tahun 1480-an kerajaan Badung mendirikan Puri Baru yang sangat megah kira-kira tiga kilometer ke selatan dari pusat kota Benculuk yaitu Puri Ksatria yang sangat dikagumi saat itu.
Dipusat Kadipaten Majapahit Bali-Gelgel raja Sri Smara Kepakisan meninggal dunia pada tahun 1460 saat kerajaan besar di Jawa sedang mengalami kemunduran hingga runtuhnya tahun 1478 yang diserbu oleh raja Keling yang bernama Girindrawardana Dyah Suraprabawa. Pada tahun 1460 Sri Smara Kepakisan digantikan oleh putra mahkota beliau yang masih muda belia yang dinobatkan dengan Gelar Dalem Baturenggong. Dalem Baturenggong walaupun menjadi Adipati Majapahit Bali-Gelgel saat sangat muda usia, beliau terdidik dengan baik secara adat-budaya Majapahit, sehingga mampu menjadi raja yang disegani oleh para penguasa diseluruh wilayah di Bali-Gelgel. Saat keretakan di dalam kerajaan Majapahit hingga keruntuhannya pada tahun 1478, Dalem Baturenggong mengamati dengan baik sebab-musabab serta akibatnya, sehingga beliau belajar dengan baik sejarah berdiri, berkembang serta keruntuhan salah satu kerajaan terbesar di dunia saat itu. Dalem Baturenggong mempersiapkan kerajaan Bali-Gelgel dengan baik menghadapi kemungkinan perluasan kerajaan-kerajaan islam di Jawa, terutama kerajaan Demak serta Pajang. Dalem Baturenggong mengkonsolidasi kekuatan-kekuatan manusia serta material yang diperlukan untuk menghadapi kerajaan islam Jawa. Dalem Baturenggong selama berkuasa di Gelgel didampingi oleh: Kyai Batan Jeruk, Kyai Pinatih, Kyai Klapodyana, Ki Gusti Tabanan, Kyai Tegehkuri, Ki Gusti Kaba-kaba, Ki Gusti Kapal, Ki Gusti Brangsinga, Ki Gusti Pring, Ki Gusti Pengalasan Pesimpangan, Ki Gusti Jelantik, Ki Gusti Pacung, Ki Gusti Cacahan dan Ki Gusti Abiansemal.Dalem Baturenggong banyak mendapat masukan dari para ahli serta ilmuwan Majapahit yang melarikan diri dari Jawa untuk berlindung di Pulau Bali untuk menyerang kembali kerajaan islam Jawa, salah seorang ilmuwan paling tersohor adalah Danghyang Nirarta yang di Pulau Bali dikenal dengan Pedanda Sakti Wawu Rauh. Danghyang Nirarta datang ke Pulau Bali di akhir tahun 1485 saat di penghancuran kerajaan-kerajaan Hindu oleh kerajaan-kerajaan Islam yang dalam istilah kerajaan Islam adalah kerajaan-kerajaan Jawa penyembah Berhala.
Sumber “Perjalanan Dangyang Nirartha:Sebuah Dharmayatra (1478-1560) dari Daha sampai Tambora, Dr. Soegianto Sastrodiwiryo, Penerbit Balipost – Denpasar, 2008, hal 92-93 “Kedatangan Sang Resi pada masa-masa awal pemerintahan Dalem Waturenggong (1485) telah memberikan semacam kesadaran religius yang penting kepada Dalem. Politik kekuasaan Dalem yang bersifat defensif-ofensif kemungkinan besar berdasarkan suatu kesadaran sebagai ahli waris satu-satunya Maharaja Majapahit yang Hinduistis itu. Dalem telah menggariskan sebuah strategi yang jitu dalam mengatasi perubahan-perubahan di Jawa, terutama setelah jatuhnya ibukota Majapahit 1478. Strategi itu adalah mempertahankan tanah Bali dengan mengamankan atau membangun suatu buffer staat. Buffer Staat itu adalah wilayah Belambangan barat dan Lombok serta Sumbawa di timur. Jadi untuk mempertahankan Bali maka wilayah-wilayah yang membatasi Bali dari pengaruh-pengaruh luar haruslah juga di bawah control Bali. Harus ditundukkan dan ditaklukkan. Dengan perkataan lain untuk defensif harus Ofensif. Itulah sebabnya mengapa Bali tampak ofensif bagi kerajaan-kerajaan Belambangan, Lombok maupun Sumbawa. Sejak abad ke-15 sampai abad ke-19, sejarah Bali penuh dengan riwayat ekspedisi-ekspedisi yang bergerak ke Jawa, Lombok dan Sumbawa ”
Untuk ekpedisi-ekspedisi militer ke pulau Jawa pada saat Kerajaan Bali-Gelgel dibawah Dalem Baturenggong perlu mengirimkan pasukan dan logistik antar pulau, pada saat itu hanya terdapat empat tempat pesisir pantai yang siap digunakan untuk mengirim pasukan ke pulau Jawa yaitu pesisir Padang kini bernama Padang Bai (timur) , pesisir Kuta (selatan) , pesisir Buleleng (utara) dan Jembrana (barat). Untuk aktivitas ekspedisi militer tersebut Puri Tegal Agung Badung didirikan atas perintah Dalem Baturenggong kepada Kyai Anglurah Tegehkuri kira-kira tiga kilo meter di selatan Puri Ksatria yang merupakan jalan masuk dari dan ke kerajaan Badung menuju pesisir Kuta pada tahun 1480-an. Karena aktivitas ekspedisi militer ke pulau Jawa, wilayah Badung menjadi sangat ramai dari 1480 hingga 1550.Sehingga sampai tahun 1550 saat wafatnya Dalem Baturenggong wilayah kekuasaan kerajaan Bali-Gelgel mencapai wilayah terluas sepanjang masa yaitu dari Pasuruan – Jawa Timur hingga pulau Sumbawa – Nusa Tenggara Barat. Dengan ramainya wilayah Badung untuk aktivitas militer dan logistik, perpindahan penduduk dari wilayah sekitar Badung menuju wilayah Badung menjadi sangat deras, sehingga wilayah Badung menjadi wilayah terpadat setelah Gelgel di pulau Bali pada awal abad ke-16.
Setelah wafatnya Dalem Baturenggong pada tahun 1550, beliau digantikan menjadi raja oleh putera beliau yang bergelar Sri Phangarsa, karena mandul atau tidak memiliki keturunan orang-orang memanggilnya Dalem Bekung. Karena Sri Phangarsa masih anak-anak, maka untuk memperlancar jalannya pemerintahan dibentuklah Badan Perwalian Mahkota Kerajaan yang dipimpin oleh Dewa Anggunan, salah seorang kerabat raja sambil menantikan Sri Phangarsa menjadi dewasa. Dewa Anggunan yang menginginkan kedudukan sebagai raja Bali-Gelgel dengan bekerja sama dengan patih kerajaan Kyai Batan Jeruk melakukan pemberontakan pada tahun 1586, pemberontakan tersebut berhasil ditumpas oleh Kyai Kubon Tubuh seorang kepala Bhayangkara Istana Gelgel. Kyai Batan Jeruk terbunuh di Jungutan dan Dewa Anggunan dihukum oleh Sri Phangarsa (Dalem Bekung).
Sekretaris (penyarikan) kerajaan pada jaman Dalem Baturenggong yang bernama Kyai Dauh Bale Agung memiliki putera bernama Pande Bhase. Pande Bhase merintis kariernya di kerajaan Gelgel saat penyerangan ke pulau Sumbawa 1597 yang berhasil ditaklukkan kembali melalui sebuah ekspedisi yang dengan panglimanya Pande Bhase. Pulau Sumbawa menyatakan diri tidak terikat lagi pada Bali-Gelgel pada tahun 1586 saat pemberontakan Kyai Batan Jeruk. Pande Bhase dipanggil kembali ke pulau Bali, karena kerajaan Bali-Gelgel sedang diserbu oleh kerajaan Mataram yang saat itu sudah mendarat di Tuban. Dengan kembalinya Pande Bhase ke pulau Bali, pasukan kerajaan Mataram dapat dipukul mundur. Karena jasa Pande Bhase pada peristiwa tahun 1597 tersebut, Oleh Dalem Bekung diberi wilayah otonom di sebelah timur tukad unda.
Pada tahun 1595 hingga tahun 1598 kerajaan Bali-Gelgel mengalami peperangan untuk pertama kali dengan kerajaan Mataram di Jawa, Pantai Kuta merupakan salah satu pesisir yang digunakan oleh Pasukan Bali-Gelgel dibawah perintah Dalem Bekung untuk mengirimkan pasukan penyerang ke Jawa, dengan Puri Tegal Agung (puri Badung dinasti Tegehkuri) sebagi pusat pengatur pengirim pasukan penyerang Bali-Gelgel untuk Bali wilayah selatan.
”Pada awal bulan Pebruari 1597 ketiga kapal Belanda tersebut mendekati pulau Bali. Satu kapal berlabuh di pantai Jembrana, yang kedua di pelabuhan yang dulu disebut Couten (Kuta) dan yang ketiga berlabuh di pelabuhan Couteraes atau Labuhan Amuk. Tiga awak kapal yang berlabuh di Kuta mendarat di pantai dan salah seorang dari mereka Aernaudt Lintgens, membuat catatan-catatan yang agak terperinci dari pengalamannya yang di dapat selama dia dan kawan-kawannya berada di Kuta. Boleh dikatakan ini adalah satu-satunya laporan pertama yang pernah dibuat oleh orang Belanda mengenai keadaan di Bali pada waktu itu. Aernoudt Lintgens ditemani oleh kawannya Emanual Roodenburch dan Juan de Portugis, seorang Portugis yang diketemukan di Banten dan bersedia untuk bertindak sebagai juru bahasa. Catatan Aernoudt Lingents itu mulai dengan hari dia mendarat di pantai Kuta pada tanggal 9 Pebruari 1597 dan berakhir pada tanggal 16 Pebruari pada saat kapal-kapal Belanda tersebut ,meninggalkan Pulau Bali. Banyak yang diungkapkan oleh Aernoudt Lintgens mengenai pengalamannya dan apa yang telah disaksikan di Bali pada waktu itu, sehingga dengan demikian dapat diperoleh sekedar gambaran situasi di Bali pada akhir abad ke-16. Aernoudt Lintgens menuturkan bahwa dia menghadap pada seorang pejabat Kerajaan Bali yang nampaknya bertindak sebagai pejabat tertinggi dibawah raja. Lintgens menyebut pejabat ini sebagai KIJLOER. Dari pejabat ini dia mendapat banyak pertolongan dan bantuan dan selama dia berada di Kuta, Lintgens dan kawan-kawannya dipersilahkan menginap di rumah pejabat tersebut. Lintgens menceritakan bahwa Raja Bali, pada saat dia berada di Kuta, sedang menyiapkan keberangkatan kurang lebih 20.000 pasukan menuju ke Belambangan yang pada waktu itu diduduki oleh pasukan Mataram. Raja Bali berhasrat untuk merebut kembali Belambangan dari pendudukan pasukan Mataram dan oleh karena itu raja berada di Kuta untuk menyaksikan dan memeriksa pasukan Bali itu. Oleh karena itu Lintgens berkesempatan juga menghadap raja. Dia menggambarkan raja Bali itu sebagai seorang yang berumur kurang lebih 40 tahun dengan perawakannya yang tegap dan sehat. Lintgens mendengar dari Kijloer bahwa raja mempunyai 200 istri dan seorang anak laki-laki berumur 20 tahun yang kemudian akan menggantikan dia sebagai raja Bali. Walaupun Lintgens tidak menyebut nama raja, maka dapat ditafsirkan bahwa yang berkuasa di Bali pada waktu itu adalah Dalem Bekung. Dalam percakapannya dengan raja, Lintgens diminta memberi penjelasan mengenai Negeri Belanda dan tata pemerintahan disana. Lintgens menjelaskan keadaan Negeri Belanda dengan cuacanya yang bersilih ganti tiap-tiap waktu dari panas sampai dingin di mana air sering membeku, sehingga tidak dipercaya oleh raja bahwa hal yang demikian dapat terjadi. Juga dijelaskan bahwa raja yang berkuasa di Negeri Belanda pada waktu itu adalah Pangeran Maurits van Nassau yang berumur kurang lebih 30 tahun, akan tetapi belum beristri. Hal yang demikian sangat mencengangkan raja oleh karena menurut keterangan raja, di Bali orang kawin dalam usia muda, yaitu pria umur 12 tahun dan wanita umur 9 tahun. Baik kepada raja maupun kepada Kijloer, Lintgens mempersembahkan hadiah atas nama Komodor Cornelis de Houtman yang tidak mendarat. Hadiah-hadiah tersebut berupa kain beluderu merah, barang pecah-belah seperti kristal dan beberapa mata uang Belanda terbuat dari perak. Raja menyatakan bahwa ia menghendaki agar diperbolehkan membeli tiga meriam yang merupakan persenjataan kapal-kapal Belanda itu. Lintgens tidak dapat menyetujui permintaan raja oleh karena dia yakin bahwa Komodor Cornelis de Houtman tidak akan bersedia menjual alat persenjataan kapalnya. Raja juga menghendaki agar Lintgens memperlihatkan kepada dia peta dunia untuk mengetahui dimana letak Negeri Belanda dan kekuasaan besar lain di dunia. Waktu peta itu diperlihatkan, raja tercengang bahwa pulau Bali hanya terlihat kecil sekali di Peta dunia itu dan kagum atas luasnya kerajaan Turki dan Cina. Raja juga ingin melihat dari pantai kapal-kapal Belanda itu. Pada suatu hari raja dengan iringan ratusan orang datang di pantai dan dari pengalaman tersebut Lintgens menuturkan kemegahan lingkungan raja Bali pada waktu itu. Lintgens menulis dalam laporannya bahwa raja duduk diatas pedati yang diberi atap yang dihias, sedang pedati itu ditarik oleh dua ekor kerbau putih. Pasukan pengawal yang terdiri dari beberapa ratus orang mendahului kendaraan raja, yang semuanya memanggul tombak yang dilapisi dengan emas, raja bersenjatakan keris yang berhulu dari parung emas dengan perhiasan permata-permata yang berkilauan. Raja dikelilingi oleh bangsawan-bangsawan yang juga bersenjatakan keris yang bentuknya sama dengan keris yang dipakai oleh Raja. Sedang di belakang kendaraan raja berjalan lagi ratusan pasukan yang bersenjatakan bedil dan panah. Lintgens sempat juga berkunjung ke Gelgel untuk menghadap raja di istananya. Dia menggambarkan keadaan istana yang serba besar, megah dan mewah. Disana dia melihat lagi ratusan tombak yang berhiasan emas dan banyak perhiasan-perhiasan dan tempayan dibuat dari emas. Oleh karena itu Lintgens menanyakan kepada Kijloer dari mana mendapatkan begitu banyak logam emas yang dipergunakan sebagai bahan untuk membuat barang-barang perhiasan yang begitu tinggi mutunya. Kijloer menjawab bahwa emas itu berasal dari Cina dan Sumatra. Dalam perjalanan dari Kuta ke Gelgel, Lintgens mendapat kesempatan melihat keadaan pedesaan di Bali. Dia menceriterakan bahwa penduduk kelihatan sangat sejahtera dan nampaknya cukup makan oleh karena dilihat sawah-sawah yang menghasilkan padi dan bahan makanan lain untuk penduduk. Lintgens juga menceritakan bahwa di Bali di tanam kapas yang dijadikan benang oleh penduduk untuk dijadikan kain yang dijual kepada pedagang asing yang tiba di Bali. Mata uang yang dipergunakan di Bali ialah semacam uang logam dari tembaga yang berlobang ditengahnya dan nampaknya didatangkan dari Cina (Kepeng). Kemudian ketiga kapal Belanda itu berkumpul di Labuah Amuk. Pada hari terakhir Kijloer mengizinkan sekoci kapal-kapal tersebut untuk mencari air untuk dipergunakan sebagai persediaan di kapal dan pada kesempatan itu Cornelis de Houtman mendarat dan dapat bertemu dengan salah seorang saudara raja. Akan tetapi dia tidak menghadap raja, mungkin disebabkan karena dia tidak mempunyai status perutusan resmi dari Pemerintah Belanda dan kunjungannya ke Bali hanya berupa persinggahan belaka untuk mendapatkan perbekalan bagi kapal-kapalnya. Pada tanggal 16 Pebruari 1597 Lintgens meninggalkan pulau Bali setelah seminggu berada di Bali. Dua awak kapal dari rombongan Cornelis de Houtman, Emanuel Roodenburch dan Jacob Claasz tidak turut pulang dan oleh karena tertarik oleh alam dan penduduk Bali ingin menetap di Bali. Mereka berdua menetap di Gelgel dan dipekerjakan oleh raja. Kemudian Roodenburch kembali lagi ke Negeri Belanda dan menetap di Amsterdam sebagai juru-tulis (klerk). Oleh Lintgens diceritakan juga bahwa pada saat dia berkunjung ke Gelgel, dia berjumpa dengan seorang peranakan Portugis bernama Peter de Noronda yang katanya sudah lebih dari 12 tahun menetap di Bali dan berasal dari Malacca. Raja tidak mengizinkan dia meninggalkan Bali dan tenaganya dipergunakan oleh raja untuk membantu raja dalam soal perdagangan dengan orang asing. Dia sudah berkeluarga dan mempunyai dua anak. Dari laporan Lintgens tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa Bali dibawah pemerintahan Dalem Bekung sebagai raja Bali berada dalam keadaan makmur dan teratur dan penduduk hidup tenang dan teratur dibawah seorang raja yang berwibawa. Rombongan Belanda tersebut demikian tertarik oleh apa yang mereka lihat di Bali dan menghargai keramah-tamahan penduduk Bali, sehingga memberi nama kepada pulau Bali sebagai JONG HOLAND (Holland Remaja)” Sumber : “Bali Pada Abad XIX: Perjuangan Rakyat dan Raja-raja Menentang Kolonialisme Belanda 1808-1908”,Dr. Mr. Ide Anak Agung Gde Agung, Gajah Mada University Press,Bulaksumur, Yogyakarta, 1989.
Tidak seperti ayahandanya Dalem Baturenggong, Dalem Bekung seorang raja yang tidak tetap pendirian. Di seputar istana Gelgel berkembanglah kehidupan mesum dan percabulan dimana raja sendiri terlibat di dalamnya. Ada seorang pegawai istana Gelgel kepercayaan raja bernama Kyai Telabah berbuat serong dengan salah seorang isteri Dalem Bekung yang berparas jelita. Hubungan Kyai Telabah dengan isteri berjalan secara sembunyi-sembunyi. Isteri Dalem Bekung itu jatuh cinta dengan Kyai Telabah dan memberikan sebuah cincin pemberian raja kepada Kyai Telabah saat raja sedang bepergian. Hal tersebut bukannya tidak diketahui oleh Pande Bhase yang sudah muak dengan segala kepalsuan kehidupan di istana. Para bangsawan istana Gelgel sepertinya telah jauh larut dalam skandal percabulan. Pujian manis lebih senang diucapkan oleh orang-orang sekitar raja daripada koreksi dan sikap kritis. Suatu saat, Dalem Bekung memanggil Pande Bhase ke istana untuk urusan pemerintahan. Pada saat menghadap Dalem Bekung, tiba-tiba Dalem tertarik pada kalung berpermata indah milik Pande Bhase sehingga Dalem Bekung berkeinginan memiliki permata yang serupa. Pande Bhase menyetujui permintaan Dalem Bekung, namun agar sesuai dengan martabat Dalem, Pande Bhase memohon penangguhan untuk memberikannya. Pande Bhase mengetahui Kyai Telabah memiliki permata yang lebih indah dari milikinya yaitu permata cincin yang dimiliki Kyai Telabah. Pande Bhase datang kepada Kyai Telabah meminta bantuannya untuk memenuhi permintaan Dalem untuk meminjamkan cincinnya bagi permata kalung yang akan dibuatkan untuk Dalem. Kyai Telabah sudah memiliki firasat bahwa hubungan gelapnya dengan isteri Dalem diketahui, namun tidak berani menolak. Setelah kejadian itu, karena merasa takut Kyai Telabah diam-diam mengasingkan dirinya ke pantai Kuta dan menjadi seorang nelayan. Alangkah kagetnya Dalem ketika mengetahui bahwa cincin milik Kyai Telabah itu adalah merupakan cincin yang pernah diberikan kepada salah seorang isteri kesayangannya. Dalem Bekung amat murka dan memerintahkan Pande Bhase untuk membunuh Kyai Telabah.
Pande Bhase merasa puas dengan terbunuhnya sang pembuat intrik dan pelaku skandal percintaan Istana Gelgel.Kepada Dalem, Pande Bhase meminta untuk bersumpah bersama ditempat suci Pura Wrapsari. Dengan sumpah itu Dalem akan terikat janji untuk tidak membongkar peristiwa pembunuhan Kyai Telabah di Kuta. Pembunuhan ini dilakukan oleh Ki Capung bersama dua kawannya atas perintah Pande Bhase. Walaupun Kyai Telabah berhasil dibunuh di Kuta namun dua kawannya juga ikut tewas dalam pertarungan di pantai Kuta tersebut.
Setelah beberapa tahun berlalu, rahasia tewasnya Kyai Telabah di Kuta akhirnya terbongkar juga, setelah suatu pagi orang-orang desa menemukan mayat Ki Capung yang penuh luka tergeletak di tepi jalan dipinggir tembok pekarangan Kyai Pande Bhase. Berita menyebar dari mulut ke mulut di Gelgel.Berita kian memanas ketika isteri Ki Capung yang memaki Pande Bhase sebagai ksatria yang tidak mungkin melanggar persahabatan, namun sampai hati membunuh seorang anak buah yang melaksanakan perintah-perintah tuannya.
Dengan mendengar berita peristiwa itu, tentu saja keluarga Kyai Telabah yang cukup banyak tidak tinggal diam. Salah seorang keluarga Kyai Telabah yang sangat berpengaruh yaitu Kyai Anglurah Kanca menuntut keadilan kepada Dalem Bekung atas kematian saudaranya. Dalem Bekung yang lemah tidak berani bertindak tegas malahan meminta Pande Bhase melakukan sumpah cor pangrereta bahwa ia tidak terlibat dalam pembunuhan itu.Jika sumpah cor itu dilaksanakan tentu mengingkari sumpahnya di Pura Wrapsari beberapa tahun sebelumnya, Kyai Pande Bhase sangat marah mendengar keputusan Dalem Bekung.
Setelah kejadian tersebut, Kyai Pande Bhase memanggil ketiga puteranya yaitu: Kyai Agrabiasama, Kyai Pelampung dan Kyai Jelangkong.Kyai Pande menceriterakan kejadian sebenarnya kepada ketiga puteranya dan bertekad untuk melawan segala keputusan Dalem Bekung. Ketiga putera Kyai Pande Bhase menyatakan siap berada dipihak ayahandanya walaupun sadar akan berakibat pengorbanan jiwa dan raga.
Pada saat sumpah cor diadakan Kyai Pande Bhase tidak datang, karenanya Dalem memutuskan hukuman mati kepada Kyai Pande Bhase.Sebelum melaksanakan hukuman tersebut Dalem Bekung mengumpulkan sebagian besar prajurit Bali-Gelgel dari seluruh pulau Bali dan menyiapkannya di ibukota Gelgel.Beberapa hari kemudian rumah Kyai Pande dikepung oleh para prajurit Gelgel yang diperintahkan menangkap Pande Bhase.Dengan keadaan seperti itu Kyai Pande Bhase keluar beserta tiga puteranya dan empat ratus pengikut yang setia kepada Kyai Pande Bhase lengkap dengan senjata untuk menghadapi prajurit Dalem Bekung.Di tengah perjalanan menuju Gelgel Kyai Pande bertemu dengan adiknya Kyai Anyar Rame, iapun lalu mengikuti kakaknya dalam perjalanan ke Gelgel.
Dalam perjalanan ke Gelgel pengikut Kyai Pande Bhase mendahului menyerang prajurit Dalem Bekung dibawah pimpinan Kyai Beda Ulu. Dalam pertempuran permulaan tersebut Kyai Anyar Rame terbunuh. Melihat pamannya terbunuh Kyai Agrabiasama mengamuk membabat prajurit pimpinan Kyai Beda Ulu, dan pasukan Kyai Beda Ulu terdesak dan mundur ke selatan ke arah pantai dan kemudian menyeberangi tukad jinah dan bergabung dengan pasukan di sebelah barat Istana Gelgel.
Pasukan yang berada disebelah barat Istana Gelgel dipimpin oleh Kyai Pinatih dan Kyai Kubon Tubuh.Setelah pasukan Pande Bhase tiba disebelah barat Istana, tenyata pasukan pimpinan Kyai Pinatih dan Kyai Kubon Tubuh tidak mampu menghadapi pasukan Agrabiasama.Kyai Pinatih dan Kyai Kubon Tubuh melarikan diri bersama pasukannya.Pasukan Kyai Pande Bhase telah mampu menembus pertahanan Gelgel disebelah barat dan selatan.Pasukan Kyai Pande Bhase bergerak ke timur ke pusat kerajaan.Di pusat kerajaan terdapat pasukan yang sangat tangguh pimpinan: Kyai Tabanan, Kyai Kaba-kaba, Kyai Beringkit dan Kyai Tegehkuri.Pasukan penghadang itu lalu diserbu oleh Kyai Pande Bhase, Kyai Agrabiasama, Kyai Pelampung, Kyai Jalengkong yang masing-masing memimpin pasukannya sendiri-sendiri sehingga pertempuran sengit terjadi.Setelah banyak prajurit kedua belah pihak berguguran, Kyai Pande Bhase berhadap-hadapan dengan Kyai Panarungan dan melakukan duel berakhir dengan keduanya gugur.Melihat kedua pahlawan tersebut gugur, prajurit Gelgel yang berjaga disana lari ketakutan, karena khawatir menghadapi serangan Kyai Agrabiasama bersama-sama adiknya yang sedang mengganas itu.Dengan gugurnya Kyai Panarungan maka pertahanan menuju istana telah dapat dipatahkan.
Kini saatnya untuk putera-putera Kyai Pande Bhase untuk menghancurkan benteng terakhir Dalem Bekung.Namun prajurit putera-putera Kyai Pande Bhase tinggal beberapa puluh orang saja namun penjaga istana Dalem Bekung sangat banyak.Putera-putera Kyai Pande Bhase dicegat oleh pasukan Bhayangkara yang mengawal istana Gelgel dan memerintahkan supaya Kyai Agrabiasama menyerahkan dirinya serta pasukannya.Saat itu datang Anglurah Sidemen yang menjadi pemimpin pasukan Bhayangkara dan menasehatkan agar Kyai Agrabiasama mengurungkan niatnya.Anglurah mengatakan ia sanggup memohon ampun kehadapan Dalem agar Kyai Agrabiasama dibebaskan dari segala tuntutan.Namun nasehat itu tidak dihiraukan, bahkan dipandang sebagai penghinaan terhadap dirinya.Pasukan Bayangkara diterjangnya dan diikuti oleh anak buahnya yang amat setia.
Terjadilah pertempuran di halaman istana, antara pasukan Kyai Agrabiasama yang jumlahnya sedikit melawan ribuan pasukan yang masih setia kepada Dalem.Akhirnya Kyai Agrabiasama gugur dihalaman istana Gelgel.Saat pertempuran sedang berlangsung di halaman istana,Kyai Pingung Plampung dan Kyai Jalengkong berhasil memasuki istana melalui lubang saluran air, namun sebelum sempat membunuh Dalem Bekung, keduanya disergap oleh pasukan Bhayangkara dan keduanya gugur di dalam istana Gelgel.Peristiwa pemberontakan Kyai Pande Bhase tersebut terjadi pada tahun 1597.
Setelah pemberontakan Kyai Pande Bhase berhasil dipadamkan, Dalem Bekung menyadari kesalahannya.Akhirnya beliau mengundurkan diri sebagai raja dan mengasingkan dirinya di suatu tempat bernama Jro Kapal yaitu disebelah barat Istana Gelgel hingga wafatnya.
Setelah Dalem Bekung mengundurkan diri tahun 1600 beliau digantikan menjadi raja Bali-Gelgel oleh adik beliau Dalem Segening. Pada masa kekuasaan Dalem Segening hubungan dengan kerajaan Mataram di Jawa sangat meruncing, terutama setelah berkuasanya sultan Agung (1613-1645). Sultan Agung ingin memperluas kekuasaan Mataram di seluruh Pulau Jawa dan dengan sendirinya terjadi konflik kepentingan dengan kerajaan Bali-Gelgel yang ingin tetap menguasai wilayah Blambangan, Pasuruan dan Blitar. Pertempuran antara pasukan Bali-Gelgel dan Mataram tidak dapat dihindarkan dan ketiga wilayah tersebut sering kali pindah tangan antara pasukan Bali-Gelgel dan Mataram. Peperangan antara Bali-Gelgel dengan Mataram didengar oleh Pemerintah VOC yang berkuasa di Batavia yang juga bermusuhan dengan Mataram.
Sebagai bukti bahwa kerajaan Bali-Gelgel dibawah Dalem Segening diakui sebagai suatu kekuasaan yang besar dan berwibawa di wilayah Nusantara, dapat dilihat dari prakarsa yang diambil oleh Gubernur Jenderal VOC Hendrik Brouwer yang berkuasa dari tahun 1632 hingga 1638, untuk mengadaan pendekatan dengan Dalem Segening di Gelgel. Gubernur Jenderal Hendrik Brower menghendaki agar diadakan suatu persekutuan dengan kerajaan Bali-Gelgel karena mengetahui bahwa kerajaan Bali-Gelgel berada dalam keadaan perang dengan Mataram. Oleh karena itu dia memutuskan untuk mengirim perutusan ke Gelgel untuk menawarkan kepada Dalem Segening bantuan VOC dalam perang melawan Mataram.
Gubernur Jenderal Hendrik Brouwer ingin menawarkan bantuan beras dan angkutan kapal untuk mengangkut pasukan Bali-Gelgel ke Belambangan. Untuk tujuan tersebut dikirim ke Gelgel utusan VOC bernama Jan Oosterwijck, yang membawa sepucuk surat dan hadiah-hadiah dari Gubernur Jendral VOC Hendrik Brower tersebut tercantum tanggal Casteel (Istana) Batavia 2 Pebruari 1633 berbunyi sebagai berikut :
Kepada raja Bali.
Hendrik Brower Gubernur Jenderal di Hindia dari Negara Persekutuan Nederland mempersembahkan kepada Sri Baginda Raja Bali kebahagiaan di bumi, agar dianugerahi dengan kemenangan-kemenangan atas musuhnya.
Sri Baginda Raja yang mulia. Setelah keberangkatan Gubernur Jenderal yang mendahului saya dengan armada yang besar ke negeri saya, maka saya mendapat keterangan-keterangan tentang kekuasaan raja-raja di sekitar pulau Jawa ini. Saya mendengar bahwa Sri Baginda bukan saja melebihi raja-raja lainnya dalam soal kebesaran dan kekuasaan, akan tetapi juga Sri Baginda berada dalam keadaan perang dengan raja Mataram.
Untuk dapat mencapai kemenangan dalam perang dengan Mataram, mungkin diperlukan beberapa kapal pengangkut beras yang menyertai pasukan Sri Baginda bila memperhatikan juga jauhnya jarak yang ditempuh melalui daratan. Oleh karena itu kami telah memutuskan secepat mungkin, setelah kami mendengar dari utusan kami keputusan Sri Baginda dalam hal ini, untuk mengirim beberapa kapal lengkap dengan meriamnya dan muatan beras dikawal oleh pasukan bersenjata untuk diangkut ke suatu tempat yang dikehendaki, sehingga dengan ini kita bersekutu menghadapi musuh kita bersama tanpa perlu dikhawatirkan akan ancaman dari angkatan laut kerajaan Mataram.
Kami mengharapkan Sri Baginda dapat menyediakan perahu-perahu untuk mengangkut beras itu dari kapal-kapal kami ke daratan dengan jaminan bahwa perahu-perahu tersebut mendapat pengawalan dan perlindungan dari kapal-kapal kami.
Untuk menyelesaikan hal ini kami segera akan mengirim kapal lagi ke Bali untuk mendengar keputusan Sri Baginda dalam hal ini, dan untuk memberitahukan kapal-kapal kami yang terpencar mengangkut beras itu ke tempat yang dikehendaki, di musim kemarau yaitu empat bulan dari sekarang.
Kepada utusan kami telah diberikan petunjuk untuk membicarakan soal ini lebih lanjut dengan Sri Baginda.
Sebagai tanda persahabatan dan selamat terhadap kemenangan Sri Baginda yang akan diperoleh, maka sudilah kiranya sebagai hadiah satu ekor kuda Persia, beluderu merah, satu tong anggur, kursi dan sepasang tempat lilin lengkap dengan lilinnya.
Termaktub di Casteel (Istana) Batavia pada tanggal 2 Pebruari 1633
Nampaknya Gubernur Jenderal Hendrik Brower ingin mendapatkan keputusan dengan segera atas sarannya untuk mengadakan persekutuan dengan Dalem Segening, seperti terbukti setelah keberangkatan utusannya Jan Oosterwijck ke Bali dia mengirim lagi Kapten Roelofsz van Deutekom dikawal oleh satu kompi pasukan infantri ke Bali. Utusan di bawah pimpinan Jan Oosterwijck dan kemudian pimpinan van Deutekom itu disertai juga oleh seorang pendeta Justus Heurnius, yang setelah usai tugasnya meneruskan perjalanannya ke Ambon. Utusan Gubernur Jenderal Handrik Brower tidak berhasil mencapai sasaran seperti apa yang diharapkannya. Dalem Segening berhubung dengan kesibukan yang disebabkan oleh upacara ngaben ibunya serta keluarga lainnya, tidak sempat menerima Jan Oosterwijck dan Joachim Roelofsz van Deutekom itu. Karena duta Jan van Oosterwijck lebih dahulu tiba di Gelgel dari Kapten Roelofsz van Deutekom, dia sempat mengadakan pembicaraan dengan putra mahkota. Di sana didapatkan keterangan bahwa Dalem Segening ingin mempertahankan hubungan dan persahabatan dengan kedua belah pihak, baik dengan VOC maupun Sultan Agung dari Mataram. Dari pembicaraan tersebut Jan Oosterwijck mendapat kesan bahwa Dalem Segening sama sekali tidak memiliki niat untuk mengadakan peperangan dengan Mataram. Ketika van Deutekom sudah tiba di Bali, oleh kedua utusan VOC itu diusahakan lagi untuk menemui Dalem Segening, akan tetapi tidak berhasil. Keduanya dapat berkunjung ke Gelgel dan diterima dengan ramah-tamah dan kebesaran. Dalam satu rapat dengan para pembesar kerajaan kedua utusan VOC itu mendengar keputusan yang sama sebagaimana yang telah disampaikan oleh putera mahkota, bahwa Dalem Segening tidak mempunyai kepentingan untuk mengadakan peperangan dengan Sultan Agung Mataram. Dengan demikian jelaslah bahwa utusan VOC yang dikirim Gubernur Jenderal Hendrik Brouwer ke Bali tidak berhasil mencapai tujuannya. Jan Oosterwijck tiba kembali di Batavia pada tanggal 22 Mei 1633, disusul oleh Kapten van Deutekom pada tanggal 31 Mei 1633.
Ketika wilayah Bali-Gelgel diserang oleh pasukan Sultan Agung pada tahun 1639, Dalem Segening mengirim utusan kepada Gubernur Jenderal VOC di Batavia dengan tujuan untuk meminta bantuan VOC. Akan tetapi permintaan Dalem Segening tidak dikabulkan oleh karena waktu itu VOC sudah tidak berperang lagi dengan Mataram.
Dengan bukti sejarah diatas terbukti bahwa kerajaan Bali-Gelgel di bawah Dalem Bekung dan Dalem Segening merupakan suatu kerajaan yang berwibawa dan disegani di kawasan Asia sebagai suatu kekuasaan besar, dengan VOC mengadakan pendekatan dan mengirim utusannya menghadap Dalem di Gelgel untuk menawarkan persekutuan melawan kerajaan Mataram.
Dalem Segening wafat tahun 1645, kemudian digantikan oleh Dalem Di Made sebagai raja Bali-Gelgel. Pada tahun 1651 VOC mengirim lagi utusannya ke Bali untuk mendekati kerajaan Bali-Gelgel dengan tujuan untuk mengadakan suatu kerja sama antara kerajaan Bali-Gelgel dan VOC. Menurut laporan VOC, timbul gejolak dari para pejabat Gelgel untuk merebut kekuasaan, seluruh negeri bangkit memberontak dan semua ingin menguasai dan berusaha menjadi raja. Pada tahun 1656, muncul seseorang yang berkuasa, sumber dari VOC menyatakan adanya ‘raja baru di Bali’. Pada tahun 1665 seorang yang bernama “Gusty Agong” terbukti adalah pemimpin ‘Pulau Bali bagian selatan’, dan dua tahun kemudian pada tahun 1667 ia disebut sebagai ‘regen Gelgel’. Menurut sumber dari Bali, Gusti Agung adalah gelar seseorang yang merebut kekuasaan di Gelgel, Gusti Agung diberitakan sebelumnya menjadi patih Dalem Gelgel. Pada tahun 1686, pemerintah Gusti Agung di Gelgel berakhir. Pada tahun 1687 sebuah surat tiba di Batavia, surat ini ditulis oleh Dewa Agung Klungkung, yang mempemperkenalkan dirinya sebagai raja baru di Bali, dan juga melaporkan bahwa pemberontak Gusti Agung telah mati terbunuh di Gelgel.
Menilik kembali wilayah Badung mulai dari berdirinya tahun 1390-an hingga terjadinya kekacauan di pusat kerajaan Bali-Gelgel tahun 1656, wilayah Badung diperintah oleh bangsawan Tegehkori. Pada saat Dalem Segening berkuasa di Gelgel penguasa wilayah Badung adalah Kyai Anglurah Badung (masyarakat Badung suka meringkas nama dengan Kyai Anglur, yang ditulis oleh Aernoudt Lintgens dengan KIJLOER). Pada saat penyerbuan ke kerajaan-kerajaan islam Jawa baik oleh Dalem Baturenggong, Dalem Bekung maupun Dalem Segening bangsawan Tegehkori atau Kyai Anglur Badung ditugaskan untuk mengontrol dan memberangkatkan pasukan Bali-Gelgel yang diberangkatkan dari Kuta. Karena begitu kuatnya kekuasaan kerajaan Bali-Gelgel saat Dalem Baturenggong, Dalem Bekung dan Dalem Segening berkuasa demikian juga kuatnya kekuasaan Kyai Anglur Badung (bangsawan Tegehkuri) bercokol di Badung. Akan ditinjau keadaan di Badung saat-saat terjadinya pemberontakan di pusat kerajaan Bali-Gelgel dan hubungan Gelgel dan Badung pada tahun 1656. Kyai Anglurah Badung yang pada tahun 1390-an hingga 1420-an tinggal Puri di Benculuk (Tonja kini) sejak tahun 1420-an mendirikan Puri yang baru yaitu Puri Ksatria kira-kira 2 kilometer arah selatan Puri Benculuk. Pada tahun 1480-an Kyai Anglurah Badung (I Gusti Gede Tegehkuri cucu dari Arya Kenceng Tegehkuri) mendirikan puri Tegal Agung.Kyai Anglurah Badung (keturunan dari I Gusti Gede Tegehkuri) yang berkuasa di wilayah Badung pada saat Dalem Segening wafat yaitu tahun 1645 memiliki dua orang putera yaitu: I Gusti Gede Tegeh dan I Gusti Made Tegeh. Karena kedua putera Kyai Anglurah Badung tersebut tidak bisa dipercaya oleh ayahandanya untuk menggantikannya sebagai Anglurah Badung, Kyai Angglurah Badung tersebut mengangkat anak angkat yang dianggap mampu untuk meneruskannya sebagai Anglurah Badung (anak tersebut adalah anak dari keponakan Kyai Anglurah Badung tersebut dalam istilah orang Bali disebut dengan pernah cucu dari Anglurah Badung tersebut). Anak angkat Anglurah Badung tersebut bernama I Gusti Biket yang kemudian setelah diangkat anak oleh Anglurah Badung diberi nama I Gusti Nyoman Tegeh. Pada tahun 1645, Anglurah Badung tersebut diatas sudah sangat tua, untuk menghadap Dalem Segening dan Dalem Di Made (raja kerajaan Bali-Gelgel setelah Dalem Segening wafat) dipercayakan kepada I Gusti Nyoman Tegeh. Karena kagum akan kepintaran I Gusti Nyoman Tegeh, pada saat adanya pemberontakan Arya Made Janggaran dari Karangasem, I Gusti Nyoman Tegeh ditugaskan oleh Dalem Dimade untuk memadamkan pemberontakan tersebut. Atas jasa I Gusti Nyoman Tegeh tersebut oleh Dalem Di Made diberi Gelar I Gusti Agung Gede Raka oleh Dalem Di Made (raja pusat kerajaan Bali-Gelgel). Kehebatan I Gusti Nyoman Tegeh bertambah dikenal dengan berhasilnya I Gusti Nyoman Tegeh memadamkan pemberontakan rakyat Sumerta pada Anglurah Badung. Setelah berhasil memadamkan pemberontakan rakyat Sumerta I Gusti Nyoman Tegeh dikenal dengan I Gusti Jambe Pule. Sejak saat itu Kyai Nyoman Tegeh lebih dikenal dengan sebutan I Gusti Jambe Pule. Keperkasaan I Gusti Nyoman Tegeh atau I Gusti Jambe Pule makin menarik perhatian Dalem Di Made, sehingga untuk mempererat tali kekerabatan dengan I Gusti Jambe Pule, Dalem Di Made menikahi adik perempuan dari I Gusti Jambe Pule (ibu dari Dewa Agung Jambe, penerus dari Dalem Di Made sebagai Dewa Agung Klungkung, beliau diberi gelar Dewa Agung Jambe, karena ibunya adalah puteri bangsawan Jambe yaitu adik dari Kyai Jambe Pule). Karena kemasyuran dari Kyai Nyoman Tegeh terdengar diseluruh pelosok kerajaan Bali-Gelgel, membuat iri hati saudara angkat beliau yaitu I Gusti Gede Tegeh dan I Gusti Made Tegeh sehingga terjadi perselisihan I Gusti Nyoman Tegeh atau I Gusti Jambe Pule dengan I Gusti Gede Tegeh serta I Gusti Made Tegeh dan memucak dengan terjadinya perang berhari-hari sampai bulan pada akhirnya I Gusti Gede Tegeh dan I Gusti Made Tegeh kalah dan melarikan diri dari Tegal Agung dan pergi ke Kapal pada tanggal 23 Juli 1687.
Sumber “CANDRASANGKALA:The Balinese Art of Dating Event”,Hans Hagerdal, Department Of Humanities, University of Vaxjo,Sweden,2006:”In the Pasangkalan: 51 it appears that Arya Tegeh Kori of Tegal, in negara Badung, was involved in a conflict with relatives, who were “eaten by weapon”. During the chaos Ki Manek and Dene Panlang Died, on day Bu. U. Dadangsya in the month Kawolu, 1593, corresponding to 1 March 1671. The calendar elements are internally consistent, so the date may be genuine. In No. 52 Tegeh Kori again occurs; the text ia obscure, but mentions that people from Tamanbali were cut down in Tegalayu, on the day Bu. Pa Wyang, in the month Kapat 1604. The calendrical elements do not fit completely but may correspond to 27 November 1682. A third dat, No. 53, says that noisy warfare was heard for days and month. Arya Tegeh Kori was defeated and fled from Kutha Tegal to Kapal, a district of Manguwi (Mengwi). This happened on day Ca. Wa. Wayang, in the month Kasada 1609,corresponding 23 July 1687. What is described is may be the end of the Tegeh Kory dynasty in Badung”
Walaupun I Gusti Gede Tegeh dan I Gusti Made Tegeh (bangsawan Tegehkori dari Puri Tegal Agung) meninggalkan Badung pada tanggal tanggal 23 Juli 1687, namun bangsawan Tegehkori di Puri Benculuk dan Puri Ksatria masih tetap tinggal di Badung. Sejak 23 Juli 1687 yang menduduki Puri Tegal Agung adalah I Gusti Jambe Pule. I Gusti Jambe Pule merupakan pendiri dinasti Jambe di wilayah Badung.
Meninjau kembali pusat Kerajaan Bali-Gelgel setelah pemberontakan Widia terhadap Dalem Di Made pada tahun 1667, Dalem Di Made menyingkir ke hutan Guliang kira-kira lima kilo meter selatan Kota Bangli saat ini untuk menyelamatkan diri bersama dua putera beliau yang masih kecil yaitu Dewa Agung Mayun dan Dewa Agung Jambe. Dewa Widia mengangkat dirinya menjadi raja Gelgel dengan gelar I Gusti Agung Maruti .Dalem Di Made meninggal di Guliang dalam masa pelarian. Setelah Dalem Di Made meninggal, Dewa Agung Jambe mengungsi ke Sidemen yang merupakan wilayah kekuasaan I Gusti Ngurah Singarsa. Setelah dewasa Dewa Agung Jambe minta bantuan I Gusti Ngurah Singarsa, I Gusti Jambe Pule (kakak kandung dari ibu Dewa Agung Jambe), I Gusti Panji Sakti (saudara satu ayah Dalem Di Made) untuk menyerang Gelgel pada tahun 1686, serbuan bersama-sama tersebut berhasil menduduki pusat kerajaan Bali-Gelgel kembali, namun karena pertempuran yang sengit pusat kerajaan Gelgel menjadi luluh-lantah. I Gusti Agung Maruti berhasil melarikan diri meninggalkan pusat kerajaan Gelgel menuju Jimbaran dan kemudian mengungsi ke Kapal. I Gusti Agung Maruti wafat di Kapal. Untuk menghapus kepedihan Dewa Agung Jambe akan kenangan ayahanda serta pusat kerajaan yang hancur-luluh, maka Dewa Agung Jambe memindahkan pusat kerajaan ke Klungkung dan membuat istana baru terselesaikan tahun 1710.
1.2 Badung Periode 1687-1778 (Era Dinasti Jambe)
Kembali lagi ke Puri Tegal Agung dimana I Gusti Jambe Pule berkuasa sejak 23 Juli 1687, keadaan Badung tenteram kembali semenjak kepergian I Gusti Gede Tegeh dan I Gusti Made Tegeh ke Kapal. I Gusti Jambe Pule berputera tiga orang yaitu: I Gusti Jambe Nehikel (menggantikan beliau menjadi raja Badung beliau membuat puri baru yaitu Puri Peken Badung), I Gusti Agung Nyoman Pamedilan yang bergelar I Gusti Agung Macan Gading (beliau dibuatkan puri baru yaitu Puri Pamecutan) dan I Gusti Agung Gede Mangku (dibuatkan puri baru yaitu Puri Gelogor).
I Gusti Jambe Nehikel menurunkan dinasti Jambe yang berkedudukan di Puri Peken Badung dan I Gusti Agung Nyoman Pamedilan kelak menurunkan salah seorang yang pada tahun 1778 mendirikan dinasti Denpasar-Pamecutan yaitu I Gusti Ngurah Made Pamecutan yang kemudian bergelar Cokorde Denpasar. I Gusti Jambe Nehikel dinobatkan menjadi raja Badung sedangkan I Gusti Agung Nyoman Pamedilan sebagai patih.
Raja Badung (I Gusti Jambe Nehikel yang bersemayam di Puri Peken Badung) memiliki dua putera yaitu: I Gusti Agung Jambe Ketewel (menggantikan beliau menjadi Raja Badung yang bersemayam di Puri Peken Badung) dan I Gusti Agung Jambe Ubud (bersemayam di Puri Jero Kuta).
Raja Badung I Gusti Agung Jambe Ketewel yang bersemayam di Puri Peken Badung memiliki seorang putera yaitu I Gusti Agung Jambe Tangkeban (menggantikan beliau menjadi Raja Badung yang bersemayam di Puri Peken Badung).
Pada tahun 1730 saat I Gusti Agung Jambe Tangkeban masih muda, I Gusti Agung Jambe Tangkeban dijodohkan dengan puteri Puri Tegehkori Benculuk yang bernama Ni Gusti Ayu Mimba, namun menjelang pernikahan tiba-tiba Cokorda Alangkajeng yang bergelar Cokorda Bimasakti Belambangan (raja dari kerajaan Mengwi yang sangat terkenal perkasa yang wilayah kekuasaannya meliputi: Mengwi, Buleleng, Negara, Belambangan hingga ke Pasuruan) melamar Ni Gusti Ayu Mimba dengan ancaman bila ditolak maka wilayah Badung akan diserang oleh Mengwi. Karena takut akan serangan kerajaan Mengwi, maka Ni Gusti Ayu Mimba dipersembahkan kepada Cokorda Alangkajeng. Karena tersinggung akan keputusan tersebut Puri Tegehkuri Benculuk dan juga Puri Tegehkuri Ksatria diserang oleh pasukan Kyai Agung Ketewel sehingga Puri Benculuk Tegehkuri dan Puri Ksatria Tegehkuri hancur lebur sehingga seluruh bangsawan Tegehkuri yang berada di Badung mengungsi ke Mengwi.Karena malu menetap terus-menerus di Mengwi dan tidak bisa kembali ke Badung maka para bangsawan Tegehkuri banyak mengungsi ke Bali Barat dan Bali Utara.
Raja Badung I Gusti Agung Jambe Tangkeban yang bersemayam di Puri Peken Badung memiliki seorang putera yaitu Kyai Agung Jambe Aheng yang menggantikan beliau menjadi Raja Badung selanjutnya.
I Gusti Agung Jambe Aheng merupakan Raja Badung yang sangat terkenal kewibawaannya dan kekuasaannya di Bali Selatan pada tahun 1760-an. Untuk meningkatkan martabat Badung dalam persaingan sesama raja di Bali Selatan, I Gusti Agung Jambe Aheng membuat puri baru ditempat dimana hancurnya Puri Ksatria Tegehkuri kurang lebih 500 meter diutara Puri Peken Badung yaitu Puri Ksatria Jambe dan kemudian beliau bersemayam di Puri Ksatria Jambe yang megah tersebut.
I Gusti Agung Jambe Aheng memiliki putera I Gusti Agung Jambe Ksatria yang menggantikan beliau menjadi Raja Badung. I Gusti Agung Jambe Ksatria merupakan raja Badung dinasti Jambe yang terakhir yang terbunuh didepan Jero Kuta pada tahun 1778.
Kembali ke putera ke dua I Gusti Jambe Pule yaitu I Gusti Agung Nyoman Pamedilan yang bergelar I Gusti Agung Macan Gading yang bersemayam di Puri Pemecutan beliau berputera dua orang yaitu: I Gusti Agung Arya Ngurah Sakti Pamecutan (beliau menggantikan I Gusti Agung Nyoman Pamedilan patih di kerajaan Badung) dan I Gusti Agung Ngurah Pamayun bersemayam di Puri Gelogor.
I Gusti Agung Arya Ngurah Sakti Pamecutan memiliki tiga isteri yaitu: istri pertama berasal dari Puri Agung Alang Badung, istri kedua adalah berasal dari Puri Gelogor dan isteri yang ketiga adalah Ni Gusti Ayu Bongan (Puteri dari Cokorde Alangkajeng raja Mengwi yang paling terkenal). Pada tahun 1745 pada saat pernikahan I Gusti Agung Arya Ngurah Sakti Pamecutan dengan Ni Gusti Ayu Bongan puteri dari Cokorde Alangkajeng (raja Mengwi), sebagai tanda-mata pernikahan kerajaan Mengwi menganugrahkan kepada I Gusti Agung Arya Ngurah Sakti Pamecutan wilayah Mengwi yang sangat luas yaitu dari Canggu keselatan hingga Bukit Jimbaran.
Dari istri yang berasal dari Puri Agung Alang Badung, I Gusti Agung Arya Ngurah Sakti Pamecutan hanya memiliki dua puteri, karena itu I Gusti Agung Arya Ngurah Sakti Pamecutan menikah untuk kedua kalinya dengan isteri beliau dari Puri Gelogor untuk memperoleh penerus purusa.
Dari isteri yang berasal dari Puri Gelogor, I Gusti Agung Arya Ngurah Sakti Pamecutan melahirkan putera yaitu: I Gusti Agung Arya Ngurah Pamecutan (menggantikan beliau menjadi patih kerajaan Badung dan bersemayam di Puri Pamecutan) dan I Gusti Agung Ngurah Pambayun (juga bersemayam di Puri Pamecutan).
Dari isteri Ni Gusti Ayu Bongan, I Gusti Agung Arya Ngurah Sakti Pamecutan melahirkan putera yaitu: I Gusti Agung Gde Oka (bersemayam di Puri Kaleran-Kawan) dan I Gusti Ngurah Gede (juga bersemayam di Puri Kaleran-Kawan). I Gusti Ngurah Gede inilah yang kelak melahirkan Dinasti Denpasar-Pamecutan. I Gusti Ngurah Gede adalah ayahanda dari I Gusti Ngurah Made Pamecutan yang pada tahun 1778 merebut kekuasaan dari raja Badung I Gusti Agung Jambe Ksatria sehingga I Gusti Agung Jambe Ksatria terbunuh di depan Jero Kota, saat beliau hendak melarikan diri dari Puri Ksatria dinasti Jambe Badung.
I Gusti Agung Gde Oka memiliki putera 26 orang yaitu: I Gusti Agung Ketut Kerobokan, I Gusti Agung Wayan Celuk, I Gusti Agung Wayan Munang, I Gusti Agung Wayan Pejasi, I Gusti Agung Tengah, I Gusti Agung Busung Yeh, I Gusti Agung Tegal Ayu, I Gusti Agung Wayan Karang, I Gusti Agung Keceha, I Gusti Agung Wayan Ceramcam, I Gusti Agung Nengah Ceramcam, I Gusti Agung Ketut Ceramcam, I Gusti Agung Tegalwangi, I Gusti Agung Yangbatu, I Gusti Agung Ketut Kalanganyar, I Gusti Agung Ketut Dangin Jalan, I Gusti Agung Nengah Tanjung, I Gusti Agung Pupuan, I Gusti Agung Lanang Dawan, I Gusti Agung Wayan Lumintang, I Gusti Agung Tegeh Lumintang, I Gusti Agung Tainsiyap, I Gusti Agung Kedaton, I Gusti Agung Legian, I Gusti Agung Gulingan, I Gusti Agung Puseh, I Gusti Agung Batanjuwuk. I Gusti Ngurah Gede menikah dengan Ni Gusti Ayu Kerobokan, I Gusti Ngurah Gede memiliki lima orang putera yaitu: I Gusti Agung Ngurah Made Pamecutan (Pendiri Dinasti Denpasar-Pemecutan yang bergelar Cokorde Denpasar), I Gusti Agung Ngurah Rai Pamecutan, I Gusti Agung Ngurah Alit Pamecutan, I Gusti Agung Ngurah Ketut dan I Gusti Agung Ngurah Teges. Sedangkan dari isteri yang lainnya I Gusti Ngurah Gede memperoleh dua putera yaitu: I Gusti Agung Tegal Ayu dan I Gusti Agung Ketut Kaler.
Menjelang tahun 1770 kerajaan Badung mengalami masa keemasan dibawah pimpinan rajanya Kyai Agung Jambe Aheng. Salah satu penyebab menguatnya kerajaan Badung dinasti Jambe ini, karena melemahnya kerajaan Mengwi setelah wafatnya Cokorde Alangkajeng (Raja Mengwi II) pada tahun 1740. Setelah wafatnya Cokorde Alangkajeng di pusat kerajaan Mengwi terjadi pergolakan politik dikalangan kerabat dekat Cokorde Alangkajeng yang menyebabkan konsentrasi sumber daya kerajaan Mengwi terfokus kedalam. Selain melemahnya kerajaan Mengwi, penyebab lain masa keemasan kerajaan Badung di Bawah rajanya I Gusti Agung Jambe Aheng adalah masa keemasan perdagangan budak di wilayah Nusantara khususnya.
Sumber “The Spell of Power: Sejarah politik Bali 1650-1940”,Henk Schulte Nordholt,KITLV-Jakarta,hal-52-53:”Awalnya, budak bukanlah merupakan komponen pokok dari ekspor Bali. Sebelum tahun 1650, kain, katun, padi, babi, sapi dan unggas merupakan produk yang lebih penting. Tapi setelah tahun 1650, jumlah budak-budak yang diekspor meningkat, dan sebagian besar dikirim ke Batavia. Diperkirakan 1.000 budak dikirim setiap tahunnya, jadi antara tahun 1650 hingga 1830, kira-kira 150.000 budak baik laki-laki dan perempuan diambil dari Bali. Besarnya perdagangan ini pastilah berakibat serius pada masyarakat Bali. Dampak demografi mungkin hanya bisa ditebak, tapi pengaruh politik terlihat sangat jelas. Saya akan menyinggung masalah ini kemudian, tetapi pertama-tama saya akan kembali pada latar belakang budak Bali (sapangan). Terdapat tiga kelompok budak: tahanan perang, budak karena hutang dan narapidana. Kelompok pertama adalah mereka yang tertangkap di medan peperangan dan perang kecil di seluruh pulau Bali. Perang menghasilkan budak, namun ternyata permintaan akan budak juga menyebabkan terjadinya perang seperti yang diungkapkan oleh patih Karangasem tahun 1808:’Jika kita penguasa, kekurangan uang, kita akan menyerang tetangga yang paling lemah dan semua tahanan beserta keluarganya akan dijual sebagai budak agar kami (…) mempunyai uang untuk membeli candu’. Saat menyerang daerah orang lain, banyak sekali budak yang ditangkap. Tetapi seperti laporan yang dibuat oleh VOC tahun 1722, mereka juga diambil secara terpisah di daerah masing-masing:’Sawang yang berasal dari Abiansemal-Mengwi, kini dipanggil Sawang Abiansemal. Dia dulunya adalah seorang budak dari Gusti Awang (?) Mengwi, yang menyuruh pelayannya Pan Mankan menjual Sawang dengan harga 30 rix-dolar. Sekar Badung, seorang wanita adalah budak dari Gusti Agung Mengwi yang dijual oleh pelayannya di Badung dengan harga 40 rix-dolar. Wayan Pincat dari Mengwi dijual oleh Ince Pameregan, seorang ketua kelompok di Mengwi (sepertinya pemimpin kelompok orang-orang asing), mencapai harga 28 rix-dolar, sejak saat itu namanya Mengoei (Mengwi) ”
Perdagangan budak yang ramai menguntungkan kerajaan Badung, karena Kuta merupakan pelabuhan terbesar di Bali saat itu. Kapal-kapal besar yang yang berlayar dari Batavia ke Maluku dan sebaliknya merapat di Kuta, sehingga Kuta merupakan tempat pengiriman budak terbesar di Bali. Dari pendapatan pajak pengiriman barang ekspor dan budak Badung menjadi kerajaan yang kaya pada periode raja I Gusti Agung Jambe Aheng menjelang tahun 1770. Pada tahun 1760-an I Gusti Agung Jambe Aheng mendirikan Puri Ksatria yang terkenal megah saat itu. I Gusti Agung Jambe Aheng berkuasa didampingi oleh I Gusti Agung Arya Ngurah Pamecutan (Puri Pemecutan),I Gusti Agung Gde Oka (Puri Kaleran-Kawan), I Gusti Ngurah Gede (Kaleran-Kawan),
Sumber “CANDRASANGKALA:The Balinese Art of Dating Event”,Hans Hagerdal, Department Of Humanities, University of Vaxjo,Sweden,2006:”In a VOC source from 1766, four local kings of Badung region are mentioned: Gusti Moera Jambij, Gusti Cajanan, Gusti Panatjoetan dan Gusti Moera Non (Coll. H.J. de Graaf,H 1055:8)”
Jika diterjemahkan sumber VOC yang berasal tahun 1766, yang dimaksud dengan Gusti Moera Jambij yaitu Gusti Ngurah Jambe adalah Kyai Agung Jambe, Gusti Cajanan yaitu Gusti Cajanan adalah : Kyai Agung Gde Oka (Puri Kaleran-Kawan), Nararya Ngurah Gede (Kaleran-Kawan) dan Gusti Panatjoetan adalah Kyai Agung Arya Ngurah Pamecutan (Puri Pemecutan).
Jika ditinjau kembali ke tahun 1745 pada saat pernikahan I Gusti Agung Arya Ngurah Sakti Pamecutan dengan Ni Gusti Ayu Bongan yaitu ibu kandung dari Kyai Agung Gde Oka (Puri Kaleran-Kawan), Nararya Ngurah Gede (Kaleran-Kawan) maka yang berhak memiliki wilayah Badung dari Canggu keselatan hingga Bukit Jimbaran adalah kedua putera Ni Gusti Ayu Bongan yang berkedudukan di Puri Kaleran-Kawan). Namun kenyataannya pada 1766 wilayah tersebut tergabung dengan wilayah Badung secara keseluruhan dimana rajanya adalah I Gusti Agung Jambe Aheng. Wilayah dari Canggu hingga Bukit Jimbaran tersebut sudah termasuk Kuta dan Tuban yang menjadi sumber devisa kerajaan Badung pada tahun 1766. Semua sumber devisa tersebut diatas dikuasai oleh Puri Ksatria dinasti Jambe dengan rajanya I Gusti Agung Jambe Aheng. Melihat kenyataan seperti itu, Ni Gusti Ayu Bongan menggugat kembali peristiwa pernikahan beliau dengan I Gusti Agung Arya Ngurah Sakti Pamecutan dan kekayaan yang beliau bawa dari kerajaan Mengwi tahun 1745.Peristiwa itu berulang kali beliau ungkapkan kepada putera beliau yang menjadi patih di kerajaan Badung yaitu: I Gusti Agung Gde Oka, I Gusti Ngurah Gede. Tentunya ungkapan beliau juga didengar oleh cucu-cucu beliau yaitu: I Gusti Agung Ngurah Made Pamecutan (Pendiri Dinasti Denpasar yang kelak tahun 1778 bergelar Cokorde Denpasar), I Gusti Agung Ngurah Rai Pamecutan, I Gusti Agung Alit Pamecutan, I Gusti Agung Ngurah Ketut dan I Gusti Agung Ngurah Teges. Gugatan neneknya (Ni Gusti Ayu Bongan) tertanam kuat dibenak I Gusti Agung Ngurah Made Pamecutan, I Gusti Agung Ngurah Rai Pamecutan, I Gusti Agung Alit Pamecutan, I Gusti Agung Ngurah Ketut dan I Gusti Agung Ngurah Teges putera-putera dari I Gusti Ngurah Gede dan I Gusti Agung Ketut Kerobokan, I Gusti Agung Wayan Celuk, I Gusti Agung Wayan Munang, I Gusti Agung Wayan Pejasi, I Gusti Agung Tengah, I Gusti Agung Busung Yeh , I Gusti Agung Tegal Ayu, I Gusti Agung Wayan Karang, I Gusti Agung Keceha , I Gusti Agung Wayan Ceramcam, I Gusti Agung Nengah Ceramcam, I Gusti Agung Ketut Ceramcam, I Gusti Agung Tegalwangi, I Gusti Agung Yangbatu, I Gusti Agung Ketut Kalanganyar, I Gusti Agung Ketut Dangin Jalan, I Gusti Agung Nengah Tanjung, I Gusti Agung Pupuan, I Gusti Agung Lanang Dawan, I Gusti Agung Wayan Lumintang, I Gusti Agung Tegeh Lumintang, I Gusti Agung Tainsiyap, I Gusti Agung Kedaton, I Gusti Agung Lengian, I Gusti Agung Gulingan, I Gusti Agung Puseh, I Gusti Agung Batanjuwuk putera-putera dari I Gusti Agung Gde Oka.
Pada tahun 1775 terjadi perselisihan antara cucu-cucu Ni Gusti Ayu Bongan dengan Puri Ksatria yang memuncak sehingga terjadi pemberontakan cucu-cucu Ni Gusti Ayu Bongan terhadap raja Badung I Gusti Agung Jambe Aheng namun pemberontakan tersebut dapat dipadamkan.Sejak itu cucu-cucu Ni Gusti Ayu Bongan melarikan diri ke Lombok.
Akibat pemberontakan cucu-cucu Ni Gusti Ayu Bongan kerajaan Badung mengalami kekacauan banyak bangunan roboh dan rusak.Beberapa keluarga Ni Gusti Ayu Bongan ada yang melarikan diri ke Mengwi.Pada tahun 1775 di Puri Mengwi berkuasa Ni Gusti Ayu Oka (istri dari Cokorde Alangkajeng) yang saat itu menjalin persekutuan dengan Dewa Manggis (Raja Gianyar) yang beberapa tahun sebelumnya telah menaklukan Puri Sukawati sehingga kekuasaan Dewa Manggis sangat disegani di sebelah timur wilayah kekuasaan Badung.Pada tahun 1777 terdengar berita dari mata-mata keluarga Ni Gusti Ayu Bongan bahwa raja Badung I Gusti Agung Jambe Aheng wafat dan beliau digantikan menjadi raja Badung oleh putera beliau I Gusti Agung Jambe Ksatria. Karena berita tersebut cucu-cucu Ni Gusti Ayu Bongan yang berada di Lombok diminta pulang ke pulau Bali.
Pada tahun 1777 para cucu-cucu Anak Agung Ayu Bongan yang selamat telah pulang ke Bali yaitu: I Gusti Agung Ngurah Made Pamecutan, I Gusti Agung Ngurah Rai Pamecutan, I Gusti Agung Alit Pamecutan, I Gusti Agung Ngurah Ketut dan I Gusti Agung Ngurah Teges putera-putera dari I Gusti Ngurah Gede dan I Gusti Agung Ketut Kerobokan, I Gusti Agung Wayan Celuk, I Gusti Agung Wayan Munang, I Gusti Agung Wayan Pejasi, I Gusti Agung Tengah, I Gusti Agung Busung Yeh , I Gusti Agung Tegal Ayu, I Gusti Agung Wayan Karang, I Gusti Agung Keceha , I Gusti Agung Wayan Ceramcam, I Gusti Agung Nengah Ceramcam, I Gusti Agung Ketut Ceramcam, I Gusti Agung Tegalwangi, I Gusti Agung Yangbatu, I Gusti Agung Ketut Kalanganyar, I Gusti Agung Ketut Dangin Jalan, I Gusti Agung Nengah Tanjung, I Gusti Agung Pupuan, I Gusti Agung Lanang Dawan, I Gusti Agung Wayan Lumintang, I Gusti Agung Tegeh Lumintang, I Gusti Agung Tainsiyap, I Gusti Agung Kedaton, I Gusti Agung Lengian, I Gusti Agung Gulingan, I Gusti Agung Puseh, I Gusti Agung Batanjuwuk putera-putera dari I Gusti Agung Gde Oka. Untuk sementara mereka bersembunyi di Jimbaran yang merupakan wilayah yang mendukung pemberontakan cucu-cucu Ni Gusti Ayu Bongan.
Pada tahun 1778 disusun kembali pemberontakan yang telah gagal tahun 1775, karena pengalaman kegagalan pemberontakan 1775 para cucu-cucu Ni Gusti Ayu Bongan yang dipimpin oleh I Gusti Ngurah Made Pemecutan lebih hati-hati dalam menyusun pemberontakan. I Gusti Ngurah Made Pemecutan pada saat mengabdi di Puri Ksatria Jambe memiliki seorang karib yang berasal dari Wangaya Badung bernama Wayan Desa. I Gusti Ngurah Made Pemecutan menghubungi karibnya tersebut melalui mata-mata yang dikirim dari Jimbaran, Wayan Desa secara terus-menerus mengirimkan berita tentang keadaan Puri Ksatria Jambe serta keadaan dari raja Kyai Agung Jambe Ksatria. Berita tentang wafatnya Kyai Agung Jambe Aheng juga merupakan berita yang dikirimkan oleh Wayan Desa tersebut melalui Bendesa Jimbaran yang juga masih kerabat dari Wayan Desa. Kedatangan cucu-cucu Ni Gusti Ayu Bongan yang dipimpin oleh I Gusti Ngurah Made Pemecutan juga atas saran Wayan Desa, yang mengetahui secara rinci keadaan pusat kerajaan, keadaan Puri Ksatria serta wafatnya I Gusti Agung Jambe Aheng. Juga diketahui bahwa I Gusti Agung Jambe Ksatria serta punggawanya memiliki banyak kelemahan yang diketahui oleh Wayan Desa. Wayan Desa juga memberikan informasi kapan saatnya raja I Gusti Agung Jambe Ksatria serta pengikutnya lengah dan mudah diserang. Berita-berita yang dikirim oleh Wayan Desa melalui Bendesa Jimbaran (yang masih kerabat dekat Wayan Desa) sangat membantu I Gusti Ngurah Made Pamecutan untuk menyusun rencana penyerbuan kembali Ke Badung, selain itu kerajaan Mengwi dan Gianyar juga mendukung perlawanan I Gusti Ngurah Made Pamecutan.
Pada tanggal 13 Februari 1778 pagi hari sesuai saran Wayan Desa, pasukan I Gusti Ngurah Made Pamecutan menyerbu kerajaan Badung dari arah selatan yaitu dari Jimbaran menuju Tuban kemudian menuju Kuta kemudian menuju Tegal dan kemudian masuk Pusat Kerajaan Badung di Puri Ksatria. Perlawanan dari pengikut Kyai Agung Jambe Ksatria di Tuban dan Kuta dapat ditaklukkan dengan mudah karena serangan dilakukan secara mendadak dan saat mereka sedang lengah, banyak pengikut Kyai Agung Jambe Ksatria terbunuh. Pasukan I Gusti Ngurah Made Pamecutan kemudian menyerbu ke arah utara menuju Tegal melalui Abian Timbul yang tidak ada perlawanan sama sekali, kira-kira jam 08:00 pagi pasukan I Gusti Ngurah Made Pamecutan sudah tiba di Abian Timbul. Pada saat yang sama pasukan dari Gianyar juga menyerbu Badung dari arah Tohpati menuju barat menuju Kertalangu, perlawanan dari pengikut Kyai Agung Jambe Ksatria juga dapat ditaklukkan dengan mudah. Pasukan bantuan Mengwi juga menyerbu dari arah utara yaitu dari Tonja menuju ke selatan. Kyai Agung Jambe Ksatria karena kaget mendengar berita bersamaan penyerbuan dari tiga arah mata-angin segera memerintahkan semua pasukan untuk mengadakan perlawanan kira-kira jam 08:30, namun persiapan yang serba mendadak sangat merugikan pengikut I Gusti Agung Jambe Ksatria karena dengan mudah kena tombak serta keris para penunggang kuda pasukan I Gusti Ngurah Made Pamecutan, Pangakan Manggis Gianyar serta Gusti Agung Mengwi. I Gusti Agung Jambe Ksatria mendengar pengikutnya berguguran, beliau bergegas berencana untuk melarikan diri kearah Barat karena di dengar dari pengawalnya bahwa musuh datang dari tiga arah yaitu: arah selatan, arah timur dan arah utara. Karena tidak ingin pelariannya dihadang musuh beliau beserta isteri dan putera pertamanya yang baru lahir dan pengiringnya dari Puri Ksatria menuju kearah barat menuju Wangaya dan membelok ke arah Barat melalui Tukad Badung ke arah Barat , keinginan beliau diketahui oleh Wayan Desa yang merupakan pengurus rumah tangga Puri Ksatria Jambe. Wayan Desa mengirimkan pesan melalui mata-mata kepada I Gusti Ngurah Made Pamecutan yang masih berada di Tegal melawan sisa-sisa pasukan I Gusti Agung Jambe Ksatria bahwa I Gusti Agung Jambe Ksatria beserta pengiringnya bermaksud melarikan diri melalui arah Barat lewat Wangaya menuju depan Jero Kuta. Mendengar berita yang dikirim oleh Wayan Desa tersebut I Gusti Ngurah Made Pamecutan beserta pasukan tangguhnya yang berencana menyerbu Puri Ksatria Jambe, membelokan arah pasukan tangguhnya menuju utara ke arah Gerenceng kemudian menuju Jero Kuta. Di depan Jero Kuta, pasukan I Gusti Ngurah Made Pamecutan menghadang I Gusti Agung Jambe Ksatria beserta pengiringnya.Di depan Jero Kuta, I Gusti Ngurah Made Pamecutan memerintahkan pasukan yang dipimpinnya untuk menyerang I Gusti Agung Jambe Ksatria berserta rombongan serta pengiringnya. Pengikut Kyai Agung Jambe Ksatria dalam keadaan terdesak dan berguguran di depan Jero Kuta demikian juga isteri serta putera pertama beliau yang masih bayi.Dalam keadaan terdesak Kyai Agung Jambe Ksatria ditusuk oleh I Gusti Ngurah Rai Pamecutan (adik kandung dari I Gusti Ngurah Made Pamecutan). Dalam keadaan sekarat I Gusti Agung Jambe Ksatria mengeluarkan kutukan kepada seluruh penyerang dinasti Jambe-Badung pada pada tanggal 13 Februari 1778.
Sumber Anak Agung Ngurah Samirana (Puri Satria) saat Darma Suaka di Bale Dangin Natah Gede Keluarga Besar DE GULA pada tahun 2005 “Sabda raja Badung terakhir dinasti Jambe-Badung Kyai Agung Jambe Ksatria menjelang ajal sebagai berikut:’Wahai para penyerang yang tidak tahu adat, sopan-santun, tidak kenal kerabat dan keluarga, aku kutuk engkau beserta seluruh keluargamu agar semua keturunanmu tidak pernah akur selama 7 tujuh keturunan’”
Sumber “CANDRASANGKALA:The Balinese Art of Dating Event”,Hans Hagerdal, Department Of Humanities, University of Vaxjo,Sweden,2006:”Sapjah Gusti Jambe ring Badung, brasta sanak putu mwang rabi, rinusak dane Ngurah Kajiyanan ring Badung, mwang Pangakan Manggis saking Gianyar, Gusti Agung Mangwi sareng mangrusak, ring dina Saniscara Umanis wara Watugunung, panglong ping 13, sasih ke 8, rah windu, tenggek windu, windu sunya giri watu, 1700. Death of Gusti Jambe of Badung, end of his first-born and wife, destroyed by Ngurah Kajiyanan of Badung and Pangakan Manggis from Gianyar, Gusti Agung Mengwi, together they wreak destruction, on Saturdya Umanis, in the week Watugunung, in the 13th day of waning moon, January/February 1778.”
Pasukan Dewa Manggis yang menyerbu dari timur dan pasukan I Gusti Agung Mengwi yang menyerbu dari utara sesampai di Puri Ksatria melihat puri dalam keadaan kosong,kemudian pasukan Gianyar dan Mengwi menghancurkan Puri Ksatria yang megah tersebut.
Dengan kemenangan cucu-cucu Ni Gusti Ayu Bongan menguasai wilayah Badung, pasukan I Gusti Agung Mengwi kembali ke Mengwi dan pasukan Dewa Manggis kembali ke Gianyar. Kemenangan cucu-cucu Ni Gusti Ayu Bongan disambut dengan meriah oleh rakyat Badung yang mendukung pahlawannya namun rakyat Badung yang mendukung raja yang terbunuh diam-diam meninggalkan wilayah Badung.Setelah diadakan rapat antar cucu-cucu Ni Gusti Ayu Bongan, disepakati untuk mengangkat I Gusti Ngurah Made Pamecutan menjadi raja Badung.Pada tahun 1778 juga diadakan upacara pengangkatan I Gusti Ngurah Made Pamecutan menjadi raja dengan gelar Cokorde Denpasar. Pada saat pengangkatan raja Cokorde Denpasar, juga dilakukan pengangkatan Wayan Desa sebagai Perbekel Denpasar dari Dinasti Badung-Denpasar/Pemecutan atas jasa-jasa yang diberikan Wayan Desa memberikan saran dan serta informasi dalam peralihan kekuasaan dari dinasti Badung-Jambe kepada dinasti Badung-Denpasar/Pemecutan.
1.3. Badung Periode 1778-1906 (Era Dinasti Denpasar/Pamecutan)
Semenjak berkuasanya I Gusti Ngurah Made Pamecutan (Cokorde Denpasar) wilayah Badung tenteram kembali, semua bangunan yang rusak akibat peperangan peralihan kekuasaan dari dinasti Badung-Jambe ke dinasti Badung-Denpasar/Pemecutan dari tahun 1775 hingga hingga 1778 diperbaiki kembali.Cokorde Denpasar merupakan raja arif, bijaksana dan cerdas. Beliau juga menikmati banyak keuntungan dari ekspor hasil bumi dan budak melalui Kuta – Badung. Dengan keuntungan itu Cokorde mampu memperbaiki bangunan yang rusak masa perang 1775-1778 dan membeli senjata untuk pertahanan kerajaan.
Untuk mengamankan wilayah Badung yang baru dikuasai Cokorde Denpasar mengangkat para sepupunya menjadi punggawa-punggawa yaitu: I Gusti Agung Ketut Kerobokan di Puri Kerobokan Kelodan, I Gusti Agung Wayan Celuk di Puri Kerobokan Kajanan, I Gusti Agung Busung Yeh di Puri Pedungan, I Gusti Agung Keceha di Puri Keceha, I Gusti Agung Wayan Ceramcam di Puri Manik Makeplag, I Gusti Agung Nengah Ceramcam di Puri Panjer, I Gusti Agung Tegalwangi di Puri Tegalwangi, I Gusti Agung Nengah Tanjung di Puri Tanjung, I Gusti Agung Lanang Dawan di Puri Padangsambian, I Gusti Agung Wayan Lumintang di Puri Peguyangan, I Gusti Agung Tegeh Lumintang di Puri Lumintang, I Gusti Agung Tainsiyap di Puri Tainsiyap, I Gusti Agung Kedaton di Puri Abasan, I Gusti Agung Gulingan di Puri Gulingan-Sanur, I Gusti Agung Puseh di Puri Panjer.
Cokorde Denpasar memiliki dua orang isteri yaitu: yang pertama dari Puri Ksatria-Jambe dan yang kedua dari Puri Pegandan. Dari isteri yang berasal dari Puri Kstaria-Jambe, Cokorde Denpasar memiliki putera: I Gusti Gde Ngurah Pamecutan dan I Gusti Agung Anglurah Jambe. Dari Isteri yang berasal dari Puri Pegandan Cokorde Denpasar I memiliki putera: I Gusti Ngurah Made Pamecutan (yang pada tahun 1826 bergelar I Gusti Ngurah Gde Kesiman), I Gusti Agung Raka (Puri Agung), I Gusti Agung Samba (Puri Agung), I Gusti Agung Karang (Puri Titih Kajanan), I Gusti Agung Ketut Karang (Puri Titih Kajanan), I Gusti Agung Gde Dauh (Puri Belaluan Kanginan), I Gusti Agung Gde Dangin (Puri Dangin).
Badung dan Pulau Bali pada umumnya hingga abad akhir abad ke-18, tidak menjadi perhatian pemerintah Belanda. Setelah abad ke-19 Bali dan Lombok menjadi sasaran pemerintah Belanda, tidak luput dengan wilayah Badung. Seperti yang telah disebutkan pada Badung periode 1390-1687 (Era Tegehkuri/Bali-Gelgel) VOC telah mengirimkan utusan ke Bali pada tahun 1633 atas perintah Gubernur Jenderal Hendrik Brouwer.
Di negeri Belanda (Eropa) kondisi politik berubah yang berakibat pula ke wilayah kepulauan Nusantara. Pada tahun 1789 revolusi Perancis meletus yang membawa pengaruh politik yang kuat di seluruh benua Eropa tidak terkecuali negeri Belanda.
Pasukan Republik Perancis menduduki Amsterdam ibukota negeri Belanda pada tanggal 19 Januari 1795. Pemerintah Belanda tumbang dan rajanya yang bergelar Stadhoulder keturunan bangsawan Oranye Nassau melarikan diri ke Inggris. Pada tanggal 16 Mei 1795 di negeri Belanda didirikan republik “Bataafse” yang mengadakan perjanjian damai dengan pemerintah republik Perancis.
Republik Bataafse yang berkuasa membubarkan VOC yang dianggap telah bangkrut karena berhutang ratusan juta gulden. Segala utang serta kekayaan VOC diambil-alih oleh pemetintah Bataafse, sehinga kekuasaan VOC di Indonesia telah berakhir. Republik Bataafse tidak berusia lama, setelah Napoleon Bonaparte dinobatkan menjadi kaisar Perancis tahun 1804, pada tahun 1806 Napoleon Bonaparte mengangkat adiknya Louis Napoleon menjadi raja negeri Belanda, sehingga negeri Belanda menjadi jajahan Perancis yang mana Napoleon Bonaparte adalah kaisarnya.
Raja Loius Bonaparte pada tahun 1808 mengangkat Willem Herman Daendels, seorang jenderal yang berjasa menumbangkan pemerintahan Willem Van Oranye Nassau sebagai Gubernur Jenderal di Indonesia. Pada tanggal 15 Januari 1808 Daendels tiba di Batavia dan mulailah berkuasa Gubernur Jenderal Daendels di Indonesia hingga tahun 1811.
Daendels diganti oleh Jenderal Jansens, akan tetapi pada akhir tahun 1811, karena negeri Belanda dalam keadaan perang dengan Inggris, pasukan Inggris dengan armada lautnya menyerbu Jawa sehingga pemerintah Belanda di Indonesia menyerah di Meester Cornelis (kawasan Jatinegara – Jakarta saat ini) pada tanggal 26 Agustus 1811. Mulai saat itu Indonesia dikuasai oleh Inggris dan Thomas Stamford Raffles diangkat sebagai Letnan Gubernur Jenderal di Jawa.
Kekuasaan Inggris di Indonesia berlangsung sampai berakhirnya jaman Napoleon di Eropa pada tahun 1816. Kerajaan Belanda dikuasai kembali oleh bangsawan Orange dan sebagai akibat kekalahan Napoleon pada perjanjian Wina ditetapkan bahwa semua jajahan Belanda yang dahulu dikuasai oleh Inggris harus dikembalikan, kecuali yang terletak di India dan Sri Langka.
Raffles meninggalkan Batavia dengan perasaan kecewa pada keputusan perjanjian Wina. Raffles sangat menentang keputusan pemerintah Inggris yang mengembalikan pulau Jawa dan kepulauan sekitarnya kepada kerajaan Belanda, meskipun dia mengetahui bahwa wilayah tersebut dahulunya dibawah kekuasaan kerajaan Belanda. Menurut Raffles, wilayah tersebut sangat berguna dari sudut padang politik dan perdagangan jika masih tetap dibawah kekuasaan Inggris, dengan demikian Inggris dapat menguasai jalur pelayaran laut, yang menghubungkan jajahan Inggris di India dan Australia.
Raffles tidak berhasil meyakinkan pemerintah Inggris atas nasehatnya dan akhirnya pemerintah Inggris menyerahkan kembali pulau Jawa dan wilayah Indonesia lainnya yang dahulu dikuasai oleh Belanda kepada kerajaan Belanda. Bukti bagaimana besarnya perhatian Raffles terhadap pulau Jawa, pada tahun 1817 ketika dia kembali ke Inggris menerbitkan bukunya yang terkenal yaitu “The History of Java” yang dimaksudkan untuk membuka mata pemerintah Inggris tentang pentingnya pulau Jawa.
Setelah perdamaian Wina yang mengakhiri jaman Napoleon di benua Eropa, Inggris masih menguasai Keresidenan Bengkulu, sedangkan kerajaan Belanda masih berkuasa di Malaka, di pantai barat semenanjung Malaya.
Pemerintah Inggris mengangkat Raffles sebagai Letnan Gubernur Jenderal di Bengkulu pada tahun 1817 dan selama di Bengkulu untuk strategi mewujudkan benteng-benteng pertahanan pangkalan armada laut Inggris untuk menguasai dan mengamankan jalur pelayaran dari India ke Australia, maka dibangunlah pelabuhan bebas di ujung semenanjung Malaya pada tahun 1819 dan diberi nama Singapura dan juga dimanfaatkan sebagai pangkalan armada laut.
Pemerintah Belanda sangat menentang usaha Raffles tersebut, karena merasa kedudukan kerajaan Belanda di Pulau Jawa dan sekitarnya akan terancam. Namun keberatan pemerintah Belanda tidak digubris oleh pemerintah Inggris dan ternyata memang Singapura berkembang menjadi pelabuhan bebas yang ramai merupakan saingan berat dari pelabuhan Tanjung Priok dan Tanjung Perak.
Pada tanggal 17 Maret 1824 ditanda-tangani lagi perjanjian London antara pemerintah Inggris dan pemerintah Belanda, yang memutuskan batas-batas wilayah jajahannya di Asia Tenggara. Dalam Perjanjian tersebut ditetapkan Keresidenan Bengkulu diserahkan kepada pemerintah Belanda, sedangkan Malaka akan dikuasai oleh Inggris.
Setelah perjanjian London pemerintah Belanda senantiasa curiga kepada Inggris akan mempergunakan segala kesempatan yang timbul untuk kembali berkuasa di Indonesia. Prasangka tersebut pada abad ke-19 tercermin dalam kewaspadaan pemerintah Belanda menghalang-halangi usaha Inggris untuk memperoleh pengaruh politik di kawasan Nusantara.
Pada dasarnya pemerintahan Belanda diluar wilayah pulau Jawa dan Maluku, termasuk pulau Bali dan Lombok masih belum berkuasa.Latar belakang dari segala tindakan pemerintah Belanda di pulau Bali dan Lombok pada abad ke-19 dan awal ke-20 untuk menguasai secara politik kedua pulau ini karena takut para penguasa pulau Bali dan Lombok mengadakan perjanjian politik dengan Inggris.
Ketika Daendels berkuasa di Batavia sebagai penguasa tertinggi pemerintah Belanda, dia berkeyakinan bahwa Inggrislah yang merupakan lawan tangguh bagi kedudukan penjajahan Belanda di Asia pada umumnya. Inggris adalah musuh utama kaisar Napoleon Bonaparte dalam usahanya untuk menguasai seluruh benua Eropa dan dengan kekuatan armadanya yang tiada taranya dapat membahayakan penjajahan Belanda di Indonesia karena Inggris juga menganggap sedang berperang dengan kerajaan Belanda yang juga merupakan jajahan Perancis. Inggris telah menguasai India dan Gubernur Jenderalnya berkedudukan di Calcutta yang setiap saat dapat mengerahkan armada lautnya untuk menyerbu pulau Jawa. Oleh karena itu setelah tiba di pulau Jawa, ia mengadakan persiapan militer untuk menghadapi serbuan Inggris. Hal yang penting dari itu semua Daendels membangun jalan raya yang menghubungkan kota-kota penting disepanjang utara pulau Jawa dari kota Anyer di Teluk Banten hingga kota Penarukan di ujung timur Pulau Jawa.
Pembuatan jalan yang memakan korban ribuan pekerja dengan tujuan agar dengan cepat dapat memobilisasi pasukan bila terjadi serbuan oleh armada perang Inggris.Selain itu Dendels berusaha memperbesar jumlah pasukan cadangan dan karena dari negeri Belanda sendiri susah didatangkan bala bantuan akibat blokade laut yang dilakukan oleh Inggris maka diusahakan untuk melakukan pekrekrutan penduduk Indonesia sebagai prajurit. Oleh karena menjadi kenyataan bahwa orang-orang Bali yang pada zaman VOC didatangkan sebagai budak ke Batavia dan kemudian dijadikan pasukan oleh VOC dapat diandalkan sebagai tentara VOC karena keberanian serta ketangkasannya, timbul keinginan Daendels untuk mengirim utusan ke pulau Bali yang ditugaskan untuk merekrut pemuda-pemuda Bali untuk dijadikan prajurit dalam pasukan yang dibentuk oleh Daendels itu. Untuk keperluan itu, Daendels mengirim Letnan Lisnet ke Bali yang tiba di kerajaan Badung pada pertengahan tahun 1808. Letnan Lisnet dapat berhubungan dengan raja Badung I Gusti Ngurah Made Pamecutan yang berkuasa saat itu dan hanya berhasil mengumpulkan 37 orang Bali dengan imbalan sekedar pembayaran. Akan tetapi Letnan Lisnet tidak berhasil membuat perjanjian dengan raja Badung, karena syarat-syarat yang diajukan oleh I Gusti Ngurah Made Pamecutan tidak dapat dipenuhi oleh Letnan Lisnet, karena syarat-syarat tersebut tidak sesuai dengan mandat yang diberikan oleh Daendels kepadanya. Setelah Lisnet kembali ke Batavia, maka Daendels mengirim kapten dari pasukan Dragonders (semacam kavaleri) ke Badung guna mengadakan hubungan dengan I Gusti Ngurah Made Pamecutan dalam rangka merekrut orang-orang Bali yang akan dijadikan prajurit dalam pasukan pemerintah Belanda. Kapten tersebut bernama Van der Wahl dan setelah mengalami kejadian-kejadian aneh di Badung, Van der Wahl berhasil mengadakan perjanjian persahabatan dengan I Gusti Ngurah Made Pamecutan pada tanggal 28 November 1808.
Kedatangan Kapten Van der Wahl di Badung dengan pakaian yang serba aneh bagi penduduk Badung yang sangat jarang didatangi orang Eropa, apalagi yang berpakaian seragam militer tentunya sangat menarik perhatian penduduk Badung. Saat Kapten Van der Wahl hendak menghadap raja dia diharuskan oleh penduduk Badung untuk membuka sepatu-botnya, oleh karena penduduk Badung ingin tahu apa sebenarnya isi sepatu itu. Hal tersebut menyebabkan Kapten kavaleri itu harus menghadap raja dengan kaki telanjang.
Seperti yang telah disebutkan pada tanggal 28 November 1808 dia berhasil atas nama Gubernur Jenderal Daendels menanda-tangani perjanjian persahabatan dengan raja Badung I Gusti Ngurah Made Pamecutan yang berbunyi sebagai berikut:
Perjanjian persahabatan antara Sri Paduka Gusti Ngurah Made Pamecutan, raja Bali-Badung dan Kapten pasukan Dragonders Van der Wahl, utusan dari Yang Mulia Herman Willem Daendels, Marsekal Kerajaan Belanda, Penasehat Negara Luar Biasa, Pemegang Tanda Jasa Klas Utama Bintang Kerajaan Belanda, Perwira Tertinggi Bintang Legiun Kehormatan kerajaan Perancis, Gubernur Jenderal Hindia dan Panglima Tertinggi Angkatan Darat dan Angkatan Laut Kerajaan di Hindia.
Pasal I
Sri Paduka Gusti Ngurah Made Pamecutan raja Bali-Badung, menimbang bahwa Pemerintah Belanda senantiasa setia dan penuh perhatian terhadap kawan-kawan dan sekutunya perjanjian, dan memperhatikan juga sifat-sifat dan perasaan mulia dari Yang Mulia Herman Willem Daendels, Marsekal Kerajaan Belanda dan sekarang Gubernur Jenderal Hindia, dengan ini mengadakan perjanjian dengan Pemerintah Belanda dengan permintaan agar bukan saja dia, akan tetapi juga anak-anaknya semasa dia masih hidup dan juga bila dia sudah meninggal dunia dilindungi oleh Yang Mulia dan dianggap sebagai kawan dan keluarga dari Yang Mulia Marsekal dan Gubernur Jenderal.
Pasal II
Kapten Pasukan Dragonders Van der Wahl berjanji bahwa satu setengah bulan setelah ditanda-tangani perjanjian ini, kepada Sri Paduka Gusti Ngurah Made Pamecutan, raja Bali-Badung akan diserahkan, suatu piagam umum mengenai pengangkatannya sebagai Susuhunan Bali seluruhnya, piagam itu ditanda-tangani oleh Yang Mulia Marsekal dan Gubernur Jenderal dan dibubuhi cap jabatan besar.
Pasal III
Sri Paduka Gusti Ngurah Made Pamecutan raja Bali-Badung mengizinkan Kapten Pasukan Dragonders Van der Wahl untuk membangun rumah-rumah, benteng-benteng dan pangkalan-pangkalan meriam, mendaratkan pasukan dan meriam sesuai dengan jumlah yang dikehendaki oleh Yang Mulia Marsekal dan Gubernur Jenderal.
Pasal IV
Sri Paduka Gusti Ngurah Made Pamecutan mulai saat ini menempatkan dibawah kekuasaan Kapten Pasukan Dragonders Van der Wahl semua warga Cina dan semua penduduk yang berasal dari luar pulau Bali dan memerintahkan mereka sesuai dengan kehendaknya.
Pasal V
Sri Paduka Gusti Ngurah Made Pamecutan akan memberi perincian kepada Kapten Pasukan Dragonders Van der Wahl mengenai segala yang dibutuhkannya dari Batavia dan Semarang dengan ketentuan akan membayar biaya sesuai dengan ketetapan yang ditentukan oleh kapten tersebut diatas.
Pasal VI
Sri Paduka Gusti Ngurah Made Pamecutan minta kepada kapten tersebut diatas menjalankan pemerintahan di kerajaan Badung dengan tujuan untuk menambah penghasilan kerajaan dan untuk meletakkan dasar dari suatu politik pemerintahan dalam negeri yang lebih baik dan sempurna.
Pasal VII
Kapten Pasukan Dragonders Van der Wahl berjanji atas nama Yang Mulia Marsekal dan Gubernur Jenderal untuk memberi perlindungan kepada Sri Paduka Gusti Ngurah Made Pamecutan, raja Bali-Badung terhadap musuhnya, baik yang berasal dari luar maupun yang dalam.
Apabila diteliti kontrak tersebut memang terdapat banyak kejanggalan. Kejanggalan pertama, Van der Wahl tidak dapat mandat dari Gubernur Jenderal Daendels untuk memberi pengakuan terhadap I Gusti Ngurah Made Pamecutan sebagai Susuhunan seluruh pulau Bali. Pengakuan ini tidak mungkin terjadi karena saat itu Dewa Agung di Klungkung diakui oleh seluruh raja-raja di pulau Bali dan oleh rakyat Bali sebagai Susuhunan Bali dan Lombok, sehingga dengan demikian Kapten Van der Wahl membuat suatu kesalahan politik dan hukum sangat mendasar.
Selain itu persetujuan raja Badung I Gusti Ngurah Made Pamecutan yang diberikan kepada pihak Belanda untuk membuat benteng-benteng dan pangkalan meriam serta mendaratkan pasukan yang tidak terbatas jumlahnya akan menimbulkan reaksi yang keras dari pihak raja-raja lainnya di pulau Bali. Diketahui oleh pihak pemuka di pulau Bali perjanjian yang dibuat raja Badung I Gusti Ngurah Made Pamecutan dengan Kapten Van der Wahl banyak ditentang membuat raja Badung I Gusti Ngurah Made Pamecutan mengundurkan diri tahun 1810 dan menyerahkan kerajaan kepada putera sulungnya I Gusti Ngurah Gde Pamecutan yang bertindak sebagai raja muda. Pada tahun 1813 I Gusti Ngurah Made Pamecutan (raja kerajaan Badung yang mundur tahun 1810) wafat, berdasarkan wasiat yang ditinggalkan oleh beliau kerajaan Badung dibagi menjadi tiga kerajaan yang raja-rajanya ketiga anaknya yaitu: I Gusti Ngurah Gde Pamecutan, I Gusti Ngurah Made Pamecutan (kelak tahun 1826 bergelar I Gusti Ngurah Kesiman), dan I Gusti Jambe Denpasar.
Perjanjian antara I Gusti Ngurah Made Pamecutan dengan Kapten Van der Wahl, tidak dikukuhkan oleh Gubernur Jenderal Daendels di Batavia, karena Daendels berpendapat Van der Wahl melampaui batas kewenangan yang diberikan kepadanya dan menganggap tindakannya merupakan petualangan politik, maka Daendels menarik Van del Wahl ke Batavia dan diberhentikan dari tugasnya di Bali.
Pada tanggal 22 Januari 1818, pemerintah Belanda di Batavia mengirimkan seorang utusan yaitu Komisaris Van den Broek ke Badung serta mendarat di pantai Kuta.Kerajaan Badung setelah pendirinya I Gusti Ngurah Made Pamecutan wafat tahun 1813, diperintah oleh tiga raja-raja yaitu: I Gusti Ngurah Gde Pamecutan, I Gusti Ngurah Made Pamecutan (yang kelak tahun 1826 bergelar I Gusti Ngurah Gde Kesiman) dan I Gusti Jambe Pamecutan.I Gusti Jambe Pamecutan wafat tahun 1817 dan digantikan oleh puteranya yaitu I Gusti Ngurah Gde Denpasar.
Ketika kedatangan Van den Broek tiba di Badung, yang paling berpengaruh diantara ketiga raja tersebut adalah I Gusti Ngurah Gde Pamecutan dan sesuai dengan perintahnya maka Van den Broek mengadakan pembicaraan-pembicaraan.Pada tanggal 23 Januari 1818 Van den Broek berhasil menghadap I Gusti Ngurah Made Pamecutan dan kesan yang diperolehnya bahwa I Gusti Ngurah Made Pamecutan memperlihatkan sikap yang lebih terbuka.
Pada tahun 1825 meletuslah di pulau Jawa pemberontakan Pangeran Diponegoro melawan pemerintah Hindia Belanda.Akibat perang ini pihak Belanda membutuhkan banyak prajurit untuk angkatan perangnya.Oleh karena itu diusahakan untuk mendapatkan calon-calon prajurit di Bali yang terkenal memiliki penduduk yang tangkas dalam pertempuran.Oleh karenanya pemerintah Hindia Belanda mengutus Kapten J.S. Wetters, Assisten Direktur Bengkel Persenjataan di Surabaya.Kapten J.S. Wetters tiba di Badung tahun 1826 dan setelah diadakan pembicaraan dengan raja Badung I Gusti Ngurah Made Pamecutan, maka tanggal 30 Desember 1826 dapat ditanda-tangani perjanjian mengenai rekruting calon-calon prajurit di Badung.
Isi surat Perjanjian antara Sri Paduka Yang Dipertuan Besar dengan Sri Paduka Gusti Ngurah Made Pamecutan Raja di Bali Badung. Bahwa inilah surat perjanjian antara Sri Paduka Yang Dipertuan Besar Gubernur Jenderal dari Tanah Jawa dan semua daerah taklukannya dengan Sri Paduka Gusti Ngurah Made Pamecutan Raja di Negeri Badung.
Perkara yang kesatu 1
Maka ditetapkan akan hal tulus ikhlas antara gubernemen dengan Sri Paduka Gusti Ngurah Made Pamecutan itu tiada berkeputusan adanya.
Perkara yang kedua 2
Maka orang Bali Badung seperti orang yang di bawah perintah gubernemen akan mengenal yang dipertuan Besar. Maka ia hidup seperti saudara sahabat juga.
Perkara yang ketiga 3
Maka adalah Sri Paduka Yang Dipertuan Besar Gubernadur Jenderal berjanji kalau ada orang dari negeri Bali Badung ada duduk di tanah Jawa atau di tanah yang lain di bawah perintah gubernemen maka orang itu nanti dipenuhi hasratnya yang berpatutan. Maka jikalau orang yang dibawah perintah gubernemen ada duduk di Bali Badung maka Sri Paduka Gusti Ngurah Made Pamecutan hendak menerima orang itu dengan baik-baik serta memeliharakan dia seperti adat orang yang bersahabatan-sabahabatan.
Perkara yang keempat 4
Maka berdua pihak yang mahatinggi berjanji akan hal perkara orang berdagang itu dibebaskan dengan sesungguhnya seperti ada yang sekarang juga adanya.
Perkara yang kelima 5
Maka Sri Paduka Gusti Ngurah Made Pamecutan mengasih tanda yang ikhlas yaitu maka raja itu akan memberi orang yang boleh jadi soldadu dengan janji ini raja yang itu sendiri nanti kasih perintah akan memasukkan orang menjadi soldadu dengan tiada peduli orang lain karena raja sendiri dengan seboleh-bolehnya hendak menyampaikan maksud gubernemen.Maka permintaan Sri Paduka raja itu kepada gubernemen akan menerima orang yang menjadi soldadu atas janji. Yakni:
alif: maka orang yang dimaksud itu tak usah tinggal di dalam pekerjaan soldadu lebih dari lima tahun lamanya, ba: tatkala orang itu menjadi soldadu maka diberikan ditangannya uang yang tiada boleh kurang dari lima ringgit itu, ta: maka orang yang diambil itu atas tanggungan belanja gubernemen. sin: maka orang itu terima pakaiannya dan makanannya dan belanjanya sebagaimana cara soldadu Jawa serta nanti diperlakukan sebegitu juga.
Perkara yang keenam 6
Maka apabila sudah habis waktu lima tahun seperti dijanji pada perkara lima maka orang soldadu itu akan dilepaskan oleh gubernemen supaya ia boleh pulang ke negeri Bali Badung itu.
Perkara yang ketujuh 7
Maka apabila sudah habis waktu lima tahun seperti dijanji serta berjanji jikalau ada orang yang dikirimkan oleh gubernemen ke negeri Bali Badung maka orang itu boleh duduk disitu serta dipeliharakan supaya ia boleh terima orang itu yang menjadi soldadu tetapi atas perintah yang ditentukan pada perkara lima itu adanya.
Tersurat di dalam negeri Badung di Pamecutan pada tiga puluh hari bulan Desember 1826.
Kapten J.S. Wetters sangat gembira bahwa ia berhasil membuat surat perjanjian dengan raja Badung I Gusti Ngurah Made Pamecutan. Perjanjian ini adalah yang perjanjian pertama dari seorang wakil asing berhasil membuat perjanjian dengan seorang raja di Bali.
Sebagai tindak lanjut dari perjanjian diatas, pemerintah Hindia Belanda mengangkat seorang pejabat yang diberi tanggung-jawab untuk mengurus soal penampungan hasil pengrekrutan para prajurit Bali itu.Pejabat tersebut adalah seorang pegawai sipil berpangkat Komisaris Klas III yang bekerja pada Keresidenan Krawang bernama Pierre Dubois yang mendapat izin dari raja untuk tinggal di Kuta. Pierre Dubois berada di Kuta dari bulan April 1827 hingga 27 Februari 1931. Pada tahun 1831, Pierre Dubois membuat laporan kepada atasannya Assisten Residen Banyuwangi dan Residen Besuki yang memberikan gambaran mengenai perkembangan politik di Badung dan peristiwa-peristiwa yang terjadi di Kuta.Mengenai kerajaan Badung dijelaskan bahwa raja Kesiman I Gusti Ngurah Gde Kesiman telah berhasil memperoleh pengaruh yang sangat besar di antara ketiga raja yang berkuasa di Badung.
Dubois selama menjalankan tugasnya dia mendapatkan bantuan dari raja Kesiman. Dubois menjelaskan bahwa di pelabuhan Kuta dibagian pantai barat dan pantai timur dihuni oleh penduduk campuran yang terdiri dari orang Bali yang kebanyakan nelayan dan para pedagang Cina dan Bugis.Dijelaskannya juga bahwa Kuta pada tahun 1831 dihuni kurang-lebih oleh 400 keluarga Bali dan 40 keluarga Cina dan Bugis.Diantara keluarga Bali yang tinggal di Kuta tahun 1831 adalah pelarian dari kerajaan lain, yang meninggalkan tempat kediamannya karena tersangkut dalam suatu perkara dan tinggal di Kuta agar terhindar dari hukuman yang akan dikenakan terhadap dirinya.
Berhubung telah berakhirnya perang Jawa (pemberontakan Diponegoro), tidak ada lagi perekrutan calon-calon prajurit dari kerajaan Badung dan apalagi tidak terdapat perdagangan orang-orang Eropa di Kuta, Pierre Dobuis menyarankan kepada atasannya agar kantor perekrutan prajurit Bali di Kuta ditutup saja.Usul Pierre Dubois diterima oleh pemerintah Hindia Belanda di Batavia tanggal 28 Mei 1831.Pemerintah Hindia Belanda memutuskan untuk menutup Kantor Civiel gezaghebber di Kuta dan menarik kembali Pierre Dubois dari Kuta untuk ditugaskan di Besuki sebagai Komis Klas I pada Keresidenan Besuki.Pierre Dubois meninggal di Besuki pada tanggal 4 Mei 1838.
Sejak berdirinya Singapura pada tahun 1819, Singapura telah menjadi pusat perdagangan yang ramai di Asia yang pengaruhnya dapat dilihat di kerajaan Badung.Oleh karena di kerajaan Badung tidak terdapat pelabuhan-pelabuhan untuk merapatnya kapal-kapal dagang yang besar, maka pelabuhan-pelabuhan di kerajaan Badung didatangi oleh perahu-perahu Bugis, Mandar dan Melayu yang membawa dagangan dari Singapura dan mengambil barang dagangan dari kerajaan Badung berupa hasil bumi.Para pedagang tersebut diatas membawa barang-barang dagangan yang terdiri dari:candu, senjata api, mesiu, obat, timah, uang kepeng, gambir, kain dan sutera, barang-barang terbuat dari besi dari Swedia dan Inggris dan benang tenun dan benang emas yang didatang dari Singapura.Mereka mengirim dari kerajaan Badung yaitu: beras, minyak kepala, tembakau, kulit-sapi, dendeng sapi, kapas dan telor asin.Sehingga sejak tahun 1830-an terdapat perdagangan langsung antara Singapura dan kerajaan Badung yang dilakukan oleh orang-orang Bugis,Cina dan Mandar.Pusat ekspor dan impor pada tahun 1930-an berada pelabuhan Kuta.
Karena adanya perdagangan langsung antara kerajaan Badung dan Singapura pada tahun 1830-an tersebut maka pemerintahan Hindia Belanda pada tanggal 20 Mei 1835, mengirimkan mata-mata yang bernama pak Jembrong yang berasal dari Banyuwangi ke Bali dan Lombok untuk memantau aktivitas perdagangan langsung Bali&Lombok dengan Singapura.Dari laporan pak Jembrong dinyatakan bahwa pada tahun 1835 itu “di Petemon kerajaan Buleleng pak Jembrong menemukan 4 perahu orang Mandar sedang membawa 2 peti candu masing-masing berisi 40 bola candu.Di Temukus kerajaan Buleleng pak Jembrong menemukan 3 perahu berasal dari Malaya yang membawa 2 peti candu dan kain dari Singapura.Di Sangsit kerajaan Buleleng pak Jembrong menemukan 5 perahu orang Bugis yang juga baru datang dari Singapura membawa 2 peti candu, sutera , kain dan barang terbuat dari besi untuk ditukarkan dengan beras.Di pantai barat Kuta kerajaan Badung pak Jembrong melihat 40 perahu sedang berlabuh, 16 perahu diantaranya baru tiba dari Singapura, perahu-perahu tersebut membawa barang dagangan berupa: candu, barang-barang terbuat dari besi, kain, gambir, senjata api, mesiu, uang kepeng dan barang-barang lainnya buatan Inggris.Perahu lainnya yang dimiliki oleh orang Bugis sedang mengangkut barang yang akan diangkut ke Singapura berupa: beras, kulit sapi, kapas dan hasil bumi lainnya.Di pantai dekat Tuban kerajaan Badung pak Jembrong menemukan 18 perahu berasal dari Trenggano, Makasar dan Bira (Sulawesi) yang juga datang dari Singapura membawa barang-barang dagangan.Di Padang Cove (Padang Bai kini) kerajaan Karangasem pak Jembrong menemukan sebuah kapal orang Perancis yang datang dari Mauritius sedang berlabuh”.
Berdasarkan laporan yang dibuat oleh pak Jembrong, pemerintah Hindia Belanda memutuskan mendirikan kantor dagang bernama De Nederlansche Handelsmaatschappij di Kuta kerajaan Badung yang dibuka pada tanggal 1 Agustus 1939 yang dipimpin oleh D. Boele Schuurman, sedangkan wakilnya adalah G. W. Veenman Bauman.Selain kantor dagang De Nederlansche Handelsmaatschappij di Kuta kerajaan Badung, ada juga saudagar asing yang bernama Mad Lange yang sangat pengaruh di Kuta kerajaan Badung.Mad Lange seorang warga Denmark berkongsi dengan John Burd warga Scotlandia (sebuah provinsi dibawah kerajaan Inggris) melakukan kegiatan perdagangan di India dan Cina.Dengan menggunakan kapal Falcon miliknya Mad Lange tertarik akan pulau Lombok yang terkenal sebagai pengekspor beras dalam jumlah besar pada tahun 1830-an.Pada tahun 1834 Mad Lange menetap di Tanjung Karang – Lombok sedangkan John Burn menetap di Canton – Cina.Pada tahun 1835, seorang saudagar Inggris lainnya bernama George Morgan King datang dari Batavia menetap di Ampenan – Lombok.Kedua saudagar ini bersaing secara tidak sehat sehingga memicu perang antara kerajaan Mataram dan kerajaan Karangasem di Lombok pada tahun 1838.Kapal Mad Lange yang bernama: Syden dan Falcon serta kapal King yang bernama: Laju, Pledies dan Mongkey ikut secara aktif terlibat dalam perang Lombok tahun 1838 tersebut.Setelah perang Lombok berakhir,Mad Lange berhasil dikalahkan oleh George Morgan King di Lombok dan di akhir tahun 1839 Mad Lange meninggalkan Lombok dan menetap di Kuta kerajaan Badung.Mad Lange mendarat di Kuta dengan kapalnya yang bernama Venus.Karena tekun dan pintar bergaul dengan orang-orang Bali terutama raja-rajanya, dalam waktu singkat Mad Lange berhasil membangun perdagangannya sehingga dia menjadi saingan berat De Nederlandsche Handlesmaatschappij di Kuta. Setibanya di Kuta D. Boele Schuurman tidak berhasil mendapatkan tempat yang layak untuk dijadikan kantor dagangnya.I Gusti Ngurah Gde Kesiman menunjuk sebuah rumah kampung untuk dijadikan kantor dan tempat tinggalnya.Namun lambat laun sikap raja Kesiman tersebut berubah dan kepada Schuurman diberikan sebidang tanah disertai dengan surat pernyataan (Akte) yang mengizinkan Schuurman membangun sebuah rumah dan kantor dagang. D. Boele Schuurman mengeluh bahwa dia mengalami banyak rintangan dalam usahanya dari orang-orang Bugis yang banyak bermukim di Tuban serta orang-orang Cina yang bermukim di Kuta.Schuurman mengisahkan bahwa barang-barang dagangan untuk ekspor seperti beras, tidak dapat dikumpulkan dengan jumlah besar pada satu tempat dan harus dibeli secara eceran.Namun barang yang dijual seperti tekstil harus dijual dengan kredit dan untuk mendapatkan pembelinya dan pelunasan kreditnya memakan waktu terlalu lama.
Pada tanggal 10 Desember 1839 Gubernur Jenderal Hindia Belanda mengangkat seorang komisaris pemerintah untuk Bali dan Lombok bernama H.J. Huskus Koopman.Pada tanggal 27 April 1840 Huskus Koopman tiba di pantai barat Kuta kerajaan Badung ditemani oleh Pangeran Syarif Hamid dari Pontianak serta Letnan Angkatan Laut Oosterwijk.Pada buku catatan D. Boele Schuurman (pimpinan cabang De Nederlansche Handelsmaatschappij di Kuta) dinyatakan keadaan setiba Huskus Koopman di kerajaan Badung, kerajaan Badung diperintah oleh tiga orang raja yaitu: I Gusti Ngurah Made Pamecutan, I Gusti Ngurah Gde Kesiman dan I Gusti Ngurah Gde Denpasar.Diantara ketiga raja tersebut I Gusti Ngurah Gde Kesiman yang paling berpengaruh dan berwibawa.I Gusti Ngurah Gde Denpasar seorang yang sangat lemah dan pengisap candu, nampak tidak berdaya menjalankan kekuasaan.Sedangkan setelah I Gusti Ngurah Made Pamecutan wafat tanggal 17 Juli 1840 dia digantikan oleh puteranya yaitu I Gusti Gde Ngurah Pamecutan (yang bergelar Cokorde Hinggas) yang masih muda belia dan juga pengisap candu yang tidak menghiraukan soal pemerintahan.Dengan keadaan seperti tersebut tidak mengherankan jika I Gusti Ngurah Gde Kesiman muncul sebagai penguasa yang menentukan di kerajaan Badung sejak akhir tahun 1840 bergelar Cokorde Kesiman.
Pada tanggal 29 Juni 1841 sebuah kapal dagang Belanda berukuran besar bernama Overijsel yang berlayar dari pelabuhan Playmouth Inggris, siang hari karam dekat Pulau Serangan karena salah navigasi oleh nahkodanya Kapten G. Blom.Kapal dagang itu dalam perjalanan menuju Batavia sedang mengangkut 50 orang penumpang dan awak kapal dan menubruk karang di lepas pantai pulau Serangan dan kurang-lebih tiga hari lamanya terapung di laut.Semua penumpang dapat diselamatkan dan ditampung ditempat pemukiman wakil kantor De Nederlansche Handelsmaatschappij di Kuta sampai mereka diangkut oleh kapal milik De Nederlansche Handelsmaatschappij yang bernama Mercurius pada tanggal 25 Juli 1841 ke Surabaya.Salah seorang dari penumpang adalah keluarga Kolonel Lucassen, untuk sementara terpaksa harus ditampung di rumah kediaman agen De Nederlansche Handelsmaatschappij karena isterinya melahirkan saat itu.
Saat penyelamatan penumpang dan awak kapal Overijsel, Mad Lange berjasa juga disamping petugas De Nederlansche Handelsmaatschappij.Sebelum meninggalkan Kuta menuju ke Surabaya Kapten G. Blom membuat suatu laporan pendek mengenai musibah tersebut disampaikan kepada direksi perusahaannya yang berisi hal-hal sebagai berikut:
1. Kapten G Blom menyalahkan peta-peta yang dimilikinya sebagai sebab karamnya kapal Overijsel, yang menyebabkan dia mengira selat Badung merupakan selat Bali. 2. Ketika tanggal 21 Juli 1841 para awak kapal ingin naik ke kapal untuk menyelamatkan barang-barang, para penduduk Badung telah merampas barang-barang tersebut dan merusak kapal Overijsel.Esoknya kapal sudah kemasukan air dan tidak ada lagi barang yang tertinggal, karena sudah diambil oleh penduduk setempat. 3. Oleh raja Kesiman disampaikan surat kepada Kapten G Blom untuk melarang Kapten G Blom serta awak kapalnya naik lagi ke kapal, karena bila perintah itu dilanggar jiwa mereka akan terancam. 4. Kapten G Blom telah mengajukan surat keberatan kepada raja Kesiman atas perampasan barang-barang dan perusakan kapal Overijsel.
Kapten G. Blom tentunya tidak mengetahui bahwa apa yang dilakukan oleh penduduk desa Tuban dan sekitarnya bukan suatu perampasan atau perampokan, namun merupakan pelaksanaan hak yang dimiliki oleh penduduk yang bermukim dipesisir dan diakui oleh hukum adat yang berlaku di semua kerajaan di Bali saat itu yang disebut tawan karang.
Hak tawan karang ini sudah berlangsung berabad-abad lamanya di Bali, yang mengakui hak penduduk di pesisir untuk menguasai semua barang serta harta benda dari kapal-kapal yang terdampar atau karam di laut dan dihanyutkan oleh laut ke pantai.Cokorde Kesiman tidak memiliki wewenang melarang penduduk untuk melaksanakan hak tawan karang yang mereka anggap sebagai haknya.Setelah Kapten G. Blom tiba kembali di Belanda pada awal tahun 1842 diterbitkan olehnya sebuah buku kecil yang berisi tulisan yang mengisahkan karamnya kapal dagang Overijsel di pantai Tuban dekat pulau Serangan yang dilebih-lebihkannya.Dalam buku itu dijelaskan kebiadaban penduduk Badung merampas dan merampok kapalnya dan Cokorde Kesiman tidak berdaya untuk mencegahnya disimpulkan bahwa di Bali tidak berlaku hukum dan tata tertib serta penduduknya tidak beradab.
Selain itu dia juga menyalahkan Huskus Koopman sebagai Komisaris pemerintah, komandan kapal perang Hindia Belanda G. Willinck dan agen De Nederlansche Handelsmaatschappij di Kuta J.J. Santbergen dan F.F. Van West,ternyata tulisan Blom tersebut mendapat sambutan yang ramai di kalangan masyarakat Belanda saat itu.Akibat dari tulisan Blom maka masalah tawan karang mendapatkan sorotan oleh masyarakat Belanda yang menimbulkan pendapat umum masyarakat Belanda agar pemerintah Belanda memberantasnya.
Pada mulanya Cokorde Kesiman melarang penduduk pesisir Tuban untuk mengambil barang-barang dari kapal Overijsel yang karam itu, namun karena penduduk pesisir Tuban menentang dan menganggap bahwa hal tersebut adalah haknya maka Cokorde Kesiman mencabut larangannya dan membiarkan penduduk pesisir Tuban menguasai barang-barang muatan dan bangkai kapal Overijsel.Tidak diketahui apakah dalam perundingan dengan Cokorde Kesiman dan I Gusti Ngurah Gde Pamecutan, Huskus Koopman menakut-nakuti kedua raja tersebut bahwa jika kedua raja tersebut tidak menanda-tangani perjanjian yang dibuatnya maka pemerintah Hindia Belanda akan menuntut balas dengan mengakibatkan ruginya kerajaan Badung sehubungan dengan pelaksanaan hukum tawan karang oleh rakyat Badung terhadap kapal dagang Overijsel,sehingga Cokorde Kesiman dan I Gusti Ngurah Gde Pamecutan menanda-tangani perjanjian dalam kontrak tersebut antara lain menyatakan bahwa kerajaan Badung adalah milik Hindia Belanda dan berjanji tidak akan menyerahkan kerajaan itu kepada bangsa kulit lainnya dan tidak mengizinkan pengibaran bendera lain selain bendera Belanda di wilayah Badung.
Dengan kesediaan Cokorde Kesiman dan I Gusti Ngurah Gde Pamecutan menanda-tangani perjanjian yang disodorkan oleh Huskus Koopman, terlihat keduanya mengulurkan tangan terhadap pemerintah Hindia Belanda dengan tujuan melunakkan kemarahan pemerintah Hindia Belanda terhadap perampasan barang-barang muatan dan bangkai kapal Overijsel dan dengan itu mencegah pemerintah Hindia Belanda mengadakan tindakan balasan seperti yang dijelaskan oleh Huskup Koopman.Demikianlah latar belakang surat penanda-tanganan kontrak antara Cokorde Kesiman dan I Gusti Ngurah Gde Pamecutan di satu pihak dan komisaris pemerintah Hindia Belanda dipihak lain yang ditanda-tangani pada tanggal 26 Juli 1841 yang disaksikan oleh I Gusti Gde Dangin dan Pedanda Agung Somawati dan disusul dengan penanda-tanganan pada tanggal 30 Juli 1841 disaksikan oleh Anak Agung Gde Oka dan Ida Putu Agung Satria.
Pada tanggal 4 Juni 1844 De Nederlansche Handelsmaatschappij di Kuta kerajaan Badung ditutup oleh pemerintah Hindia Belanda, bangunan serta perabotannya dijual kepada Mad Lange senilai 3.095,83 gulden.Selama beroperasinya De Nederlansche Handelsmaatschappij di Kuta mengalami kerugian sebesar 123.530,20 gulden.Bertolak belakang dengan Mad Lange,saudagar kelahiran Swedia ini yang pada bulan Agustus 1839 berlabuh di Kuta hanya berbekal kapal dagangnya berukuran kecil yang bernama Venus dan hutang berjumlah ratusan ribu gulden setelah terusir dari Lombok, dalam selang waktu lima tahun saja telah berhasil menguasai ekspor dan impor pulau Bali.Kapal-kapalnya mengarungi samudera membawa barang dagangan seperti: beras, kulit sapi, tembakau, minyak kelapa, telor asin serta hasil bumi lainnya dan memasukkan ke pulau Bali seperti: gambir, candu, uang kepeng, tekstil, barang-barang terbuat dari besi, senapan dan mesiu untuk raja-raja di pulau Bali.Kapal-kapalnya berlayar hingga Singapura, Cina dan Hongkong.Mad Lange dijadikan agen perusahaan dagang Inggris terbesar saat itu yang berkedudukan di Canton yaitu Jardine & Co.Pada tanggal 1 Mei 1844 Mad Lange diangkat sebagai wakil pemerintah Hindia Belanda untuk pulau Bali.
Dari tahun 1844 hingga 1849 terjadi perubahan besar di kerajaan Jembrana, Buleleng dan Karangasem.Karena masalah perampasan perahu berbendera Belanda di Sangsit, Purancak dan kapal Atut Rachman di Karang-Anyar mengakibatkan Pemerintah Belanda menyerang kerajaan Buleleng pada tahun 1846 dan tahun 1848 karena dianggap membangkang oleh pemerintah Belanda, namun pasukan penyerbuan tersebut berhasil dipukul mundur oleh kerajaan Buleleng dan Karangasem.Pada tahun 1849 pemerintah Hindia Belanda kembali menyerbu kerajaan Buleleng dan kerajaan Karangasem berakhir dengan hancurnya kerajaan Buleleng dan kerajaan Karangasem.Pada saat pasukan pemerintah Hindia Belanda hendak menyerbu kerajaan Klungkung permusuhan antara pemerintah Hindia Belanda dan kerajaan Klungkung berhasil didamaikan oleh Cokorde Kesiman serta Mad Lange wakil pemerintah Hindia Belanda untuk pulau Bali dengan ditanda-tangani perjanjian pada tanggal 15 Juli 1849 di Kuta (kantor/rumah Mad Lange) kerajaan Badung.
Sejak tanggal 31 Maret 1855 Mad Lange diberhentikan dengan hormat sebagai wakil pemerintah Hindia Belanda untuk Bali dan digantikan dengan P.L. Van Bloemen Waanders yang sejak saat itu berkedudukan di Buleleng.Pada tanggal 13 Mei 1856 Mad Lange saudagar besar kelahiran Rudkobin – Denmark tanggal 18 September 1807 meninggal dunia di Kuta dan dimakamkan di dekat rumahnya di Kuta.Usaha dagangnya dilanjutkan oleh anak-anaknya serta keluarga dekatnya, namun mengalami penurunan tajam karena pelabuhan Kuta sebagai pusat perdagangan sejak 1860-an mendapat saingan berat dengan dibukanya Pabean Buleleng oleh pemerintah Hindia Belanda sebagai pusat perdagangan.Karib Mad Lange, Cokorde Kesiman wafat pada tahun 1861.
Peristiwa berikutnya yang menentukan jalannya sejarah kerajaan Badung adalah peristiwa yang berlangsung di kerajaan Mengwi.Pada tahun 1880 timbul perselisihan antara dua adipati kerajaan Mengwi yaitu I Gusti Agung Raka (adipati yang disegani oleh kerajaan Badung dan Tabanan) yang berkedudukan di Puri Anyar dengan I Gusti Agung Pekel.Di kerajaan Mengwi I Gusti Agung Raka tidak mendapat tempat sebagai mana mestinya karena beliau dilahirkan bukan dari padmi (permaisuari) raja yang telah wafat namun sebaliknya I Gusti Agung Pekel yang didukung oleh Cokorde Mengwi yang sakit-sakitan, lemah dan pengisap candu.Perselisihan diperuncing dengan melibatkan padmi Cokorde Mengwi dengan Isteri I Gusti Agung Raka yang berasal kerajaan Badung.Selain perselisihan yang telah disebutkan diatas I Gusti Agung Raka juga terlibat perselisihan dengan puteranya sendiri yang bernama I Gusti Agung Kerug yang didukung oleh Cokorde Mengwi.Akibat dari pertengkaran tersebut maka I Gusti Agung Raka meninggalkan Mengwi pindah ke Jero Dangin kerajaan Badung ke tempat tinggal menantunya pada tahun 1883 dengan membawa dua keris pusaka kerajaan Mengwi.Kedudukan I Gusti Agung Raka sebagai adipati di kerajaan Mengwi digantikan oleh puteranya I Gusti Agung Kerug.Pada tahun 1885 I Gusti Agung Raka meninggal di Jero Dangin kerajaan Badung, I Gusti Agung Kerug memohon kepada raja Badung agar bersedia memberikan jasad ayahandanya untuk dibuatkan upacara Ngaben di Mengwi, namun raja Badung menolak permohonan I Gusti Agung Kerug dan menyelenggarakan pengabenan I Gusti Agung Raka di Badung.Akibat peristiwa diatas I Gusti Agung Kerug memerintahkan untuk menutup saluran air irigasi yang menuju kerajaan Badung yang berada di Desa Sempidi.Air dibiarkan mengalir sebentar-sebentar, tetapi telah dicemari oleh sampah daun lateng (daun yang menyebabkan gatal-gatal), sehingga penduduk kerajaan Badung tidak bisa meminum dan menggunakan air tersebut untuk mandi.Pemblokiran air irigasi diatas terbukti menyebabkan gagal panen di sebagian besar wilayah kerajaan Badung pada tahun-tahun berikutnya.
Pada awal Juni 1891 terjadi peristiwa besar dimana Dewa Agung Klungkung menyebarkan lontar kepada para manca dan mekel diseluruh kerajaan Mengwi yang mengabarkan bahwa Dewa Agung telah memberhentikan raja Mengwi dan kerajaan Mengwi sementara dibawah pengawasan kerajaan Badung dan Tabanan.Ketika kerajaan Badung mulai menyerang Mengwi, bersamaan dengannya orang-orang Sibang menyerang pertahanan prajurit Mengwi dari arah timur.Pertahanan prajurit Mengwi tercerai-berai dan prajurit kerajaan Badung memasuki wilayah dimana pemblokiran irigasi dilakukan.Untuk sementara prajurit I Gusti Agung Kerug dan I Gusti Agung Pekel mampu menahan gerak maju prajurit kerajaan Badung.Tiba-tiba secara mendadak prajurit kerajaan Tabanan menyerang di dekat pusat kerajaan Mengwi, serangan ini juga dapat dipukul mundur, namun kerajaan Mengwi dihadapkan dengan jumlah musuh yang sangat besar.Selanjutnya prajurit kerajaan Badung melakukan serangan berikutnya kebagian selatan kerajaan Mengwi.Tanpa menemui banyak perlawanan karena prajurit telah dikumpulkan di pusat kerajaan Mengwi,prajurit kerajaan Badung merebut desa Sempidi,Sading, Buduk, Pererenan, Abianbase dan Kapal.Kemudian prajurit kerajaan Badung menyerbu kearah utara dimana bendungan irigasi Mambal berada, karena ketiadaan prajurit kerajaan Mengwi disana dengan mudah wilayah Mambal diduduki.Karena mengetahui kemampuan kerajaan Mengwi untuk menahan serangan makin lemah,maka banyak para manca dan mekel berbalik arah berpihak kepada kerajaan Badung.Karena merasa tujuannya telah tercapai yaitu menguasai saluran irigasi yang menuju sawah-sawah di kerajaan Badung, raja Badung memerintahkan para prajuritnya untuk menghentikan serangan.
Pada tanggal 20 Juni 1891, raja Badung mengirim utusan yang meminta agar Cokorde Mengwi menyerah, namun Cokorde Mengwi tidak mau menyerah.Raja Badung kemudian memerintahkan para prajuritnya untuk menyerbu Puri Mengwi, para penembak jitu Bugis yang menjadi andalan prajurit Badung melaporkan kepada raja Badung bahwa pasukan kerajaan Badung telah mencapai beberapa ratusan meter disebelah selatan Puri Mengwi.Dalam keadaan tergesa-gesa kulkul Puri Gede Mengwi dibunyikan dan para prajurit yang masih tersisa berkumpul di depan Puri Gede Mengwi untuk melakukan usaha terakhir mengusir prajurit kerajaan Badung.Ida Pedanda Made Bang yang memimpin prajurit Mengwi tertembus peluru pada kepalanya dan prajurit Badung bergerak maju, I Gusti Agung Pekel dan I Gusti Agung Kerug berhasil meloloskan diri.Ketika didengar perang telah usai, Cokorde Mengwi yang pincang dan pengisap candu tersebut memerintahkan para pengiringnya menandunya untuk menghadapi prajurit Badung dan segera keluar Puri Gede Mengwi, di depan Puri Agung Mengwi seorang prajurit Badung menembak pemandunya hingga tewas dan menusukkan tombak kearah Cokorde Mengwi yang menewaskan raja Mengwi terakhir tersebut.
Sejak saat 20 Juni 1891 wilayah Mengwi telah runtuh dan yang sebagian besar wilayahnya diduduki oleh kerajaan Badung.Wilayah bekas kerajaan Mengwi tersebut sejak 20 Juni 1891 mulai digarap oleh penduduk Badung.Raja Badung memerintahkan para Perbekel dan mancanya untuk menempatkan Perbekel dan Manca baru yang ditujuk oleh kerajaan Badung.
Pada tanggal 27 Mei 1904 jam 06:00 pagi terjadi peristiwa penyebab utama berputarnya sejarah kerajaan Badung yaitu saat sebuah kapal berbobot 90 ton bernama Sri Kumala dihantam ombak dan karam di pantai Sanur.Para penumpangnya menurunkan peti-peti terbuat kayu dan seng serta koper-koper kulit.Nahkoda perahu itu meminta bantuan Subandar Sanur yang bernama Sik Bo untuk menjaga peti-peti serta koper-koper tersebut.Sik Bo bersedia memberikan pertolongan yang diminta serta memberitahukan kepada nahkoda kapal Sri Kumala tersebut agar jangan khawatir karena di kerajaan Badung telah dikeluarkan perintah bahwa perahu-perahu yang karam di wilayah kekuasaan kerajaan Badung tidak boleh dirampas.Setelah itu Sik Bo memberitahukan kepada nahkoda kapal untuk menurunkan semua barang muatannya.Si pemilik perahu yang bernama Kwee Tek Ciang menanyakan kepada Sik Bo nama penguasa wilayah Sanur.Sik Bo menjelaskan bahwa penguasa wilayah Sanur adalah punggawa Ida Bagus Ngurah.Setelah itu Kwee Tek Ciang minta bantuan Sik Bo untuk melaporkan karamnya perahu miliknya kepada punggawa Sanur tersebut.Sik Bo bersedia dan meminta Kwee Tek Ciang meminta nahkoda kapal menyertainya menghadap punggawa Ida Bagus Ngurah.
Setelah punggawa Ida Bagus Ngurah menerima laporan mengenai kapal Sri Kumala yang karam,beliau menanyakan kepada nahkoda kapal perincian barang-barang muatan kapal Sri Kumala.Nahkoda kapal menjawab bahwa barang muatan kapal terdiri dari: minyak tanah,gula pasir dan terasi.Setelah itu punggawa Ida Bagus Ngurah pergi ke pantai disertai oleh Sik Bo dan nahkoda kapal.Ketika tiba di pantai ditemuinya Kwee Tek Ciang pemilik kapal Sri Kumala tersebut.Kepada Kwee Tek Ciang ditanyakan juga mengenai muatan perahu yang karam itu.Kwee Tek Ciang sendiri menjawab bahwa muatannya terdiri dari:minyak tanah, gula pasir, terasi dan beberapa kaleng biskuit.Punggawa tersebut memerintahkan Sik Bo untuk menanyakan kepada Kwee Tek Ciang apakah dia bermaksud menurunkan semua barang muatan kapal tersebut, jika demikian agar penurunan muatan kapal segera sebelum hari menjadi gelap dan memberitahukan bahwa punggawa Sanur tersebut akan menyelenggarakan penjagaan barang muatan kapal tersebut.Karenanya punggawa Ida Bagus Ngurah memerintahkan I Boen Tho untuk menjaga dan menyimpan peti-peti itu, selanjutnya punggawa Ida Bagus Ngurah pulang kerumahnya.
Kwee Tek Ciang minta bantuan Sik Bo untuk mengangkut barang-barangnya ke rumah I Boen Tho dan setelah malam harinya Kwee Tek Ciang dan Fok Swie pergi ke rumah I Boen Tho.Fok Swie juga menanyakan kepada Kwee Tek Ciang mengenai muatan kapalnya, Kwee Tek Ciang memberitahukan Fok Swie bahwa muatan kapalnya yaitu: minyak tanah, gula pasir, terasi, biskuit dan uang kepeng yang jumlahnya tidak banyak.Selain itu Fok Swie juga menanyakan apakah ada barang-barang muatan lainnya, dijawab oleh Kwee Tek Ciang bahwa tidak ada barang-barang muatan lainnya.
Malam harinya punggawa Ida Bagus Ngurah memerintahkan Sik Bo pergi ke pantai dengan 20 orang warga Sanur untuk menjaga kapal yang karam itu.Nahkoda kapal tersebut menanyakan kepada Sik Bo maksud kedatangan 20 orang warga Sanur tersebut dan dijawab oleh Sik Bo bahwa 20 orang tersebut dikirim oleh punggawa Ida Bagus Ngurah untuk menjaga kapal yang karam tersebut.Nahkoda kapal tersebut memerintahkan agar 20 orang tersebut kembali dan jangan mendekati kapalnya, oleh karena jika malam tiba ada orang yang berada terlalu dekat dengan kapalnya, orang tersebut akan ditembak oleh awak kapalnya.Karena pernyataan nahkoda kapal tersebut, Sik Bo berserta 20 orang warga Sanur segera pulang kembali ke rumah masing-masing.Di tengah jalan Sik Bo mereka berjumpa dengan 11 orang warga Sanur yang juga dikirim oleh punggawa Ida Bagus Ngurah untuk menjaga kapal yang karam itu.Sik Bo segera memberitahukan mereka agar jangan mendekati kapal yang karam itu oleh karena nahkoda kapal telah memberitahukan agar menembak orang-orang yang berada terlalu dekat dengan kapal itu.Karenanya kesebelas orang tersebut tidak berani mendekati kapal yang karam tersebut, namun karena punggawa Ida Bagus Ngurah memerintahkan mereka menjaga kapal itu,mereka tetap berada di pantai dan mengawasi dari jauh kapal tersebut, sehingga apabila ada orang yang bermaksud merampok di kapal itu mereka dapat melihatnya.
Pagi harinya tanggal 28 Mei 1904 seorang pelayan Kwee Tek Ciang menemui Sik Bo agar menyediakan buruh untuk menurunkan barang-barang muatan kapalnya, karenanya Sik Bo memerintahkan kepada 11 orang tersebut untuk melakukannya.Kesebelas orang itu membongkar muatan kapal dan mengangkutnya ke rumah I Boen Tho, kesebelas orang tersebut adalah:I Sitang, I Celebes, I Mangog, Nang Brayag, I Rarud, I Gatra, Nang Dabdab, I Sutra, I Siman, I Kaplug dan I Lampus.Pada tanggal 29 Mei 1904 utusan raja Badung datang di pantai Sanur untuk mengadakan pemeriksaan mengenai karamnya kapal Sri Kumala.Ketika utusan raja Badung tersebut akan pulang, Kwee Tek Ciang melaporkan kepadanya bahwa dia kecurian 3.700 ringgit dan 2,3 juta uang kepeng.Utusan raja Badung tidak bersedia menerima pengaduan Kwee Tek Ciang, karena dia tidak sanggup menunjukkan bukti-bukti.Pada tanggal 31 Mei 1904 Kwee Tek Ciang datang ke ibu kota kerajaan Badung dan mau menghadap ke Puri Agung Denpasar.Saat dia berjumpa dengan jaksa kerajaan Badung yang menanyakan kepadanya maksudnya menghadap ke Puri Denpasar, Kwee Tek Ciang menjawab bahwa dia hanya ingin melaporkan bahwa kapalnya karam di pantai Sanur dan minta izin untuk menjual kapal itu serta barang-barang muatannya.Kemudian dia juga ingin melaporkan bahwa kapalnya dirampok dan dia kehilangan 3.700 ringgit dan 2,3 juta uang kepeng.Jaksa tersebut ditugaskan untuk menerima pengaduan Kwee Tek Ciang,menanyakan kepadanya apakah dia memiliki daftar barang-barang muatan. Kwee Tek Ciang menjawab bahwa dia memilikinya dan memperlihatkan suatu tulisan, ketika jaksa memeriksanya ternyata tulisan tersebut bukan daftar barang namun daftar nama penumpang kapal yang karam tersebut.Jaksa mengulangi lagi pertanyaannya dimana daftar barang muatan itu dan dijawab oleh Kwee Tek Ciang bahwa dia tidak memiliki daftar barang muatan yang dimaksud.Jaksa selanjutnya menjawab bahwa permohonan Kwee Tek Ciang untuk menjual kapal dan muatan kapalnya diizinkan namun pengaduannya mengenai pencurian uang ringgit dan kepeng tidak dapat diterimanya.Karena jawaban jaksa itu, Kwee Tek Ciang menyatakan bahwa dia akan pergi ke Buleleng untuk mengadukannya kepada residen Bali dan Lombok disana.
Pada tanggal 17 Juni 1904 utusan residen Bali dan Lombok J. Eschbach tiba di Badung untuk mengadakan perundingan mengenai pengaduan Kwee Tek Ciang terhadap penduduk desa pesisir Sanur.Dalam pengaduannya dikatakan bahwa orang-orang Badung telah merampok kapal yang karam dan Kwee Tek Ciang kehilangan 3.500 ringgit dan 2,3 juta uang kepeng pada tanggal 27 dan 28 Maret 1904, residen Bali dan Lombok J. Eschbach menuntut agar raja Badung membayar ganti rugi sebesar 3.500 ringgit dan 2,3 juta uang kepeng.Atas tuduhan itu raja Badung mengatakan bahwa keterangan itu tidak sesuai dengan pengaduan Kwee Tek Ciang dan hasil pemeriksaan di kerajaan Badung.
Atas peristiwa karamnya kapal Sri Kumala pemerintah Hindia Belanda selanjutnya bereaksi mengirimkan kapal perang dan kapal pengangkut diperairan kerajaan Badung untuk memblokade perdagangan ke dan dari kerajaan Badung sejak 25 Desember 1904 dan meminta semua kerajaan yang berbatasan dengan kerajaan Badung untuk menutup perbatasannya dengan kerajaan Badung.Pada tanggal 14 Januari 1905 residen Bali dan Lombok J. Eschbach menginspeksi pelaksanaan blokade perdagangan kerajaan Badung dengan menumpang kapal Reiger di perairan kerajaan Badung.Karena blokade perdagangan yang dilakukan pemerintah Hindia Belanda,beberapa pemuka rakyat Badung pernah menyampaikan permohonan kepada raja Badung agar beliau membayar apa yang diminta oleh pemerintah Belanda.Pedagang Cina dan Bugis yang bermukim di Kuta dan Pulau Serangan berbondong-bondong menghadap raja Badung untuk melakukan hal yang sama namun raja Badung menolaknya.Kerajaan Tabanan yang tidak mau menutup perbatasan dengan kerajaan Badung juga dianggap membangkang terhadap pemerintah Hindia Belanda.
Akibat blokade perairan kerajaan Badung dilaporkan kepada raja Badung sebagai berikut:
1. Tanggal 7 Januari, seorang nelayan Jimbaran yang mengangkut padi ke pantai Seseh, dikejar oleh kapal-kapal yang ditugaskan untuk memblokade perairan kerajaan Badung. 2. Tanggal 23 Januari 1905, sebuah perahu bernama Sri Barong milik Haji Abdullah warga pulau Serangan telah dirampas oleh kapal-kapal yang melakukan blokade saat dia kembali dari perjalanan ke Penarukan – Jawa Timur.Selain itu awak kapal yang melakukan blokade menembak penumpang-penumpang perahu Sri Barong. 3. Tanggal 18 Maret 1905 seorang nelayan desa Jimbaran bernama I Leduk ditembaki kapal-kapal tersebut hingga luka parah. 4. Tanggal 17 Mei 1905 tiga warga Kesiman yaitu: I Tawang, I Gol an I Glimbang sedang memancing di laut dekat pantai Sanur, mereka ditangkap oleh kapal-kapal yang melakukan blokade dan diangkut ke Buleleng dan dipekerjakan secara paksa selama sebulan. 5. Pada tanggal 8 Mei 1906, nelayan desa Serangan bernama I Brasan yang berlayar dengan perahu janggolan yang bernama Sri Tanjung dengan 7 orang awak perahu ke Karang Intei dengan 16 ekor penyu sebagai hasil tangkapannya.Kapal yang melakukan blokade merampas perahu tersebut di laut Padang-padang kemudian membawa perahu tersebut ke Jembrana disana ditahan selama 19 hari. 6. Selain yang disebutkan diatas, kejadian lain yang terjadi: perahu sampan bermuatan 15 ekor babi milik Ko Mwi dirampas, perahu janggolan bermuatan 25 ekor babi dan setengah karung beras milik Nin Sing juga dirampas, perahu sampan bermuatan 12 ekor babi milik Cio A Hoe juga dirampas, perahu sampan bermuatan 10 ekor babi milik Liauw Liem juga dirampas dan sebuah jukung bermuatan 14 ekor babi milik Mwi Ta Ing juga dirampas.
Pada tanggal 4 September 1906 pemerintah Hindia Belanda memerintahkan mengirim armada perang ke perairan kerajaan Badung.Kapal-kapal tersebut adalah:
1. Kapal-kapal perang Hertog Hendrik, Koningin Regentes, Koningin Hilhelmina dan Zeeland. 2. Kapal-kapal patroli Kutei, Serdang, Mataram dan Flores. 3. Kapal-kapal pengangkut Fazant dan Tegal.
keseluruhan kapal diatas dikomandoi oleh Kolonel Laut Van den Bosch.
Sebenarnya persiapan untuk melakukan serbuan militer ke kerajaan Badung telah dilakukan sejak bulan Juni 1906.Pasukan pemerintah Hindia Belanda telah diangkut dengan empat kapal Maskapai Pelayaran Belanda KPM (Koninklijke Paketvaart Maatschappij) terdiri dari: kapal Baud, kapal Both, kapal Camphuys dan kapal Klerck.Panglima penyerbuan ke kerajaan Badung adalah Mayor Jenderal M.B. Rost Van Tonningen.Pada tanggal 12 September 1906 semua kapal pengangkut dan kapal perang sudah berada diperairan Sanur dan menduduki posnya masing-masing.Pasukan penyerbu terdiri dari: 92 perwira dan bintara, 1.332 prajurit Eropa dan Ambon, 980 prajurit lainnya dan 741 pegawai sipil.
Pada tanggal 12 September 1906 jam 05:00 sore, sebuah rombongan diturunkan dari kapal untuk menyampaikan surat kepada raja Denpasar dan raja Pemecutan agar ultimatum tersebut selambat-lambatnya dijawab oleh raja Badung dalam tempo 1 kali 24 jam dan oleh raja Tabanan dalam tempo 2 kali 24 jam.Keesokan harinya pada tanggal 13 September 1906 jam 20:30 malam diterima balasan dari Raja Badung, bahwa ultimatum ditolak. Pada tanggal 14 September 1906 jam 05:30 pagi sekoci-sekoci sudah disiapkan untuk pendaratan pasukan.Jam 07:10 pendaratan pertama dilakukan pasukan infanteri bersamaan dengan penembakan yang dilakukan oleh kapal-kapal perang dengan meriam agar pendaratan pasukan tidak disergap oleh prajurit kerajaan Badung.Penyergapan pendaratan pasukan Belanda tidak dilakukan, disebabkan oleh sikap punggawa Sanur Ida Bagus Ngurah yang pada saat pendaratan pasukan Belanda mendekati komandan kapal perang Belanda yang bernama Kutei, dengan memberi pernyataan bahwa warga Sanur tidak akan mengadakan perlawanan terhadap pasukan pendaratan Belanda (Sumber Mayoor R. Van Reitschoten:”Algemeen verslag van de expetiditie naar Bali(10 Sepetmber-30 Kotober 1906)”,Indisch Militaur Tijdschrift,Extra Bijlage No. 27,hal 104-109,114-116).
Pada tanggal 15 September 1906 jam 06:00 pagi, ribuan pasukan kerajaan Badung yang berasal dari Kuta dan Denpasar menyerang perkemahan pasukan Belanda di Sanur dan berusaha melakukan pengepungan kemah tersebut.Pertempuran terjadi jam 12:00 siang hari yang mengakibatkan 33 prajurit Badung tewas dan 12 prajurit lainnya luka-luka.Karena penyerangan tersebut mulai tanggal 15 September 1906 kapal-kapal perang dengan meriam jarak-jauhnya menembaki ibu kota kerajaan Badung serta desa-desa sekitarnya.Pada tanggal 16 September 1906 penembakan-penembakan dari kapal perang dan meriam houwitser dengan sasaran Puri Pemecutan dan Puri Denpasar dilakukan.Pada tanggal 17 dan 18 September 1906 penembakan-penembakan dari kapal perang dan meriam houwitser dengan sasaran Puri Pemecutan dan Puri Denpasar diulangi lagi yang mengakibatkan terjadinya kebakaran di Puri Denpasar dan beberapa kampung sekitarnya.Pada tanggal 19 September 1906 Panglima Mayor Jenderal Rost Van Tonningen memerintahkan pasukannya untuk menyerang Puri Denpasar dan Puri Pemecutan melalui Kesiman dan Sumerta.
Sebelum serangan dimulai Panglima Mayor Jenderal Rost Van Tonningen memerintahkan agar penembakan dari meriam Kapal Perang dan meriam houwitser diperhebat.Dengan melewati beberapa pertempuran pasukan Belanda tanggal 19 September 1906 jam 14:03 siang tiba di Puri Kesiman yang telah dikosongkan oleh prajurit kerajaan Badung dan membuat peristirahatan disana.Pada tanggal 20 September 1906 jam 07:00 pagi diperintahkan agar penembakan-penembakan dari kapal perang dan meriam houwitser dengan sasaran Puri Pemecutan dan Puri Denpasar diperhebat lagi.Pada saat yang sama pasukan Belanda bergerak dari Puri Kesiman kearah barat melalui Sumerta.Pada jam 09:30 pagi komandan pasukan memerintahkan untuk berhenti sejenak sambil melakukan regrouping.Pada jam 10:30 pasukan Belanda diperintahkan maju kembali, akan tetapi jam 11:00 di persimpangan jalan Denpasar-Tangguntiti terlihat sejumlah prajurit kerajaan Badung yang bergerak kearah timur.Pasukan meriam Belanda menembaki para prajurit kerajaan Badung tersebut, prajurit yang terdepan menyerang batalion pasukan Belanda, Kapten S.H Schutstal Van Woudenberg memerintahkan agar agar prajurit Belanda tetap menyerang.Dalam pertempuran itu turut juga hadir banyak wanita serta anak-anak, akibat tembakan yang gencar dari meriam prajurit Belanda banyak jatuh korban dikalangan prajurit serta warga kerajaan Badung peristiwa itu terjadi tanggal 20 September 1906 antara jam 11:00 dan 11:30 yang oleh warga Badung disebut dengan sebutan Puputan Badung.
Dr. H.M. Van Weede adalah seorang reporter Belanda yang turut hadir bersama pasukan penyerang Belanda pada peristiwa itu melaporkan sebagai berikut:
“Pada tanggal 20 September pagi di halaman muka Puri Denpasar terjadilah suatu pertunjukan yang sangat mengesankan.Pada saat itu orang-orang terkemuka berkumpul untuk mengakhiri nyawanya di hadapan pasukan kita. Raja dengan para pangeran dan pengikut-pengikutnya memakai busana yang serba indah, bersenjatakan keris dengan ulu keris mereka dibuat dari emas yang dihiasi dengan permata-permata yang berkilauan.Semua berpakaian warna merah dan hitam.Rambut mereka diatur dengan rapi dan ditaburi minyak wangi.Wanita-wanita berdandan dengan pakaian mereka yang paling indah yang mereka miliki dan semuanya mengenakan selendang putih.Raja telah memerintahkan untuk membakar puri dan menghancurkan semuanya yang dapat dirusak. Ketika jam 09:00 diberitahukan kepadanya bahwa musuh sudah berhasil masuk kota Denpasar dari utara, rombongan yang terdiri dari 250 orang bergerak.Setiap pria dan wanita bersenjatakan keris dan tombak panjang, juga anak-anak yang sanggup memikul senjata, bayi-bayi digendong.Raja bergerak di garis depan dipikul di atas pundak salah seorang pengikutnya sebagai mana lazim berlaku.Diam-diam mereka mencapai persimpangan jalan dekat Puri Belaluan. Mereka meneruskan perjalanan mereka lagi sejenak sampai pada tikungan jalan Jero Tainsiap, mereka dapat melihat bayangan hitam dari barisan infanteri kita.Ini adalah batalyon ke-11 yang bergerak maju perlahan-lahan dari utara.Satu seksi yang dipimpin oleh Kapten Schutstal Van Woundenberg bergerak melalui jalan besar.Ketika mereka melihat pawai yang gemilang dan cemerlang itu, warga Badung berada kurang lebih 300 meter dari mereka, hanya satu lapangan kecil yang memisahkan mereka satu sama lain. Seketika pasukan kita diperintahkan untuk berhenti, Kapten Schutstal Van Woundenberg memberi perintah kepada juru bahasa untuk memerintahkan mereka agar tidak bergerak dengan kata-kata atau isyarat.Perintah untuk tidak bergerak tidak berhasil untuk menghentikan mereka.Sebaliknya rombongan kerajaan Badung tersebut maju dengan gerak cepat.Mereka tidak dapat ditahan lagi oleh karena mereka nampaknya ingin menemui ajal mereka.Mereka mendekat sampai 100 meter, 80 sampai 70 meter, akan tetapi sekarang mereka berlari-lari dengan tombak dan keris terhunus dan raja tetap berada di garis depan memimpin mereka. Pasukan kita tidak dapat bimbang lagi menghadapi mereka.Tembakan pertama diberikan.Beberapa warga kerajaan Badung tewas ditempat.Yang gugur pertama adalah raja Denpasar dan selanjutnya terjadi pertunjukan yang paling mengerikan yang dapat dibayangkan. Pada saat mereka yang masih selamat meneruskan serangan mereka dan tembakan pasukan kita masih gencar dilakukan, mereka yang luka ringan menikam mereka yang luka berat sampai mati.Wanita-wanita membuka dadanya untuk dihabisi nyawanya atau mendapat tikaman dipundaknya. Apabila mereka yang melakukan tikaman itu ditembak oleh pasukan kita, kelompok lain bangkit lagi pria dan wanita untuk meneruskan pekerjaan mereka yang berdarah itu. Juga bunuh diri banyak terjadi.Semua nampaknya haus untuk mati.Beberapa wanita melemparkan uang emas kepada prajurit-prajurit kita sebagai upah untuk kematian yang diinginkan mereka.Banyak di antara mereka berdiri di hadapan prajurit-prajurit kita dan menuding jantung mereka sebagai isyarat agar mereka ditembak mati disana.Apabila mereka tidak ditembak mereka menikam dirinya sendiri.Orang tua bergerak diantara mayat-mayat yang bergelimpangan dan menikam kanan-kiri mereka yang luka sampai dia juga tertembak mati.Semua itu tidak dapat dihambat.Senantiasa muncul lagi orang lain untuk meneruskan tugas penghancuran itu. Sementara orang harus berhati-hati oleh karena rombongan warga kerajaan Badung yang kedua tiba, yang dipimpin oleh adik raja Denpasar dari lain ibu dan berumur 12 tahun, yang nampaknya hampir tidak sanggup memikul tombaknya yang panjang itu. Oleh Kapten Schutstal Van Woundenberg diperintahkan untuk berhenti.Mula-mula anak itu sejenak nampaknya ingin menuruti perintah tersebut sampai salah satu pengikutnya mendesak dia untuk meneruskan tugasnya. Serangan hebat terjadi dan pada waktu tembakan dilepas kepada pengikut-pengikutnya, anak muda itu disapu oleh peluru.Terkecuali beberapa di antara mereka yang mengundurkan diri di rumah-rumah dan beberapa dari mereka yang luka-luka dan kemudian disembuhkan, semua rombongan pahlawan-pahlawan ini menemui ajalnya yang mereka cari. Suatu tumpukan mayat ibarat gunung nampak di tengah-tengah lapangan kecil itu, tempat pertempuran itu terjadi.Isteri-isteri raja minta ditikam dengan keris, sedangkan mereka menutup jenazah raja dengan badan mereka. Banyak di antara mereka yang luka-luka menyeret dirinya mendekati jenazah raja untuk menutupinya dengan badan mereka.Jenazahnya tertimbun di bawah mayat-mayat lain dan dari timbunan itu masih kelihatan beberapa ujung tombak.Mungkin orang masih dapat membiasakan diri sekalipun sangat mengerikan untuk melihat tumpukan jasad prajurit-prajurit yang tewas di medan pertempuran. Akan tetapi melihat pertunjukan sebagaimana terjadi di Denpasar, orang tidak akan pernah dapat membiasakannya, oleh karena suatu puputan yang bukan saja membawa kematian prajurit-prajurit, tetapi juga wanita-wanita dan anak-anak, akan sangat merisaukan dan mengerikan sekalipun bagi mereka yang paling keras pendiriannya“
Setelah kejadian puputan diatas, pasukan Belanda meneruskan perjalanan sampai di Puri Denpasar.Sesampai di Puri Denpasar Mayor Jenderal Rost Van Tonningen memerintahkan beberapa prajurit untuk memeriksa keadaan Puri.Setelah itu Mayor Jenderal Rost Van Tonningen memerintahkan pasukan Belanda bergerak menuju Puri Pemecutan, dengan melalui beberapa pertempuran kecil sekitar jam 04:30 sore pasukan Belanda mendekati puri dan menemukan jenazah raja Pemecutan dengan pengiring-pengiringnya.
Sehubungan dengan peristiwa tersebut di atas Dr. H.M. Van Weede menuliskan laporan sebagai berikut:
“Demikianlah kami mendekati puri, sedangkan tembakan senjata berkurang.Sungai menuju jalan dari Denpasar ke Puri Pemecutan dilewati dan jam 16:30 sore kami berada ditengah-tengah perumahan rakyat wilayah Pemecutan kira-kira 400 meter jaraknya dari puri.Beberapa warga kerajaan Badung menunggu kami di sana dengan sikap menantang agar menembak mereka.Ketika permintaan mereka tidak dipenuhi mereka menyerang dengan tombaknya.Kami melihat akibat kerusakan-kerusakan atas penembakan meriam berkaliber 3,7 cm dan meriam-meriam pasukan kerajaan Badung yang ditinggalkan.Di belakang tembok puri kelihatan api menyembur ke angkasa yang nampak merah, karena mentari sudah mulai terbenam.Di rumah-rumah dan di jalan-jalan yang kecil terjadi pertempuran dan jatuh korban tiga serdadu Belanda.Letusan senjata mulai berkurang. Tiba-tiba jalan melebar ke kiri menuju lapangan kecil yang ditanami pohon-pohon dan dikelilingi oleh tembok. Setelah meriam-meriam mereka dibungkam oleh tembakan meriam pasukan kita, yang berkaliber 3,7 cm, ke sanalah raja dengan pengiring-pengiringnya termasuk wanita-wanita dan anak-anak berjumlah kurang lebih 100 orang menuju dan di tempat itu mereka semua membunuh diri tanpa dapat kami saksikan.Kami menemukan mereka tertumpuk semuanya.Raja Pemecutan terpendam oleh badan-badan pengikutnya yang setia seolah-olah mereka ingin memperlihatkan kesetiaan mereka melindungi rajanya sampai mati. Wanita-wanita muda yang paling jelita yang kami lihat di pulau Bali membantu disamping anak-anak mereka.Tandu keemasan raja dan barang-barang berharga lainnya berhamburan di tengah-tengah mayat.Demikian berakhirlah secara suka-rela dua keturunan raja, wakil dari keluarga yang paling terkemuka di kerajaan Badung.Akan tetapi mereka sadar bahwa dengan memperlihatkan keberanian yang luar biasa di medan pertempuran, mereka akan memperoleh pahala yang setimpal dari leluhur mereka yang telah mendahului mereka di nirwana”
1.4. Badung Periode 1906-1942 (Era Kolonial Belanda)
Segera setelah pasukan Belanda mendarat di pesisir Sanur, punggawa Abiansemal dan Sibang yang saat itu berada dibawah kekuasaan Klungkung menyerah kepada Belanda.I Gusti Made Ringkus dapat meyakinkan punggawa Abiansemal dan Sibang bahwa jika mereka ingin selamat mereka harus menyerah kepada pemerintah Belanda.Hal yang sama juga dilakukan agar punggawa Mengwi tidak mengirimkan bantuan kepada Puri Denpasar sebelum terjadinya Puputan Badung.
Tak lama setelah serbuan ke kerajaan Badung dimana raja Badung serta kerabat dan abdinya tewas, seorang komentator Belanda berpendapat bahwa “rakyat sangat lega karena rajanya yang lalim telah dilengserkan”(“Een en ander over Bali en zijne bewoners”,M. Van Geunsz,Soerabajasch,17 Desember 1906,hlm 16).Pada sebuah kuliah umum yang disampaikan oleh G.F. de Bruyn Kops (residen Bali dan Lombok periode 1905-1909) merinci situasi yang tidak bisa ditenggang di Badung dan Tabanan, yang mengharuskan serbuan pemerintah Belanda atas nama tatanan peradaban.
Di kerajaan-kerajaan tersebut, ditemukan keadaan yang tidak bisa lagi ditenggang oleh negara beradab yang berdaulat di wilayah itu: kondisi perang yang kronis, kekacauan yang sangat pihak penguasa, pembakaran janda, perbudakan, riba, penyelundupan besar-besaran dengan Jawa dan seterusnya.Seluruh pendapatan, seperti pajak, pembayaran kontrak-sewa dan denda, mengalir ke kantong raja, yang sedikit pun tidak membelanjakannya untuk kebaikan negeri dan rakyat, tapi memakainya demi keuntungannya sendiri.Jika seseorang mati tanpa meninggalkan anak lelaki, maka bukan saja hartanya menjadi milik raja, tapi janda dan anak perempuannya pun menjadi budak atau selir raja.Jika perselisihan antara dua pihak atas sebidang tanah tetap tidak terselesaikan, maka tanah yang diperkarakan itu langsung menjadi milik raja.Hukuman mati menjadi hukuman yang sangat umum, dan sering dijatuhkan tanpa penyelidikan apapun.
Puri Denpasar dan Puri Pemecutan diratakan dengan tanah untuk menghilangkan semua peninggalan dinasti Denpasar/Pemecutan.Di bekas Puri Denpasar dibangun rumah Asisten Residen Belanda.Pada tanggal 31 Agustus 1907 hari kelahiran Ratu Hilhelmina dirayakan untuk pertama kalinya di Badung.Dengan cepat pemerintah kolonial Belanda diperkenalkan di Badung, Denpasar nama baru dari Badung menjadi pusat administrasi pemerintah kolonial Belanda di Bali bagian selatan.Denpasar merupakan tempat dimana Controleur wilayah Badung, yang terdiri dari kerajaan Badung dan kerajaan Mengwi yang lama.Badung terdiri dari 15 distrik dan masing-masing distrik dipimpin oleh punggawa.Untuk menyederhanakan administrasi Controleur wilayah menggabungkan beberapa distrik menjadi satu sehingga wilayah Badung terdiri dari 5 distrik.
Pada tanggal 21 Januari 1917 pagi hari, pulau Bali bagian selatan dihatam oleh gempa bumi yang hebat.Walaupun berlangsung kurang dari 50 detik tetapi cukup untuk menghancurkan rumah-rumah, pura-pura dan puri-puri yang tidak terhitung jumlahnya.Banyak jalan, bendungan dan saluran air jebol karena hantaman banjir yang membawa arus lumpur besar sepanjang jalan melumpuhkan pertanian.Pada tanggal 21 Januari 1917 saja 1.350 orang meninggal dunia.Di Badung gempa mengurangi lahan produktif, dan antara tahun 1917 dan 1919 harga beras melonjak sampai lebih dari 400%.Pada saat bersamaan masyarakat dihadapkan dengan beban kerja yang semakin meningkat, karena terpaksa harus membantu memperbaiki jalan-jalan, bendungan dan saluran air, disamping membangun kembali rumah mereka yang hancur.
Pada tahun 1918 wabah influenza melanda seluruh pulau Bali, diperkirakan 22.300 orang di pulau Bali meninggal karena flu Spanyol tersebut.Puncak dari semuanya adalah pada tahun 1919 Bali selatan diserang hama tikus yang mengakibatkan gagal panen.
Pada tahun 1912 jumlah penduduk kerajaan Badung adalah 157.296 jiwa meningkat menjadi 173.314 jiwa pada tahun 1920.
Karena banyaknya permintaan terhadap anak muda yang berpendidikan Barat untuk mengisi bawahan birokrasi kolonial di Bali maka sebuah sekolah Belanda HIS (Hollandsch Inlandsche School) dibangun di Denpasar.Namun sekitar tahun 1920-an arus berubah ketika tokoh masyarakat semakin menonjol.”Apa yang harus kita lakukan dengan keberadaan orang Bali yang berbahasa Belanda itu?” tanya Controleur V.E. Korn.Kemudian dia menambahkan bahwa HIS hanya membentuk “intelektual setengah matang […] yang menjadi berbahaya dalam masyarakat primitif”.
Pemerintah kolonial memciptakan pengadilan pribumi model baru yang disebut dengan Raad Kerta dan kerja rodi.Kerja rodi secara resmi diumumkan pada Staatblad van Nederlandsch Indie pada tanggal 4 Desember 1923.Seorang dari tiap-tiap keluarga harus bekerja di jalan tanpa upah selama 36 hari setahun.Pada tahun 1920 di Bali Selatan terdapat tenaga rodi sebanyak 105.263 orang terdaftar.Pada tahun 1931 dibuat keputusan untuk mengurangi jumlah wajib kerja menjadi 25 hari per orang per tahun dan pada tahun 1938 dirubah lagi menjadi 20 hari.
Pada tahun 1927 diperkenalkan sistem pajak tanah yang baru, dampak pajak tanah yang baru tersebut membawa perubahan yang sangat drastis dimana jumlah tanah yang kena pajak jauh lebih luas dan pajak yang dikenakan pada sawah sangat tinggi.Di wilayah Badung pajak sawah meningkat 50%, sedangkan pajak harus dibayar dengan gulden.Sistem pembayaran pajak yang baru diawasi oleh Landrente Dienst (Dinas Pajak Tanah).Meskipun kaum pejabat kolonial di jawatan pajak tanah menentukan tarif pajak dan menegakkan tapal batas legal dan kemampuan produksi para pemilik tanah, namun Sedahan agung, Sedahan dan petugas pajak wilayah Badung yang bertanggung-jawab dalam pengumpulan pajak yang sesungguhnya.Pemerintah kolonial juga menggantikan sejumlah dam dengan sistem beton yang tidak bisa dihanyutkan oleh banjir tahunan.Di sepanjang sungai Ayung dari tahun 1914 sampai 1931 empat dam beton dibangun yang mengaliri 12.763 hektar sawah
Controleur Badung V.E. Korn menulis laporan:’Bali sangat unik dan lebih sangat tertata dibandingkan dengan daerah lainnya di Nusantara’.Dia juga berpendapat hendaknya pulau Bali ditutup dari dunia luar lainnya agar tidak terpengaruh dari budaya berbahaya lainnya.Ancaman yang dimaksud oleh V.E Korn adalah dunia islam dan meningkatnya rasa nasionalisme di pulau Jawa dan juga misionaris Kristen.Pada tahun 1932 sudah ada tanda-tanda ketika pengabar injil mulai aktif di Bali.
Pada tahun 1920-an pada masa pemerintahan Residen Beeukes membangun banyak proyek yang merupakan infrastruktur pariwisata seperti Jalan Singaraja-Baturiti-Mengwi dengan panjang 36 km, sedangkan di Denpasar dibangun jalan dengan panjangnya sekitar 250 km. Sebagai gambaran pada tahun 1927 di kota Denpasar sudah terdapat 3.000 sepeda, 261 dokar, 71 mobil pribadi, 44 truk dan 46 bus.
Pada tahun 1920-an sudah banyak bermukim pengusaha asing di Pulau Bali diantaranya: Jacob Minas orang Armenia pengusaha Bioskop bekerja sama dengan pengusaha Amerika Andre Roosevelt, wakil American Express Thomas Cook.Kurun waktu yang sama terdapat pengusaha Bali yang terkenal paling kaya yaitu Fatimah mantan istri raja Klungkung yang memiliki armada taksi, pertenunan dan perhiasan perak di Beratan Singaraja.Pada tahun 1920-an wisatawan Eropa banyak berkunjung ke Bali Selatan dengan tujuan objek wisata Kintamani,Goa Gajah, Tirta Empul,Gunung Kawi, Kerta Gosa Klungkung, Goa Lawah, Museum Bali.Kapasitas akomudasi Bali Hotel saat didirikan tahun 1928 yaitu 48 Kamar Tidur.Hingga tahun 1930-an di Pulau Bali sudah ada beberapa hotel dan Pesanggrahan yaitu : Bali Hotel dengan 48 Kamar tidur, Hotel Satria sebuah hotel milik keturunan Tionghoa dengan 16 Kamar tidur, KPM Bungalow Hotel di Kintamani dengan 6 Kamar tidur dan beberapa Bungalow yang dikelola orang Amerika di Kuta.
Berdasarkan catatan Official Tourist Bureau pada tahun 1924 tercatat 213 wisatawan dan pada tahun 1929 tercatat 1.428 wisatawan.Pada tahun1930-an rata-rata 3.000 wisatawan berkunjung ke Bali.Pada tahun 1934 mulai dibuka pelayaran bolak-balik Gilimanuk-Ketapang Banyuwangi.Pada tahun 1938 dibuka bandar udara Tuban yang melayani penerbangan Surabaya-Denpasar.
Untuk mendukung pemerintahan kolonial Belanda di Bali Selatan Pemerintah Belanda membangun rumah sakit pertama di Bali Selatan yaitu Rumah Sakit Wangaya pada tahun 1921 dengan fasilitas 30 tempat tidur dimana 15 tempat tidur untuk pasien Eropa dan Cina sedangkan 15 tempat tidur sisanya untuk pasien pribumi.Pulau Bali tahun 1930-an makin dikenal di Amerika dan Eropa dengan bermukimnya para seniman dan sastrawan Eropa dan Amerika yaitu:Gregor Krause (Dokter-Jerman), Miguel Covarrubias (Penulis-Meksiko), Vicki Baum (Penulis-Austria), Walter Spies (Pelukis-Jerman), Clin McPhee (Komponis-Kanada), Rudolf Bonet (Pelukis-Belanda),Roland Starsser (Pelukis-Austria), Theo Meier (Pelukis-Swiss), Andrien-Jean Le Mayeur De Merpres (Pelukis-Belgia) dan Willem Hofker (Pelukis-Belanda).
Pada tahun 1930-an pulau Bali menjadi daerah penting bagi penelitian antropologi.Para ilmuwan Barat seperti Jane Belo, Gregory Bateson dan Margaret Mead menyebut pulau Bali daerah statis dan penuh keseimbangan.Gambaran-gambaran tentang pulau Bali yang populer seperti yang dikemukakan oleh Miguel Covarrubias dan Hickman Powell memperkuat citra ini.Citra yang dibangun untuk pulau Bali menjadi meyakinkan melalui pengulangan dan wisatawan menemukan apa yang ingin mereka cari. Pada tahun 1938 pemerintah kolonial Belanda terlibat perang di Asia dengan Jepang.Untuk kebutuhan pertahanan, pemerintah kolonial pada tahun 1938 mendirikan Korps Prayoda yang merupakan balabantuan tentara pribumi.Di pulau Bali Korps Prayoda dipimpin oleh hanya segelintir orang Belanda yang berada di pulau Bali.Sebagai gambaran populasi orang Belanda di pulau Bali tahun 1938 kurang dari seratus orang.Menurut statistik yang dikeluarkan pemerintah Belanda tahun 1941, hanya terdapat 63 orang Eropa dari 1.100.396 penduduk pulau Bali.
1.5. Badung Periode 1942-1946 (Era Pendudukan Balatentara Jepang)
Balatentara Jepang mendarat di pantai Sanur pada tanggal 18 Februari 1942, dengan tiba-tiba merobohkan pemerintah kolonial Belanda di pulau Bali.Korp Prayoda di pulau Bali dibubarkan tanpa alasan yang jelas oleh pemerintah kolonial Belanda.
Ketika diketahui dengan jelas oleh pemerintah kolonial Belanda di pulau Bali bahwa batatentara Jepang akan segera mendarat di pulau Bali,perwira komandan KNIL (Koninklijk Nederlands Indisch Ledger) memerintahkan pasukan Korps Prayoda untuk mundur ke pedalaman dari sebelumnya berkedudukan di sepanjang pantai selatan pulau Bali, kota Denpasar dan lapangan terbang Tuban.Di desa Penebel komandan KNIL dilaporkan memerintahkan para anggota Korps Prayoda meletakkan senjata dan perlengkapan tempur lainnya, melepaskan seragam Korps Prayoda dan memerintahkan para anggota Korps Prayoda untuk pulang ke rumah masing-masing.Tidak jelas selanjutnya apa yang dilakukan para perwira KNIL dan pegawai sipil pemerintah kolonal Belanda setelah itu.Setidaknya beberapa dari mereka ditangkap balatentara Jepang dan dikirim ke kamp-kamp tawanan di Jawa, serta sebagian lainnya sudah kabur ke pulau Jawa yang belum diduduki balatentara Jepang.
Karena kekaguman atas kemenangan balatentara Jepang dengan sekejap, penduduk pulau Bali tidak melakukan perlawanan kepada balatentara Jepang.Malah para cendikiawan dan kaum nasionalis secara terang-terangan menyambut balatentara Jepang sebagai pembebas yang menyapu habis penjajah Belanda.Tidak sedikit penduduk pulau Bali lari kepedalaman untuk bersembunyi, namun dalam beberapa bulan saja balatentara Jepang dapat meyakinkan penduduk untuk kembali ke kota dan melakukan kegiatan seperti sebelumnya.Siaran radio Jepang pada tanggal 27 Maret 1942 memberikan gambaran tentang kehidupan di pulau Bali sebagai berikut:
“Warga Indonesia di pulau Bali hidup tenteram dibawah control tentara jepang…Bus-bus berjalan seperti sebelumnya, dan jalan-raya yang dihancurkan Belanda sudah diperbaiki oleh Barisan Pekerja Sukarela Indonesia.Tiga ribu warga Cina yang mengendalikan kegiatan bisnis telah dipulangkan dan bekerja sama penuh dengan pihak yang berwenang militer Jepang” bersumber pada O.S.S. Research and Analysis Branch, Programs of the Japanese Government in Java and Bali (Honolulu, 1945) hlm 35.
Menurut penjelasan Nyoman Pendit, seorang pemuda yang kala itu tinggal di Denpasar “pada awal tahun 1943 rakyat sibuk membantu usaha Jepang disegala bidang.Keamanan umum dijamin, sekolah-sekolah berjalan dengan lancar, para pegawai sipil bekerja dengan semangat baru dan segar.Ekonomi berjalan lancar dan ketidak-taatan kepada hukum dan peraturan nyaris tidak ada”.
Sejak tahun 1942, perekonomian pulau Bali dibangun untuk kebutuhan perang Jepang, karena pertempuran dengan sekutu berlarut-larut maka pihak penguasa Jepang melaksanakan program intensif produksi pertanian.Sebuah siaran radio pada tanggal 30 April 1944 mengumumkan bahwa:
“administrasi militer mulai memperkuat strukturnya sehubungan dengan situasi perang pada awal tahun ini.Artinya,…kemampuan produksi pangan ditujukan untuk meningkatkan swasembada di berbagai wilayah.Wilayah-wilayah termasuk Sulawesi selatan, Bali, Lombok…dan Sulawesi utara, Kalimantan selatan dan barat, dikerahkan dalam perjuangan meningkatkan produksi.” bersumber pada O.S.S. Research and Analysis Branch, Programs of the Japanese Government in Java and Bali (Honolulu, 1945) hlm 135.
Ciri utama sistem perekonomian penjajah Jepang adalah jaringan perusahaan yang didukung pemerintah Jepang terdiri dari:
1. Mitsui Bussan Kaisha untuk membeli, menggiling dan mendistribusikan beras 2. Mitsui Norin Suisanka untuk budi daya aneka produk pertanian termasuk kapas, padi dan sayuran 3. Mitsui Chusan Kai untuk pembelian ternak serta pengalengan dan pengeringan daging 4. Tubuno untuk memproses minyak kelapa 5. Ibnomaru untuk pembelian ikan dan industri yang terkait dengan ikan serta pembuatan kapal perikanan 6. Hakiai Kumiai untuk penjatahan dan pendistribusian kain.
Beras dan bahan pokok lainnya ditagih menurut sistem jatah atau dibeli dengan harga yang dipatok dengan murah melalui Mitsui Bussan Kaisha.Menurut sebuah laporan yang ditulis bulan Oktober 1944, seorang pejabat di Pulau Bali tidak pandang bulu menarik 30% dari hasil produksi disetiap rumah tangga,”tanpa memperdulikan mereka sedang kekurangan”.
Kerja paksa juga menimpa penduduk pulau Bali, mungkin sistem perekrutan tenaga kerja yang paling kejam adalah Barisan Pekerja Sukarela Bali (BPSB, juga dikenal sebagai Romusha).Antara bulan Juli sampai November 1944, sekitar 2.500 pemuda pulau Bali direkrut BSPB, yang dijelaskan akan di kirim ke pulau Kalimantan dan Sulawesi untuk membuka persawahan baru dan akan menerima makanan dan pakaian yang cukup.Namun pada kenyataannya brigade BSPB tersebut diperintahkan membabat hutan, membangun jalan, menggali gua dan mendirikan benteng untuk balatentara Jepang, di kawasan-kawasan kepulauan terpencil dan dalam kondisi menyengsarakan.
Organisasi masa pertama dan terbesar yang berdiri di pulau Bali adalah Seinendan (Perkumpulan Pemuda) yang dikendalikan oleh Sendenbu (Dinas Propaganda Jepang) pada bulan November 1943.Permulaan anggotanya melakukan latihan bersifat militer namun tanpa senjata kecuali bambu runcing.Pada tahun 1944 dibentuk PETA (balabantuan Angkatan Darat), Kaigun Heio (balabantuan Angkatan Laut), Kaibondan (balabantuan Angkatan Udara) dan Bo’ei Teisin Tai (pasukan bunuh-diri).Pada tanggal 2 Februari 1944 pendaftaran PETA di pulau Bali dilakukan, dan pada tanggal 6 April 1944 anggota PETA pertama dilantik.Siaran radio yang menyatakan suasana pelantikan anggota PETA:
“Berseragam militer, mereka [calon anggota PETA] diinspeksi oleh komandan Angkatan Laut dan Angkatan Darat.Menyusul inspeksi ini, mereka menyimak amanat komandan Angkatan Darat yang menegaskan tentang besarnya tanggung jawab yang mereka emban selaku pemimpin Tentara Angkatan Darat Sukarela, dan mendorong mereka untuk menjalani latihan militer yang keras dengan keyakinan yang tiada tergoyahkan akan kejayaan, dan untuk menyadari bahwa mereka adalah rakyat Asia Timur Raya” bersumber pada O.S.S. Research and Analysis Branch, Programs of the Japanese Government in Java and Bali (Honolulu, 1945) hlm 103.
Setelah selesai latihan, para anggota PETA ditugaskan disalah satu dari daidan (batalion PETA) yang bermarkas di Jembrana, Kediri dan Gunaksa.Menurut sumber Angkatan Darat Jepang, ketika secara resmi dibubarkan pada bulan Agustus 1945, PETA memiliki 1.625 prajurit dan perwira di pulau Bali, dilengkapi dengan 1.121 senjata, kebanyakan senapan dan pistol.
Pada bulan Maret 1945, Jepang secara besar-besaran mengurangi senjata dan amunisi yang dipegang oleh batalion PETA Bali, dan memindahkan barang sitaan itu ke markas di lapangan terbang Tuban, 12 km kearah selatan kota Denpasar.Pada tanggal 16 Agustus 1945, sebelum kabar penyerahan Jepang diketahui oleh penduduk pulau Bali, batalion-batalion PETA dilucuti dan dibubarkan tanpa keterangan.Beberapa kesatuan PETA tampaknya masih memegang senjata dan amunisi berkat bantuan pelatih Jepang mereka.
Pada tanggal 23 Agustus 1945 I Gusti Ketut Puja kembali ke pulau Bali dari Jawa setelah ditunjuk oleh Sukarno menjadi gubernur Republik untuk Sunda Kecil.Pada tanggal 31 Agustus terbentuklah KNI (Komite Nasional Indonesia) dan juga BKR (Badan Keamanan Rakyat), selain itu juga terbentuk Pesindo (Pemuda Sosialis Indonesia) dan PRI (Pemuda Republik Indonesia) pada pertengahan November 1945.Sejumlah pemuda pulau Bali saat mereka di Jawa sempat menyaksikan bagaimana pemuda di Jawa bertindak sesudah Jepang menyerah, pemuda-pemuda tersebut yang kembali ke Bali pada bulan Oktober dan November 1945 dengan diilhami perlawanan yang sudah berlangsung di kota-kota besar di Jawa, pemuda-pemuda tersebut melakukan tindakan yang serupa untuk memanfaatkan kesempatan politik yang tercipta akibat kekalahan Jepang.
Pada tanggal 1 Oktober 1945, radio di Denpasar dan Singaraja menerima kabar bahwa republik telah diakui oleh Cina, Uni Sovyet dan Amerikat.Mendengar berita tersebut meledak suka-cita, hiruk-pikuk massa yang menuntut agar Jepang menyerahkan kekuasaan politik kepada republik.
Administratif sipil secara resmi diberikan kepada Gubernur I Gusti Ketut Puja dan KNI pada tanggal 8 Oktober 1945, namun wewenang kaum republik masih dijaga ketat oleh kekuatan balatentara Jepang yang sampai januari 1946 dilaporkan masih sebanyak 3.136 tentara berada di pulau Bali.
Pada tanggal 13 Desember 1945 kaum republik menyerang pusat-pusat militer Jepang dengan maksud merebut senjata balatentara Jepang, namun dapat digagalkan oleh pihak balatentara Jepang.Akibat serangan 13 Desember 1945 tersebut, para pemimpin KNI ditangkap dan baru dibebaskan dari penjara pada tanggal 21 Januari 1946 setelah mengakui wewenang Dewan raja-raja dan Paruman Agung yang dibentuk bulan Januari 1946.
1.6. Badung Periode 1946-1950 (Era pendudukan NICA)
Menyerahnya Jepang di Bali diketahui sejak tanggal 23 Agustus 1945, namun baru pada tanggal 2 Maret 1946 empat batalion (2.000 pasukan) NICA mendarat di Sanur dan Benoa.Tinjauan umum rahasia Dinas Intelejen Tentara Belanda (Nefis) tentang keadaan di Bali dari tanggal 22 sampai 28 Maret 1946 melaporkan “anarki merajalela dimana-mana dan teror merupakan masalah serius” (Sumber:”Geheim Militaire Overzicht - Nefis”, no. 5, 22 Maret 1946).Seorang pejabat NICA menulis:”Pulau yang dulu begitu tenteram kini terpuruk oleh teror para pemuda revolusioner, terutama di kerajaan Tabanan dan Badung, yang rawan menimbulkan kerusakan total pada sistem sosial Bali yang teratur rapi…Selama penjahat ini tidak diperangi, pemerintah yang normal di Bali tidak bisa diharapkan”(Sumber:”Officiele Bescheiden Betreffende de Nederlands-Indonesische Betrekkingen,1945-1950”,S.L. van der Wal, ed.,vol. 4, dok. No. 33,hlm 84).Dalam beberapa bulan pertama setelah Belanda kembali ke Bali, ratusan orang Bali dibunuh oleh pasukan KNIL dan balabantuan Bali mereka, dan ribuan ditangkap sebagai tawanan.Pada tanggal 11 Maret 1946 tanpa perlawanan, NICA menangkap Gubernur I Gusti Ketut Puja dan para pejabat republik lainnya di Singaraja, menduduki kembali kantor yang merupakan bekas rumah residen Belanda dan mengibarkan bendera Belanda.
Letnan Gubernur Jenderal Hubertus J. Van Mook secara pribadi menyurati komandan KNIL, Kolonel H.J. de Vries, sebelum pendaratan KNIL di pulau Bali di bulan Maret 1946 sebagai berikut:
“Kalau kita berperilaku tidak patut, menembak sembarangan, mengeksekusi tanpa penyelidikan yang benar, dan merusak pura, hutan sakral atau tempat-tempat suci lainnya karena sembrono, maka kita akan menghancurkan Negeri Belanda di Bali, dan bukan saja di Bali, tapi juga di mata dunia, dimana pemulihan pengaruh Belanda di Hindia amat bergantung padanya” Bersumber pada “Van Mook kepada Hr. CLG, 22 Februari 1946, Alg. Sec. I, Kist XXII, no. 19,ARA”
Di Badung setelah empat tahun pendudukan Jepang,Cokorde Alit Ngurah dari Puri Satria masih memegang kekuasaan politik namun lemah secara ekonomi.Karena dua putranya Cokorde Ngurah Agung dan Cokorde Bagus Sayoga aktif dalam KNI (Komite Nasional Indonesia) dan BKR/TKR, Cokorde Alit Ngurah tidak bersedia mengambil tindakan keras terhadap gerakan republik.I Gusti Ngurah Gde Pemecutan dari Puri Pemecutan yang lebih kuat secara ekonomi dan lebih berpengaruh di Denpasar bagian barat juga aktif dalam pergerakan nasional sejak tahun 1930-an.Di bulan juni 1946 NICA memecat Cokorde Alit Ngurah sebagai raja Badung dan melimpahkan gelar raja kepada I Gusti Ngurah Gde Pemecutan.Langkah NICA tersebut terbukti berhasil melemahkan gerakan kaum republik.
Sebuah pedoman yang disusun oleh Kapten J.B.T. Konig seorang perwira Brigade Bali/Lombok untuk batalion pasukan penyerbu Belanda yang tiba di Bali pada bulan Juli 1946 yaitu:
“Orang Bali adalah manusia Oriental yang luar biasa.Mereka sangat cinta akan seni, dan terungkap dalam musik, tari-tarian, pahatan dan kerajinan perak.Walaupun terkalahkan karena pengecut, orang Bali percaya diri sehingga sangat bebas bergaul dengan orang lain, termasuk orang Eropa, tetapi dengan cara yang enak.Mereka jenaka dan suka berkelakar.Watak ini jelas merupakan sebagian dari alasan kenapa tourisme sukses besar disini” Bersumber dari “Mededeeling gegevens Bali – bestemd voor 8 Regiment Stoottroepen by aankomst te Singaraja op 22 juli 1946”, dalam Bundel “Ned. Indie 1945-1950, le en 2e Pol. Actie – Regiment Stoottroepen VIII, Bali, Zuid Sumatra”, boks 0141, SMG.
Menurut laporan Ter Mulen, pada minggu pertama di bulan April 1946 sebanyak 52 penduduk Bali telah dibunuh dan banyak lagi yang terlukai oleh KNIL.Menurutnya korban tersebut sebagian besar “pemuda yang sangat tidak penting, atau orang Bali yang hanya bertindak dibawah ancaman para anggota lain gerakan perlawanan”, dan bahkan seorang perempuan dan anak kecil yang tak punya kaitan apapun dengan gerakan perlawanan (Sumber:”Commandementsorder No. 1”,Letkol F.H. ter Muelen,8 April 1946).
Pameran dan penjualan karya seni orang Bali di luar negeri dalam pandangan Van der Plas, “bukan merupakan khayalan lagi memiliki pengaruh yang baik di Amerika Serikat terhadap pemulihan pemerintahan kolonial Belanda”, karena akan membuat kesan bahwa pemerintah Belanda bertanggung-jawab atas perbaikan budaya Bali.Van Mook khususnya sadar akan penanganan Belanda terhadap pulau Bali dalam pembentukan pendapat di Amerika Serikat atas negeri Belanda ”Menimbang pendapat umum di Amerika Serikat tidak menyenangkan terhadap pulihnya wewenang Belanda di Hindia-Belanda, tindak-tanduk kita di pulau Bali akan menjadi sangat penting dalam menentukan posisi Amerika Serikat”.
Ditahun 1948, David Wehl menjelaskan bahwa pada saat pendaratan pasukan NICA dibulan Maret 1946:”Semua orang tahu pulau Bali, dan operasi ini berlangsung di tempat yang bergelimang keglamoran dan publisitas seperti layaknya perkawinan bintang film…Pasukan Belanda…disambut oleh penduduk setempat, para gadis Bali yang termasyhur itu menyapa mereka” Sumber “Birth of Indonesia”,Wehl,hlm. 106.
Berdasarkan perintah dari Mayor Jenderal Urip Sumoharjo dari Jawa yang dibawa oleh I Gusti Ngurah Rai (mantan perwira Korp. Prayoda dan komandan TKR Sunda Kecil) sekembalinya dari Jawa pada bulan April 1946, berbagai organisasi perlawanan yang dibuat disatukan dibawah satu komando yaitu MBU-DPRI.I Gusti Ngurah Rai berangkat ke Jawa pada bulan Desember 1945, dalam rangka mencari dukungan dan pengakuan atas gerakan perlawanan terhadap aksi pendudukan NICA di pulau Bali.I Gusti Ngurah Rai kembali ke pulau Bali pada tanggal 4 April 1946 dengan menyandang pangkat letnan kolonel.Kira-kira hingga dua bulan kemudian membengkak jumlah tentara kaum republik di Bali (diperkirakan 1.500 laki-laki dan perempuan) berpusat di sebuah kubu pertahanan di kawasan pegunungan di Munduk Malang.Semua persenjataan yang diperoleh dikumpulkan untuk membuat satu kesatuan tempur bersenjata lengkap.
Atas saran Made Wija Kusuma tanggal 1 Juni 1946, I Gusti Ngurah Rai memutuskan untuk melakukan long march ke arah timur lewat Buleleng, Bangli dan Karangasem menuju Gunung Agung yang berlangsung hingga akhir Juli 1946.Selama long march berulang kali pasukan I Gusti gurah Rai diserang oleh pasukan KNIL yang bersenjata lengkap dan menderita banyak korban.Dibawah tekanan para aktivis pemuda, MBU-DPRI dibagi menjadi tiga kesatuan yang lebih kecil.Salah satu dari kesatuan dikomandoi oleh I Gusti Ngurah Rai, yang secara praktis memegang semua korps perwira militer profesional yang masih ada di pulau Bali yang sebagian besar bersenjata.Kesatuan yang dipimpin oleh I Gusti Ngurah Rai inilah yang keseluruhan gugur dalam pertempuran di dekat desa Marga yang disebut dengan Puputan Margarana, dimana 96 orang gugur termasuk I Gusti Ngurah Rai.
Segera setelah peristiwa Marga, pada tanggal 22 November 1946, MBU-DPRI menggelar rapat darurat di desa Buahan untuk memilih pimpinan sementara.Sesudah 22 November 1946, Made Wija Kusuma pemuda yang baru berusia 23 tahun pada saat itu terpilih sebagai sebagai pimpinan MBU-DPRI.
Empat minggu setelah peristiwa Marga yaitu tanggal 18-24 Desember 1946 diselenggarakan konferensi Denpasar yang disponsori oleh NICA.Dari konferensi ini terbentuk NIT (Negara Indonesia Timur), delegasi pulau Bali diwakili oleh Cokorde Gde Raka Sukawati, Anak Agung Gde Agung, Gde Paneca, I Gusti Bagus Oka, Anak Agung Nyoman Panji Tisna dan Made Mendra.Van Mook membenarkan terbentuknya NIT, dengan mengacu pada Persetujuan Linggarjati antara Belanda dan Republik di Jawa yang dibuat pada bulan November 1946 dan diratifikasi di Negeri Belanda pada tanggal 25 Maret 1947. Sebuah partai politik yang bernama Parrindo didirikan di Denpasar pada tanggal 6 Desember 1946 yang diketuai oleh I Gusti Putu Merta dan pimpinan lainnya adalah: Ida Bagus Pidada, I Ketut Mandera, I Gusti Putu Oka, I Gde Putra, Ida Bagus Mahadewa dan I Gde Puger.Walaupun tidak melakukan radikalisme partai Parrindo dilarang pada bulan Juni 1947, dengan alasan Parrindo punya kaitan dengan gerakan perlawanan ilegal (Penghubung organisasi MBU-DPRI dan Parrindo adalah MKP/Markas Kota Pusat di Denpasar.MKP dibentuk pada tanggal 20 April 1947, namun sebagian besar pimpinannya termasuk I Gde Puger dan Ida Bagus Mahadewa dipenjarakan setelah tertangkap pada bulan Maret 1948).
Pada bulan April 1947 sekretaris MBU-DPRI Kompyang Sujana mengemukakan: ”terlalu banyak perhatian yang tercurahkan untuk urusan pertempuran, sementara sedikit perhatian diberikan kepada penduduk dan tugas organisasi…sehubungan dengan itu disarankan agar digunakan tindakan militer jika diperlukan saja” (Sumber “Tournee Verslag”, 17-25 April 1947).
Setelah Agresi Militer I dan pendudukan kota Jakarta oleh Belanda pada tanggal 21 Juli 1947, tindakan pembunuhan, pembakaran, penculikan kembali dilakukan oleh greliyawan dan pejuang MBU-DPRI kepada kepada kaum kolaborator NICA di pulau Bali, dari tanggal 21 Juli 1947 hingga bulan Mei 1948 tercacat 195 orang meninggal dipihak KNIL dan 267 orang meninggal dipihak greliyawan dan pejuang MBU-DPRI.
Pada tanggal 15 September 1947, Cokorde Gde Raka Sukawati mengirim telegram ke Den Haag, yang memperingatkan bahwa pemindahan pasukan KNIL dari Bali ke Jawa di bulan Juli dan Agustus 1947 telah menyebabkan meningkatnya teror dan pembunuhan para kolaborator Belanda di pulau Bali.Telegram ini memohon penambahan pasukan KNIL di pulau Bali untuk mencegah kekacauan mutlak.Isi telegram ini dengan cepat disampaikan ke pemerintah dan militer di Batavia, sehingga pada tanggal 19 September 1947, pemerintah Hindia Belanda di Batavia mengirim telegram kepada Cokorde Gde Raka Sukawati dengan pesan:”Telah menerima telegram anda dengan keprihatinan mendalam…Penambahan pasukan Bali sedang digodok”.Esoknya Kepala Staf Umum KNIL, Mayor Jenderal Buurman Van Vreeden, mengeluarkan perintah kepada komandan Angkatan Darat KNIL untuk mengirim dua kompi penuh ke pulau Bali sebelum akhir September 1947.
Pada tanggal 16 Oktober 1947, Cokorde Gde Raka Sukawati menulis surat pribadi kepada Van Mook, untuk meminta tambahan pasukan yang lebih banyak lagi untuk memadamkan perlawanan di pulau Bali. Cokorde Gde Raka Sukawati dalam telegramnya mengungkapkan:”Terorisme yang tidak terkendali dalam beberapa bulan terakhir, merupakan bukti dari karakter totaliter gerakan perlawanan dan fanatisme, yang tidak terkontrol oleh sebiji pertimbangan kemanusiaan pun, dari orang-orang dan pemuda yang keblinger ini, dalam keadaan seperti ini apa yang dibutuhkan adalah bentuk keadilan yang cepat, jelas dan gampang dipahami rakyat…tanpa formalisme yang tidak pada tempatnya”(Sumber : Sukawati kepada Van Mook,”Toepassing Standrecht voor Bali”, 16 Oktober 1947, memo, Arsip Boon)
Pemilihan umum untuk Paruman Agung diselenggarakan pada tahun 1947, namun di kerajaan Badung dan Buleleng dimana kandidat kaum Nasionalis menang mutlak hasilnya dibatalkan.Inisiatif pembatalan datang dari Dewan Raja-Raja, yang mengklaim bawa “para ekstrimis” telah menekan rakyat Badung dan Buleleng supaya memilih kandidat yang dikehendaki oleh mereka.Etos anti-demokratis juga terjadi pada parlemen NIT yang menyangkut pulau Bali.Delapan wakil di parlemen tidak dipilih namun ditunjuk bersama oleh Dewan Raja-Raja dan Paruman Agung di bulan Desember 1947.
Ketika tekanan terutama dari Amerika dan Sovyet terhadap Belanda untuk kembali ke meja perundingan, pada tanggal 17 Januari 1948 perundingan kembali dilakukan dengan dihasilkan Perjanjian Renville, dimana dinyatakan bahwa NIT merupakan pasangan setara dari Republik Indonesia yang diakui oleh republik.
Mulai akhir bulan Januari 1948, Residen Bali & Lombok Boon dan ketua Dewan Raja-Raja menyebarkan pamflet menggunakan pesawat terbang ke kubu-kubu yang dikuasai oleh greliyawan dan pejuang MBU-DPRI yang menghimbau agar para pejuang menyerahkan diri, karena Republik Indonesia di Pulau Jawa telah mengakui NIT dan perjanjian gencatan senjata telah tercapai dengan Republik Indonesia di Pulau Jawa (Sumber: “Politiek Verslag van de Residentie Bali en Lombok, 2e h. January 1948”).
Antara tanggal 15 Januari 1948 hingga 15 Maret 1948, sekitar 3.500 greliyawan dan pejuang MBU-DPRI menyerah dikawasan basis greliya di kerajaan Badung dan Buleleng.11 orang penasehat terdekat Made Wija Kusuma dan lima letnan dalam pasukan Elit yang dipimpin oleh I Gde Puger tertangkap dan 4 greliyawan pasukan Elit lainnya yang dipimpin oleh I Keredek terbunuh di kerajaan Tabanan.
Pada tanggal 24 Mei 1948 MBU-DPRI mengeluarkan “Instruksi Istimewa”, dan dalam sepekan kemudian lebih dari 1.000 greliyawan dan pejuang DPRI dengan tertib menyerahkan diri memasuki kota-kota besar di pulau Bali untuk menyerahkan diri kepada rajanya masing-masing.Kelompok kecil yang bertahan di pegunungan setelah bulan Mei 1948 mendirikan berbagai organisasi bawah-tanah yang dipimpin masing-masing oleh: Poleng (Ida Bagus Tantra), Cilik (I Nengah Tamu), Sentosa (Cokorde Anom Sandat) dan Nyoman Buleleng (seorang mantan serdadu Jepang).
Agresi Militer Belanda II pada tanggl 19 Desember 1948 yang menduduki ibukota Republik Indonesia di Yogyakarta memicu resolusi PBB dan perlawanan militer yang sengit serta pemogokan penduduk sipil di Jawa.Adanya resolusi genjatan senjata PBB pada tanggal 28 Januari 1949, dan tekanan Amerika Serikat terhadap Negeri Belanda agar mengakui kemerdekaan Indonesia ditengah bukti pasukan Belanda kian terdesak karena boikot Amerika Serikat terhadap peralatan militer Belanda. Pada tanggal 3 Maret 1949, Keresidenan Bali & Lombok dihapus, dan pulau Bali secara resmi menjadi salah satu dari 13 daerah yang dimiliki oleh NIT, residen Bali & Lombok Boon menyerahkan kendali pemerintahan kepada ketua Dewan Raja-Raja Anak Agung Gde Oka adik kandung Anak Agung Gde Agung.
Pada tanggal 12 Maret 1949, penjara-penjara di pulau Bali dipenuhi dengan para tawanan politik, tercatat 1.505 tawanan politik yang ditawan di penjara dan 616 tawanan politik yang ditawan di kamp-kamp militer (Sumber : laporan Controleur Hans Snelleman tanggal 12 Maret 1949, dari Arsip Residen Bali dan Lombok Boon).
Pada tanggal 7 Mei 1949 ditanda-tangani Perjanjian Roem-Van Royen.Menjelang Akhir Juni 1949 para pemimpin Republik Indonesia kembali ke Yogyakarta.Meningkatnya tekanan PBB dan Amerika Serikat kepada Negeri Belanda serta para kritikus dalam negeri di Belanda, mempengaruhi pendirian para pemimpin negara federal bentukan NICA, yang menyebabkan para pemimpin negara federal menyeberang ke pihak republik.Peristiwa itu membuahkan konferensi Inter-Indonesia yang diselenggarakan di Yogyakarta 19-22 Juli 1949 dan di Jakarta/Batavia 30 Juli-2 Agustus 1949 yang membangun landasan negara-negara Serikat dan Republik Indonesia menjadi RIS (Republik Indonesia Serikat).
Disemangati konferensi Inter-Indonesia di Yogyakarta serta di Jakarta/Batavia dan rencana akan diadakan konferensi meja bundar, kaum republik di pulau Bali membentuk partai pro-Republik yaitu GNI (Gerakan Nasional Indonesia) pada tanggal 17 Agustus 1949 di Denpasar yang dipimpin oleh Ida Bagus Putra Manuaba dan I Made Mendra.GNI menghimbau pemerintah NIT agar membebaskan seluruh tawanan politik yang tidak melakukan tindak kriminal.Setelah para tawanan politik dibebaskan, beberapa bulan berikutnya berdirilah banyak organisasi, salah satu organisasi tersebut adalah Gerpindo (Gerakan Pemuda Indonesia) yang didirikan pada tanggal 5 September 1949 yang dipimpin oleh Anak Agung Bagus Suteja, I Gde Puger dan Ida Bagus Mahadewa.Gerpindo lebih aktif dan lebih militan dibandingkan dengan GNI, karena dipimpin oleh para pemuda yang punya basis politik yang lebih luas dan lebih kokoh.
Organisasi-organisasi yang dipimpin oleh keempat orang kelompok kecil yang bertahan dipegunungan pada akhir November 1949 digabungkan menjadi Lanjutan Perjuangan yang kemudian pada tanggal 4 Januari 1950 berganti nama menjadi PDRI (Pemerintah Darurat Republik Indonesia).Sesudah tahun 1950, greliyawan dan anggota PDRI mengikuti Poleng masuk PSI (Partai Sosialis Indonesia) sedangkan mantan greliyawan dan pejuang MBU-DPRI bergabung dengan PNI (Partai Nasionalis Indonesia) dan PKI (Partai Komunis Indonesia).
1.7. Badung Periode 1950-1966 (Era Republik Indonesia-Sukarno)
Pada bulan Januari 1950, sebuah komisi militer yang dipimpin oleh Kapt. Andi Yusuf dikirim ke Bali dari Komando Teritorial RIS untuk Indonesia Timur guna mengkoordinasikan untuk menghentikan gerakan greliyawan kaum republik di pulau Bali.Komandan Teritorial RIS untuk Indonesia Timur, Letkol Mokoginta, memerintahkan semua greliyawan dan pejuang di wilayah NIT agar menyerahkan diri kepada komisi militer tersebut sebelum 16 Januari 1950.Namun pada tanggal 15 Januari 1950 hanya pemimpin PDRI yang menyerah kepada komisi militer tersebut, karena keputusan yang dikeluarkan oleh ketua Dewan Raja-Raja pada tanggal 12 Januari 1950, menyatakan bahwa pejuang kemerdekaan hanya akan dianugerahkan kepada para greliyawan yang tidak pernah ditangkap atau dipenjarakan.Semua mantan anggota DPRI yang aksesnya ke militer ditolak, mengalihkan perhatian ke dalam perebutan jabatan politik dan birokrasi.Akibat tindakan komisi militer yang dipimpin oleh Kapt. Andi Yusuf itu, menimbulkan perselisihan antara mantan greliyawan DPRI dan PDRI dan menimbulkan pertengkaran dan perkelahian terbuka setelah Kapt. Andi Yusuf meninggalkan pulau Bali.
Sakit hati mantan pejuang PDRI menjadi-jadi tatkala dari beberapa ratus pejuang PDRI hanya sekitar 200 pejuang yang diterima di batalion Arjuna yang dibentuk untuk menampung kaum pejuang pulau Bali tersebut.Poleng dikirim ke Jakarta oleh komandan TT-VII, Kol. A.E. Alex Kawilarang untuk mengikuti pelatihan administrasi, saat-saat itu sekitar 40 orang greliyawan PDRI desersi dan kembali ke pegunungan.Di pegunungan mantan pejuang PDRI kembali menyusun jaringan greliya baru yang dikenal dengan PGSI (Pasukan Greliya Seluruh Indonesia). Pada bulan April 1950 berdiri organisasi KPNI (Kesatuan Pemuda Nasional Indonesia), yang diketuai oleh Anak Agung Bagus Suteja.Anak Agung Bagus Suteja dipilih sebagai ketua karena tidak punya kaitan jelas dengan DPRI dan PDRI, yang secara praktis dapat diterima oleh semua unsur KPNI.Pada tanggal 22 Mei 1950, menyadari akan kemenangan kaum republik Paruman Agung membuat undang-undang darurat yang membuat BPS (Badan Pelaksana Sementara), dengan wewenang mengontrol dan mengarahkan pemerintah federasi kerajaan di Bali, dengan anggotanya: I Gusti Putu Merta, I Wayan Dangin, I Gusti Gde Subamia dan I Wayan Badra. Pada tanggal 15 Juni 1950 Presiden Sukarno berkunjung ke pulau Bali dan berpidato di depan 20.000 manusia di Denpasar dan bertemu dengan para pimpinan pemuda (Sumber Harian “Sin Po”, tanggal 16 Juni 1950).
Pada bulan Mei 1950, Kol. A.E Alex Kawilarang Komanda TT/VII Indonesia Timur membentuk empat sub-komando yang salah satunya Komando Pasukan Sunda Kecil (KOMPAS-SK) yang dipimpin oleh Letkol. R.A. Kosasih.Bagi kalangan pejuang republik, Kosasih yang selama revolusi aktif di BKR-Bogor sangat disegani, apalagi dua dari tiga batalion yang dipimpinnya di KOMPAS-SK merupakan pasukan TNI republik.Letkol. R.A. Kosasih pada bulan Juni 1950 menunjuk Mayor Subroto Aryo Mataram sebagai Perwira Teritorial di Bali.Namun yang sangat mengecewakan mantan greliyawan dan pejuang kaum republik di Bali adalah Komando Pasukan Bali yang dipimpin oleh Mayor Subroto Aryo Mataram dan penggantinya Mayor Sitanala adalah para mantan KNIL.
Pada tanggal 17 Agustus 1950 di Jakarta, Presiden RIS Ir. Sukarno mengumumkan dibubarkannya RIS dan didirikan Negara Kesatuan Republik Indonesia.Pada tanggal 20 September 1950 Paruman Agung dan Dewan Raja-Raja dibubarkan dan pada tanggal 25 September DPRD (Dewan Perwakilan Rakyat) dan DPD (Dewan Pemerintah Daerah) Bali dibentuk.Juga terpilih Anak Agung Bagus Suteja sebagai Kepala Daerah Bali, setelah mengalahkan kontestan lainnya yaitu: Cokorde Anom Putera (putera raja Klungkung) dan Anak Agung Nyoman Panji Tisna (mantan raja Buleleng).
Pada awal bulan Oktober 1950 Letkol R.A Kosasih dipindahkan ke Makasar, semua Komando Pasukan Sunda-Kecil (saat itu berganti nama menjadi KOMPAS-“C”) berada dibawah komando Mayor Sitanala, sangat memilukan mantan greliyawan dan pejuang kaum republik.
Kekerasan politik terjadi di pulau Bali segera setelah Mayor Sitanala menjadi komandan KOMPAS-“C” dengan demikian mendorong gubernur Nusa Tenggara yang pertama, Susanto Tirtoprojo mengumumkan Darurat Perang di pulau Bali.Pada tanggal 3 Oktober 1950, Roelof Goris sarjana Belanda studi Bali yang kala itu menetap di Singaraja, menulis surat kepada Prof. J. Ph. Vogel tentang peristiwa di bulan-bulan sebelumnya:
Antara 10 Agustus dan 10 September, sebagian besar pembunuhan itu terjadi di sini (daftar ketikan 39 korban, diantaranya mati karena “kepalanya dipenggal”, benar-benar mencemaskan saya!).Selain itu, sejumlah nama muncul dalam daftar sebagai korban luka parah, karena mereka (para penyerang) “jago pisau”.Dan sungguh celaka, setelah perkembangan di Bali Utara ini, kampanye balas dendam juga dimulai di Jembrana dan di seantero Bali Selatan.
Jumlah korban yang tewas di seantero pulau Bali tidak pernah tercatat, namun perkiraan rata-rata 80 orang tewas setiap bulan pada enam bulan terakhir tahun 1950, sehingga sekitar 500 korban tewas pada tahun 1950.Pembunuhan terus berlangsung hingga akhir tahun 1951.Koran Berita Nusantara hanya melaporkan serpihan dari bunuh-bunuhan itu, namun kebanyakan korban yang dilaporkan adalah orang Bali atau orang Cina setempat, serangan-serangan tersebut didorong oleh motivasi politis, menyasar punggawa, perbekel, kepala desa dan pihak lainnya yang dituduh berkolaborasi dengan Belanda termasuk polisi, pegawai sipil dan pengusaha Cina.
Sarjana Belanda, Ch. J. Grader, sudah sejak 7 Agustus 1950 mencatat, bahwa terjadi banyak perubahan punggawa dan kedudukan yang sejenis, karena rakyat menentang feodalisme.Banyak pejabat pada masa itu menyatakan bahwa mereka diangkat oleh rakyat dan baru belakangan mendapat pengakuan resmi pemerintah.Dipilih oleh rakyat umumnya berarti para kawanan pemuda mengancam, mengganggu bila perlu membunuh pihak pemegang jabatan dan menggantikannya dengan pihak yang sesuai kehendak mereka.
Sampai bulan Oktober 1950, pulau Bali diduduki oleh Komando Pasukan Bali, yang terdiri dari 3 kompi pasukan APRIS (Angkatan Perang Republik Indonesia Serikat), kompi-kompi ini adalah balatentara KNIL pertama yang ditransfer ke APRIS pada tanggal 3 Januari 1950.Selain kompi-kompi mantan KNIL, tentara yang paling terkenal kejam terhadap greliyawan dan pejuang republik adalah CPM (Korps Polisi Militer), yang 90% anggotanya adalah mantan KNIL.CPM bertanggung-jawab terhadap operasi pembasmian pejuang republik pada tahun 1950-1951.Selain itu ada juga anggota Nefis (Dinas Intelejen Tentara Belanda) Joseph Lu, konon yang membunuh pemimpin pejuang republik yang terkenal, Cokorde Anom Sandat.
Pada tanggal 25 Oktober 1950 Mayor Sitanala digantikan oleh Mayor Islam Salim putera tokoh Nasionalis di Jakarta Haji Agus Salim.Penunjukan Mayor Islam Salim menyebabkan meredanya kekerasan yang dilakukan oleh para mantan greliyawan dan pejuang kaum republik.
Pada tanggal 12 November 1950, dihadapan lautan manusia di Denpasar, Sukarno mengumandangkan:
“Bali selalu menjadi kebanggaan dan kesukacitaan negeri ini…dan ketika Nehru berkunjung, dia menjulukinya “sang pagi dunia”.Kini Bali terancam dirundung kegelapan…Kini berlangsung bunuh-bunuhan dan bakar-bakaran di Bali.Aku bertanya kepadamu, apakah arjuna pernah menyerang musuhnya dari belakang? Tidak pernah! Seorang pejuang sejati dan terhormat seperti dia bertarung secara ksatria dan terang-terangan…Marilah kita bekerja untuk memastikan agar Bali kembali dikenal sebagai sang pagi dunia” Sumber : harian “Sin Po”, 13 November 1950.
PNI di Bali tumbuh dari GNI, yang didirikan oleh kaum nasionalis moderat di Bali pada bulan Agustus 1949.Pada tahun 1950 Puri Satria Denpasar dan raja Buleleng Anak Agung Jelantik (Saudara Anak Agung Panji Tisna) termasuk bangsawan pulau Bali yang pertama mendukung PNI.Kongres PNI Bali pertama digelar di Puri Satria pada bulan September 1950.Kaum PNI Bali ini kemudian menjadi kaum birokrat Bali yang juga didukung oleh gubernur Sunda Kecil yang pertama, yaitu Susanto Tirtoprojo yang terang-terangan seorang anggota PNI.Pada tahun 1951, Susanto Tirtoprojo diusulkan sebagai calon Perdana Menteri saat Kabinet Sukiman dibentuk namun dikalahkan oleh Sukiman. Pada bulan Desember 1951 PGSI secara resmi dilarang, setelah 13 para pemimpin pemuda pejuang yaitu: Anak Agung Bagus Suteja,Ida Bagus Subamia, Made Wija Kusuma, Poleng (Ida Bagus Tantra), Ketut Wijana, Ida Bagus Surya Tanaya, Nurai, Cilik (I Nengah Tamu),Nyoman Mantik, I Gusti Bonjoran Bayupati,Ida Bagus Mahadewa, I Gde Puger dan Made Sugitha dipanggil ke Jakarta oleh Presiden Sukarno untuk membicarakan situasi keamanan yang memburuk di Pulau Bali.
Pada selang periode September 1951 hingga Maret 1952, di Jakarta berkuasa kabinet Natsir, dimana simpatisan PSI menduduki jabatan wakil perdana menteri, menteri dalam negeri, menteri pertahanan, menteri perdagangan dan industri, menteri pertanian dan menteri komunikasi.Sejak tahun 1952 PSI bersekutu dengan kaum militer yang mengkritik Parlemen yang mencampuri urusan Angkatan Darat.PSI di Bali merupakan sejumlah kaum nasionalis dan intelek generasi tua, yang kebanyakan memiliki hubungan erat dengan mantan guru Taman Siswa yang pada tahun 1950 menjadi wakil Bidang Politik PSI Pusat Jakarta, Wiyono Suryokusumo.Antara 1945-50 Wiyono Suryokusumo bertugas sebagai militer di Jawa Barat dan pada tahun 1950 Suryokusumo menjabat Staf Urusan Politik di Departemen Pertahanan.Suryokusumo berinisiatif membentuk PSI di pulau Bali dan dia menugaskan Kapten Daino (staf Bidang Politik di Kementrian Pertahanan) untuk pergi ke Bali bersama sejumlah kaum republik pada pertengahan tahun 1950.Sebelum berangkat, Kapten Daino bertemu Suryokusumo dan berhasil mendapatkan daftar yang terdiri dari 40 orang kawan lama dan lulusan Taman Siswa.Sejak itu cabang-cabang PSI di Bali dibentuk, dengan pengurusnya antara lain: I Nyoman Pegeg, I Gusti Ketut Reti, Ida Bagus Wisnem Manuaba, I Gusti Gde Raka, Wayan Samba dan Ida Bagus Pidada.
Dibawah pemerintahan Kabinet Ali Sastroamijoyo pertama (Juli 1953 hingga Juli 1955) semakin memperkuat posisi PNI di birokasi pemerintahan di Bali, karena di kementrian-kementrian kunci urusan Dalam Negeri, Kehakiman dan Ekonomi dipegang oleh orang PNI.
Pada tahun 1952 di Jakarta dibawah pimpinanan baru: Aidit, Nyoto, Lukman dan koleganya, PKI meluncurkan strategi front persatuan nasional yang membuat PKI harus bekerja sama dengan kaum nasionalis borjuis termasuk PNI.Upaya pergerakan PKI di Bali yang berarti baru ada tahun 1953, dimana saat itu PKI juga memanfaatkan keuntungan kaum birokrat PNI dan partai-partai lain dalam pemerintahan koalisi.Secara berangsur-angsur PKI mendapat restu Presiden Sukarno, yang secara terbuka mendukung partai ini dalam kongres tahunannya di bulan Maret 1954.Di pulau Bali bangsawan yang mendukung PKI hanya raja Jembrana (ayah Anak Agung Bagus Suteja Kepala Daerah Bali saat itu).Meski Anak Agung Bagus Suteja dapat dipastikan menganut paham kiri, namun dia tidak pernah menjadi anggota PKI.Keakrabannya dengan mantan pejuang I Gde Puger, dianggap sebagai bukti yang menguatkan hal tersebut.
Hingga 1954 para pengurus PSI-Pusat Jakarta yaitu: Sutan Syahrir dan Wiryokusumo membentuk PSI dengan format partai kader, namun di cabang-cabang PSI yang berada di pulau Bali terjadi perselisihan antar pengurus yang mengusung format kader dan format massa.Pada tahun 1954 aktivis muda PSI-Pusat Jakarta yang baru tiba dari Yugoslavia yaitu Soejatmoko menyampaikan amanat dalam pertemuan pengurus PSI di Bali yang menyarankan agar PSI di Bali menggunakan format massa seperti yang terjadi di Yoguslavia yang digerakan oleh Milovan Djilas.Sebagai akibat kemenangan format massa PSI di Bali mengakibatkan ketua PSI yaitu I Gusti Gde Raka dan bendahara PSI yaitu I Nyoman Pegeg mengundurkan diri.Pengurus yang mengusung format massa termasuk I Made Sugitha (mantan anggota organisasi pemuda PRI pada tahun 1945 yang pada tahun 1950 menjadi anggota Dewan Eksekutif organisasi pemuda KPNI dan salah seorang pimpinan pemuda yang dipanggil Presiden Sukarno ke Jakarta pada tahun 1951) dan I Gusti Bonjoran (mantan greliyawan dan pejuang dan juga salah seorang pimpinan pemuda yang dipanggil Presiden Sukarno ke Jakarta pada tahun 1951) naik menjadi pengurus.
Awal tahun 1955 menjelang pemilu, gerombolan dan pengacau liar kian gencar di pulau Bali yang sebagian besar diorganisasikan bernama LOGIS (Lanjutan Organisasi Greliya Indonesia Seluruhnya).Target serangan LOGIS adalah tokoh-tokoh politik terutama yang berasal dari PNI, pejabat kehutanan dan polisi.Gubernur Sarimin Reksodiharjo menyatakan bahwa pembunuhan punggawa Blayu (seorang tokoh PNI) yaitu Ida Bagus Gde pada tanggal 20 Juni 1955 pertanda pembunuhan bermotif politik yang sangat serius.Sepekan menjelang hari pelaksanaan pemilu LOGIS membunuh seorang anggota PNI di Dewan Gianyar, pada saat pemilu komandan brimob Denpasar, Sutarjo ditembak oleh LOGIS.Setelah itu kampanye penumpasan LOGIS diprakarsai oleh dua mantan greliyawan yang menjadi aktivis PNI Bali yaitu: Nyoman Mantik dan Ida Bagus Mahadewa, disertai oleh pemrakarsa yang lain yaitu Cokorde Bagus Sayoga dari Puri Satria.
Pada pemilu (Pemilihan Umum) yang diselenggarakan tahun 1955 PSI menjadi partai kedua terbesar setelah PNI dengan meraih 30,6% suara pemilih, sedangkan PNI meraih 51,4% dan PKI meraih 7,9% suara pemilih.Keberhasilan PSI pada pemilu 1955 tidak terlepas dari hubungan antara PSI Bali dengan Angkatan Darat, dimana empat pimpinan puncak PDRI yaitu: Poleng (Ida Bagus Tantra), Cilik (I Nengah Tamu), Ida Bagus Tenaya dan Ida Bagus Anom Sandat menjadi anggota TNI setelah turun gunung pada tahun 1950.Selain mendapat dukungan beberapa anggota TNI Angkatan Darat, PSI juga didukung oleh Puri Gianyar (raja Anak Agung Gde Oka dan mantan perdana menteri NIT Anak Agung Gde Agung), Gria Jaksa Manuaba di Tababan (Ida Bagus Wisnem Manuaba) dan Puri Jero Kuta Denpasar (Anak Agung Alit Raka Made Angkasa mantan murid Wiyono Wiryokusumo di Taman Siswa).
Akhir dari aktivitas gerombolan LOGIS terjadi setelah seorang pemimpin puncaknya Marsidi pada bulan Juli 1956 terbunuh (Marsidi pernah menjadi Kapten di batalion 711 KOMPAS-“C”), kemudian banyak anggota LOGIS terbunuh dan tertangkap.
Pada tahun 1956, Presiden Sukarno mengkritik sistem parlementer dan demokrasi liberal.Kritikan tersebut diungkapkan dalam “Manipol” dan dalam “Konsepsi” yang dipublikasikan pada tanggal 21 Februari 1957.
Atas permintaan komandan TT-VII, Letkol H.N.V. Sumual,Komandan KOMPAS-NT Lelkol Minggu memilih beberapa orang anggota TNI dari tiap sektor dalam komandonya untuk menghadiri konferensi Permesta di Makasar.Wakil dari Bali antara lain orang-orang PSI, termasuk Anak Agung Gde Agung, yang kabarnya kala itu didekati oleh CIA dan didesak untuk memberi dukungan kepada Permesta.Namun di pulau Bali terjadi perpecahan pendapat mengenai keikutsertaan dalam gerakan Permesta.Para komandan TNI yang bermarkas di Bali masih sangat mendukung Presiden Sukarno.Mayor Iwan Stambul, komandan Sektor-I Nusa Tenggara (yang mencakup Bali) orang PNI yang fanatik demikian juga Letkol Minggu.
Peran politis TNI berubah sejak diberlakukan Undang Undang Darurat Militer pada tanggal 14 Maret 1957.Pernyataan Darurat Perang dikeluarkan di Jakarta menanggapi terjadinya pemberontakan Permesta dan PRRI (1956-1961).Di bawah undang undang tersebut para pemimpin TNI secara langsung memasuki wilayah politik.Di sebagian besar komandan TNI di daerah ditunjuk sebagai Penguasa Perang Daerah (Awalnya disebut Peperda dan kemudian Pepelrada) dan KASAD-TNI sebagai Penguasa Perang Pusat (Peperpu) dan Presiden sebagai Penguasa Perang Tertinggi (Peperti).
Pada tahun 1957, Presiden Sukarno meresmikan Istana Presiden Tampaksiring yang merupakan istana negara pertama yang berada di luar pulau Jawa.
Pada tahun 1958, Presiden Sukarno meresmikan Rumah Sakit modern pertama di pulau Bali yaitu Rumah Sakit Umum Pusat Sanglah.Di tahun yang sama Presiden Sukarno juga meresmikan Perguruan Tinggi Negeri Pertama di pulau Bali yaitu Universitas Udayana.
Bali secara resmi menjadi provinsi pada tanggal 14 Agustus 1959, dengan ibukota Singaraja, namun pada awal tahun 1960 ibukota provinsi Bali dipindahkan ke Denpasar.
Nyoman Mantik yang merupakan calon dari PNI-Bali untuk menjadi gubernur Bali yang memperoleh suara mayoritas di DPRD Bali, dimentahkan oleh pilihan Presiden Sukarno yang memilih Anak Agung Bagus Suteja sebagai gubernur Bali pada tahun 1959, karena Sukarno sudah mulai menentang demokrasi parlementer dan menolak dikungkung oleh pendapat mayoritas parlemen yang dibentuk oleh pemilu tiga tahun sebelumnya.Mantik yang dibantu oleh Wedastra Suyasa (Ketua III – DPD PNI Bali sejak 1963) tokoh PNI Bali yang bertanggung-jawab atas meruncingnya politik di pulau Bali paska tahun 1959.
Pada bulan Agustus 1959, Letkol Supardi ditunjuk sebagai Panglima Komando Daerah Militer-Nusa Tenggara (KDM-NT).Letkol Supardi dikenal antikomunis yang mau bekerja bersama PNI melawan gubernur Suteja, ketika gubernur Suteja mendukung aktivitas PKI di Bali. Menjelang tahun 1960-an, PKI dan Partindo memiliki jalinan erat dengan birokrasi di pulau Bali.Kepala Kantor Penerangan Bali Anak Agung Gde Agung adalah seorang Sukarnois kiri dan istrinya adalah salah satu dari empat wakil sekretaris di Front Nasional Bali.Anggota Partindo Ida Bagus Kompyang, ditunjuk menjadi Kepala Kantor Agen Pariwisata milik negara di Bali yaitu NITOUR.
Pada tanggal 29 Desember 1960, di Jakarta telah diberlakukan Undang Undang No. 56 PRP Tahun 1960 Tentang Penetapan Luas Tanah Pertanian yang mengatur tentang redistribusi tanah yang mengizinkan kepemilikan maksimum 5 hektar sawah dan 6 hektar ladang per rumah tangga di kawasan yang penduduknya lebih dari 400 jiwa per km persegi.Peraturan Pemerintah No. 224 Tahun 1961 Tentang Pelaksanaan Pembagian Tanah dan Pemberian Ganti Rugi melarang kepemilikan tanah oleh tuan tanah yang tidak bermukim di tanah itu.
Pada tanggal 1 April 1961, Presiden Sukarno mencabut Undang Undang Darurat Militer di Bali dan memangkas kewenangan politik Letkol Supardi sebagai Panglima KODAM XVI (sebelumnya disebut KDM-NT) dan menunjuk gubernur Suteja sebagai Pepelrada.
Pada bulan Agustus 1961 terjadi usaha pembunuhan terhadap Presiden Sukarno dalam perjalanan menuju Makasar, hanya beberapa pekan setelah sejumlah tokoh penting seperti: Moh. Hatta, Sutan Syahrir, Soebadio Sastrosoetomo, Sultan Hamid, Moh. Roem dan kebanyakan duta besar berkumpul di Puri milik Anak Agung Gde Agung di Gianyar pada tanggal 16 Agustus 1961 pada saat upacara kremasi (Ngaben) ayahanda Anak Agung Gde Agung.Salah seorang dari pejabat yang tidak mau disebutkan namanya mengatakan bahwa Anak Agung Gde Agung mengatur pertemuan di Gianyar tersebut dengan tujuan agar unsur-unsur anti-Sukarno dapat berkumpul guna membicarakan rencana bagi rezim paska-Sukarno.Salah satunya mengatakan bahwa Anak Agung Gde Agung mengorganisasikan pertemuan itu atas perintah mantan duta besar Amerika Serikat, Hugh S. Cumming (saat itu, Cumming menjadi kepala Divisi Intelejen dan Riset Departemen Luar Negeri Amerika Serikat, John Foster Dulles menunjuknya sebagai perwira perantara antara Departemen Luar Negeri dan CIA.Sejak pertengahan 1957 sampai pertengahan 1958, dia juga mengepalai komite inter-departemen istimewa yang ditugaskan untuk melaksanakan perubahan politik di Indonesia) yang telah menjalin hubungan dengan Anak Agung Gde Agung sejak tahun 1957, ketika Anak Agung Gde Agung meminta dukungan Cumming untuk pemberontakan Permesta di Sulawesi (Wawancara George McT. Kahin dengan seorang petinggi PSI yang tidak mau disebutkan namanya pada bulan januari 1971).
Pada bulan Januari 1961 Lekra Bali dibentuk, walaupun terlambat satu dekade lebih dari Lekra daerah-daerah lainnya, Lekra Bali memainkan peranan besar dalam pertumbuhan Lekra Nasional.Konferensi Nasional Lekra berlangsung 25-27 Februari 1962 di Bali Hotel, Denpasar (Pertemuan ini merupakan pertemuan Nasional Lekra yang paling penting setelah Kongres Lekra di Solo 22-28 Januari 1959).Dalam konferensi ini dihadiri oleh sejumlah delegasi seniman negeri sosialis termasuk pengarang Will Brede (Republik Jerman Timur), Prof. Guber (ahli sejarah Sovyet), Komponis Ma Ko (RRT) dan Abrous (Aljazair).Lekra Bali juga sebagai penyelenggara Sidang Komite Eksekutif Konferensi Pengarang Asia-Afrika (SKE-KPAA) di bulan 16-21 Juli 1963 yang berlangsung di Hotel Segara Village,Sanur. Pada bulan Januari 1963, Letkol Supardi digantikan sebagai Panglima KODAM XVI/Udayana oleh Brigjen. Sjafiuddin. Pada tanggal 17 Maret dan 16 Mei 1963 gunung Agung meletus dan menelan korban 1.500 jiwa dan 62.000 hektar lebih lahan pertanian dan menyebabkan eksodus hingga 75.000 warga sekitar gunung ke sejumlah kabupaten di Bali.Krisis ekonomi terjadi setelah letusan gunung Agung menyebabkan populernya partai-partai kiri seperti: PKI, Partindo, IRMI dan Partai Buruh.Di Denpasar basis kuat PKI adalah: Banjar Suci, Banjar Titih dan sekitar Ubung yang warganya kebanyakan kaum pendatang dan buruh.
Pada akhir tahun 1963 PNI-Bali mengaktifkan mobilisasi massa namun ditekan oleh gubernur Suteja, atas nama ketertiban dan perdamaian sehingga PNI-Bali yang dipimpin oleh Wedastra Suyasa menuduh gubernur Suteja tidak adil dan tidak kompeten dan memulai kampanye dengan pawai-pawai yang mengusung tema seperti “Rombak Suteja” dan “Kebiri Suteja”.Pada sebuah laporan perjalanan DPR-GR Pusat Jakarta tertanggal 5-14 Januari 1964 dengan judul “Rapat Gabungan Golongan2 ke-7”, yang berkunjung ke Bali mengungkapkan bahwa situasi politik di Bali meruncing tajam.
Pertengahan tahun 1964 kasus KKN (Kolusi Korupsi dan Nepotisme) ditimpakan oleh kaum PNI-Bali pada gubernur Suteja atas kontrak pembangunan dan penempatan Staf Hotel Bali Beach yang dituduhkan bahwa semua kontrak diberikan kepada serikat dan perorangan yang terkait dengan PKI/Partindo.Kala itu kontrol atas industri pariwisata sedang panas-panasnya diperebutkan (Sumber Artikel : “Status NITOUR Bali Office Dipertanjakan”, Harian Suara Indonesia, 5 September 1964).
Pada awal tahun 1965, simpatisan komunis memiliki pengaruh kuat di sejumlah kesatuan di KODAM XVI/Udayana dan LVRI-SK (Legiun Veteran Republik Indonesia – Sunda Kecil).Menurut sejumlah sumber terdapat sejumlah mantan Batalion 715 dan peserta pembrontakan Madiun 1948.
Pada tanggal 6 Maret 1965 terjadi pertengkaran hebat antara gubernur Suteja dan Wedastra di sebuah pawai umum di Denpasar, yang berbuntut penangkapan Wedastra atas perintah gubernur Suteja.
Pada tanggal 1 Oktober 1965 di Jakarta terjadi kudeta oleh Letkol Untung, yang menyebabkan terbunuhnya 6 Jenderal TNI-AD dan pembentukan “Dewan Revolusi”.Kurang dari sehari Panglima KOSTRAD, Mayor Jenderal Suharto menumpas kudeta Untung dan menghimpun dan menegakan kuasa para perwira TNI-AD antikomunis.Meski kudeta Untung kelihatannya berakar pada konflik internal AD, kelompok yang dibentuk Suharto di TNI-AD menyatakan bahwa kudeta Untung adalah kudeta terhadap Republik Indonesia yang digerakkan oleh PKI (Asal mula penjelasan TNI-AD kelompok Suharto diperoleh dari Harian yang dikendalikan oleh TNI-AD yang terbit setelah kudeta Untung yaitu: Angkatan Bersenjata, Duta Masyarakat dan Api Pancasila).Berita-berita harian yang dikendalikan oleh TNI-AD setelah kudeta Untung penuh dengan acuan tugas suci TNI-AD dan sekutunya untuk menghacurkan PKI ( “Pedang tidak bisa dihadapi dengan Qur’an…tapi harus dihadapi dengan pedang.Qur’an sendiri menyatakan bahwa siapa pun yang melawanmu harus dilawan sebagaimana mereka melawanmu” Sumber Harian Angkatan Bersenjata tanggal 8 Oktober 1965).Munculnya surat kabar Api Pancasila yang luar biasa menghebohkan hanya beberapa hari setelah kudeta, dan lenyapnya koran ini setelah penduduk Indonesia cukup beringas, menimbulkan pertanyaan tentang keterlibatan AS (Benedict Anderson adalah Profesor Sejarah studi tentang Indonesia di Universitas Cornell, AS menyatakan bahwa kecanggihan seruan media-massa melebihi kemampuan dewan redaksi TNI-AD yang berantakan: komunikasi pribadi Oktober 1983).
Di pulau Bali sebuah instruksi yang dibuat oleh Assisten II/Balabantuan Pertahanan Sipil, Sumarmo melarang patroli gerombolan bersenjata yang terkait dengan organisasi massa (“Bandjar2 Dikota Gianyar Dan Sekitarnja Adakan Pendjagaan” Sumber: Artikel di Harian Suara Indonesia tanggal 9 Oktober 1965,”Instruksi Pengamanan Dan Penertiban di Daerah2 Serta Patroli/ Kegiatan2 Jang Dilakukan Patroli2 Ormas/ Orpol Bersendjata Tadjam” Sumber: Artikel di Harian Suara Indonesia tanggal 18 Oktober 1965).
Pada tanggal 9 Oktober 1965, kedutaan besar Amerika Serikat di Jakarta melapor ke Deplu AS bahwa, atas instruksi Nasution dan Suharto, TNI-AD sedang “mendorong kelompok-kelompok keagamaan agar mengambil tindakan politis yang akan didukung TNI-AD” (Sumber , telegram tanggal 9 Oktober 1965 Kedubes AS di Jakarta kepada Deplu AS).
Pada tanggal 13 Oktober 1965 gubernur Suteja mengeluarkan instruksi yang berisi “surat-kabar yang terbit di Bali dan Radio Republik Indonesia tidak boleh mencetak/menyiarkan pernyataan atau informasi dalam bentuk apa pun yang berhubungan dengan Peristiwa G30S di Bali”.
Pada tanggal 28 Oktober 1965 saat perayaan Hari Sumpah Pemuda ke-37 di Denpasar yang didominasi organisasi-organisasi underbouw PNI yang dihadiri oleh 15.000 orang, I Gusti Putu Merta meminta kepada Presiden Sukarno agar memerintahkan gubernur Suteja membersihkan pemerintahan di Bali dari seluruh elemen G30S.
Pada tanggal 31 Oktober 1965, dalam sebuah pawai di Kesiman, I Gusti Putu Merta kembali mengeluhkan bahwa pemerintah daerah di Bali jauh ketinggalan dibanding dengan daerah-daerah lain di Indonesia dalam menindak PKI.
Pada tanggal 1 November 1965, gubernur Suteja memerintahkan pembentukan tim inspeksi untuk menyelidiki keterlibatan G30S di Bali yang dipimpin oleh kepala Inspektorat Kehakiman KODAM XVI/Udayana, I Gusti Putu Raka yang bekerja sama dengan Kepala Intelejen Kepolisian, R. Sujono dan kepala Daerah Polisi Militer, Mayor R. Susilotomo.Pada saat yang sama PANGDAM Udayana, Brigjend Sjafiuddin memerintahkan Assisten I/Intelejen KODAM XVI/Udayana, Alex Soetadji membentuk tim inspeksi internal dengan tujuan membersihkan KODAM XVI/Udayana dari “pengkhianat”.Ada desas-desus bahwa Soetaji pernah aktif mengorganisasikan jaringan PKI tidak resmi di KODAM XVI/Udayana dan bahwa dia bersimpati kepada kudeta Untung.
Pada tanggal 3 November 1965 gubernur Suteja mengeluarkan instruksi yang membekukan PKI dan organisasi-organisasi massanya (“PKI dan Ormas2nja Dibekukan Pepelrada” Sumber: Artikel di Harian Indonesia tanggal 4 November 1965).Pada tanggal 4 November 1965, dua surat kabar konon yang berafiliasi dengan PKI dan Partindo, Fajar dan Bali Dwipa dilarang terbit.
Menurut penjelasan PANGDAM XVI/Udayana, Brigjend Sjafiuddin aksi-aksi polisionil dimulai pada tanggal 6 November 1965, rumah-rumah orang yang dituduh berafiliasi PKI dibakar, harta-bendanya dirampas dan keluarganya diancam, serta orang-orang Cina juga menjadi sasaran khususnya mereka yang berasosiasi dengan Baperki
Pada tanggal 11 November 1965, gubernur Suteja pergi ke Jakarta untuk bertemu Presiden Sukarno, gubernur Suteja digantikan sebagai Pepelrada oleh PANGDAM XVI/Udayana Brigjend Sjafiuddin.Pada akhir bulan November 1965, gubernur Suteja secara terbuka dituduh mendukung PKI dan kudeta Untung (“Gubernur Kdh. Bali Sutedja Dibebaskan Dari Djabatan” Sumber: Artikel di Harian Suara Indonesia tanggal 17 Desember 1965).
“Pertengahan November 1965 pembunuhan-pembunuhan mencapai puncaknya yang mengerikan. Suharto menandatangani perintah yang memberi kuasa untuk melakukan pembersihan mutlak yang mendasar atas PKI dan para simpatisannya dari kalangan pemerintah. Perintah ini: No. 22/KOTI/1965, memberi dasar guna pembentukan “team-team khusus” dalam melaksanakan instruksi tersebut dan memberi kuasa kepada “team-team” itu untuk meminta bantuan Angkatan Darat dimana perlu” Sumber ”The Communist Collapse in Indonesia”, Arnold C. Brackman, W.W. Norton & Company Inc.,NewYork,1963.
Pada tanggal 27 November 1965, konon ditemukan di rumah seorang yang bernama Pujo Prasetio, yang dikabarkan sebagai organisator G30S di KODAM XVI/Udayana sebuah daftar yang berisi 75 nama anggota TNI-AD yang berpangkat rendah hingga menengah (“Rumah Djl Kambodja D 60 Sarang G30S” Sumber: Artikel di Harian Suara Indonesia tanggal 28 November 1965).
Telegram kedubes AS Jakarta untuk Deplu AS tertanggal 28 November 1965 meminta 200.000 ton beras dan membicarakan cara memasok beras sebanyak itu tanpa menarik perhatian tentang keterlibatan AS.
Pada tanggal 7-8 Desember 1965, pasukan RPKAD bersama kesatuan dari Divisi Brawijaya mendarat di pulau Bali.Pada tanggal 9 Desember 1965, beberapa Jenderal mengunjungi pulau Bali. “Boleh jadi bukan kebetulan belaka jika beberapa jenderal papan atas, termasuk Letnan Jenderal Suharto[Pangkat Soeharto pada tanggal 5 Oktober 1965 sebagai Letnan Jenderal] mengunjungi Bali sehari setelah pendaratan RPKAD. Anggota rombongan lainnya adalah Brigadir Jenderal Sumitro, Brigadir Jenderal Dharsono Hartono, Brigadir Jenderal Wahju Hargono, Brigadir Jenderal Soedirgo. Meski persisnya tujuan kunjungan ini tidak jelas, mungkin saja dimasudkan untuk memastikan kerja sama penuh dengan penguasa militer Bali – khususnya Brigadir Jenderal Sjafiuddin yang masih belum dianggap bisa dipercaya secara politis” Sumber ”The Dark Side of Paradise: Political Violence in Bali”, Geoffrey Robinson,Cornell University Press,USA,1995.“Djendral2 Ke Bali – Masalah Bali Dapat Perhatian Penuh”, Sumber: Artikel Suara Indonesia, Denpasar, 10 Desember 1965.
“Kasus Bali memang patut ditilik, terutama karena mereka berpegang pada tesis ‘kekerasan spontan’ selalu menunjuk Bali sebagai bukti. Mereka menyatakan masyarakat Bali melakukan pesta pembunuhan gila-gilaan sampai saat pasukan RPKAD tiba awal Desember 1965 untuk menghentikan mereka. Pendapat ini salah dalam mengemukakan kronologi kejadian yang sebenarnya. Sebelum pasukan RPKAD datang pada 7 Desember, tidak ada pembunuhan berarti di Bali. Selama bulan-bulan Oktober dan November situasi memang tegang. Gelombolan antikomunis menyerang dan membakar rumah-rumah anggota PKI. Beberapa anggota partai ditangkap: sebagian lain menyerahkan diri kepada polisi untuk mendapat perlindungan. Tapi tidak terjadi pembantaian besar-besaran sebelum 7 Desember. Semua pemimpin PKI masih hidup saat RPKAD tiba. Adalah RPKAD yang mengatur dan melaksanakan eksekusi para pemimpin PKI Bali pada tanggal 16 Desember 1965 di Desa Kapal. Ada banyak saksi kejadian itu karena RPKAD mengundang politisi-politisi antikomunis di Bali selatan untuk menonton. Pembantaian 30 orang ini, termasuk I Gde Puger, seorang pengusaha berada yang dikenal sebagai penyandang dana untuk PKI walaupun ia bukan anggota partai, mengungkapkan bahwa militer mendorong penduduk sipil untuk membunuh orang-orang yang terkait dengan PKI. Mengingat RPKAD yang memulai pembunuhan itu, maka kita tidak bisa tidak memperkirakan bahwa pasukan parakomando ini telah menerima perintah langsung dari Suharto untuk melakukannya. Koordinasi antara Suharto dan RPKAD sangat erat,ia datang di Bali satu hari setelah pasukan parakomando mendarat disana” Sumber:”Pretext for Mass Murder: The September 30th Movement and Suharto’s Coup d’Etat in Indonesia”, John Roosa, University of Wisconsin Press, 2006, Madison,USA.
Pada awal tahun 1966 kesatuan-kesatuan KODAM XVI/Udayana yang dituduh terlibat dalam percobaan kudeta 1965 di Jakarta adalah: kesatuan Cakrabirawa di Istana Tampaksiring, Kompi Brimob – Baturiti, Kompi “A” batalion 741 – Kuta, DODIK VIII – Kediri dan kesatuan POM KODAM XVI/Udayana.
1.8. Badung Periode 1966-1998 (Era Republik Indonesia-Orde Baru/Suharto)
Pada awal tahun 1966 I Gusti Putu Merta dilantik sebagai Gubernur Kepala Daerah Bali sebagai pengganti Anak Agung Bagus Suteja.
Awal Era Orde-Baru di pulau Bali ditandai dengan berdirinya Bali Beach Hotel (hotel berbintang lima dengan bangunan bertingkat sepuluh) yang diresmikan beroperasi pada tahun 1966.Bali Beach Hotel adalah hotel berbintang lima yang berdiri pertama kali di pulau Bali yang berlokasi di pantai Sanur yang memiliki lebih dari 400 kamar tidur serta beberapa Bar dan Restoran yang dilengkapi dengan sarana lapangan Golf.
Pada Tahun 1968 I Gusti Putu Merta digantikan oleh Kol. Sukarmen sebagai Gubernur Kepala Daerah Provinsi Bali.
Di Jakarta pemerintah Orde-Baru mengeluarkan Instruksi Presiden RI No. 9 tertanggal 6 Agustus 1969 tentang pengembangan kepariwisataan nasional.Untuk kepentingan tersebut diatas pemerintah RI menunjuk konsultan SCETE dari Perancis untuk mengadakan studi pendahuluan guna menyusun rencana tentang pola pengembangan pariwisata Bali.
Pada tahun 1970-1971 dilakukan peng-Golkar-an sebagai usaha konsolidasi kekuatan rezim Orde-Baru di pulau Bali dalam usahanya merebut kekuasaan politik pada pemilu 1971.Satuan massa peng-Golkar-an berasal dari induk organisasi KINO (Kesatuan Induk Organisasi) yang terdiri dari Tri Karya Golkar: Kosgoro (Kesatuan Organisasi Serba Guna Gotong Royong), SOKSI (Sentra Organisasi Swadiri Karyawan Indonesia) dan MKGR (Masyarakat Kekeluargaan Gotong Royong) yang didukung penuh oleh Kodim masing-masing wilayah.DPRD provinsi Bali hasil pemilu 1971 adalah: 11 kursi PNI, 2 kursi IPKI, 2 kursi NU, 2 kursi Parkindo, 4 kursi golongan Ulama, 11 kursi Golkar, 4 kursi ABRI, 2 kursi Partai Katolik, 2 kursi Murba dan 1 kursi Parmusi.
Di Jakarta tahun 1973 pemerintah Orde-Baru mengadakan penyederhanaan partai politik di Indonesia, terbentuklah PPP (peleburan dari NU, Parmusi, PSII) pada tanggal 3 Januari 1973 dan PDI (peleburan dari PNI, IPKI, Murba, Parkindo, Partai Kristen) pada tanggal 10 Januari 1973.
Pada tahun 1974 ditandai dengan dibukanya Art-Center yang merupakan pusat pameran Budaya Bali yang berada di kawasan Banjar Kedaton – Denpasar yang pembanguannya di prakarsai oleh Dir Jend Kebudayaan RI pada saat itu yaitu Prof. Dr. Ida Bagus Mantera.
Pada tahun 1975 berdiri dua hotel berbintang lima yang lain yaitu: Bali Hyatt Hotel yang berlokasi di pantai Semawang – Sanur dan Pertamina Cottage Resort Hotel yang berlokasi pantai barat Tuban dekat Air Port Ngurah Rai.Pada tahun 1978 juga berdiri Sanur Beach Hotel yaitu hotel berbintang empat dengan faslitias 400 kamar lebih yang dibangun oleh Aerowisata (anak perusahaan Garuda Indonesia Airways).
Dengan pesatnya perkembangan industri pariwisata di pulau Bali sejak tahun 1975, menyebabkan urbanisasi yang pesat di wilayah Badung dan sekitar kota Denpasar, baik yang datang dari dalam pulau Bali sendiri maupun luar pulau Bali.Selain menyebabkan pengaruh negatif meningkatnya urbanisasi, juga menimbulkan pengaruh positif yaitu meningkatnya pendapatan perkapita penduduk Badung dan kota Denpasar sejak 1975 hingga 1985 meningkat sekitar 800% terhitung terhadap mata uang lokal, namun bila dihitung terhadap dolar Amerika Serikat meningkat sekitar 200% (Pendapatan perkapita penduduk Bali pada tahun 1975 Rp. 67.963,00 menjadi Rp. 550.405,00 pada tahun 1985 dan nilai tukar US$ tahun 1975 adalah 400 rupiah sedangkan pada tahun 1985 1.200 rupiah).
Pada awal tahun 1978 di kota Denpasar diresmikan sebuah Pusat Pertokoan Modern yang pertama di pulau Bali yang terletak di Jalan Tamrin yang diberi nama Lokita Sari yang merupakan Pusat Perbelanjaan dan Gedung Bioskop (Wisata Theatre) terpadu, tidak berselang beberapa bulan kemudian Prof Dr. Ida Bagus Mantera (mantan Dirjen Kebudayaan RI) dilantik menjadi gubernur provinsi Bali menggantikan Kol. Sukarmen.Pertengahan tahun 1978, gubernur Ida Bagus Mantera menprakarsai terselenggaranya Pesta Kesenian Bali yang pertama.
Pada tahun 1978 By-Pass Ngurah Rai (Tuban-Nusa Dua) dibuka dan jalan Raya Puputan yang menghubungkan kawasan Renon dan kawasan Sanglah dibuka tahun 1979 serta jalan Dewi Sartika di tahun yang sama.
Pada tahun 1979, atas prakarsa gubernur Bali Ida Bagus Mantera, dilaksanakan upacara Eka Dasa Ludra di Pura Besakih Kabubaten Karangasem.
Pada tahun 1980 Pusat Pertokoan Kesenian Bali (berlantai-4) yang diberi nama Pasar Kumbasari secara resmi dibuka.Disamping pusat pertokoan kesenian, di lantai empat juga terdapat gedung Bioskop yang diberi nama Kumbasari Theatre.
Pada tahun 1981 jalan By-Pass Ngurah Rai (Ruas Tuban - Sanur) dibuka. Pada akhir tahun 1982 berdiri sebuah hotel megah berbintang lima yang dibangun oleh Aerowisata yaitu Nusa Dua Beach Hotel yang menyediakan lebih dari 400 kamar tidur serta sejumlah Bar & Restauran yang menampung lebih dari 600 lapangan pekerjaan bagi warga kabupaten Badung dan sekitarnya.
Hingga tahun 1983 jumlah hotel yang berada dikawasan Badung dan sekitar kota Denpasar adalah 307 hotel dengan 4.262 kamar tidur.Hingga tahun 1980 saja sektor pariwisata di Bali telah menyediakan sekitar 137.500 lapangan pekerjaan.
Pada tahun 1983 Jalan Teuku Umar yang menghubungkan Sanglah-Pedungan-Abian Timbul dibuka.
Pada tahun 1985 jalan By-Pass Ngurah Rai (Ruas Sanur - Tohpati) dibuka.
Pada tahun 1985 di kawasan Nusa Dua yang disebut BTDC (Bali Tourism Development Center) berdiri lagi dua Hotel berbintang lima yaitu Melia Bali Resort Hotel yang menyediakan lebih dari 400 kamar tidur serta sejumlah Bar & Restauran yang dibangun oleh pihak swasta dan Putri Bali Resort Hotel yang menyediakan lebih dari 400 kamar tidur serta sejumlah Bar & Restauran yang dibangun oleh Natour (perusahaan milik Departemen Pariwisata RI) yang keseluruhan menampung lebih dari 1.200 lapangan pekerjaan.
Pada tahun 1985 berdiri Pusat Perbelanjaan pertama di pulau Bali yaitu Super Market Tiara Dewata, yang berlokasi di jalan MayJend Sutoyo.
Pada tahun 1987 pemerintah provinsi Bali membuka Jalan Gotot Subroto Timur dan Jalan Gatot Subroto Tengah yang menghubungkan wilayah Tohpati-Tembahu-Tonjaya-Lumintang-Ubung.
Pada tahun 1988, gubernur Ida Bagus Mantera menyelesaikan masa tugasnya dan digantikan oleh Prof. dr. Ida Bagus Oka sebagai gubernur provinsi Bali. Hingga tahun 1990 penduduk kabupaten Badung dan Denpasar sekitarnya adalah 504.300 jiwa meningkat 27,8% jika dibadingkan tahun 1980 yang berjumlah 480.396 jiwa.
Puncak dari pembangunan sarana pariwisata di pulau Bali yaitu dengan dibangunnya sejumlah hotel berbintang lima dan berbintang empat dikawasan BTDC Nusa Dua, pantai Jimbaran,pantai Tuban, pantai Kuta dan pantai Legian & Peti Tenget pada periode tahun 1991-1992.Hotel-hotel dikawasan BTDC Nusa Dua yaitu: Nusa Indah Hotel (menyediakan lebih 400 kamar tidur) dibangun oleh NATOUR, Hotel Seraton Laguna (menyediakan lebih dari 400 kamar tidur) dibangun oleh pihak swasta,Grand Hyatt Hotel (menyediakan lebih dari 700 kamar tidur) dibangun oleh pihak swasta,Hotel Bali Hilton (menyediakan lebih dari 400 kamar tidur) dibangun oleh pihak swasta dan Ammanusa Resort Hotel (menyediakan lebih dari 60 Villa) dibangun oleh pihak swasta.Hotel-hotel dikawasan pantai Jimbaran yaitu: Four Seasson (menyediakan 150 Villa) dibangun oleh pihak swasta dan Bali Intercontinental Resort Hotel (menyediakan lebih 400 kamar tidur) dibangun oleh pihak swasta.Hotel-hotel di kawasan pantai Tuban yaitu: Rammadda Bintang Bali Hotel (menyediakan lebih dari 400 kamar tidur) dibangun oleh pihak swasta, Bali Dynasty Hotel (menyediakan lebi dari 350 kamar tidur), Bali Garden Hotel (menyediakan lebih dari 300 kamar tidur) dibangun oleh pihak swasta dan Katika Plaza Hotel (menyediakan lebih dari 300 kamar tidur) dibangun oleh pihak swasta.Hotel-hotel dikawasan pantai Kuta yaitu: Sahid Bali Hotel (menyediakan lebih dari 400 kamar tidur) dibangun oleh pihak swasta, Ramayana Hotel (menyediakan lebih dari 200 kamar tidur) dibangun oleh pihak swasta. Hotel-hotel dikawasan pantai Legian & Peti Tenget yaitu: Padma Hotel (menyediakan lebih dari 300 kamar tidur) dibangun pihak swasta dan Bali Imperial Hotel (menyediakan lebih dari 120 kamar tidur dan 13 Villa) dibangun oleh pihak swasta dan The Obberoy Villas Resort (menyediakan lebih dari 40 Villa) dibangun oleh pihak swasta.Untuk periode tahun 1991-1992 saja tersedia lebih dari 10.000 lapangan pekerjaan di bidang pariwisata di hotel-hotel berbintang lima dan empat dikawasan BTDC-Nusa Dua, pantai Jimbaran, pantai Tuban, pantai Kuta dan Pantai Legian & Peti Tengget.
Pada tahun 1992 jalan Gatot Subroto Barat yang menghubungkan Ubung-Padang Sambian-Kerobokan telah dibuka.
Pada tahun 1995 reklamasi pulau serangan mulai dilakukan oleh pihak swasta yaitu PT. BTID (Bali Turtle Island Development) yang banyak mendapat tentangan masyarakat di pulau Bali, karena dianggap telah menodai kesucian Pura Sakenan. Di tahun yang sama masyarakat Bali telah dihebohkan dengan kasus Planet Bali (tempat hiburan mesum di Kawasan Bumbul-Nusa Dua dan dipinggir jalan By-Pass Ngurah Rai) yang dimiliki oleh Hartono seorang pengusaha keturunan Cina yang mengekspose pulau Bali sebagai surga mesum di Internet yang pada mulanya diprotes oleh budayawan Dr. Jelantik (mantan Kepala Dinas Kesehatan Provinsi Bali tahun 1950-an) dan selanjutnya diprotes oleh sebagian besar masyarakat pulau Bali.
Pada tahun 1995 Hotel Nikko Bali dengan kapasitas 398 tempat tidur serta sejumlah Bar & Restauran yang berada di kawasan Sawangan – Nusa Dua Selatan secara resmi dibuka oleh Presiden Suharto yang mampu menampung lebih dari 700 lapangan kerja sektor pariwisata.
Pada tahun 1996 The Ritz-Carlton Resort Hotel dengan kapasitas 323 kamar serta Villa telah dibuka di kawasan Bukit Jimbaran yang mampu menampung lebih dari 650 lapangan kerja sektor pariwisata.
Pada tanggal 20-an Juli 1996 di Jakarta terjadi pidato-pidato dihadapan massa aktivis pro-Demukrasi di Kantor PDI-Pusat (Jalan Diponegoro Jakarta) yang disertai dengan hujatan kepada pemerintah Orde-Baru yang dipimpin oleh Jenderal Suharto.Pemerintah Orde Baru memerintahkan untuk menyerbu kantor pusat PDI tersebut dan menangkap para kaum aktivis-demokrasi termasuk: Budiman Sujatmiko, Andi Arif, Pius Lituranang dan Haryanto Taslam.Para aktivis demokrasi tersebut disekap dan disiksa dibeberapa kamp-kamp militer di sekitar Jakarta.
Pada tahun 1996 kawasan dekat pura Tanah Lot (kurang lebih dua kilometer dekat Pura) telah diblokir (dibebaskan dengan ganti rugi yang telah disepakati dengan pemilik tanah) oleh pihak swasta yaitu PT. BNR (Bali Nirawana Resort) anak perusahaan PT. Bakrie & Brothers Jakarta, yang banyak mendapat protes karena dianggap menodai kesucian Pura Tanah Lot.
Pada tahun 1997 Hotel The Le Merridien dengan kapasitas lebih dari 400 kamar tidur telah dibuka di kawasan Bali Nirwana Resort dekat Tanah Lot yang mampu menampung lebih dari 650 lapangan kerja sektor pariwisata pada tahun yang sama juga di buka dikawasan Sanur Raddisson Hotel dengan kapasitas lebih dari 300 kamar tidur dan beberapa Bar & Restauran mampu menampung lebih dari 500 lapangan kerja sektor pariwisata.
Pada tahun 1997 Jalan Kargo dan Jalan Buluh Indah yang menghubungkan Uma Anyar (Ubung Utara) dan Padang Sambian dibuka.Pada tahun yang sama Jalan By-Pass Prof. Ida Bagus Mantera Tahap I yang menghubungkan kawasan Tohpati dan Ketewel (Sukawati - Gianyar) dibuka.
Di Jakarta pada bulan Maret 1998 Jenderal Suharto, terpilih kembali menjadi Presiden RI untuk yang ke-7 kalinya.Sejak bulan April 1998, di Jakarta terjadi sejumlah demonstrasi yang dipelopori oleh para mahasiswa perguruan tinggi baik negeri maupun swasta.
Pada awal bulan Mei 1998 Presiden Suharto terbang ke Cairo – Mesir, untuk menghadiri KTT G-15.Setelah kepergian Presiden Suharto ke Mesir, demonstrasi kian memuncak terutama sejak tanggal 12 Mei 1998 setelah 4 mahasiswa Trisakti di tembak oleh orang tidak dikenal di halaman kampus Trisakti dan didudukinya Gedung MPR-DPR RI Senayan oleh para mahasiswa yang berdemonstrasi.Pada tanggal 13 sampai 15 Mei 1998 di Jakarta terjadi kerusuhan seperti: kekerasan massa, pengrusakan, pembakaran, penjarahan.Kepada pers gubernur DKI Sutiyoso mengumumkan bahwa kerusuhan tersebut menelan sedikitnya 500 orang terbunuh, 4.939 bangunan rusak dibakar, 1.119 kendaraan dibakar, 1.026 rumah penduduk dilalap api, 64 bank serta 313 cabang dan 179 cabang pembantu dirusak.
Pada tanggal 15 Mei 1998, Presiden Suharto tiba di Jakarta dari kunjungannya di Cairo.Pada tanggal 21 Mei 1998 Presiden Suharto mengundurkan diri sebagai Presiden RI dan digantikan oleh Prof Dr Ing B J Habibie sebagai Presiden RI yang ketiga.
1.9. Badung Periode 1998-? (Era Republik Indonesia-Reformasi)
Pada tahun 1998 Jalan Marlboro (Teuku Umar Barat) yang menghubungkan Abian Timbul dengan Desa Tegal Lantang (Padang Sambian Klod) telah dibuka.Pada tahun yang sama Jalan Sunset Road – Timur yang menghubungkan persimpangan Patung Dewa Ruci dan kawasan Abian Base – Kuta dibuka.Di tahun yang sama Drs. Dewa Baratha menggantikan Prof. dr. Ida Bagus Oka sebagai gubernur Bali.
Pada tahun 1999 Jalan By-Pass Prof. Ida Bagus Mantera Tahap II yang menghubungkan kawasan Ketewel (Sukawati - Gianyar) dan Gegel (Klungkung) dibuka.
Di ibu kota Jakarta ,pada tanggal 20 Oktober 1999 Presiden Prof Dr Ing B J Habibie digantikan oleh K.H. Abdurrachman Wahid menjadi Presiden RI yang keempat, setelah menang melalui voting MPR-RI dari kandidat yang lainnya yaitu Megawati Sukarno Puteri.Setelah kekalahan Megawati dalam pemilihan Presiden melawan K.H. Abdurrachman Wahid hampir seluruh daerah di Bali terjadi amuk massa: pohon-pohon ditebang yang memacetkan jalan dan gedung-gedung pemerintah dibakar massa.
Pada tanggal 20 Oktober di Singaraja massa membakar Kantor DPRD dan Kantor Bupati Buleleng dan besoknya pada tanggal 21 Oktober 1999 aksi massa kembali berlanjut dengan membakar Kantor Bappeda, Dispenda, Dinas PU dan LLAJ.Di Denpasar aksi penebangan pohon perindang jalan berlangsung hampir disetiap ruas jalan dan diikuti dengan pembakaran ban-ban bekas dan penjarahan toko-toko serta swalayan.Di kompleks perkantoran pemerintah di kawasan Renon, pembakaran berlangsung di Kantor Gubernur yang menyebabkan puluhan mobil pemerintah hangus terbakar.Di kompleks perkantoran Bupati dan DPRD Badung sekitar pukul 14:00 wita sudah terlihat api menyala dan asap mengepul.Sejumlah massa sudah tampak menurunkan ban-ban bekas di depan lobi Kantor Bupati Badung.Selain Kantor Bupati, rumah jabatan dan Kantor DPRD Badung juga ikut hangus terbakar.Setelah itu massa berhasil menjebol tembok bagian selatan kantor pemerintah tersebut.Selain itu massa memecahkan kaca jendela dan mengambil barang-barang seperti: komputer, kursi, bangku, mesin ketik, kipas angin, brangkas uang dan barang lainnya yang mudah dibawa.
Di Kantor Gubernur Bali, ribuan massa merangsek masuk dan melakukan perusakan dan pembakaran.Dengan masuknya massa tersebut membuat panik pegawai yang sedang bekerja di Kantor Gubernur tersebut dan berusaha menyelamatkan diri.Sementara satuan dalmas Polda Bali berusaha menghalau massa dengan tembakan peluru hampa dan pentungan.
Gerakan massa mulai brutal, terutama yang terjadi di pusat Kota Denpasar.Amuk massa tersebut tidak saja membakar semua fasilitas umum dan kantor instansi pemerintah, tetapi juga melempar toko-toko disepanjang jalan Gajah Mada, Thamrin, Diponegoro.Sebuah bank di jalan Gajah Mada barang-barangnya dikeluarkan dan dibakar ditengah jalan.Kantor DPD Golkar Bali juga dibakar, siswa SMP 1 Denpasar yang berada di depan kantor DPD Golkar Bali tersebut ketakutan dan tidak berani keluar.
Menurut keterangan Bupati Badung kala itu I Gusti Bagus Alit Putra, di Kantor Bupati Badung tidak kurang dari 34 unit mobil terbakar, diantaranya 6 mobil baru masing-masing seharga Rp. 150 Juta.Hampir semua komputer di beberapa unit dan Kantor Pelayanan Data Elektronik terbakar.
Pada bulan April 2001 di Jakarta, Presiden K.H. Abdurrachman Wahid dilengserkan oleh sidang istimewa MPR-RI yang dipimpin oleh Prof. Dr. Amien Rais dan digantikan oleh Megawati Sukarno Putri menjadi Presiden RI yang kelima.
Pada tahun 2002 Jalan By-Pass Prof. Ida Bagus Mantera Tahap III yang menghubungkan kawasan Gegel (Klungkung) dan Kusamba (Klungkung) dibuka.Pada tahun yang sama Jalan Sunset Road Barat (Abian Base-Seminyak) dibuka.
Pada tanggal 12 Oktober 2002, di Legian Kuta (di depan Padi’s Café dan Sari Club) jam 23:15 malam hari terjadi ledakan bom yang diangkut dengan mobil Mitsubishi L-300 yang diledakan oleh: Amrozi, Imam Samudera serta kawan-kawannya menewaskan 188 orang serta mencederai lebih dari 500 orang yang sebagian besar wisatawan asing.
Pada tahun 2003 Jalan Mahendradata yang menghubungkan Padang Sambian dengan Uma Dwi (Abian Timbul) telah dibuka.
Pada bulan Oktober 2004 di Jakarta, Jenderal Susilo Bambang Yoduyono kandidat dari Partai Demokrat memenangkan pemilu Presiden RI yang dipilih langsung oleh rakyat untuk pertama kalinya mengalahkan kandidat lainnya yaitu: Megawati Sukarno Puteri kandidat dari PDI-P, Jenderal Wiranto kandidat dari Partai Golkar, Prof. Dr. Amien Rais kandidat dari PAN dan Hamzah Haz kandidat dari PPP.
Pada bulan Oktober 2009 di Jakarta, Jenderal Susilo Bambang Yoduyono kandidat dari Partai Demokrat memenangkan pemilu Presiden RI yang dipilih langsung oleh rakyat untuk kedua kalinya.