Keraton Kanoman

bangunan kuil di Indonesia

6°43′21″S 108°34′03″E / 6.722425°S 108.567547°E / -6.722425; 108.567547

Area Lemah duwur di komplek Keraton Kanoman, terlihat pada latar bangunan Mande Manguntur (tempat duduk sultan) (2010).
Candi bentar di Kraton Kanoman (tahun 1920-1933)

Keraton Kanoman adalah salah satu dari dua bangunan kesultanan Cirebon, setelah berdiri keraton Kanoman pada tahun 1678 M kesultanan Cirebon terdiri dari keraton Kasepuhan dan keraton Kanoman yang merupakan pemimpin dan wakilnya. Kebesaran Islam di Jawa Barat tidak lepas dari Cirebon. Sunan Gunung Jati adalah orang yang bertanggung jawab menyebarkan agama Islam di Jawa Barat, sehingga berbicara tentang Cirebon tidak akan lepas dari sosok Syarif Hidayatullah atau Sunan Gunung Jati.

Keraton Kanoman didirikan oleh Pangeran Mohamad Badridin atau Pangeran Kertawijaya, yang bergelar Sultan Anom I pada sekitar tahun 1678 M. Keraton Kanoman masih taat memegang adat-istiadat dan pepakem, di antaranya melaksanakan tradisi Grebeg Syawal,seminggu setelah Idul Fitri dan berziarah ke makam leluhur, Sunan Gunung Jati di Desa Astana, Cirebon Utara. Peninggalan-peninggalan bersejarah di Keraton Kanoman erat kaitannya dengan syiar agama Islam yang giat dilakukan Sunan Gunung Jati, yang juga dikenal dengan Syarif Hidayatullah.

Kompleks Keraton Kanoman yang mempunyai luas sekitar 6 hektare ini berlokasi di belakang pasar Di Kraton ini tinggal sultan ke dua belas yang bernama Raja Muhammad Emiruddin berserta keluarga. Kraton Kanoman merupakan komplek yang luas, yang terdiri dari bangunan kuno. salah satunya saung yang bernama bangsal witana yang merupakan cikal bakal Kraton yang luasnya hampir lima kali lapangan sepak bola.

Di keraton ini masih terdapat barang barang, seperti dua kereta bernama Paksi Naga Liman dan Jempana yang masih terawat baik dan tersimpan di museum. Bentuknya burak, yakni hewan yang dikendarai Nabi Muhammad ketika ia Isra Mi'raj. Tidak jauh dari kereta, terdapat bangsal Jinem, atau Pendopo untuk Menerima tamu, penobatan sultan dan pemberian restu sebuah acara seperti Maulid Nabi. Dan di bagian tengah Kraton terdapat kompleks bangunan bangunan bernama Siti Hinggil.

Hal yang menarik dari Keraton di Cirebon adalah adanya piring-piring porselen asli Tiongkok yang menjadi penghias dinding semua keraton di Cirebon. Tak cuma di keraton, piring-piring keramik itu bertebaran hampir di seluruh situs bersejarah di Cirebon. Dan yang tidak kalah penting dari Keraton di Cirebon adalah keraton selalu menghadap ke utara. Dan di halamannya ada patung macan sebagai lambang Prabu Siliwangi. Di depan keraton selalu ada alun alun untuk rakyat berkumpul dan pasar sebagai pusat perekonomian, di sebelah timur keraton selalu ada masjid.

Tata letak keraton Kanoman

Kompleks keraton Kanoman merupakan kompleks tertua di Cirebon dikarenakan bangunan Witana yang ada pada bagian belakang komplek ini yang merupakan rumah pangeran Walangsungsang dibangun pada 1428[1] sementara Dalem Agung yang ada disebelah timur kompleks keraton Pakungwati (Kasepuhan) dibangun pada 1430[2][3][4][5] .

Alun alun Kanoman

Area alun alun Kanoman merupakan area terluar dari kompleks keraton Kanoman, pada masa lalu sebelum 1924, alun-alun Kanoman dapat terlihat dari jalan besar di utaranya, di sebelah timurnya adalah tempat aktifitas jual beli masyarakat, di sebelah baratnya ada masjid agung Keraton Kanoman dan di sebelah selatannya adalah area Lemah Duwur yang salah satunya berisi bangunan Mande Manguntur (tempat sultan), namun Belanda yang berniat menjauhkan keraton Kanoman dari rakyat Cirebon akhirnya dengan sengaja memperluas area jual beli masyarakat yang ada disebelah timur alun alun dengan mendirikan pasar diatas sebagian tanah alun alun di sebelah utara sehingga secara sistematis keraton Kanoman tidak bisa langsung terlihat dari jalan besar di utaranya karena sudah tertutup oleh bangunan pasar yang diseleseikan Belanda pada 1924[1]

Pada area alun alun Kanoman sebelah selatan menuju ke area Lemah Duwur terdapat dua buah bangunan yang mengapit jalan masuk menuju Mande Manguntur, bangunan tersebut adalah Pancaratna dan Pancaniti, selain itu juga terdapat dua buah Cungkup tempat menyimpan alu dan lesung yang berada di sebelah timur Pancaniti[6]

  • Pancaratna merupakan bangunan kayu tanpa dinding yang terletak di sebelah barat jalan menuju Mande Manguntur di area Lemah Duwur. Bangunan ini menghadap utara berbentuk bujursangkar dengan ukuran 8 x 8 meter dan berlantai keramik. Pancaratna merupakan bangunan terbuka (tanpa tembok) hanya ada tiang-tiang yang menopang atap. Pancaratna berfungsi sebagai tempat menghadap atau tempat para pembesar desa menemui Demang atau Wedana (asisten Bupati), selain itu Pancaratna juga dijadikan tempat jaga prajurit kesultanan.
  • Pancaniti adalah bangunan yang terletak di sebelah timur jalan menuju Mande Manguntur, strukturnya sama dengan bangunan Pancaratna yang merupakan bangunan terbuka (tanpa tembok), Pancaniti menghadap utara, berbentuk persegi panjang dengan ukuran 8 x 10 meter dan berlantai keramik. Pancaniti berfungsi sebagai tempat perwira melatih dan mengawasi prajurit dalam latihan perang di alun-alun, Pancaniti juga berfungsi sebagai tempat peristirahatan perwira tersebut, selain itu Pancaniti juga dijadikan sebagai tempat pengadilan serta sebagai tempat jaga prajurit kesultanan.
  • Cungkup Alu merupakan bangunan terbuka berukuran 0,7 x 1 x 1,5 meter, terbuat dari bahan kayu, beratap genteng dan ditopanh oleh 4 tiang.
  • Cungkup Lesung merupakan bangunan terbuka berukuran 0,7 x 1 x 1,5 meter, terbuat dari bahan kayu, beratap genteng dan ditopang oleh 4 tiang.

Lemah duwur (tanah tinggi)

Area ini disebut sebagai lemah duwur yang berarti tanah tinggi dikarenakan tanah pada area ini memang lebih tinggi dari halaman sekitarnya. Area Lemah duwur ini dipagar setinggi 1,30 meter dengan bahan bata yang dilabur putih dan dihias dengan piringan keramik (bahasa Cirebon : Jun) pada bagian gapuranya. Pada sisi utara, barat dan selatan pagar bata terdapat gapura untuk memasuki area Lemah duwur. Gapura di sebelah utara memiliki ukuran tinggi 3 meter dan lebar 4 meter, di barat 5 meter dan lebar 4 meter, di selatan 2,50 meter dan lebar 2 meter. Di dalam area ini terdapat 2 bangunan, yaitu Mande Manguntur (tempat sultan) dan Panggung disebelah timurnya

  • Mande Manguntur, bangunan ini menghadap ke alun alun Kanoman di sebelah utara, berukuran 6,5 x 6,5 x 5 meter, berbahan bata yang dilabur putih, berlantai keramik dan bertingkat dua. Mande Manguntur merupakan bangunan terbuka tanpa dinding, tiang-tiang luarnya melengkung ke atas menyerupai gerbang, di dalamnya terdapat tempat duduk sultan Anom berukuran 1,50 x 1,50 meter, atapnya berbentuk kerucut. Bangunan Mande Manguntur dihias dengan piringan keramik (bahasa Cirebon : jun) yang ditempelkan pada tiang-tiang bangunannya.
  • Panggung, bangunan ini menghadap ke Mande Manguntur berukuran 6 x 10 x 5 meter, berlantai keramik dan merupakan bangunan terbuka tanpa dinding. Pada bangunan panggung hanya terdapat tiang-tiang yang menopang atap yang berbentuk limasan. Bangunan Panggung berfungsi sebagai tempat pertunjukan yang dipersembahkan untuk sultan.

Keraton Kanoman sebagai Objek Vital

keraton Kasepuhan berserta Keraton Kanoman ditetapkan menjadi objek vital yang harus dilindungi. Penilaian tersebut berdasarkan pertimbangan dari institusi kepolisian, dengan adanya penilaian tersebut maka kepolisian setempat wajib menempatkan personilnya untuk melakukan penjagaan di keraton tersebut.

.[7]

Sebagai bentuk realisasi pengamanan objek vital, maka keraton harus dijaga oleh personil kepolisian

  • Pengamanan, 2 personil,
  • Patroli 2 personil
  • Pengamanan kegiatan keraton, minimal 10 personil (khusus untuk pengamanan kegiatan yang berskala besar, maka diadakan pengamanan penuh yang melibatkan lebih banyak personil kepolisian).

Sejarah Kesultanan Kanoman

artikel ini merupakan bagian dari artikel sejarah kesultanan Kanoman

Kesultanan Kanoman merupakan hasil pembagian kesultanan Cirebon kepada puteranya setelah meninggalnya pangeran Girilaya atau yang dikenal dengan nama Panembahan Ratu pakungwati II pada tahun 1666. Putera pangeran Girilaya masing-masing adalah Pangeran Raja Martawijaya yang kemudian memerintah kesultanan Kasepuhan yang berpusat di keraton Kasepuhan, Pangeran Raja Kartawijaya yang memerintah kesultanan Kanoman yang berpusat di keraton Kanoman dan Pangeran Raja Wangsakerta yang menjadi Panembahan Cirebon yang bertugas dalam hal pendidikan putra-puteri keraton, Pangeran Raja Wangsakerta bertempat tinggal di keraton Kasepuhan dan membantu Pangeran Raja Martawijaya memerintah kesultanan Kasepuhan sebagai Sultan Sepuh I.

Masuknya pengaruh awal Belanda

Kesultanan Kanoman resmi berdiri pada tahun yang sama dengan berdirinya kesultanan Kasepuhan yaitu pada tahun 1679 dengan pemimpin pertamanya yang bernama Sultan Anom I Pangeran Muhammad Badrudin Kartawijaya.

Pada tahun 1681, Belanda menawarkan perjanjian persahabatan kepada kesultanan Cirebon yang pada waktu itu telah dipecah menjadi dua yaitu Kasepuhan dan Kanoman yang kemudian ditandatangani pada tanggal 7 Januari 1681[8],[9], perjanjian persahabatan yang dimaksud adalah untuk memonopoli perdagangan di wilayah Cirebon.

Sultan Kanoman I Muhammad Badrudin Kartawijaya memiliki dua orang putera dari permaisuri yang berbeda, yaitu Pangeran Pengguron Kaprabon yang merupakan putera pertama dari permaisuri kedua yaitu Ratu Sultan Panengah dan Pangeran Raja Mandurareja Muhammad Qadirudin, putera keduanya yang berasal dari permaisuri ketiga yang bernama Nyimas Ibu. Setelah ayahandanya wafat, kedua puteranya ini sepakat untuk melakukan lijdelijk verzet (perlawanan diam-diam) melawan Belanda.

Kemudian Pangeran Raja Muhammad Qadirudin diresmikan sebagai Sultan Anom II keraton Kanoman dikarenakan saudaranya yaitu Pangeran Pengguron Kaprabon yang merupakan putera pertama Sultan Anom I dari permaisuri keduanya yaitu Ratu Sultan Panengah memutuskan untuk memperdalam ajaran agama Islam dan menyerahkan kepemimpinan keraton Kanoman kepada adiknya Pangeran Raja Mandurareja Muhammad Qadirudin.[10] Setelah menyerahkan kepemimpinan keraton Kanoman kepada adiknya, Pangeran Pengguron Kaprabon mendirikan Pengguron Kaprabonan pada tahun 1696 sebagai tempat pendidikan agama Islam.

Perjuangan melawan penjajah Belanda dengan strategi lijdelijk verzet (perlawanan diam-diam) menemukan tantangan setelah Belanda membentuk sebuah Karesidenan (wilayah yang berada di bawah kekuasaan gubernur jendral pada waktu itu atau setingkat provinsi dimasa sekarang, dengan pimpinannya yang menjabat sebagai residen). Pada sekitar tahun 1700-an Belanda mengangkat Jacob Palm sebagai seorang residen untuk wilayah Cirebon, dalam bukunya sejarah cirebon, Pangeran Sulaeman Sulendraningrat bahkan mengatakan jika kekuasaan kesultanan-kesultanan di Cirebon telah habis sama sekali dengan adanya pengangkatan Jacob Palm.[11]

Perang terbuka Pangeran Raja Kanoman (Sultan Kacirebonan pertama) melawan penjajah

Pada sekitar tahun 1770-an, Sultan Muhammad Chaerudin menjadi pemimpin di kesultanan Kanoman dengan gelar Sultan Anom IV, dikatakan semenjak kekuasaan Sultan Anom I, Belanda telah berusaha menanamkan kekuasaannya kedalam keraton-keraton di Cirebon melalui perjanjian persahabatan yang berisi monopoli dagang Belanda serta dengan politik pendekatan persuasif kepada pihak-pihak di kesultanan dan tokoh-tokoh masyarakat, Putera Mahkota Kanoman (putera pertama Sultan Anom IV) pada waktu itu melakukan perlawanan terbuka terhadap belanda, masyarakat yang berjuang bersama di antaranya adalah Mirsa, yang melakukan perjuangan melawan penjajah Belanda pada tahun 1788 yang mendapatkan bantuan tokoh agama, namun perjuangan Mirsa dapat dipatahkan, perjuangan melawan penjajah kemudian berlanjut pada tahun 1793[12] dan akhirnya Pangeran Raja Kanoman berhasil ditangkap dalam perjuangannya melawan penjajah dan kemudian diasingkan ke Ambon pada sekitar tahun 1796.

Perang besar Cirebon 1788 - 1818

Ketika Pangeran Raja Kanoman yang merupakan putera dari Sultan Anom IV Muhammad Chaerudin diasingkan ke Ambon, terjadilah pemberontakan rakyat Cirebon yang dipimpin Bagus Rangin pada tahun 1802, Bagus Rangin berasal dari demak, distrik Blandong, Rajagaluh (sekarang Rajagaluh menjadi kecamatan Rajagaluh, Majalengka) yang terletak di kaki gunung Ciremai, Bagus Rangin diperkirakan lahir sekitar tahun 1761. Dia adalah putra dari Sentayem (Ki buyut Teyom), cucu dari Waridah dan keturunan dari Ki buyut Sambeng, salah satu dari cicit pembesar didaerah tersebut atau dalam bahasa Cirebon disebut Ki Gede. Bagus Rangin mempunyai tiga orang saudara, kakaknya bernama Buyut Bangin dan kedua adiknya bernama Buyut Salimar serta Bagus Serit (Bagus Serit juga menjadi pejuang melawan penjajah)[13]

Sifat Bagus Rangin digambarkan sebagai pemimpin yang gagah berani dan sanggup menyatakan perang dengan didukung oleh pengikutnya yang banyak.[14]

secara garis besar kondisi perekonomian di pedesaan Cirebon dijelaskan bahwa desa-desa hampir secara keseluruhan disewakan kepada orang-orang Cina oleh para bupati dan residen. Penyerahan tenaga kerja, penyerahan pajak dan hasil pertanian penduduk dibeli dengan harga sangat rendah oleh residen. Kondisi sosial dijelaskan bahwa bencana kelaparan dan wabah penyakit sempat melanda Cirebon akhir abad 18, mengakibatkan banyak penduduk Cirebon meninggal dunia.[15]. Pada ditengah masa pemberontakan ini, Belanda mengirimkan Herman Willem Daendels sebagai Gubernur Jendral Hindia Belanda yang tiba di Batavia (sekarang Jakarta) pada tahun 1808 [16] yang memimpin dengan cara kediktaktoran.

Persoalan hak waris Sultan Kanoman ke empat, Sultan Anom IV Muhammad Chaerudin yang seharusnya diberikan kepada putera mahkotanya yaitu Pangeran Raja Kanoman yang telah diasingkan Belanda ke Ambon dianggap sebagai penyebab timbulnya pemberontakan. Rakyat melakukan pemberontakan dan mengidentifikasi diri dengan Sultan Kanoman yang tercabut hak warisnya (Pengeran Raja Kanoman yang dibuang dan sulit mengklaim haknya) . Para pemberontak ini berhasil dihimpun Bagus Rangin untuk melakukan pemberontakan yang lebih besar. Di daerah Jatitujuh, merupakan pusat gerakan Bagus Rangin dalam rangka membicarakan strategi perlawanan terhadap pemerintah kolonial Belanda. Bagus Rangin menganggap residen Belanda telah merampas tanah warisan nenek moyangnya, untuk digunakan sendiri oleh residen itu.

Kembalinya Pangeran Raja Kanoman dan dibentuknya Kacirebonan

Pemberontakan yang dilakukan oleh bagus Rangin meluas hingga keluar wilayah karesidenan Cirebon, namun ditengah perjuangan besar cirebon yang telah dimulai pada sekitar tahun 1788 oleh Mirsa dan Pangeran Raja Kanoman / Putera Mahkota Kanoman (putera pertama Sultan Anom IV) dan dilanjutkan oleh pejuang lainnya termasuk di antaranya Bagus Rangin yang telah memulai perjuangannya pada sekitar tahun 1802, dikarenakan perjuangan masyarakat cirebon melawan Belanda masih terus belangsung, maka pada tahun 1806 Belanda mengembalikan Pangeran Raja Kanoman ke Cirebon guna meredakan perjuangan yang terjadi. dalam bukunya Geschiedenis van Nederlandsch Indie, V Frederik Willem Stapel mengatakan,

sampai dengan tahun 1806 jumlah kaum pemberontak yang bersenjata telah mencapai sekitar 4000 orang. Pasukan yang langsung dipimpin oleh Bagus Rangin berjumlah antara 280-300 orang yang telah terlatih perang

namun karena di keraton Kanoman sudah bertahta Pangeran Raja Abu Soleh Immamudin yang merupakan adik Pangeran Raja Kanoman, maka akhirnya atas dasar kesepakan keluarga, Pangeran Raja Kanoman pada tahun 1808 mendirikan pendopo sendiri dengan nama Kacirebonan yang sekarang pusatnya berada di Pendopo Kacirebonan, sebagai pemimpin Kacirebonan Pangeran Raja Kanoman bergelar Sultan Carbon Amirul Mukminin, namun kembalinya Pangeran Raja Kanoman dan dibentuknya Pendopo Kacirebonan untuk Pangeran Raja Kanoman sebagai hasil kesepakatan keluarga besar kesultanan Kanoman dikarenakan di kesultanan Kanoman telah bertahta Sultan Anom V Pangeran Raja Abu Soleh Immamudin, tidak menyurutkan gerakan perjuangan yang sedang berlangsung.

Pada tahun 1809 Gubernur Jendral Herman Willem Daendels atau setahun setelah kedatangannya ke Hindia Belanda, segera menetapkan berbagai langkah dan tindakan dalam rangka pengendalian wilayahnya yang ada di Jawa bagian barat, dua wilayah karesidenan (wilayah pembantu Gubernur Jendral) kemudian ditetapkan,

  • Pertama, Batavia en Jacatrasche Preanger Regentschappen (Karesidenan Batavia dan Priangan-Jakarta) yang meliputi Batavia, Tangerang, Karawang, Bogor, Cianjur, Bandung dan Sumedang)
  • Kedua, Kesultanan Cheribon en Cheribonsche-Preanger Regentschappen (Karesidenan kesultanan Cirebon dan Priangan-Cirebon), yang meliputi wilayah kesultanan Cirebon, Limbangan (sekarang bagian dari kabupaten Garut), Sukapura (sekarang bagian dari kabupaten Tasikmalaya) dan Galuh (sekarang kabupaten Ciamis dan kota Banjar)[17]

Di daerah Cirebon, dikatakan Gubernur Jendral Herman Willem Daendels memperoleh hak untuk mengangkat pegawai kesultanan dan mendapat kekuasaan lebih besar dalam urusan keuangan dan pemerintahan internal kesultanan. sejak tahun 1809 dikatakan bahwa kesultanan-kesultanan yang ada di Cirebon tidak lagi memiliki kekuasaan politik karena telah dijadikam pegawai pemerintah Hindia Belanda dan fungsi mereka sebagai kepala pemerintahan digantikan oleh para bupati yang diangkat oleh Gubernur Jendral, yang kemudian wilayah-wilayahnya diawasi oleh residen yang telah ditunjuk oleh pemerintah Belanda.

Pemisahan kekuasaan kesultanan-kesultanan di Cirebon pada tahun 1809 bertepatan dengan masa pemerintahan Sultan Sepuh VII Sultan Djoharudin di kesultanan Kasepuhan, Sultan Anom V Pangeran Raja Abu Soleh Muhammad Immamudin di kesultanan Kanoman dan Sultan Kacirebonan I Sultan Carbon Amirul Mukminin di kesultanan Kacirebonan yang baru saja dibentuk dari hasil perundiangan keluarga untuk membagi kesultanan Kanoman.

Pada tahun 1810 Perancis di bawah pimpinan Napoleon Bonaparte melakukan aneksasi terhadap Belanda dan setelah kabar ini diterima oleh Gubernur Jendral Herman Willem Daendels, Gubernur Jendral kemudian melakukan pengibaran bendera Perancis, hal ini kemudian diketahui oleh Thomas Stamford Raffles dan mengunjungi Lord Minto Gubernur Jendral Britania di India untuk mengusir Belanda dari Jawa dan hal tersebut disetujui oleh Gubernur Jendral Britania untuk India - Lord Minto.

Menindaklanjuti rencana pengusiran Belanda maka pada sekitar tahun 1811 Pemerintah Britania atau yang dalam bahasa inggris disebut Britain (Penggabungan kerajaan Inggris, Wales, Skotlandia dan Irlandia Utara) yang menguasai India, Burma dan Semenanjung Melayu melakukan peperangan dengan pihak Hindia Belanda, pasukan-pasukan Britania bahasa inggris (british : orang-orang britain) kemudian mulai mendarat di pelabuhan-pelabuhan Jawa pada tanggal 3 Agustus 1811, pada bulan yang sama tepatnya tanggal 26 Agustus 1811 perang besar antara Hindia Belanda dan pihak Britania dimulai dan menghasilkan kekalahan Belanda, hasil peperangan tersebut membuat Belanda menyingkir ke Semarang sampai akhirnya Belanda di bawah Gubernur Jendral Jan Willem Janssens yang menggantikan Herman Willem Daendels pada bulan Mei 1811 menyerah kepada Britania di Salatiga dan menandatangani kapitulasi Tuntang. Kemenangan ini kemudian menjadikan Thomas Stamford Raffles diangkat sebagai Letnan Gubernur (bawahan Gubernur Jendral) untuk wilayah Jawa.

namun adanya perang besar antara Hindia Belanda dan Britania atau yang dikenal dengan nama perang jawa Britania-Belanda tidak begitu menguntungkan gerakan perjuangan ini, terbukti dengan ditemuinya kegagalan setelah Bagus Rangin dan para pengikutnya ditangkap oleh pemerintah Britania pada tahun 1811.

Akhir perang besar Cirebon

Namun demikian, gerakan perjuangan rakyat Cirebon ini sempat muncul kembali di bawah pemimpin lainnya setelah Britania di bawah Letnan Gubernur Thomas Stamford Raffles memerintahkan langsung kepada Cirebon untuk menyingkirkan kekuasaan politik dari para sultannya, sehingga sultan hanya sebagai pemimpin adat dan agama saja, gerakan perjuangan tersebut ialan gerakan perjuangan tahun 1816 di bawah pimpinan Bagus Jabin dan gerakan perjuangan tahun 1818 di bawah pimpinan Nairem. Kedua perjuangan tersebut pun menemui kegagalan.

Pada tanggal 19 Agustus 1816, Jawa dikembalikan kepada Belanda dari Britania setelah berakhirnya perang Napoleon dan Letnan Gubernur Thomas Stamford Raffles meninggalkan Jawa dan kembali ke Inggris.

Pangeran Raja Muhammad Komarudin II dan Nona Delamoor

Pada tahun 1883 atau pada masa pemerintah Sultan Anom VI Muhammad Komarudin I Belanda mengangkat residen Cirebon yang baru bernama Jean Guillaume Landre yang oleh masyarakat Cirebon dikenal dengan nama Tuan Delamoor, Jean Guillaume Landre yang dipercaya sebagai warga Belanda keturunan Perancis sewaktu menjabat residen di Cirebon membawa juga anak perempuannya yang masih muda yang oleh masyarakat cirebon dikenal dengan nama Nona Delamoor. pada saat melakukan pertemuan kenegaraan dan pertemuan resmi yang dilakukan di kediaman residen cirebon, Sultan Anom VI Muhammad Komarudin I juga membawa putera tertuanya sekaligus putera mahkotanya yang pada masa itu disebut Pangeran Raja, kemudian karena sering bertemu pada acara-acara kenegaraan dan pertemuan resmi, maka antara Pangeran Raja dan nona Delamoor saling jatuh cinta, hingga akhirnya nona Delamoor dikabarkan hamil di luar nikah dan mengandung anak dari Pangeran Raja, karena takut akan ketahuan oleh ayahnya, nona Delamoor kemudian menutup-nutupi kehamilannya, kemungkinan karena kelahiran sang bayi yang tidak sempurna maka bayi ini meninggal, bayi kemudian dibungkus dengan pakaian yang serba indah dan berharga, dimasukan ke sebuah kandaga untuk kemudian dilarung ke laut.

Kandaga berisi bayi yang telah meninggal tersebut kemudian ditemukan oleh nelayan, melihat bungkus pakaiannya yang serba indah dan berharga para nelayan menganggap bahwa bayi yang telah meninggal tersebut adalah milik orang yang dikeramatkan atau orang penting, kemudian bayi tersebut dikuburkan secara khidmat di dekat mercusuar cirebon, kurang lebih jaraknya 25 meter ke arah selatan.

Perubahan fisik nona Delamoor yang terlihat pucat dan sikapnya yang selalu berdiam diri membuat ayahnya Jean Guillaume Landre (tuan Delamoor) menanyakan keadaannya, kemudian nona Delamoor menceritakan peristiwa yang dialaminya kepada ayahnya, mendengar peristiwa-peristiwa yang menimpa puterinya, Jean Guillaume Landre segera memerintahkan polisi dan militer Belanda untuk menangkap dan memenjarakan Pangeran Raja, namun hal tersebut ditangguhkan karena takut bahwa Cirebon akan melakukan pemberontakan, namun jika Pangeran Raja ditahan maka masyarakat luas akan mengetahui peristiwa tersebut. kemudian Jean Guillaume Landre mencari akal untuk menyeleseikan masalah ini dan Pernikahan antara Pangeran Raja yang kemudian naik tahta sebagai Sultan Anom VII Muhammad Komarudin II dengan nona Delamoor pun dilakukan sebagai bentuk penyeleseian, setelah pernikahan nona Delamoor mendapatkan gelar Ratu Sengkaratna.

Tak lama setelah pernikahan nona Delamoor memberikan Pangeran Raja (yang sudah naik tahta menjadi Sultan Anom VII Muhammad Komarudin II seorang putera yang diberi nama Pangeran Anta dan bergelar Pangeran Raja Carbon, Pangeran Anta dikatakan memiliki tekstur wajah yang mirip dengan ibunya yang berketurunan Perancis serta kulitnya pun putih.

Selang beberapa bulan dari kelahiran Pangeran Anta yang keturunan Perancis tersebut, Permaisuri Raja (perempuan berdarah bangsawan yang dinikahi raja) yaitu Ratu Raja Apsari juga melahirkan seorang putera yang kemudian diberi nama Pangeran Raja Dzulkarnaen, oleh para kerabat Kanoman, Pangeran Raja Dzulkarnaen dididik pelajaran keperwiraan untuk dipersiapkan sebagai pengganti ayahnya, dikarenakan menurut para kerabat yang mendukungnya, dia lebih pantas karena merupakan seorang putera yang dilahirkan dari Permaisuri Raja (perempuan berdarah bangsawan yang dinikahi raja) sementara Pangeran Anta dilahirkan dari nona Delamoor atau Ratu Sengkaratna yang bukan berdarah bangsawan, kemudian para pendukung Pangeran dzulkarnaen menghimpun kekuatan dari masyarakat untuk mendukung Pangeran Dzulkarnaen sebagai pewaris tahta ayahnya yang sah. Semakin dewasa, di antara Pangeran Anta dan Pangeran Dzulkarnaen terdapat sebuah pertentangan dan ketegangan yang serius diakibatkan oleh pendidikan yang diterima keduanya dari para pendukungnya yang menyatakan bahwa yang satu lebih berhak atas tahta ayahnya dibanding yang lain. Setelah Sultan Anom VII Muhammad Komarudin II meninggal dunia, terjadilah perebutan tahta antara keduanya, melihat perebutan tahta ini melibatkan masyarakat luas, residen Belanda di Cirebon pun meminta bantuan Gubernur Jendral, namun Gubernur Jendral menolak ikut campur dan menyarankan agar masalah pewaris tahta diserahkan kepada adat yang berlaku dimasyarakat dan digelar perundingan untuk menyeleseikannya.

Hasil dari perundingan yang dilakukan adalah Pangeran Anta yang bergelar Pangeran Raja Carbon yang merupakan anak dari pasangan Sultan Anom VII Muhammad Komarudin II dengan nona Delamoor yang bergelar Ratu Sengkaratna mendapatkan hanya warisan kekayaan ayahnya saja, sementara Pangeran Raja Dzulkarnaen yang merupakan putera dari Permaisuri Raja mendapatkan tahta ayahnya dan bergelar Sultan Anom VIII Pangeran Raja Dzulkarnaen.

Dari kekayaan ayahnya, Pangeran Anta membangun sebuah tempat kediaman disebelah barat siti inggil keraton Kanoman dan tinggal disana hingga dia wafat, dan sekarang tempat tersebut dibangun menjadi kompleks Perguruan Taman Siswa.

Pada tahun 1921, Cirebon dirubah statusnya menjadi Gamentee Cheribon dikarenakan banyaknya peziarah yang datang ke makam bayi yang ada di dekat mercusuar dan telah menggangu ketertiban pelabuhan Cirebon, maka oleh pemerintah gamenteen Cheribon makam tersebut dipindahkan ke jalan kesambi, cirebon.

Surat wasiat Sultan Anom XI Pangeran Raja Adipati Muhammad Djalaludin

Sultan Muhammad Djalaludin merupakan Sultan Anom XI, diketahui oleh masyarakat luas bahwa Sultan Anom XI Pangeran Raja Adipati Muhammad Djalaludin (alm) punya seorang anak perempuan dari istri pertamanya yang merupakan seorang Permaisuri Raja dan diberinama Ratu Raja Latifah, dari istri keduanya yang juga seorang Permaisuri dia tidak mendapatkan keturunan, dari Ny Suherni (ibu dari Pangeran Elang Mochamad Saladin) enam anak, dan dari Ratu Raja Sri Mulya (ibu dari Pangeran Raja Muhammad Emirudin) enam anak.

Sebelum meninggal pada tanggal 19 November 2002, Sultan Muhammad Djalaludin membuat sebuah surat wasiat agar putera tertuanya yaitu Pangeran Elang Mochamad Saladin yang merupakan anak dari pasangan Sultan Djalaludin dengan istri ketiganya Hj. Suherni yang berasal dari kalangan rakyat biasa dinobatkan menjadi Sultan Anom XII keraton Kanoman untuk menggantikan dirinya.[18] Hal tersebut dikarenakan hubungannya dengan istri pertamanya yang merupakan seorang permaisuri hanya melahirkan seorang anak perempuan yang diberi nama Ratu Raja Latifah .

Munculnya surat wasiat dari Sultan Djalaludin yang menunjuk Saladin sebagai penerus tahtanya, kemudian ditentang oleh beberapa kelompok yang menghendaki Pangeran Raja Emiruddin yang merupakan putera kedua Sultan Djalaludin dari istri keempatnya yang merupakan seorang permaisuri yang bernama Ratu Raja Sri Mulya untuk menjadi Sultan. menanggapi hal tersebut, Pangeran Elang Mochamad Saladin berkata,

Emirudin itu saudara saya, umurnya delapan bulan lebih muda dari saya

[19]

Pelantikan Pangeran Elang Mochamad Saladin sebagai Sultan Anom XII

Pangeran Elang Mochamad Saladin kemudian dilantik di ruang jinem keraton Kanoman, Cirebon, Rabu malam tanggal 5 Maret 2003 sekitar pukul 20.30 WIB. Pelantikan itu mendahului rencana kubu Pangeran Raja Muhammad Emirudin yang sudah menyebar undangan, untuk "Jumenengan" Pangeran Raja Emirudin menjadi Sultan ke XII menggantikan Sultan Anom XI Hj Muhammad Djalaludin, yang rencanannya dilakukan Kamis siang tanggal 6 Maret 2013. Undangan Jumenengan Emirudin sudah disebar ke beberapa instansi dan media massa.

Proses penobatan Elang Muhammad Saladin, dilakukan oleh Pangeran Komisi, yakni Pangeran Amaludin (adik Elang Muhamad Saladin). Hadir dalam acara pelantikan Pangeran Hidayat Purbaningrat, Ketua DPRD Kota Cirebon H Suryana, Wakil Ketua DPRD Ir H Haries Sutamin, Ibunda serta adik-adik Saladin, upacara pelantikan berlangsung selama sekitar 10 menit, berjalan khidmat dan diakhiri dengan pembacaan doa demi keselamatan keluarga besar Keraton Kanoman.

Sementara itu, suasana di luar ruang jinem tampak hening, hanya beberapa orang saja yang terlihat secara samar di tengah temaram sorot lampu yang tidak terlalu terang di sekitar keraton. Padahal, di luar keraton, beberapa orang terlihat memasang umbul-umbul sebagai persiapan untuk dilakukannya penobatan terhadap Pangeran Raja Emirudin yang sedianya dilakukan hari Kamis 6 Maret 2013 pukul 14.00 WIB.

Usai pelantikan, Ratu Mawar Kartina, SH yang selama ini bertindak sebagai juru bicara keraton didampingi Pangeran Hidayat Purbaningrat mengatakan,

pelantikan tersebut dilaksanakan untuk menjalankan wasiat almarhum Sultan Kanoman XI. "Apa pun hambatan yang akan dihadapi,"

[20]

Menurut Ratu Mawar, penobatan Pangeran Elang Mochamad Saladin sebagai Sultan Anom XII pada awalnya akan dilakukan pada akhir bulan Maret 2013, namun hal itu harus dipercepat, hal tersebut terpaksa dilakukan, karena ada indikasi upaya untuk menggagalkan wasiat yang sudah diputuskan ayahandanya.

Indikasinya menurut Ratu Mawar, sudah terlihat sejak surat wasiat itu dibuka, tepatnya 40 hari setelah wafatnya Sultan XI HM Djalaludin.

Di ruang jinem, Ketua DPRD Kota Cirebon H. Suryana yang didaulat membacakan sambutan mengatakan,

wasiat almarhum Sultan Kanoman XI HM Djalaludin mesti ditaati, sebab wasiat tersebut adalah titah sultan yang tidak boleh ditentang isinya, dan siapa pun yang ditunjuk menjadi sultan, tanpa melihat keturunan dari istri yang mana.

H. Suryana berharap, keluarga besar Keraton Kanoman bisa bersama-sama menjaga keutuhan keraton dengan cara saling memahami satu sama lain.

Pelantikan Pangeran Raja Muhammad Emirudin sebagai Sultan Anom XII

Pelantikan Pangeran Raja Muhammad Emirudin pada hari Kamis 6 Maret 2003 diwarnai kericuhan, kericuhan diawali dengan datangnya Ratu Mawar (adik Sultan Saladin). Dia membacakan maklumat bahwa penobatan Emirudin tidak sah dan menentang wasiat serta titah dari mendiang Sultan Kanoman XI. Setelah itu Ratu Mawar merebut tombak dari salah satu punggawa dan melemparkannya ke aparat keamanan.

Usai acara penobatan, sekelompok orang dari kubu Emirudin menghadang mobil yang ditumpangi Ratu Mawar dan pacarnya pada waktu itu Teddy Michael. Dengan emosi mereka memukul-mukul mobil tersebut sehingga kaca belakang rusak. Mereka mengecam aksi Ratu Mawar dan campur tangan Teddy yang tidak termasuk famili Kanoman.

Pihak Sultan Emirudin sendiri mengklaim bahwa penobatannya didukung oleh 247 kerabat keraton lainnya. Dalam maklumat yang ditandatangani tiga sesepuh, Pangeran Redman Hakim, Pangeran Agus Djoni, dan Elang Machmudin tercantum bahwa demi menjunjung tinggi adat dan tradisi Keraton Kanoman maka ke-247 kerabat Keraton memilih Pangeran Emirudin sebagai Sultan Kanoman XII pengganti Sultan Kanoman XI.[21]

Alasan utama maklumat tersebut adalah hukum adat istiadat dan tradisi yang menyebutkan Sultan Kanoman adalah putra pertama dari garwa ratu atau darah biru. Pangeran Redman Hakim, Pangeran Pangeran Agus Djoni, dan Elang Machmudin mengatakan'

Oleh karena itu, penunjukan Saladin sebagai pengganti almarhum Djalaludin dalam surat wasiat yang ditinggalkan almarhum sangat bertentangan dengan adat dan tradisi, karena yang bersangkutan dari garwa ampean atau selir. Untuk itu secara otomatis segala hal yang menyimpang dianggap tidak ada da tidak berlaku,

Silsilah

  • Sultan Anom I Muhammad Badrudin Kartawijaya
  • Sultan Anom II Pangeran Raja Mandurareja Muhammad Qadirudin
  • Sultan Anom III Pangeran Raja Adipati Muhammad Alimudin
  • Sultan Anom IV Pangeran Raja Adipati Sultan Muhammad Chaeruddin
  • Sultan Anom V Pangeran Raja Abu Soleh Muhammad Imammudin)
  • Sultan Anom VI Muhammad Kamaroedin I
  • Sultan Anom VII Muhamamad Kamaroedin II
  • Sultan Anom VIII Pangeran Raja Muhamamad Dzulkarnaen
  • Sultan Anom IX Pangeran Raja Adipati Muhamamad Nurbuat
  • Sultan Anom X Pangeran Raja Adipati Muhamamad Nurus
  • Sultan Anom XI Pangeran Raja Adipati Muhamamad Jalalludin
  • Sultan Anom XII Pangeran Raja Muhamamad Emiruddin
  • Sultan Anom XII Pangeran Elang Mochamad Saladin

Pranala luar

Referensi

  1. ^ a b Asdhiana, I Made. 2013. Kanoman, Sejarah yang Luka. Jakarta : Kompas.com
  2. ^ Rosmalia. Dini. 2013. Identifikasi Pengaruh Kosmologi pada Lanskap Kraton Kasepuhan di Kota Cirebon. Bandung : Institut Teknologi Bandung
  3. ^ Susilaningrat. R. Chaidir. 2013. Dalem Agung Pakungwati Kraton Kasepuhan Cirebon
  4. ^ Hardhi. TR. 2014. Dakwah Sunan Gunung Jati dalam Proses Islamisasi Kesultanan Cirebon Tahun 1479-1568. Yogyakarta: Universitas Negeri Yogyakarta
  5. ^ Fajar, Rizky Nur. 2013. Perancangan Komunikasi Visual Publikasi Buku Seri Keraton Cirebon. Jakarta: Universitas Bina Nusantara
  6. ^ | Tim Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Pemerintah Provinsi Jawa Barat. 2011. Keraton Kanoman. Bandung : Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Pemerintah Provinsi Jawa Barat
  7. ^ 2014 - Pikiran Rakyat - Empat Keraton di Kota Cirebon Menjadi Objek Vital
  8. ^ Kartodihardjo, Sartono. 1988. Pengantar Sejarah Indonesia Baru : 1500 - 1900 (dari Emporium sampai Imperium). Jakarta : Gramedia
  9. ^ Roseno, Edi. 1993. Perang Kedondong 1818. Depok : Universitas Indonesia
  10. ^ Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Provinsi Jawa Barat - Sejarah Keraton Kaprabonan, Cirebon
  11. ^ P.S. Sulendraningrat. 1985. Sejarah Cirebon. Jakarta: Balai Pustaka
  12. ^ Akademi Angkatan Udara - Kesultanan Cirebon
  13. ^ Ekadjati, E.S. 1976. Sejarah jawa Barat. Jakarta : Departemen Pendidikan dan Kebudayaan
  14. ^ Stapel, Frederik Willem. 1940. Geschiedenis van Nederlandsch Indie, V. Batavia.
  15. ^ Paramita R. Abdurachman, 1982, Cerbon, Jakarta: Sinar Harapan
  16. ^ Carey, Peter. 2013. Daendels and the Sacred Space of Java, 1808-1811: Political Relations, Uniforms and the Postweg. Nijmegen: Vantilt
  17. ^ Sunardjo, Unang. 1983. Meninjau Sepintas Panggung Sejarah Pemerintahan Kerajaan Cirebon : 1479 - 1809. Bandung : Tarsito
  18. ^ 2003 - Jakarta Post - Cirebon to Crown New Sultan this Month
  19. ^ 2003 - CBN News - Kemelut Kanoman Cirebon: Periksa Surat Wasiat oleh Puslabfor
  20. ^ 2003 - Gatra - Elang Saladin, Diam-diam Jadi Sultan Kanoman XII
  21. ^ 2003 - Tempo - Kericuhan Warnai Penobatan Pangeran Emirudin